Anda di halaman 1dari 52

BAGIAN OBSTETRIK & GINEKOLOGI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

MIOMA UTERI+ KISTA COKLAT OVARIUM


BILATERAL+ ADENOMIOSIS

Disusun Oleh :
Adelia Nur Fitriana
N 111 17 099

Pembimbing Klinik :
dr. Abd. Faris, Sp.OG (K)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos dan
jaringan ikat uterus, dan didalam literatur dikenal juga dengan istilah fibromioma,
leiomioma atapun fibroid.1 Mioma uteri adalah tumor panggul yang paling umum
terjadi pada wanita.2 Secara umum mioma uteri dapat timbul secara bersamaan
dengan adenomyosis. Adenomyosis dapat ditemukan pada uterus wanita yang di
diagnosa mioma uteri setelah dilakukan pembedahan histerektomi, keadaan ini
terjadi pada 15-57% kasus.3
Adenomyosis adalah penetrasi jaringan endometrium kedalam miometrium.
Proses penetrasi dapat bersifat difus atau terlokalisasi membentuk nodular yang
fokal yang disertai dengan pseudokapsul. Adenomyosis sulit di diagnosis hanya
berdasarkan gejala klinis dan secara etiologi belum diketahui secara pasti. Sebagian
besar diagnosis adenomyosis berdasarkan hasil pemeriksan histopatologi yang
spesimennya diambil setelah dilakukan pembedahan histerektomi.4
Mioma uteri dapat menyebabkan gejala perdarahan abnormal, keluhan
dismenorea, pembesaran uterus, penekanan pelvis yang menyebabkan timbulnya
keluhan pada traktus urinarius dan gastrointestinal.3,5 Sekitar 2- 3% kasus mioma
uteri dapat berakhir pada keadaan infertil. Hal ini diduga akibat oklusi ostium tuba
dan gangguan kontraksi uterus yang menghambat pergerakan sperma ataupun
ovum.4 Adenomyosis memiliki persamaan secara klinis dengan mioma uteri, dapat
terjadi hipermenorea (50%), kadang-kadang timbul gejala dismenorea (30%).
Mioma uteri dan adenomyosis sering terjadi secara bersamaan dan gejala klins yang
mirip menyebabkan penyakit ini dapat menimbulkan masalah pada wanita sehingga
dapat meningkatkan biaya kesehatan dan berefek pada kualitas hidup wanita usia
reproduksi.3
Mioma uteri dapat menimbulkan masalah dalam kesehatan reproduksi dan
terapi yang efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai
etiologi mioma uteri itu sendiri. Mioma uteri jarang menyebabkan mortalitas,

2
namun morbiditas yang ditimbulkan oleh mioma uteri ini cukup tinggi. Mioma uteri
merupakan indikasi yang paling sering untuk pembedahan histerektomi di Amerika
Serikat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mioma Uteri
1. Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih
tepatnya otot rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma belum pernah
ditemukan sebelum terjadinya menarche, sedangkan setelah menopause
hanya kira-kira 10% mioma yang masih tumbuh
2. Epidemiologi
Berdasarkan Survey Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI)
2011-2012, angka kasus mioma uteri sebesar 20 per 1000 wanita dewasa.
Dalam 1 tahun, ada 49.598 wanita mengalami mioma uteri. bahwa angka
kejadian gangguan reproduksi di Negara berkembang mencapai 36% dari
total beban sakit yang diderita selama masa produktif. Diperkirakan
insiden mioma uteri sekitar 20%-35% dari seluruh wanita di dunia.
Di Indonesia pada tahun 2011 kasus mioma uteri di temukan sebesar
2,39 -11,7% pada semua pasien kebidanan yang dirawat. Data statistik
menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak pernah
hamil atau hamil hanya satu kali.
3. Etiologi
Penyebab mioma uteri belum diketahui secara pasti, diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma merupakan
sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah
sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Sel-
sel mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi
genetik, adalah beberapa hormon seperti estrogen, progesteron, dan human
growthhormon. . Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan
terjadinya proliferasi di uterus , sehingga menyebabkan perkembangan
yang berlebihan dari garis endometrium, sehingga terjadilah pertumbuhan
mioma.

4
 Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun,
ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
 Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang
relatif infertil,tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil
menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang
menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
 Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya wanita
berkulit hitam, angka kejadiaan mioma uteri tinggi. Terlepas dari
faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita dengan riwayat
keluarga ada yang menderita mioma.
 Fungsi ovarium : diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen
dengan pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah
menarke, berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi
setelah menopause.4
Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan
mioma:
a) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan
dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.Selama fase
sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen
di miometrium normal berkurang.Pada mioma reseptor estrogen dapat
ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor
2,8
tersebut tertekan selama kehamilan.
b) Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan.Progesteron merupakan

5
antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat
pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu: Mengaktifkan 17-Beta
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada
mioma.
4. Patofisiologi
Meskipun mioma cukup umum ditemukan, tidak begitu banyak
yang bergejala.Timbulnya gejala tergantung terutama pada kombinasi
ukuran, jumlah dan letak mioma.Secara umum, pertumbuhan mioma
merupakan akibat stimulasi estrogen, yang ada hingga menopause.Seiring
berjalannya waktu, mioma yang awalnya asimtomatik dapat tumbuh dan
menjadi bergejala. Sebaliknya, banyak mioma yang menyusut seiring
menopause dimana stimulasi estrogen menghilang dan banyak gejala yang
berkaitan dengan mioma hilang segera setelah menopause.
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori
genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada
kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada
permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa
ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau
testosteron.Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor
estrogen pada mioma lebih banyak didapati daripada miometrium
normal.Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput
otot yang matur.Mioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor
merupakan hasil dari penggandaan satu sel otot.Etiologi yang diajukan
termasuk di dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada
uterus, dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel
embrionik sisa yang persisten.
5. Klasifikasi
Mioma umumnya digolongkan berdasarkan lokasi dan ke arah mana
mereka tumbuh.Mioma memiliki pseudokapsul yang berasal dari sel otot
polos uterus yang terkompresi dan hanya memiliki beberapa pembuluh
darah dan pembuluh limfe. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah

6
jenis intramural (54%), subserosa (48%), submukosa (6,1%) dan jenis
intraligamenter (4,4%). Dikenal dua tempat asal mioma uteri yaitu serviks
uteri dan korpus uteri.Mioma pada serviks uteri hanya ditemukan
sebanyak 3 % dan pada korpus uteri ditemukan 97% kasus.1,3,4
Mioma intramural merupakan mioma yang paling banyak
ditemukan.Jenis mioma ini seluruhnya atau sebagian besar tumbuh di
antara lapisan uterus yang paling tebal dan paling tengah yaitu
miometrium.Mioma subserosa tumbuh keluar dari lapisan tipis uterus
yang paling luar yaitu serosa.Jenis mioma ini dapat bertangkai
(pedunculated) atau memiliki dasar lebar.Jenis mioma ini perupakan
kedua terbanyak ditemukan. Jenis mioma ketiga yaitu mioma submukosa
yang tumbuh dari dinding uterus paling dalam sehingga menonjol ke
dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasar lebar.Mioma
submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan
melalui saluran serviks disebut mioma geburt.1,3,4
Berdasarkan tempat tumbuh atau letaknya, mioma uteri dapat
diklasifikasikan menjadi :
1. Mioma uteri intramural
Mioma terdapat di korpus uteri diantara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan
terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding
rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk
yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang
terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan
menekan dan mendorong kandung kemih keatas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan berkemih. 1,3,5
2. Mioma uteri submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga
uterus.Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma.Jenis ini
sering memberikan keluhan gangguan perdarahan.1,3,5

7
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan
kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai
currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui
posisi tangkai tumor.3
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedunkulata.Mioma submukosa pedunkulata adalah jenis
mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar
dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan namamioma geburt atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan
infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan
sepsis karena proses di atas.1-3
Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan
keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Hal ini dapat
menyebabkan dismenore, namun ketika telah dikeluarkan dari serviks
dan menjadi nekrotik, akan memberikan gejala pelepasan darah yang
tidak regular dan dapat disalah artikan dengan kanker serviks.
Peningkatan jumlah perdarahan menstrual pada penderita mioma
dihubungkan dengan :5,6
- Peningkatan luas permukaan endometrium
- Produksi prostaglandin
Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan
sepsis karena perdarahan.5
3. Mioma uteri subserosa
Mioma terletak dibawah tunika serosa, tumbuh kerah luar dan
menonjol ke permukaann uterus. Mioma subserosa dapat tumbuh
diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma ligamenter
yang dapat menekan ligamenter dan arteri iliaka. Mioma jenis ini juga
dapat tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke omentum dan
kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wandering
dan parasite fibroid.1,3,7

8
4.

19
Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,
misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan
diri dari uterus sehingga disebut wondering/parasitic fibroid. Jarang
sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma

gn Lesions pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga
ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah

e Uterus maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan
ikat yang tersusun seperti kumparan (whorle like pattern) dengan
pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak
karena pertumbuhan sarang mioma. 1,3,
FIBROID
commonest benign tumor of the
o the commonest benign solid tumor
tologically, this tumor is composed
cle and fibrous connective tissue, so
ne leiomyoma, myoma or fibromyoma.

timated that at least


women at the age of
broid in their wombs.
st of them (50%) remain asymptomatic.
of symptomatic fibroid in hospital
bout 3 percent. A high incidence of 10
s in England. In colored races (black
cidence is even higher.
ore common in nulliparous (Fig. 19.2)
ing one child infertility (Table 19.1).
e is highest between 35–45 years. Fig. 19.1: arious types
r of uterine fib oids

IS
6. Tanda dan Gejalatransforming growth factor (TGF), stimulate the growth
till remains unclear. The prevailing of leiomyoma either directly or via estrogen.
Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 – 50% pasien.
hat, it arises from the neoplastic single A positive family history is often present.
Gejala yang
cell of the myometrium. The stimulus Growth disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran
astic transformation is not known.
danThe
jumlahItmioma. Gejala dan tanda
is predominantly yang paling sering adalah
an estrogen-dependent :
tumor.
mplicated: Estrogen and progesterone is incriminated as the
mal abnormality—In about 40 percent cause. Estrogen dependency is evidenced by:
ere is a varying type of chromosomal
Growth potentiality is limited during childbearing
particularly the chromosome six or seven 9
period.
ments, deletions). Somatic mutations in
cells may also be the cause for uncontrolled Increased growth during pregnancy.
a. Pendarahan uterus yang abnormal
Perdarahan uterus yang abnormal. Perdarahan uterus yang abnormal
merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting.
Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita
dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid
yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan atau metrorrhagia
sering terjadi pada penderita mioma uteri. Perdarahan abnormal ini
dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
b. Nyeri panggul
Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang disebabkan oleh
karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma
yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang
disebabkan mioma subserosum. Tumor yang besar dapat mengisi
rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan
saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian
punggung dan ekstremitas posterior.
c. Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap
organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan
berkemih, defekasi maupun dispareunia. Tumor yang besar juga dapat
menekan pembuluh darah vena pada pelvik sehingga menyebabkan
kongesti dan menimbulkan edema pada ekstremitas posterior
d. Disfungsi reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih
belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 – 40% wanita dengan mioma uteri
mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat
menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio
akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri dapat
menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya
diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk
kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi

10
reproduksi. Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada
keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana
terjadi atrofi karena kompresi massa tumor.
7. Diagnosa
 Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma
lainnya, faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan
bertambah panjang serta adanya riwayat perdarahan pervaginam
terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan perdarahan
kontak.
 Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin
uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan
kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit
2
untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.
 Pemeriksaan penunjang
1. Temuan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma.Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan
zat besi.Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang
pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan
antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan
mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan
balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin
ginjal
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat
dalam menetapkan adanya mioma uteri.Ultrasonografi
transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus
atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui

11
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas
menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan
irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.Adanya kalsifikasi
ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan
akustik.Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
1,3,4

3. Hiteroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri
submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai.Tumor tersebut
sekaligus dapat diangkat.2,3
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan
lokasimioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak
sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari
miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang
dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa.MRI
dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak
dapat disimpulkan. 1,3
8. Penatalaksanaan
Penanganan mioma geburt tergantung pada umur, status fertilitas,
paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani
yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta mioma yang diduga
menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi
atas penanganan konservatif dan operatif.2
a. Konservatif
Penanganan konservatif bila mioma berukuran kecil pada pra
dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif
sebagai berikut:1,2
 Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-
6 bulan
 Bila anemi (Hb < 8gr/dl) transfusi PRC

12
 Pemberian zat besi
 Pemberian agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRHa) yaitu
Leuprolid asetat 3,75 mg intramuscular pada hari 1-3 menstruasi
setiap minggu sebanyak 3 kali.
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak
memerlukan pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan
tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu,
tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu
diambil tindakan operasi.2
b. Terapi medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan
pertumbuhan mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat
ini.Terapi medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau
terapi pengganti sementara dari operatif.
Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa
adalah analog GnRH, progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen,
goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain (gossipol,
amantadine).1,2,5
(1) GnRH analog
Analog GnRH menyebabkan keadaan hipogonadotropik-
hipogonadal; jadi obat-obatan ini menghasilkan menopause
kimiawi yang temporer dan reversibel yang dapat mengecilkan
volume mioma hingga 50% dengan cara menurunkan konsentrasi
estrogen yang beredar dalam darah dengan hasil maksimal setelah
tiga bulan terapi. Akan tetapi setelah pemberian GnRHa
dihentikan, leiomioma yang lisut itu tumbuh kembali di bawah
pengaruh estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung
reseptor estrogen dalam konsentrasi yang tinggi.menekan
produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam
darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Setiap

13
mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap
pemberian GnRHa.
Mioma submukosa dan mioma intramural merupakan
mioma uteri yang paling rensponsif terhadap pemberian GnRH
ini. Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa dengan
GnRHa adalah:
 Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri.
 Mengurangi anemia akibat perdarahan.
 Mengurangi perdarahan pada saat operasi.
 Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat
pengangkatan mioma.
 Mempermudah tindakan histerektomi vaginal.
 Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan
histeroskopi. 1,2
(2) Progesteron
Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif
mioma uteri pada pemberian progesteron dosis besar. Dengan
pemberian medrogestone 25 mg perhari selama 21 hari dan tiga
pasien lagi diberi tablet 200 mg, dan pengobatan ini tidak
mempengaruhi ukuran mioma uteri, hal ini belum terbukti saat
ini. 1,2,4
(3) Danazol
Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari
testosteron.Dosis substansial didapatkan hanya menyebabkan
pengurangan volume uterus sebesar 20-25% dimana diperoleh
fakta bahwa danazol memiliki substansi androgenik.Tamaya, dkk
melaporkan reseptor androgen pada mioma terjadi peningkatan
aktifitas 5 -reduktase pada miometrium dibandingkan
endometrium normal.Mioma uteri memiliki aktifitas aromatase
yang tinggi dapat membentuk estrogen dari androgen. 2-4
(4) Goserelin

14
Merupakan suatu GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya
terhadap jaringan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah
berada cukup lama.Pada pemberian goserelin dapat mengurangi
setengah ukuran mioma uteri dan dapat menghilangkan gejala
menoragia dan nyeri pelvis.Pada wanita premenopause dengan
mioma uteri, pengobatan jangka panjang dapat menjadi alternatif
tindakan histerektomi terutama menjelang menopause.
Pemberian goserelin 400 mikrogram 3 kali sehari semprot hidung
sama efektifnya dengan pemberian 500 mikrogram sehari sekali
dengan cara pemberian injeksi subkutan. 2,3
(5) Antiprostaglandin
Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita
dengan menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau
mungkin efektif untuk menoragia yang diinduksi oleh mioma
uteri.
Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian
Naproxen 500-1000 mg setiap hari untuk terapi selama 5 hari
tidak memiliki efek pada menoragia yang diinduksi mioma,
meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi 35,7%
wanita dengan menoragia idiopatik. 1-3
c. Pengobatan Operatif
Pengobatan operatif meliputi miomektomi dan histerektomi.
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus.Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada
mioma submukosum pada myoma geburt dengan cara ekstirpasi lewat
vagina.Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah
dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Apabila miomektomi ini
dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan
akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. 1,3,7
Perlu diketahui bahwa 25-35% dari penderita tersebut akan
masih memerlukan histerektomi. Histerektomi adalah pengangkatan

15
uterus, yang umumnya merupakan tindakan terpilih. Histerektomi
dapat dilakukan perabdominam atau pervaginam. Yang akhir ini
jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa dan
tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolaps uteri akan
mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya
dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma
servisis uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila
terdapat kesukaran teknik dalam mengangkat uterus
keseluruhannya.1,3,7
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American
College of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American
Society of Reproductive Medicine (ASRM) adalah
1) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
2) Curiga adanya keganasan
3) Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4) Infertilitas karena ganggaun pada cavum uteri maupun karena
oklusi tuba
5) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
6) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7) Anemia akibat perdarahan
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi atau
histerektomi.
Jenis operasi yang dilakukan :
 Miomektomi, dilakukan pada penderita infertil atau yang masih
menginginkan anak. Pendekatan pada tumor dilakukan melalui
dinding uterus dimana mioma dibuka dengan diseksi tajam dan
tumpul, pseudokapsul dapat mengakibatkan diseksi sulit untuk
dilakukan. Mioma diangkat dengan bantuan obeng mioma,
rongga yang terbentuk akibat mioma kemudian dijahit dan
dinding uterus dilipat untuk membawa garis jahitan serendah
mungkin sehingga mengurangi resiko perlekatan dengan vesika

16
urinaria.Sejauh ini tampaknya aman, efektif, dan masih menjadi
pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila ada
kemungkinan terjadi karsinoma endometrium atau sarkoma
uterus, juga dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini
seharusnya dibatasi pada tumor dengan tangkai dan jelas yang
dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila miomektomi
menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan
dengan endometrium, kehamilan berikutnya harus dilahirkan
dengan sectio caesarea. 1,4
 Histerektomi, dilakukan pada pasien yang tidak menginginkan
anak lagi, terbagi atas 2 macam, yaitu:1,4
 Histerektomi abdominal, dilakukan bila tumor besar
terutama mioma intraligamenter, torsi dan akan dilakukan
ooforektomi
 Histerektomi vaginal, dilakukan bila tumor kecil (ukuran <
uterus gravid 12 minggu) atau disertai dengan kelainan di
vagina misalnya rektokel, sistokel atau enterokel.
 Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE),
adalah injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol
melalui kateter yang nantinya akan menghambat aliran darah ke
mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih
ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak
dilakukan insisi serta waktu penyembuhannyayang cepat.
Kriteria preoperasi menurut American College of Obstericians
Gynecologist (ACOG) adalah sebagai berikut :7
 Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
 Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas
tegas.
 Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab
kegagalan kehamilan.

17
Embolisasi arteri uterus kini semakin banyak digunakan untuk
menangani mioma dengan pendekatan yang kurang invasif.
Caranya adalah arteri uterina diinjeksi dengan butiran polyvinyl
alkohol melalui kateter yang nantinya akan menghambat aliran
darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Penting untuk
diketahui, setelah dilakukan UAE, kehamilan tidak
diperkenankan karena terjadi distorsi signifikan dari lapisan
uterus yang dapat menyebabkan implantasi abnormal dan
keguguran serta infertilitas dalam waktu yang lama.Nyeri setelah
UAE lebih ringan daripada setelah pembedahan
mioma.Keuntungannya adalah tidak ada insisi dan waktu
penyembuhannya yang cepat. Tujuannya adalah untuk
mengurangi suplai darah ke mioma sehingga menyebabkan
degenerasi dan nekrosis.1,5,7
9. Komplikasi
 Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan
ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan
50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru
ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah
diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri
cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma
dalam menopause.2
 Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis.Dengan
demikian terjadilah sindrom abdomen akut.Jika torsi terjadi
perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi.2
10. Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah
kuratif.Myomectomi yang extensif dan secara significant melibatkan

18
miometrium atau menembus endometrium, maka diharusken SC
(Sectio caesaria) pada persalinan berikutnya. Myoma yang kambuh
kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi pada 15-40% pasien
dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut.3
11. Mioma Uteri Dan Kehamilan
Pengaruh mioma uteri pada kehamilan adalah : 10,11
 Kemungkinan abortus lebih besar karena distorsi kavum uteri
khususnya pada mioma submukosum.
 Dapat menyebabkan kelainan letak janin
 Dapat menyebabkan plasenta previa dan plasenta akreta
 Dapat menyebabkan HPP akibat inersia maupun atonia uteri
akibat gangguan mekanik dalam fungsi miometrium
 Dapat menganggu proses involusi uterus dalam masa nifas
 Jika letaknya dekat pada serviks, dapat menghalangi kemajuan
persalinan dan menghalangi jalan lahir.
Pengaruh kehamilan pada mioma uteri adalah :
 Mioma membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena
pengaruh estrogen yang meningkat
 Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa
nifas seperti telah diutarakan sebelumnya, yang kadang-kadang
memerlukan pembedahan segera guna mengangkat sarang
mioma. Namun, pengangkatan sarang mioma demikian itu jarang
menyebabkan perdarahan.

19
B. Adenomiosis
a. Definisi
Adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam
lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan
gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non
neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan
hiperplastik.2,3,4
Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi.
Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada
sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi
penting sebab batas zona junctional seringkali ireguler, dan adenomiosis
harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis minimal. Ada dua
cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar
fokus adenomiotik bila zona junctional tidak tampak. Kedua, jarak zona
junctional dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan
miometrium.2,3
b. Etiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di
jaringan otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih
belum diketahui, setidak-tidaknya 4 teori sudah pernah diajukan. Teori yang
pertama dan yang paling populer adalah bahwa adenomiosis dapat
berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di miometrium. Teori
kedua menyebutkan bahwa adenomiosis dapat berkembang secara de novo
akibat sisa sisa dari jaringan mullerian pluripotent. Teori ketiga
menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena invaginasi dari lapisan
basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini, penulis
lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan
dijelaskan berikut ini.2,3
Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi
sebagai akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium.
Invaginasi dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan

20
akibat riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya
yang memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di
tempat sel-sel yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat
terjadi akibat adanya fenomena immun menyimpang pada jaringan yang
terlibat. Prosedur imunohistokimia menunjukkan bahwa peningkatan
jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang kemudian akan
meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada
akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction.
Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui,
meski demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon hona invrmon
mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal
endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal
ini ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa jaringan adenomyosis memiliki ekspresi
reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang
memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons terhadap
estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan perluasan
adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis juga mengandung
enzim aromatase dan enzim estrogen sulfat yang menghasilkan estrogen
untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi jaringan endometrium
abnormal dan stromanya ke miometrium.2,3,4
Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur
perubahan de novo sisa sisa jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis
ekstrauterine sebagaimana yang dijumpai di septum rektovaginal
mendukung teori tersebut. Terlebih lagi penelitian mengenai properti
biologik dan proliveratif dari endometrium ektopik dan eutopik, masing
m,asing memeiliki karakteristik tersendiri. Matsumoto dkk mengamati
bahwa endometrium ektopik yang dijumpai pada kasus adenomiosis tidak
memberikan respon terhadap perubahan hormonal sebagaimana
endomnterium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai,
bahkan sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya tengah

21
berada di fase sekretorik. Jika dibandingkan dengan endometrium eutopik,
jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya properti perubahan siklik yang
menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-2. Temuan ini
menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik di dalam
miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang berbeda
dibandingkan endometrium eutopik.Penelitian lain juga membandingkan
beragam faktor pertrumbuhan dan sitokin seperti misalnya angiogenik
growth factor, basic fibroblast growth factor, yang mana mungkin memiliki
kontribusi dalam patogenesis perdaraha uteris abnormal pada kasus
adenomiosis. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi yang berbeda beda
pada jaringan adenomiosis dibandingkan dengan jaringan endometrium
eutopik, dan hal ini berarti sejalan dengan teori bahwa adenomiosis
bukanlah berasal dari endopmetrium lapisan basala, melainkan dari jalur de
novo sendiri.3,4
Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi
endometrium dapat diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum
tulang. Temuan ini memiliki implikasi yang potensial dalam hal
menentukan etiologi endmetriosis dan adenomiosis. Studi imunohistokimia
terkini mengungkapkan adanya jarinagn endometrium tambahan di 4 wanita
yang menjalani prosedur transplantasi sumusm tulang dengan
ketidaksesuaian antigen HLA tunggal. Data ini menunjukkan stem sel yang
berasal dari sumsum tulang memiliki peranan daklam pertumbuhan jaringan
endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin saja stem cell tadi juga
dapat menginduksi pertumbuhan oendometrium di jarinagn otot
miometrium, dan menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal
kelenjar endmetrium dan stroma nya di miometrium.4
c. Klasifikasi
Sistem klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI
pada zona junctional uterus. Pertama, hiperplasia zona junctional
sederhana, ketebalan zona junctional ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita
berusia ≤35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan zona

22
junctional ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan
melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan ketiga,
adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal
rendah pada semua sekuens MRI.4
d. Patologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara
fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal
ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista
sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah
degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi
kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-
sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi
dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa
dilihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium
dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya
pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara embriologis
dari sisa duktus Muller.4
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium
pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti
aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan
basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan
lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium
akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses
regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan
sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem
mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma
pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar
endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi

23
invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif
dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis
endometrium ke dalam miometrium.4,5
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu
menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada
endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum
terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan
dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal
adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor
hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar
endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas
invasif dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma.4
Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan
hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi
reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi
dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak
imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen
dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.4
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan
endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih
belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses
invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada
wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal
ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan
pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma

24
endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat
reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi
konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen,
Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber
estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim
Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol
yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen
dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang
menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase
(P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada
jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara imunologis
dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4
e. Manifetasi Klinik
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam
sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang
dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala
yang khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea
dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan
ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia &
nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.6

Gejala Klinis Adenomiosis


1. Asimtomatis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG
transvaginal atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)
2. Perdarahan uterus abnormal
Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses
adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)

25
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita
dengan adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

f. Diagnosis
Gejala klinis seperti menorhagia dan dismenorhea serta pembesaran
uterus cukup mengarahkan ke dugaan adenomiosis, diagnosis akan lebih
pasti ditegakkan dengan analisis jaringan histologi. Karena adanya jaringan
endometrium yang proliferatif di dalam miometrium, maka akan dijumpai
gambaran hiperplasia sel otot polos, dan juga hipertrofi, yang menyebabkan
pembesaran uterus secara global yang dapat diamati secara makroskopis.
Adenomiosis juga dapat muncul dalam bentuk fokal sbagai sel otot polos
yang mengalami penumpukan nodular, yang lazim dikenal sebagai
adenomioma, dan dapat juga muncul dalam bentuk massa polpoid dalam
kavum endometrium.7
Secara mikroskopis, adenomiosis menunjukkan adanya jarinagn
endometrium di miometrium. Adenomiosis cenderung merupakan suatu
proses yang difus yang lebih sering terjadi terutama di sebelah posterior.,
dan sekali kali di bagian abterior, dan jarang dijumpai di di daerah sekitar
cervix. Suatu reaksi hiperplasia otot polos sering dijumpai di sekitar
jarinagn endometrium ektopik. Diagnosis yang seragam yang didasari
kriteria histologis belum dapat dibuat. Misalnya, adenomiosis dapat saja
didefinisikan sebagai keadaann ditemuinya kelenjar endomnetrium di
dalam miometrium dengan ukuran lebih besar dari 1 lapangan pandang kecil
dari lapisan basalis endometrium. Definisi lain menyebutkan bahwa
adenomiosis ukurannya harus lebih dari 25% dari ketebalan miometrium
(yang mana kriteria ini sering dipakai untuk wanit a postmenopause) atau
adanya perluasan kelenjar lebih dari 1 sampai 3 nm dibawah lapisan

26
endometrium. Belum ada suatu kriteria yang universal yang menyepakati
ketebalan minimal dari perluasan jaringan tersebut, namun kebanyakan
studi menyebutkan batasan 2,5 mm dibawah lapisan basalis. Karena
perbedaan dalam standar diagnosis, prevalensi adenomiosis jadi sangat
berbeda beda di tiap tiap penelitian.5,7
Diagnosis adenomiosis terutama ditegakkan berdasarkan hasil
temuan dari sediaan histopatologis yang diambil melalui histerektomi.
Meski begitu, beberapa studi menyatakan bahwa biopsi miometrium
sewaktu prosedur histeroskopi ataupun laparoskopi dapat juga digunakan
sebagai dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis secara histeroskopi
tidaklah memberikan suatu temuan yang patognomonik untuk adenomiosis,
meskipun sebagian bukti menyebutkan bahwa endometrium yang
bentuknya berlekuk lekuk disertai dengan gangguan vaskularisasi dan lesi
kistik yang berdarah berkaitan dengan keadaan ini. Histeroskopi memang
memungkinkan untuk melakukan proses biospi dengan menggunakan
visualisasi langsung untuk memperoleh diagnosis secara histologis.
McCauland melakukan prosedur histeroskopi pada 50 orang pasien yang
kavum uterinya normal. Dilakukan biopsi dinding posterior miometrium
denghan menggunakan suatu elektroda loop berukuran 5 mm untik
mengambil spesimen 1,5 hingga 3 cm panjangnya dengan kedalaman
penetrasi 6 mm. Analissi patologi terhadalop sampel jaringan tersebut
mendapati bahwa 66% dari spesimen yang diteliti ternyata mengalami
adenomiosis meskuiopun kavum uterinya normal dan juga mengeluhkan
menorhagia. Biopsi miometrium yang rutin selagi proses histeroskopi
operatif dapat berguna untuk merencanakan tatalaksana selanjutnya jika
diagnosis telah ditegakkan. Meski begitu diagosis mungkin saja terlewatkan
jia ternyata adenomiosisinya terlalu superfisial atau jarinagn adenomiosis
bukan berada di tempat dilakukannya biopsi. Popp dkk melakukan biopsi
miometriuim dengan menggunakan jaruma yang dapat memotong secara
otomartis pada laproskopi 34 pasien, Perdarahan seringkali dijumpai pada
tempat dilakukannya biospi dan serngkali membutuhkan injesi larutan

27
vasopresso untuk mengontrol perdarahan. Sensitivitas secara keseluruhan
masih rendah, berkisar antara 8 hingga 18,7%. Biopsi acak yang dilakuakn
pada utersu dengan karingan adenomiosis in vitro juga mengkonfiormasi
bahwa sensitivitas teknik ini m,asih rendah. Brosen dan Barker melakukan
8 percobaan pada 8 kasus biopsi jarum pada 27 kasus sediaan histerektomi.,
dimana angka sensitivitasnya adalah berkisar dari 2,3% hingga 56%.
Sensitivitas secara ukum bergantgung pada jumlah biopsi dan kedalaman
penetrasi jaringan adenomoisis. Masih dibutihkan lebih banyak poenelitian
dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi peranan biopsi
miometrium dalam mendiagnosis adenomiosis.5,7
Walaupun diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis,
beberapa teknik pencitraan telah terbukti berguna untuk membanmtu
menegakkan differensial diagnosis yaitu dengan menggunakan USG dan
MRI. Baik USG transvaginal dan transabdominal akan menunjukkan
jaringan adenomiosis sebagai suatu kantung kantung berukuran 1 hingga 7
mm berbentuk bulat dan anekoik, distirsi dan memiliki tektur miometrium
yang abnormal. nHAsl temuan USG yang paling mengarahkan ke diagnosis
adenomiosis adalah jika ditemukan miometrium heterogen dengan batas
yang tidak tegas. Temuan di MRI menunjukkan suatu uterus yang
membe3sar secara asimetris tanpa adanya leiomioma, penebalan zona
junctional ke lapisan otot hingga 40%. Zona junctyional adalah lapisan
terdalam dari lapisan miometrium tang tampak jelas pada mikroskop cahaya
namu tidakmemiliki karakteristik hoistologis tersendiri. Penebalan zona
junctional pada MRI adalah sebagai akibat proliferasi miosit lapisan bawah
yang tidak terkoordinasi yang dikenal sebagai keadaan ‘hiperplasia zona
junctional’. Hal ini tidaklah merefleksikan deteksi adanya kelenjar
endometrioum dan stromanya di otot, namun hal ini menekankan bahwa
teori yang menyatakan bahwa disrupsi zona junctional meningkatkan resiko
miometrium terhadap kejadian adenomiosis. Perubahan siklis akan
meningkatkan ketebalan zona junctional akibat perubahan hormon, dan oleh
sebab inilah MRI dapat digunakan untuk mendiagnosis pada wanita yang

28
sudah menopause, dimana kriteria yang digunakan adalah adanya 40%
reasio zona junctional di ketebalan dinding mimetrium, dan bhkan hanya
didasarkan pada ketebalam zona junctional nya saja.6
Bazot dkk membandingkan akurasi metode pencitraan untuk
mendiagnosis adenomiosis dan mengkorelasikannya dengan hasil temuan
histologisnya setelah dilakukan histerektomoi. Penelitian mereka
menyebutkan bahwa akurasi USG transabdominal masih rendah jika
dibandingkan dengan UISG transvaginal. Tingkat akurasi yang setara juga
ditemui oada perbandinagn akurasi USG transvaginal dengan MRI dimana
hasilnya serupa jika tidak dijumpai leiomioma. Jika dijumpai pula
leiomioma maka baik USG maupun MRI sama sama memiliki tingkat
akurasi yang rendah, meski demikian, MRI masih sedikit lebih unggul
dibandingkan USG dalam hal sensitrivitas dan spesivisitas. Secara umum
literatur menyebutkan bahwa USG transvaginal memiliki sensitivitas 53%
hingga 89% dan spesivisitasnya 50% hingga 99% dalam hal diagnosis
adenomiosis jika tidak disertai dengan leiomioma. Tapi angka sensititasnya
akan menurun sebesar 22% jika ternyata dijumpai pula leiomioma, terlebih
lagi jika ukuran miomanya lebih dari 300ml. Pada kasus kasus dimana
leiomioma dijumpai bersamaan dengan adenomiosis, MRI ternyata
memiliki senistivitas 67% dan spesivisitas 82% jika ada leiomioma, dan
angkanya meningkat menjadi sensitivitas 87% dan spesivisitas 10-0% jika
tidak disertai dengan leiomioma. Sebagai ringkasan, USG transvaginal
merupakan pilihan lini pertama yang cukup baik jika dilakukan oleh ahli
yang berpengalaman, sedangkan MRI memiliki keunggulan dalam hal jika
adenomiosisnya disertai debngan leiomima. Kombinasi dari kedua teknik
tersebut akan meningkatkan sensitivitas sebelum diagnosis operatif dibuat.6
g. Penanganan
Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi.
Sungguhpun begitu, tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana
meredakan gejala pada wanita dengan menggunakan terapi obat obatan
konservatif, ataukah memilih terapi pembedahan untuk mempertahankan

29
fungsi fertilitas, dan menjadi masalah juga bagaimana melakukan operasi
pada wanita yang memiliki penyulit yang menyebabkan dirinya jadi tidak
bisa menjalani operasi. Tidak ada terapi obat obatan yang dapat meredakan
gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi untuk bisa hamil. Terapi
pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal supresif seperti
penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi, dan
AKDR yang mensekresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis
GnRH ternyata mampu menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya.
Pilihan pilihan terapi ini, termasuk juga terapi pembedahan akan
didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ini.5
1. Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin
Meskipun belum ada studi acak ganda tersamar yang mencoba
mengevaluasi penggunaan pil kontrasepsi oral pada pasien dengan
adenomiosis dengan dismenorhea dan menorhagia, namun obat obatan
tersaebuit dapat sedikit mengurangi keluhan. Peggunaan progestin dosis
tinggi seperti misalnya pil oral norethindrone asetat jangka panjang atau
medroxyprogesteron depo belum pernah diteliti sebagai terapi
adenomiosis, namun begitu, peranan mereka sebagai terapi supresi
hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan adenomiosis.5
a. Levonergestrel AKDR
Sedian LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug
levonorgesterel per harinya dan merupkan terapi yang efektif dalam
penatalaksanaan adenomiosis. Penggunaan LNG AKDR berkaitan
dengan proses desidualisasi endometrium untuk mengurangi
perdarahan dan diperkirakan juga bekerja langsung pada deposit
jaringan adenomiosis dengan mendown regulasikan reseptor
estrogen. Hal ini pada kahirnya akan mengurangu ukuran
fokusjaringan adenomiosis, memperbaiki kontraktilitas uterus
sehingga dapat mengurangi jumlah kehilangan darah, mengurangi
gejala dismenorhea dengan menurunkan produksi prostaglandin
dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea. Penelitian

30
telah menunjukkan bahwa penggunaan LNG AKDR berakibat pada
perbaikan gejala menorhagia dan dismenorhea dan perubahan
radiologis pada uterus yang mengalami adenomiosis. Namun begitu,
tak satupun dari studi tersebut yang merupakan studi acak tersamar
ganda, dan pasien dalam studi tersebut tidak di follow up sampai
waktu dilepaskannya AKDR. Terapi dengan LNG AKDFR
mungkin cukup bermanfaat pada wanita yang menginginkan
memiliki keturunan pasca terapi.5
b. Danazol
Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-
nortestosterone yang memiliki efek seperti progestin, akan
menginduksi inhibisi langsung enzim enzim di ovarium yang
bertanggung jawab dalam hal produksi estrogen dan sekresi
kelenjkar pituitari gonadotrofin. Pengalaman dengan penggunaan
terapi sistemik pada pasien dengan adenomiosis masih sangat
terbatas. Hal ini mungkin dikarenakan profil efek samping obat,
yang meliputi penambahan berat badan, keram otot, pengecuilan
ukuran payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak penurunan kadar
HDL, peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood, depresi,
dan perubahan suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol,
reseptoir estrigen akan berkurang, dan menyebabkan pengecilan
ukuran uterus dan perbaikan gejala.5
Teknik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah
memungkinkan danazol untuk digunakan dengan lebih luas dan
lebih disukai dengan efek samping yang lebih minimal, yaitu dengan
mmeberikan sedaan suntikan i.v dan AKDR. Igarashi meneliti 14
wanita yang menggunakan AKDR yang mengandung Danazol 300-
400 mg. Pada wanita weanita tersebut, diagnosis adenomiosis
ditegakkan secara radiologis dengan mengguinakan trans vaginal
USG dan MRI, yang mana mereka semuamengaluhkan gejala
dismenoirhea, menorhagia maupun infertilitas. 13 orang wanita

31
tersebut menyatakan perbaikan dalam gejala dismenorhea
sedangkan 12 di antaranya menyatakan penurunan kejadian
prdarahan. Hanyha 2 pasien yang duikeluarkan dari penelitian.
Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada maskipun
kadarenya sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek
samping sistemik. Pengukuran uterus tidak dilakukan pada
penelitian ini. Setelah terapi AKDR danazol dihentika, 3 dari 4
wanita yang infertil tersebut jadi memiliki keturunan. Injeksi
danazol via cervix juga berhasil dicoba. Takebayashi dkk
menginjeksikan danazol 10 mg ke cervix 22 orang pasien per 2
minggu sekali selama 12 minggu. Pada studi tersebut dijumpai 60%
angtka perbaikan dalam gejala sepeerti perdarahan, nyeri,
dispareunia, dengan rata rata pengecilan ukuran uterus dari 334,6
cm2 menjadi 243,1 cm2. Tidak dijumpai efek samping dari
penyuntikan hormon secara lokal ini.5
c. Agonis GnRH
Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang
berada di kelenjar pituitari, dan berakibat pada terjadinya down
reguklasi aktivitas GnRH. Akibatnya adalah terjadinya keadaan
meniopause secara medis yang masih reversibel. Terapi ini tidak
efektif dalam bentuk sediaan opral, dan diberikan dalam bertuk
sediaan injeksi intramuskular maupun subkutan, dapat juga
diberikan sebagai nasal spray 2 kali sehari. Sediaan inibiasanya
digunakan hanya untuk periode singkat 3-6 bulan karena efek
samping yang mungkin timbul meliputi hot flashes dan penurunan
densitas mineral tulang. Kasus yang pertama kali dilaporkan
menggunakan sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis
adenomiosis secara biopsi terjaid pada tahuun 1991. Hasilnya
menunjukkan pengecilan ukuran uterus daro 440 cm2 menjadi 150
cm2, dan terjadi amenorhea, serta gejala dismenorhea yang mereda.
Meski demikian, saat nantinya terapi dihentikan, gejala akan

32
kembali muncuk dan ukuran uterus kembali menjadi 420 cm2.
Senada dengan hakl tersebit, banyak penelkitian yang nenyatakan
pengecilan ukuran uterus, amenorrhea serta berkurangnya rasa
dismenorhea dengan menggunakan sediaan ini selama 3-6 bulan.
Dalam penelitian lain malah dikatakan bahwa wanita yang telah
mengalami infertiltas akibat adenomiosis, setelah diterapi dengan
sediaan ini, dapat menjadi hamil 6 bulan kemudian.5
d. Aromatase Inhibitor
Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak
dijumpai pada implan jaringan endometriosis. Enzim ini
mengkonversi androgen menjadi estrogen. Dalam berbagai laporan
kasus dan studi penelitian, disebutkan bahwa pemberian aromatase
inhibitor telah digunakan sebagai terapi pada endometriosis berat.
Dan efeknya adalah rasa nyeri yang nmereda. Meski begitu, belum
ada penelitian yang menguji peranannya untuk kasus adenomiosis.5
2. Histerektomi
Histerektomi merupakan pilihan pengobnatan adeniomiosis yang
juga bernilai diagnostik. Histerektomi dari vagina lebih disukai
ketimbang histerektomi dari dinding abdomen, berkaitan dengan angka
kematian yang lebih rendah serta kemungkinan pulih yang lebih cepat.
Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif yang melibatkan 1246
histerektomi vaginal, 14 diangtaranya ternyata mengalami cidera
kandung kemih. Penleiti kemudian menyimpulkan bahwa alasan
melaksanakan operasi masihlah belum jelas., namumn kemungkinan hal
ini berkaitan dengan fakta bahwa sulit untuk mengidentifikasi septum
supravagina dan bidang vesicovagina serta vesicocervix. Prosedur
histerektomi laparoskopi memungkinkan untuk mendiseksi area operasi
tanpa menimbulkan cedera. Jika dibandingakn dengan prosedur
histerektomni dari vagina, maka angka kejadian cedera kandung kemih
justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian perlukaan
uterus justru meningkat. Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang

33
histerektomi vagianl karena rasa nyeri post op yang ditimbulkan sangat
lebih minimal.7
3. Ablasi Endometrium dan Reseksi
Ablasi endometrium telah lama digunakan sebagai terapi
menorrhagia, termasuk juga pada wanita dengan endometriosis yang
telah memiliki anak dan tidak ingin punya anak lagi. Tindakan ini
dilakukan dengan menggunakan laser garnet yttrium, reseksi rollerball,
ataupun teknik ablasi global.7
Salah satu penelitian terbesar yang mencoba mengevaluasi
keberhasilan teknik reseksi rollerball pada adenomioisis menunjukkan
bahwa kedalaman fokus jaringan sangat berkaitan dengan keberhasilan
reseksi. Mc Causland melakukan teknik reseksi roleerball dengan
kedalaman jaringan mencapai 2-3 mm ke miometrium. Teknik ablasi
yang lebih dalam lagi biasanya tidak pernah dilakukan karena bahaya
perdarahan yang lebih besar akibat robeknya arteri yang berada di
kedalaman 5 mm miometrium. Pada studi tersebut, untuk wanita yag
kedalaman adeniomiosisnya kurang dari 2 mm, tindakan ini berhasil dan
mereka meyatakan siklus haid yang kembali normal. Sementara untuk
pasien yang kedalama adenomiosisnya lebih dari 2 mm, hasilnya tidak
terlalu baik dan masih membutuhkan histerektomi juga. Pada
adenomiosis yang lebih dalam, kelenjar endometrium ektopik yang
berada di dalam, dapat tetap bertahan meskipun sekitarnya terluka, dan
bahkan dapat berproliferasi pada area dimana dilakukannya ablasi,
sehingga mencetuskan perdarahan yang masif.7
Ablasi endometrium global juga ternyata telah terbukti efektif pada
wanita untuk megobati perdarahan haid yang terlalu banyak akibat
adenomiosis. Namun pada suatu studi retrospectif yang melibatkan
wanita yang didiagnosis adenomosis secara USG dan menjalani thermal
ballon serta ablasi radiofrekuensi, ternyata terjadi peningkatan resiko
kegagalan sebesar 15 kali lipat dan tetap membutuhkan histerektomi
atau ablasi ulangan.7

34
4. Embolisasi Arteri Uterina
Efektivitas dari tejknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hala
tata laksana adenomiosis simptomatik masihlah kontroversil. Studi
jangka panjang meniunjukkan angkan keberhasilan yang beragam, yang
mungkin dikarenakan olegh beragamnya agen pengemboli yang
digunakan serta dipengaruhi pula mioma uteri yang hadir bersamaan.
Mioma cenderung memiliki pembuluh darah yang besar besar yang
tentunya memerlukan embolisasi yang lebih besar dengan agen
pengemboli yang lebih besar pula, jika dibandinagkna dengan kasus
adenomiosis saja. Oleh sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan
teknik ini yang cukup tinggi pada pasien dengan penyerta mioma uteri.
Namun untuk diagnbosis adenomiosis saja tanpa ada penyertt, tingkat
keberhasilannya cukup tinggi. Kim, dkk mengadakan suatu penelitian
retrospektif yang terbesar jumlah sampelnya melipuiti 54 wanita yang
didiagnosis dengan adenoimiosis secara MRI tanpa ada mioma uteri dan
semuanaya menjalani terapai EAU. 57 persen sampel menyebutkan
berkurangnya jumlah darahj yang keluar serta rasa nyeri yang berkurang
setelah 4,90 tahun kemusdian. Pada 4 orang pasien, angka kegagalan
cukup tinggi dan 19 pasien mengalami relaps dalam 5 tahun berikutnya
sehingga tetap memerlukan histerektomi juga. Angka rata rata relaps
adalah 17,3 tahun. Secara umum tingkat kepuasan pasien dengan teknik
ini adalah 70 persen.7
5. Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma
Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi
fokus jaringan dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti
miomectomy, tindakan ini agak lebih sulit dalam hal menentukan
luasnya lesi, mengekspos lesi, menentukan batas serta kedalama invasi
jaringan. Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, mungkin saja
dalam prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih tertinggal dan
dengan begitu, sebagian jaringan mungkin tidak akan tuntas dan dapat
kambuh kembali. Oleh sebab itu tingkat keberhasilan teknik ini masih

35
dibawah 50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH
pada teknik ini selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan
angka kekambuhan sebanyak 20% pada 2 tahun berikutnya.7
Pada wanita yang ingin bisa hamil, eksisi dapat dilakukan jika
miometrium tetap dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang
ada tidak mempengaruhi permukaan tempat implantasi. Angka kejadian
abortus spontan jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka dibandingkan
dengan masyafrakat umum. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh
pembentukan jaringan parut yang akan mempengaruhi kemampuan
uterus untuk mempertahankan isinya, Meski begitu, suatu studi
memperlihatkan bahwa terapi konservatiof dengan eksisi adenomioma
dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada 70%
kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan
dismenorhea.7
6. Elektrokoagulasi Miometrium
Teknik elektrokoagulasi miometrium dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum unipolar atau bipolar dengan memasukkan jarum ke
ke miometrium yang terkena pada jaringan adenomiosis. Prosedur
inisedikit kurang akurat dibandingkan dengan eksisi bedah karena
konduksi elektrik pada jaringan abnormal tidak utuh, sehingga jaringan
itu sendiri nantinya sedikit lebih sulit diablasi. Prosedur ini tidak
direkomendasikan pada wanita yang masih ingin hamil karena dapat
menurunkan kekuatan otot miometrium karena digantikan dengan fokus
adenomiosis dengan jaringanparut, dan oleh karena itu dapat
meningkatkan resiko ruptur uteri. Prosedur ini dapat dilakukan
bersamaan dengan ablasi endometrium atau reseksi atau bersamaan
dengan terapi hormonal. Review dari literatur mengungkapkan bahwa
angka perbaikan gejala dari suatu penelitian mencapai 55% hingga 70%
dan hasil yang lebih baik lagi dijumpai pada pasien yang menjalani
reseksi endomterial secara bersamaan dengan prosedur ini.7
7. Reduksi Miometrium

36
Reduksi miometrium untuk menatalaksana adenomiosis yang difus
telah dilakukan pada berbagai jumlah kasus. Jaringan yang cukup luas
dari miometrium dibuang dengan teknik laparoskopi atau dengan
laparotomi. Insisi klasik dapat dilakukan dengan diseksi dari uterus
secara longitudinal dengan potongan midline, denga reseksi di bagian
anterior dan posteruior dari miometrium. Sauatu pendekatan baru adalah
dengan menggunakan potongan transversal berbentuk huruf H yang
memungkinakna pembuangan jarinagnd alam jumlah yang cukuop besar
dengan area operasi yang luas. Dalam suatu studi, dibandingkan bentuk
potongan insisi H dengan insisi klasik midline, dimana perbaikan gejala
ternyata lebih jelas terutama pada insisi H, dan 2 wnaita dengan insisi
tersebut dapat hamil secara spontan. Sementara untuk insisi klasik
beklum ditemukan keberhasilan kehamilan. Secara umum, reduksi
miometrium berakibat pada kemungkinan hamil yang lebih rendah
karena berkurangnya kapasitas uterus dan mengganggu fertilitas. Tanpa
memperhitungkan jenis tipe insisinya, demarensi jaringana denomiosis
memang tetap sulit untuk dilakukan sehingga sebagian jaringan dapat
tertinggal dan menyebabkan kekambuhan.7

8. Pembedahan Ultrasound dengan Guide MRI


Teknik pembedahan ultrasound dengan guide MRI adalah suatu
teknik noninvasif dengan balsai jarinagn lunak ternyata berhasil
mengurangi gejala dan meringankan penyakit adenomiosis ini. Pada
tahun 2004, prosedur ini telah disetujui oleh US Food and Drugs
Administration dalam hal pengobatan mioma. Ultrasound yang berurutan
sengaja difokuskan pada jaringan untuk melokalisasi jaringan yg lebih
hangat, menyebabkan terjadinya koagulasi thermal dan nekrosis pada
area yang difokuskan tersebut. Pembedahan ultraosund dengan
menggunakan fokus tinggi dapat dilakukan sendirian, meskipun begitu,
ketidakakuratan mengidentifiksi daerah lesi berakibat pada hasil yang
sanagt beragam dan tentunya agak sedikit membahayakan kedaan umum

37
pasien karena gelombang ultrasound akan menyebar secara difus.
Pembedahan ultrasound dengan guide MRI cukup membantuk untuk
mengatasi permasalahan ini karena posisi anatomis yang benar benar
detail dapat tergambar dengan MRI resolusi tinggi. Prosedur ini telah
berhasuil dilakukan pada kasus mioma uteri dengan angka perbaikan
gejala klinis mencapai 75% pada 108 pasien. Review dari berbagai
literatur mengungkapkan angka komplikasi yang kecil pada populasi
dengan angka sebesar 5% resiko luka bakar, 0,9% resiko mengalami
mual muntah pasca operasi sehingga membutuhkan rawat inap, dan
dilaporkan kasus kelumpuhan nervus sciaticus akibat absorpsi energi
oleh tulang dan berimbas pada saraf. Hanya ada 1 laporan kasus terjadi
luka bakar berat yang membutuihkan rawat inap. Prosedur non invasif
ini mulai banyak digunakan sebgaia alternatif terapi bagi pasien dengan
adenomiosis. Terapi jaringan adenomiosis yang luas mungkin sedikit
lebih sulit dibandingkan dengan jaringan yang lebih kecil, dengan
pengurangan resiko perdarahan, diikuti dengan kehamilan tanpa
komplikasi dan persalinan.7

h. Komplikasi
 Berlakunya obstruksi pada saluran gastroinstestinal, uterus dan tuba
falopi.
 Menyebabkan keganasan tahap yang ringan.
 Lokasi bertumbuhnya endometriosis adalah di ovary (63%), bagian lain
adalah vagina, tuba falopi, mesosalpinx, dinding pelvic, kolon dan
parametrium.
 Obstruksi ginjal dan penurunan fungsi ginjal karena endometriosis dekat
kolon atau ureter.
 Torsi ovarium atau rupture ovarium hingga terjadi peritonitis karena
endometrioma.
 Catamenial seizure atau pneumothoraks karena eksisi endometriosis.6

38
i. Prognosis
Endometriosis sulit disembuhkan kecuali pada perempuan
menopause. Setelah diberikan penanganan bedah konservatif, angka
kesembuhan 10-20% per tahun. Endometriosis sangat jarang menjadi
ganas.6
Pada pasien yang mengalami pembedahan definitive, 3% akan
mengalami endometriosis kembali. Sedangkan pasien yang mengalami
pembedahan konservatif 10% akan menderita kembali pada 3 tahun pertama
dan 35% pada 5 tahun pertama. Pemeriksaan CA125 secara serial mungkin
berguna untuk memperkirakan kemungkinan rekurensi setelah terapi.6

C. Kista Coklat Ovarium (Ovarian Endometrial Cysts / Endometrioma)


1. Definisi
Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari
korteks ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan
jaringan endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan
multilokus, dan bisa tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah
dan debris ke dalam rongga kista.2

Gambar 1. Ovarian Endometrial Cysts


2. Patologi
Dimanapun lokasinya, endometrium ektopik, yang dikelilingi stroma,
mengadakan implantasi dan membentuk kista kecil, yang berespon terhadap
sekresi estrogen dan progesterone secara siklik, sama seperti yang terjadi di
dalam endometrium uteri. Selama menstruasi, terjadi perdarahan di dalam

39
kista. Darah, jaringan endometrium dan cairan jaringan terperangkap di
dalam kista tersebut. Pada siklus berikutnya, cairan jaringan dan plasma
darah diabsorpsi, sehingga meninggalkan darah kental berwarna coklat.
Ukuran maksimal kista tergantung lokasinya.1,2
Kista kecil mungkin tetap kecil atau diserang makrofag dan menjadi
luka fibrotic kecil. Kista cenderung lebih besar dari pada kista lainnya, tetapi
biasanya tidak lebih besar daripada jeruk berukuran sedang. Ketika kista
tumbuh, tekanan internal mungkin merusak dinding endometrium yang
aktif, sehingga kista tida berfungsi lagi.2

40
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
Nama : Ny. R Nama Suami : Tn.
Umur : 35 tahun Umur : tahun
Alamat : Jl. Gawalise Alamat :
Pekerjaan : Honorer Pekerjaan :
Agama : Islam Agama :
Pendidikan : S1 Pendidikan
ANAMNESIS
G0P1 A2 Menarche : 14 tahun
HPHT :-- - Perkawinan : 9 tahun
TP :-
Keluhan Utama : nyeri perut tengah bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan berusia 35 th MRS dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak
kurang lebih 4 tahun terakhir nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah hebar
selama fase menstruasi sehingga menggangu aktivitas. Saat menstruasi, darah
menstruasi pada hari 1-4 keluar sangat banyak (volume ±250cc) disertai gumpalan
– gumpalan darah sebesar biji jagung, dan kemudian darah keluar sedikit demi
sedikit dan dapat mencapai lebih dari 7 hari. Keluhan lainnya, demam (-), pusing
(+), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), sesak (-), batuk (-), pasien mengeluhkan
bahwa pada perut bagian bawah tengah teraba lebih keras. BAB biasa dan BAK
normal. Pasien post partum preterm sejak bulan juli yang lalu dan dicurigai masih
tersisa plasenta di uterus.

41
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Pasien sebelumnya didiagnosis mioma uteri pada tahun 2015. Riwayat perdarahan
diluar siklus menstruasi disangkal. Riwayat menggunakan alat kontrasepsi
disangkal.
Riwayat Menstruasi:
Menarche usia 14 tahun. Siklus haid biasanya 25 hari dan lamanya haid 10 hari dan
menghabiskan hingga 7-10 pembalut sehari. Riwayat nyeri berlebihan saat
menstruasi (+).
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Menurut pasien di keluarga pasien ada yang memiliki keluhan yang sama yaitu
nenek pasien. Riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, dan
asma disangkal.
Riwayat Alergi :
Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:
NNo Hamil Tahun Umur Jenis Hidup
JK Penolong
. ke Persalinan Kehamilan Persalinan / Mati
1. I 2011 L Aterm SC Dokter Hidup
2. II 2018 L Preterm Normal Bidan Mati
3. III 2019 L Preterm Normal Bidan Mati

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,6 °C
 Kepala – Leher : anemis (-/-), ikterus (-/-), pembesaran kelenjar (-)
 Thorax : Paru dan jantung dalam batas normal
 Abdomen :

42
 Inspeksi :Tampak perut datar, tidak tampak benjolan, striae (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)
 Palpasi : Teraba massa pada regio suprapubic, konsistensi padat, tidak
berbenjol, disertai nyeri tekan (+) pada regio suprapubic.
 Genitalia : tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam (VT) : Tidak dilakukan
 Ekstremitas : edema -/-, akral dingin -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin : 9.1 g/dl
Leukosit : 9.1x103/µl
Hematokrit : 30.8%
Trombosit : 427x103/µl
HbSAg : Non reaktif
Anti HCV : Non reaktif
BT : 3’00”
CT : 8’00”

RESUME
Pasien perempuan berusia 35 th MRS dengan keluhan keluar darah dari
jalan lahir sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut bagian
bawah sejak kurang lebih 4 tahun terakhir dan memberat sejak 4 hari SMRS, nyeri
dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah hebar selama fase menstruasi sehingga
menggangu aktivitas. Saat menstruasi, darah menstruasi pada hari 1-3 keluar
sangat banyak (volume ±250cc) disertai gumpalan – gumpalan darah sebesar biji
jagung, dan kemudian darah keluar sedikit demi sedikit dan dapat mencapai lebih
dari 7 hari. Pasien post partum preterm sejak bulan juli yang lalu dan dicurigai
masih tersisa plasenta di uterus. Pasien di diagnosis mioma uteri sejak tahun 2015.
Riwayat Menstruasi menarche usia 14 tahun. Siklus haid biasanya 25 hari dan
lamanya haid 10 hari dan menghabiskan hingga 7 pembalut sehari. Riwayat nyeri
berlebihan saat menstruasi (+).

43
Riwayat perdarahan diluar siklus menstruasi disangkal. Riwayat menggunakan alat
kontrasepsi disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 120/80
mmHg, nadi : 88 kali/menit, respirasi : 20 kali/menit, suhu : 36,6 °C , pada
pemeriksaan abdomen didapatkan teraba seperti massa pada regio suprapubic,
konsistensi padat, tidak berbenjol, disertai nyeri tekan (+) pada regio suprapubic.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb : 9.1 g/dl, Wbc : 9.1x103/µl, Hct:
30.8%

DIAGNOSIS
Mioma Uteri + Res Plasenta

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 1gr/12jam/IV 1 jam sebelum operasi
Rencana Operasi Tanggal 11/09/2019

Operatif
Pada pukul 08.45 WITA dilakukan operasi dengan tehnik pfanensteel pada pasien
ini.
 Diagnosis pre-operatif: Adenomiosis + Rest plasenta
 Diagnosis post-operatif: Mioma uteri intramural + kista coklat bilateral +
Adenomiosis
 Macam operasi: Miomektomi + Ooforektomi parsial bilateral + eksisi
adenomiosis
 Temuan operasi:
o Dilakukan eksplorasi massa di uterus (mioma uteri), tampak massa
berwarna merah muda dengan ukuran  5x10 cm di fundus uteri,
tidak ada perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Teraba

44
adenomiosis pada dinding posterior uterus, lalu dilakukan tindakan
eksisi adenomiosis/ adenomiomektomi.
o Tampak kista coklat pada ovarium dextra, dimana kista berukuran 3
x 5 x 2 cm, yang ketika ditusukkan, keluar cairan berwarna
kecoklatan
o Tampak kista coklat pada ovarium sinistra, dimana kista berukuran
4 x 5 x 2 cm, yang ketika ditusukkan, keluar cairan berwarna
kecoklatan
Dari temuan tersebut maka diputuskan untuk melakukan tindakan
Miomektomi + Ooferektomi bilateral + Eksisi adenomiosis.

Dokumentasi Intra Operatif

45
46
47
PROGNOSIS
Dubia ad Bonam

48
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada awalnya, pasien ini didiagnosa mioma uteri dan rest plasenta, melalui
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
didapatkan keluar darah dari jalan lahir sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak kurang lebih 4 tahun terakhir nyeri
dirasakan hilang timbul, nyeri bertambah hebar selama fase menstruasi sehingga
menggangu aktivitas. Saat menstruasi, darah menstruasi pada hari 1-4 keluar sangat
banyak (volume ±250cc) disertai gumpalan – gumpalan darah sebesar biji jagung,
dan kemudian darah keluar sedikit demi sedikit dan dapat mencapai lebih dari 7
hari. Keluhan lainnya, demam (-), pusing (+), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-),
sesak (-), batuk (-), pasien mengeluhkan bahwa pada perut bagian bawah tengah
teraba lebih keras. BAB biasa dan BAK normal. Pasien post partum preterm sejak
bulan juli yang lalu dan dicurigai masih tersisa plasenta di uterus.
Pasien di diagnosis mioma uteri sejak tahun 2015. Riwayat Menstruasi
menarche usia 14 tahun. Siklus haid biasanya 25 hari dan lamanya haid 10 hari dan
menghabiskan hingga 7 pembalut sehari. Riwayat nyeri berlebihan saat menstruasi
(+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 120/80
mmHg, nadi : 88 kali/menit, respirasi : 20 kali/menit, suhu : 36,6 °C , pada
pemeriksaan abdomen didapatkan teraba seperti massa pada regio suprapubic,
konsistensi padat, tidak berbenjol, disertai nyeri tekan (+) pada regio suprapubic.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb : 9.1 g/dl, Wbc : 9.1x103/µl, Hct:
30.8%, kemudian pasien di putuskan untuk dilakukan operasi.
Ketika dilakukan operasi ditemukan massa di fundus uteri kemudian di
putuskan untuk dilakukan insisi dari massa tersebut dan identifikasi dan didapatkan
mioma uteri intramural, kemudian dilakukan eksplorasi di bagian posterior dari
uterus dan didapatkan adenomiosis dan dilakukan eksisi adenomiosis setelah itu
dilakukan eksplorasi di ovarium kiri didapatkan tampak kista coklat pada ovarium
sinistra, dimana kista berukuran 4 x 5 x 2 cm, yang ketika ditusukkan, keluar cairan

49
berwarna kecoklatan. Kemudian dilakukan eksplorasi di ovarium kanan ditemukan
tampak kista cokelat ovarium sinistra dengan Tampak kista coklat pada ovarium
dextra, dimana kista berukuran 3 x 5 x 2 cm, yang ketika ditusukkan, keluar cairan
berwarna kecoklatan. Sehingga ditegakan diagnosis yaitu mioma uteri +
adenomiosis + kista cokelat bilateral.
Terapi pembedahan dilakukan dengan indikasi yaitu ukuran tumor lebih
besar daripada ukuran uterus pada kehamilan 12-14 minggu, pertumbuhan tumor
cepat, mioma subserosa bertangkai dan torsi, bila dapat menjadi penyulit pada
kehamilan selanjutnya, hipermenorea pada mioma submukosa dan penekanan pada
organ lainnya. Pada pasien diputuskan untuk dilakukan miomektomi pasien masih
menginginkan anak lagi. Pasien ini juga dilakukan eksisi adenomiosis, eksisi
adenomiois dapat dilakukan jika lokasi fokus jaringan dapat ditentukan dengan
pasti. Tindakan ini agak lebih sulit dalam hal menentukan luasnya lesi, mengekspos
lesi, menentukan batas serta kedalaman invasi jaringan. Pada wanita yang ingin bisa
hamil, eksisi dapat dilakukan jika miometrium tetap dipertahankan dan
pembentukan jaringan parut yang ada tidak mempengaruhi permukaan tempat
implantasi.
Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan
tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma
uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormone
pertumbuhan dan Human Placental Lactogen. Selain itu, sangat jarang ditemukan
sebelum menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan kadang
mengecil setelah menopause.3,4
Mioma uteri yang disertai adenomyosis terjadi lebih banyak pada wanita
yang pernah melahirkan. Pertama, kehamilan dapat memfasilitasi terbentuknya
fokus-fokus adenomyotic kedalam miometrium akibat masuknya trofoblast secara
invasif pada peregangan serat-serat myometrial. Kedua, kemungkinan kejadian
iatrogenik adenomyosis akibat proses operasi cesar saat melahirkan. Ketiga,
pengaruh hormonal saat kehamilan berperan penting dalam perkembangan dari
endomterium ektopik. Pada pasien pernah menjalani operasi sesar pada tahun 2011
yang memungkinkan terjadinya mioma uteri dan adenomiosis.

50
Adenomiosis adalah suatu penyakit yang biasanya menyerang wanita di
usia reproduksi. Adenomiosis terjadi ketika suatu jaringan normal dari lapisan
uterus yaitu endometrium ada pada lapisan miometrium. Ovarian endometrioma
diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah penimbunan debris
menstruasi dari perdarahan jaringan endometriosis. Kista endometrium bisa besar
(>3cm) dan multilokus, dan bisa tampak seperti kista coklat karena penimbunan
darah dan debris ke dalam rongga kista.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Luthan D, Adenin I, Halim B. Ilmu kandungan. Edisi ketiga. Pt. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2011.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani W.I, Setiowulan W. Ilmu Kandungan. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta: 2009.
3. Schorge J.O, Schaffer J.I, Halvorson L.M, Hoffman B.L. Begin General
Gynecology. Williams Gynecology. 23rd ed. McGraw Hill. USA: 2010.
4. Gibbs, Ronald S, Karlan, Beth Y, Haney, Arthur F, Nygaard, Ingrid E.
Endometriosis. Danforth’s Obstetrics and Gynecology. 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. 2008.
5. Collier J, Longmore M, Turmezei T, Mafi A.R. Endometriosis. Gynaecology.
Oxford Handbook of Clinical Specialties. 8th ed.
6. Callahan T, Caughey A. Endometriosis and adenomyosis. Blueprints Obstetrics
and Gynaecology. 5th ed. Lippincott Williams & wilkins. USA: 2008.
7. American Society. Endometriosis a guide for patienthttp://www.asrm.org/Patie
nts/patientbooklets/endometriosis.pdf
8. NHS Evidence.Annual Evidence Update on Endometriosis-
Epidemiology andaetiology.http://www.library.nhs.uk/womenshealth/ViewRes
ource.aspx?resID=258981&tabID=290&catID=11472. 2009.
9. Oepomo TD.2009. Concentration of TNFα in the peritoneal fluid and serum of
endometrioticpatients. http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf

52

Anda mungkin juga menyukai