Anda di halaman 1dari 2

Nama : Moh Sakirin

NIM : 16040284086

Kelas : Sejarah 2016 B

KEKUASAAN

Pada pembahasan sub bab sebelumnya tentang patronase/perlindungan dan korupsi


menggiring kita ke pembahasan tentang “Kekuasaan”. Yang akan di bahas dalam sub bab kali ini,
Kekuasaan merupakan istilah yang dapat dikenal dalam bahasaa awam, paling tidak di Barat,
sehingga tidak ada masalah dengan istilah ini. Namun pengertian kekuasaan yang tampaknya jelas
itu tidak selalu benar, hal ini dapat dilhat dari berbagai kajian tentang kekuasan di kebudayaan –
kebudayaan lainya, misalnya di Jawa, yang melihat kekuasaan sebagai bentuk energi kreatif yang
dapat di perebutkan oleh pihak –pihak yang bersaing.

Di anggap sebagai sebuah energi atau bukan, kekuasaan adalah suaatu konsep yang sering
dijelmakan secara kongkrit. Misalnya dalam buku ini dijelaskan bahwa mudah untuk
mengasumsikan bahwa seseorang, suatu keleompok atau lembaga dalam masyarakat tertentu
“memiliki” kekuasaan, sementara orang – orang lain tidak , misalnya “raja” “kelas penguasa” atau
“elite” politik. Seperti yang pernah ditekankan oleh ilmuwan politik berkebangsaan inggris,
Harold Lasswel, dengan gayanya yang tajam bahwa ‘Siapa yang mendapat paling banyak dialah
elite, lainya adalah massa’, sejarawan pun sering membuat asumsi seperti ini. Kemudian terdapat
tokoh yang bernama Robert Dahl yang mengatakan bawa “model elite” itu hanya dapat diuji jika
keputusan – keputusan dibuat berdasarkan masalah – masalah yang mengandung konflik
kepentingan antarakelompok – kelompok berbeda di masyarakat.

Dahl mendapatkan kritikan mengenai pendapatnya yang mengatakan bahwa Amerika


Serikat lebih bersifat “pluralis” ketimbang “elitis” bukan hanya pendapatnya saja yang menerima
kritik, pandangan nya yang “berdimensi tunggal” tentang kekuasan, yang memfokus pada
pengambilan keputusan dan mengabaikan cara – cara yang mungkin dapat ditempuh suatu
kelompok atau kelompok – kelompok tertentu untuk tidak memasukan isu – isu atau keluhan –
keluhan tertentu ke dalam agenda politik. Kemudian para pengkritik Dahl juga mendapatkan
kritik dari Steven Lukes mengenai pndangan mereka “dua dimensi” yang memasukkan aspek
manipulasi dan pengambilan keputusan, tapi mengabaikan banyak hal lain, termsuk “Kekuasaan
untuk mencegah rakyat melakukaan protes dengan cara membentuk persepi, pengetahuan, dan
pilihan sebagaimana ditetapkan oleh system yang ada. Kemudian Michel Mann meyatakan bahwa
“ masyarakat terdiri atas berbagai jaringan kekuasaan sosiopasial(ruang sosial) yang tumpang
tindih dan saling berpotongan satu sama lain”. Kemudian Michel Mann juga membedakan empat
sumber kekuasaan yakni (ideologi, ekonomi, militer, dan politik). Perhatian Mann terhadap
kekuaatan ideologi dan kepedulian Lukes terhadap persepsi dan pengetahuan menunjukan bahwa
seseorang yang menelaah kekuasaan harus menganalisis tidak hanya struktur politik melainkan
juga budaya politik.

Kemudian pada sub bab ini membahas istilah “budaya politik” yang menjadi wacana para
ilmuwan politik pada tahun 1950-an dan wacana para sejarawan pada tahun 1970-an dan dapat
di identifikaasikan sebagai pengetahuan, ide – ide, dan sentiment – sentiment politik yang beredar
pada suatu tempat dan waktu tertentu, hal itu juga mencakup istilah, “ sosialisasi politik” dengan
kata lain cara – cara pewarisan pengetahuan, ide – ide, dan sentiment – sentiment dari satu generasi
ke generasi selanjutnya, baik di sekolah, keluarga dan lingkungan. Pendekatan budaya lain
terhadap politik berikutnya menurut Jiirgen Habermas tentang transformasi apa yang ia sebut
'ruang publik' (Offentlichkeit) pada abad ke delapan belas. Habermas membahas invasi ruang
publik tradisional, terbatas pada elite kecil, oleh kaum borjuis, dengan kata lain, 'orang-orang
(secara pribadi) berkumpul bersama sebagai publik', yang mengembangkan institusi mereka
sendiri seperti di kedai kopi, teater dan persurat kabaran khususnya di kota-kota besar , tempat –
tempat tersebut menjadi arena perdebatan yang penuh pemikiran rasional dan kritis. Setelah jeda
waktu sekitar dua puluh tahun, konsep ruang publik memasuki wacana para sejarawan.

Anda mungkin juga menyukai