Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan kerja (Occupational Health) merupakan bagian dari kesehatan

masyarakat yang berkaitan dengan faktor potensial yang mempengaruhi

kesehatan pekerja. Bahaya pekerjaan (akibat kerja), seperti halnya masalah

kesehatan lingkungan lain, bersifat akut atau kronis (Anggraini, 2015).

Kesehatan kerja mempengaruhi manusia dalam hubungannya dengan pekerjaan

dan lingkungan kerjanya, baik secara fisik maupun psikis yang meliputi, antara

lain: metode bekerja, kondisi kerja dan lingkungan kerja yang mungkin dapat

menyebabkan kecelakaan, penyakit ataupun perubahan dari kesehatan

seseorang (Uhud,2008).

Pada hakekatnya ilmu kesehatan kerja mempelajari dinamika, akibat dan

problematika yang ditimbulkan akibat hubungan interaktif tiga komponen

utama yang mempengaruhi seseorang bila bekerja yaitu:

1. Kapasitas kerja: status kesehatan kerja, gizi kerja, dan lain-lain.

2. Beban kerja: fisik maupun mental

3. Beban tambahan yang berasal dari lingkungan kerja antara lain: bising,

panas, debu, parasit, dan lain-lain. Bila ketiga komponen tersebut serasi

maka bisa dicapai suatu kesehatan kerja yang optimal. Sebaliknya bila

terdapat ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja

berupa penyakit ataupun kecelakaan kerja yang pada akhirnya akan

menurunkan produktifitas kerja (Uhud, 2008).

1
2

Potensi bahaya akibat kerja dibagi menjadi lima golongan, yaitu:

1. Golongan fisika

Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non

pengion, dan tekanan udara

2. Golongan kimia

Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut,

partikel nano dan lain-lain.

3. Golongan biologi

Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.

4. Gangguan ergonomic

Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak

repetitive, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.

5. Golongan psikososial

Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton,

hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain (Uhud, 2008).

Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik

pencemaran udara dalam ruangan maupun di luar ruangan. Di banyak kota,

terutama di negara – negara yang sedang berkembang yang urbanisasinya

tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem pernapasan,

khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda, para perokok dan mereka

yang menderita penyakit – penyakit kronis saluran pernapasan (Uhud,

2008). Menurut WHO, penyakit pernapasan dari akut sampai dengan kronis
3

telah menyerang 400 - 500 juta orang di negara berkembang (Anggraini,

2015). Di antara semua penyakit akibat kerja, 10% sampai 30% adalah

penyakit paru. ILO mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru

pneumoconiosis terjadi di seluruh dunia setiap tahun. Di Inggris pada tahun

1996 ditemukan 330 kasus baru penyakit paru yang berhubungan dengan

pekerjaan. Di New York ditemukan 3% kematian akibat penyakit paru

kronik. Di Indonesia angka sakit mencapai 70% dari pekerja yang terpapar

debu tinggi. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat

serius yaitu terjadinya penurunan fungsi paru, dengan gejala utama yaitu

sesak nafas (Asrina, 2012)

Paru merupakan organ manusia yang mempunyai fungsi sebagai ventilasi

udara, difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah, transportasi O2 dan CO2

serta pengaturan ventilasi serta hal – hal lain dari pernapasan. Fungsi paru

dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh atau faktor

ekstrinsik yang meliputi kandungan komponen fisik udara, komponen kimiawi

dan faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri atau instrinsik (Hiswara,

2015). Faktor ekstrinsik yang pertama adalah keadaan bahan yang diinhalasi

(gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk berpengaruh dalam proses penimbunan

debu, demikian pula dengan kelarutan dan nilai higroskopisnya (Wulandari,

2011).

Komponen yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi

dengan jaringan di sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalinitas (dapat berupa

silia dan sistem enzim). Bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas
4

di paru dan dapat bersifat antigen yang masuk paru. Faktor ekstrinsik lainnya

adalah lamanya paparan, perilaku merokok, perilaku penggunaan alat

pelindung diri (APD) terutama yang dapat melindungi sistem pernapasan dan

kebiasaan berolahraga. Faktor intrinsik dari dalam diri manusia juga perlu

diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan sistem pertahanan paru, baik

secara anatomis maupun fisiologis, jenis kelamin, riwayat penyakit yang

pernah diderita, indeks massa tubuh (IMT) penderita dan kerentanan individu

(Wulandari, 2011).

Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat menyebabkan

peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan penyumbatan

jalan napas, sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu

yang terus menerus dapat menurunkan fungsi paru berupa obstruktif. Akibat

penumpukan debu yang tinggi di paru dapat menyebabkan kelainan dan

kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu pada paru disebut

pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah

berkurangnya elastisitas paru, yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas

vital paru (Putri, 2015).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo”

berarti paru dan “konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama

kali digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan

dengan inhalasi debu mineral (Putri, 2005). International Labour

Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan

yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan

reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Pneumokoniosis digunakan untuk

menyatakan berbagai keadaan berikut (Susanto, 2011):

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis),

asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoconiosis batubara

3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Penamaan pneumokoniosis bergantung pada jenis debu yang

menyebabkan penyakit pernapasan ini. Secara ringkas terdapat dalam tabel di

bawah ini:

5
6

Tabel 1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya .


Jenis Debu Pneumokoniosis
Asbes Asbesitosis
Silika Silikosis
Batubara Pneumokoniosis batubara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Aluminium Aluminosis
Grafit Pneumokoniosis Grafit
Debu Antimony Antimony Pneumokoniosis
Debu Mineral Barite Baritosis
Debu Karbon Pneumokoniosis Karbon
Debu Polyvinyl Chloride Pneumokoniosis PVC
(PVC)
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Titanium Oksida Pneumokoniosis Okeisda
Zirconium Pneumokoniosis Zirkonium
Silicone Carbide Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock Flock Worker’s Lung
Debu Campuran:
 Campuran silica dan besi  Silikosiderosis
 Silikat  Silikatosis
 Slate  Slate Worker’s Pneumokoniosis
 Kaolin  Pneumokoniosis Kaolin
 Mica  Mica Pneumokoniosis
Sumber: Susanto, 2011.
7

2.2 Anatomi dan Fisiologi Paru

2.2.1 Anatomi Paru

Gambar 1. Anatomi Sistem Pernapasan

Sumber: Anatomi Sistem Pernapasan (Ganong, 2010).

Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh

struktur tulang selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat

disebut diafragma. Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-
8

paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain

oleh jantung dan pembuluh- pembuluh besar serta struktur-struktur lain di

dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru disebut pleura. Paru-

paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri. Paru-paru dibungkus

oleh selaput yang bernama pleura (Ganong, 2010). Pleura dibagi menjadi dua

yaitu:

1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang

langsung membungkus paru.

2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar.

Antara kedua pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum

pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-

paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang

berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara

paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas (Ganong, 2010).

Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru dua lobus. Setiap

lobus terdiri atas lobula. Sebuah pipa bronkhial kecil masuk ke dalam setiap

lobula, dan semakin bercabang, semakin menjadi tipis dan akhirnya mejadi

kantong-kantong kecil, yang merupakan kantong-kantong udara paru-paru.

Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-

paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus

superior, dan lima buah segmen pada inferior. Jaringan paru-paru adalah

elastik, berpori dan seperti spon. Di dalam air paru-paru mengapung karena

udara yang ada didalamnya. Fungsi paru adalah pertukaran gas oksigen dan
9

karbondioksida (Ganong, 2010).

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri

dari gelembung (gelembung hawa, alveoli, atau alveolus). Pada gelembung

inilah terjadi pertukaran udara di dalam darah, O2 masuk ke dalam darah dan

CO2 dikeluarkan dari darah. Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel

2
.
dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m Banyaknya

gelembung paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah. Ukurannya bervariasi,

tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks,

ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I

berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk

pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta

dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan,

yang melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus (Ganong, 2010).

2.2.2 Fungsi Paru

Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam

darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang

terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar.

Proses respirasi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

1. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta

keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.

2. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta

keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.


10

3. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk

dialirkan ke seluruh tubuh (Sherwood, 2014).

Semua volume paru dapat diukur secara langsung dengan spirometer,

kecuali volume residu. Untuk mengetahui fungsi paru, parameter yang

digunakan ialah VC, FVC, dan FEV (Sherwood, 2014).

2.2.3 Fisiologi Paru

Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.

Pada pernapasan melalui paru-paru, oksigen dipungut melalui hidung dan

mulut. Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial

ke alveoli, dan dapat erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya

satu lapisan membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan oksigen

dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel

darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di dalam arteri ke

semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100

mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen. Di dalam

paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan metabolisme,

menembus membran alveoler- kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah

melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinapaskan keluar melalui hidung dan

mulut (Sherwood, 2014).

Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat

membutuhkan oksigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen

selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tak dapat

diperbaiki dan bias menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen


11

berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis, misalnya

orang bekerja pada ruangan yang sempit, tertutup, ruang kapal, ketel uap, dll.

bila oksigen tidak mencukupi maka warna darah merahnya hilang berganti

menjadi kebiru-biruan misalnya di bibir, telinga, lengan, dan kaki (sianosis)

(Guyton, 2014).

Pengambilan udara pernapasan dikenal dengan inspirasi dan pengeluaran

udara pernapasan disebut dengan ekspirasi. Mekanisme pertukaran udara

pernapasan berlangsung di alveolus disebut pernapasan eksternal. Udara

pernapasan selanjutnya diangkut oleh hemoglobin dalam eritrosit untuk

dipertukarkan ke dalam sel. Peristiwa pertukaran udara pernapasan dari darah

menuju sel disebut pernapasan internal. Aktivitas inspirasi dan ekspirasi pada

saat bernapas selain melibatkan alat-alat pernapasan juga melibatkan beberapa

otot yang ada pada tulang rusuk dan otot diafragma (selaput pembatas rongga

dada dengan rongga perut) (Guyton, 2014).

Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan

tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika

tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan masuk. Sebaliknya,

apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar.

Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi)

dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas

dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan

perut terjadi secara bersamaan (Sherwood, 2014).


12

Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada

daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada

tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea.

Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses

pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah

udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena

itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi

dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang

rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli

dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian

alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak

adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang

berdekatan (Guyton, 2014).

2.2.4 Penyebab Pneumokoniosis

Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral.

Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan

berikut (Cohen, 2010):

a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika

(silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis).

b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis

batubara.

c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas

(bisinosis).
13

2.2.4.1 Gejala

Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis

seperti : batuk produktif yang menetap dan sesak nafas saat

beraktifitas (Cohen, 2010).

2.2.4.2 Patogenesis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis

pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya

saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia, sifat

fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya

terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari

respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi

paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya

sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan

terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan

terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi

awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di

saluran napas bawah (Laney, 2010).

Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran

napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit

alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti

debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah

relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu

inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh


14

makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan

difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di

dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus

dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat

sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan

menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan

fibrositosis (Putri, 2015). Disamping proses fagositosis debu oleh

makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel

debu tersebut. Bila partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan

ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang

masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya

integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag

alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial

paru (Putri, 2015). Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial

maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis

untuk kemudian ditransfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau

terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang

dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan

proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis. Sifat toksisitas

debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis.

Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat.

Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik


15

dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula

dengan emfisema fokal akibat debu batubara (Susanto, 2011).

2.2.4.3 Diagnosis

Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya

dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu

untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan

dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan

pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung.

Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar

debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat

pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di

lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan

radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas

saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan.

Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi

dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda

gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada

pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis

pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain

yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan

mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis,

idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung disease

(ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa


16

pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis

pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru

dan analisis debu penyebab (Susanto, 2011).

2.2.4.4 Pemeriksaan Radiologi

Foto Toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut

International Labour Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran

radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi ini

digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja

dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis (Laney, 2010).

Computed Tomography (CT) Scan

Computed Tomography (CT) Scan bukan merupakan bagian

dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT

mungkin sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan

beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema

dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses

yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT

(HRCT) lebih sensitive dibanding radiologi konvensional untuk

evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan

pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada

pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation

pada area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis


17

interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang

tawon/honey comb atau hyperattenuation (Laney, 2010).

Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis

batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular

opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone).

Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill defined

fine branching lines dan (2) well defined discrete nodules. Asbestosis

menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan

intralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb,

predominan terdistribusi pada basal paru. (Laney, 2010).

Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi

epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru

akibat kerja. Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan volume

paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi (DLco),

namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan

untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pneumokoniosis dapat

ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi,

restriksi ataupun campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang

disebabkan debu mineral ber hubungan dengan kelainan restriksi

karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis

interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi.

Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi


18

terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi

(Susanto, 2011).

2.2.4.5 Penatalaksanaan

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang

ataupun berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan.

Tata laksana medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik.

Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi

kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokoniosis

(Susanto, 2011).

2.2.4.6 Pencegahan Pneumokoniosis

Pencegahan dari pneumoconiosis yang paling penting

dilakukan adalah menjauhi pajanan. Untuk penatalaksanaan dari kasus

ini hanya diberikan terapi medikamentosa untuk mengatasi

simtomatisnya dan mengurangi kemungkinan komplikasi yang akan

muncul. Hal ini dikarenakan pnneumokoniosis bersifat progresif yang

tidak akan bisa sembuh hanya dengan menjauhi pajanan. Selebihnya

para pekerja wajib dilakukan pemeriksaan berkala serta pengontrolan

kadar debu di lingkungan kerja.Selain itu, pemeliharaan kesehatan

juga penting seperti menghindari merokok yang akan memperburuk

kondisi saluran pernapasan dan menghindari infeksi misalnya dengan

melakukan vaksinasi (Putri, 2015).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan paparan dalam materi ini, dapat diketahui akibat dari

pneumokoniosis atau penyakit yang dapat disebabkan oleh inhalasi bahan

kimia terutama di lingkungan kerja, maka diperlukan upaya preventif sebagai

langkah pencegahan dari bahaya paparan bahan kimia yang dapat

mengakibatkan terjadinya pneumokoniosis di lingkungan kerja. Selain itu,

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) juga perlu diperhatikan untuk

mencegah inhalasi debu dan paparan bahan kimia lainnya kedalam paru-paru

pekerja.

20
DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwi, Susanto. Pneumokoniosis. Pengembangan Pendidikan Keprofesian


Berkelanjutan- IDI. J Indon Med Assoc; 2011 (61): 12.
Anggraini, dkk. 2015. Buku Ajar Kedokteran Okupasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah Semarang, Semarang.

Asrina Cahyana, dkk.2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Tambang Batubara PT. Indominco
Mandiri Kalimantan Timur Tahun 2012. Bagian Kesehatan dan
Keselamatan Kerja FKM. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Cohen RA. Is the increasing prevalence and severity of coal workers’


pneumoconiosis in the United States due to increasing silica exposure.
Occup Environ Med 2010: 649– 50.

Ganong, W. F., 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC ,
280- 81.

Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier.

Hiswara, 2015. Buku Pintar Proteksi dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit.
Jakarta Selatan.

Laney AS, Attfield MD. Coal workers’ pneumoconiosis and progressive massive
fibrosis are increasingly more prevalent among workers in small
underground coal mines in the United States. Occup Environ Med 2010; 67:
428–31.
Putri Rinawati, 2015. Coal Worker’s Pneumoconiosis. Fakultas Kedokteran.
Universitas Lampung. Lampung.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

Susanto AD, Pneumokoniosis , J Indon Med Assoc; 2011 (61): 503-1.


Uhud, dkk. 2008. Buku Pedoman pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Untuk Praktek dan Praktikum. Surabaya.
Wulandari, 2011. Identifikasi Bahaya, Penilaian, dan Pengendalian Risiko Area
Produksi Line 3 Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT. Coca
Cola Amatil Indonesia Central java. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai