Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup
terutama di kota-kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit
degeneratif seperti Diabetes Melitus. Diabetes Melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (American
Diabetes Association (ADA), 2010).
Menurut data WHO (World Health Organization), Indonesia
menempati urutan ke-4 terbesar jumlah penderita Diabetes Melitus di dunia
setelah India, Cina, dan Amerika. Pada tahun 2000, terdapat sekitar 5,6 juta
penduduk Indonesia yang mengidap Penyakit Diabetes. Jumlah ini terus
meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tahun pertambahannya sekitar 30%.
Pada tahun 2030 diperkirakan Diabetes Melitus menempati urutan ke-7
penyebab kematian dunia. Sedangkan untuk di Indonesia diperkirakan pada
tahun 2030 akan memiliki penyandang Diabetes Melitus (diabetisi) sebanyak
21,3 juta jiwa (Kemenkes, 2009).
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia yang dilakukan
oleh pusat-pusat diabetes, sekitar tahun 1980-an prevalensi Diabetes Melitus
pada penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 1,5-2,3% dengan prevalensi di
daerah rural atau pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan (Kemenkes
RI, 2014). Penelitian terakhir yang dilakukang oleh Litbang Depkes (2008)
menunjukkan bahwa prevalensi nasional di Indonesia untuk Diabetes Melitus
5,7%. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9%. Jadi
Indonesia berada diantaranya (Suyono dalam Soegondo, 2013).

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka diperlukan pengetahuan
yang lebih, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut
“Karakteristik Penderita diabetes meilitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Merdeka
Kota Palembang Januari – Agustus 2019”.

1.3 Tujuan
Tujuan pelaksanaan penyuluhan di dalam puskesmas ini adalah adalah :
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita diabetes meilitus di wilayah
kerja Puskesmas Merdeka kota Palembang Januari– Agustus 2019
2. Meningkatkan pengetahuan penderita diabetes meilitus wilayah kerja
Puskesmas Merdeka tentang bahaya dan komplikasi diabetes meilitus
Melakukan penyuluhan sebagai bentuk pencegahan dan pendeteksian
gejala diabetes meilitus

1.4 Manfaat
1. Bagi Dinas Kesehatan, hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran karakteristik penderita diabetes meilitus di Puskesmas
merdeka kota Palembang
2. Bagi Puskesmas, hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan mengenai penyakit diabetes meilitus dan sebagai media
promosi kesehatan
3. Bagi Tenaga Kesehatan, hasil laporan ini diharapkan dapat
memberikan informasi secara lengkap mengenai pencegahan,
pendeteksian dan penatalaksanaan penderita diabetes meilitus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Diabetes Melitus

2
A. Definisi
Diabetes Melitus memiliki banyak definisi menurut para ahli,
diantaranya:
- Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh
secara klinis, maka Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerotik, penyakit vaskular
mikroangiopati, dan neuropati (Price dan Wilson, 2012).
- Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
- Menurut kriteria PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) tahun 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika
memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dl dan pada tes sewaktu
>200 mg/dl. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi dimana
akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2
jam.
- Sedangkan menurut WHO (1980) dalam Soegondo (2013),
Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana di
dapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.

B. Klasifikasi dan Etiologi


Klasifikasi dan etiologi Diabetes Melitus menurut
American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, dibagi dalam 4
jenis yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus Juvenils

3
Diabetes Melitus Tipe 1 terjadi karena adanya
destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun ataupun
idiopatik. Pada Diabetes Melitus Tipe 1 terdapat sedikit atau
tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan
level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari
penyakit ini adalah ketoasidosis (Ndraha, 2014 dan Price
dan Wilson, 2012).
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Adult-Onset Diabetes
Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 terjadi
hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa
masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak
aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah)
akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut
dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin sehingga
sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap
adanya glukosa (Ndraha, 2014).
Onset Diabetes Melitus Tipe 2 terjadi perlahan-
lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi
yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas
reseptor akan glukosa berkurang. Diabetes Melitus Tipe 2
sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Price dan
Wilson, 2012).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
Diabetes Melitus tipe ini terjadi karena etiologi
lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

4
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain (Ndraha, 2014).
4. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional terjadi selama masa
kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali
pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. Diabetes Melitus Gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita Diabetes
Melitus Gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita Diabetes Melitus yang menetap dalam jangka
waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (Ndraha, 2014).

C. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Makanan yang kita konsumsi yang mengandung
makronutrien berupa karbohidrat, protein, dan lemak akan dipecah
menjadi molekul yang lebih sederhana di dalam saluran
pencernaan. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam
amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu
akan diabsorbsi oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh
darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan organ-
organ di dalam tubuh sebagai sumber energi. Agar dapat digunakan
sebagai sumber energi, zat makanan tersebut harus dapat masuk
terlebih dahulu ke intrasel untuk dapat dimetabolisme. Dalam
proses metabolisme, insulin memegang peranan yang sangat
penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk
selanjutnya digunakan sebagai sumber energi. Insulin adalah
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Soegondo, 2013).
Dalam keadaan normal, artinya kadar insulin cukup dan
sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada
permukaan sel otot, kemudian membuka “pintu” masuk sel
sehingga glukosa dapat masuk ke intrasel untuk kemudian

5
dimetabolisme menjadi energi. Akibatnya kadar glukosa darah
normal.

Gambar 2.1. Insulin sensitif (Normal)


Sumber: Soegondo, S. 2013

Sedangkan, pada Diabetes Melitus Tipe 2 didapatkan


kurangnya produksi insulin oleh sel beta pada keadaan resistensi
insulin (Shoback, 2011). Resistensi insulin merupakan
ketidakmampuan sel untuk berespon terhadap kadar insulin normal,
terutama di dalam otot, hati, dan jaringan lemak. Di hati, insulin
biasanya bertugas menekan pelepasan glukosa. Namun, pada
keadaan resistensi insulin, hati melepaskan glukosa secara tidak
normal ke dalam darah, sehingga kadar glukosa darah meningkat
(Shoback, 2011 dan Soegondo, 2013). Mekanisme penting lain
mungkin berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2 dan
resistensi insulin antara lain: meningkatnya perombakan lipid di
dalam sel lemak, resistensi dan kekurangan inkretin, tingginya
kadar glukagon di dalam darah, dan peningkatan retensi garam dan
air oleh ginjal (Shoback, 2011). Meskipun demikian, tidak semua
orang yang mengalami resistensi insulin kemudian terkena

6
diabetes, karena keadaan ini harus juga disertai oleh gangguan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas (Shoback, 2011).

Gambar 2.2. Resistensi Insulin (Diabetes Melitus tipe 2)


Sumber: (Soegondo, 2013)

Insulin memiliki efek penting pada metabolisme


karbohidrat, lemak dan protein. Hormon ini menurunkan kadar
glukosa, asam lemak, dan asam amino darah serta mendorong
penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini
masuk ke darah selama keadaan absorbtif, insulin mendorong
penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahannya masing-
masing menjadi glikogen, trigliserida, dan protein. Insulin
melaksanakan banyak fungsi dengan mempengaruhi transpor
nutrien darah spesifik masuk ke dalam sel atau mengubah aktivitas
enzim-enzim yang berperan dalam jalur-jalur metabolik tertentu
(Sherwood, 2011).
a. Efek Insulin pada Karbohidrat

7
Insulin memiliki empat efek yang menurunkan
kadar glukosa darah dan mendorong penyimpanan
karbohidrat:
1. Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam
sebagian besar sel.
2. Insulin merangsang glikogenesis (pembentukan
glikogen dari glukosa), di otot rangka dan hati.
3. Insulin menghambat glikogenolisis (penguraian
glikogen menjadi glukosa). Dengan menghambat
penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin
cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat
dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.
4. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh
hati dengan menghambat glukoneogenesis (perubahan
asam amino menjadi glukosa di hati). Insulin
melakukannya dengan mengurangi jumlah asam
amino di darah yang tersedia bagi hati untuk
glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-
enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam
amino menjadi glukosa.
Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa
darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel
dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan secara
bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan
glukosa oleh hati ke dalam darah (glikogenolisis dan
glukoneogenesis). Insulin adalah satu-satunya
hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Insulin mendorong penyerapan glukosa oleh
sebagian besar sel melalui rekrutmen pengangkut
glukosa (Sherwood, 2011).
Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin
untuk menyerap glukosa yaitu otak, otot yang sedang aktif,
dan hati. Otak yang memerlukan pasokan konstan glukosa

8
untuk kebutuhan energinya setiap saat, bersifat permeabel
bebas terhadap glukosa setiap waktu melalui molekul
GLUT-1 dan GLUT-3. Glucose Transporter (GLUT)
adalah pengangkut glukosa antara darah dan sel (membran
plasma) dengan cara difusi pasif terfasilitasi, glukosa
melewati membran plasma dan berbeda dari pembawa
kotranspor Na+-glukosa yang berperan dalam transpor aktif
sekunder glukosa melewati epitel ginjal dan usus.
. Saat olahraga, sel-sel otot rangka juga tidak
bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, meskipun
saat istirahat mereka memerlukannya. Kontraksi otot
memicu penyisipan GLUT-4 ke membran plasma sel otot
yang aktif meskipun tidak terdapat insulin. Hati juga tidak
bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa karena
organ ini tidak menggunakan GLUT-4 (Sherwood, 2011).
b. Efek Insulin pada Lemak
Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan
asam lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserid,
yaitu:
1. Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari
darah ke dalam sel jaringan lemak.
2. Insulin meningkatkan transpor glukosa kedalam sel
jaringan lemak melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa
berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam
lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk
membentuk trigliserid.
3. Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya
menggunakan turunan asam lemak dan glukosa untuk
sintesis trigliserid.
4. Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak),
mengurangi pembebasan asam lemak dari jaringan
lemak ke dalam darah.

9
Secara kolektif, efek-efek ini cenderung mengeluarkan
asam lemak dan glukosa dari darah dan mendorong
penyimpanan keduanya sebagai trigliserid.
(Sherwood, 2011)
c. Efek Insulin pada Protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan
meningkatkan sintesis protein melalui beberapa efek, yaitu:
1. Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari
darah ke dalam otot dan jaringan. Efek ini menurunkan
kadar asam amino dalam darah dan menyediakan
bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.
2. Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino
menjadi protein oleh perangkat pembentuk protein yang
ada di sel.
3. Insulin menghambat penguraian protein.
(Sherwood, 2011)

Sensitivitas jaringan target


Glukosa tidak dapat Peningkatan kadar
↓terhadap efek metabolik
masuk ke dalam sel glukosa darah
insulin

Hiperinsulinemia Pengaktivan berlebihan pankreas Kompensasi:


→menghabiskan kapasitas ↑sekresi insulin
sekresi sel β oleh sel β pankreas
Defisiensi insulin relatif

↑an ↓an ↑an lipolisis ↓an ↓an ↑an


pengeluaran penyerapan sintesis penyerapan pengurai-
glukosa oleh glukosa oleh trigliserid asam amino an
hati sel oleh sel
protein

Jumlah glukosa
yg tersaring 10
↑an as.lemak
Hiperglikemia
melebihi Defisiensi
Mekanisme
Kegagalan darah
kmampuan sel glukosa ↑an Asidosis
↓an
Diuresis kompensasi:
sirkulasi ↓an
Malfungsi
Sumber
↑an
Asidosis
aliran
pelepasan
energi
metabolik Koma Atrofi
↑glukoneoge
berat
tubulus intrasel Kematian
as.amino
nesis Hiperglikemia
otot
Poliuria
Glukosuria
Dehidrasi
↓vol.
osmotikplasma polidipsia
Atrofi
perifersel
Polifagia darah
sistem
alternatif
badan
progresif
ke
saraf
Ketosisketon
otak KAD menekan
diabetikum
otak
badan
darah tambah parah
Gambar 2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Sumber: (Sherwood, 2011)
D. Menifestasi Klinis
Manifestasi Diabetes Melitus dikaitkan dengan
konsekuansi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien defisiensi
insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa
yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,
maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan menimbulkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul
rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan negatif dan berat badan

11
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagi) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan
mengantuk (Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 1 sering
memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia,
poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat
menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal
jika tidak mendapat pengobatan segera (Price dan Wilson, 2012).
Sebaliknya, pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2 mungkin sama
sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya
dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih
berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria,
lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut
namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat
dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet, atau terhadap obat-
obatan hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan kadar glukosanya (Price dan Wilson, 2012).
Tabel 2.1. Gambaran Klinis Pasien Diabetes Melitus Tipe 1 dan Tipe 2
Gambaran Tipe 1 Tipe 2
Onset usia Biasanya <20 tahun Biasanya >20 tahun
Massa tubuh Rendah sampai normal Obesitas
Insulin Rendah atau tidak ada Normal atau tinggi
plasma pada awalnya
(hiperinsulinemia)
Glukagon Tinggi, dapat menurun Tinggi, tidak dapat
plasma menurun
Glukosa Meningkat Meningkat
plasma
Sensitivitas Normal Menurun

12
insulin
Pengelolaan Insulin Penurunan berat
badan, olahraga,
obat hipoglikemik
oral.
Sumber: Guyton dan Hall, 2008

E. Diagnosa
Diagnosa klinis Diabetes Melitus umumnya akan
dipikirkan bila ada keluhan khas Diabetes Melitus berupa
polidipsia, polifagia, dan poliuria. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis Diabetes Melitus (Soegondo, 2013).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus,
hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal,
belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl (Soegondo, 2013).

13
Keluhan Klasik Diabetes Melitus (DM)

Keluhan Klasik DM (+) Keluhan Klasik DM (-)

GDP/ ≥126 <126 GDP/ ≥126 100-125 <100

GDS >200 <200 GDS >200 140-199 <140

Ulang GDS/ GDP

GDP/ >126 <126 TTGO


GD 2 jam
GDS >200 <200

>200 140-199 <140

DIABETES MELITUS TGT GDPT Normal

Evaluasi status gizi Nasihat umum 14


Evaluasi penyulit DM Perencanaan makan
Evaluasi perencanaan makan Latihan jasmani
sesuai kebutuhan Berat badan ideal
Belum perlu obat penurun glukosa
Gambar 2.4 Langkah-Langkah Penegakkan Diagnosis Diabetes Melitus
Sumber: Soegondo, 2013
Keterangan:
GDS : Glukosa Darah Sewaktu
GDP : Glukosa Darah Puasa
GDPT : Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT : Toleransi Glukosa Terganggu

Sesuai dengan kriteria American Diabetes Association


(ADA) untuk orang dewasa yang tidak hamil, diagnosis Diabetes
Melitus ditegakkan berdasarkan penemuan:
1. Gejala-gejala klasik diabetes dan hiperglikemia yang jelas
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7 mmol/L) pada
sekurang-kurangnya dua kesempatan
3. Kadar glukosa plasma yang didapat selama tes toleransi
glukosa oral (OGTT) ≥200 mg/dl pada 2 jam dan paling
sedikit 1 kali antara 0-2 jam sesudah pasien makan glukosa.
Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah 126 mg/dl
karena kadar tersebut merupakan indeks terbaik dengan nilai
setelah 2 jam pemberian glukosa adalah 200 mg/dl dan pada
kadar tersebut retinopati diabetik, yaitu suatu komplikasi
diabetes muncul untuk pertama kalinya. Glukosa darah puasa
merupakan metode yang dianjurkan untuk penapisan
Diabetes Melitus.
(Price dan Wilson, 2012).

15
F. Penatalaksanaan
Dalam mengelola Diabetes Melitus langkah-langkah
pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non-
fakmakologis, berupa perencanaan makan dan kegiatan jasmani.
Jika dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian
Diabetes Melitus yang ditentukan belum tercapai, maka dilanjutkan
dengan langkah berikut, yaitu penggunaan obat atau pengendalian
farmakologis. Pada kebanyakan kasus, umumnya dapat diterapkan
langkah sepeti tersebut diatas. Namun, pada keadaan kegawatan
tertentu (ketoasidosis, Diabetes Melitus dengan infeksi, stres),
pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya
pada keadaan seperti tersebut di atas, pasien memerlukan
perawatan di rumah sakit (Soegondo, 2013).
Pilar utama pengelolaan Diabetes Melitus:
1. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
- Karbohidrat 45-60 %
- Protein 10-20 %
- Lemak 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Untuk
penentuan status gizi dipakai Body Mass Index (BMI) =
Indeks Massa tubuh (IMT) (Soegondo, 2013).
2. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya
sesuai CRIPE (continuous, rhythmical, interval,
progressive, endurance training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-

16
umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta (Soegondo, 2013).
Sebagai contoh, olahraga ringan adalah berjalan
kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan
cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging
(Soegondo, 2013).
3. Pengelolaan Farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1. Pemicu sekresi insulin:
i. Sulfonilurea
- Efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas
- Pilihan utama untuk pasien berat badan
normal atau kurang
- Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan
pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi
ii. Glinid
- Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
- Cara kerja sama dengan sulfonilurea,
namun lebih ditekankan pada sekresi
insulin fase pertama.
- Obat ini baik untuk mengatasi
hiperglikemia postprandial
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin:
i. Biguanid
- Golongan biguanid yang paling banyak
digunakan adalah Metformin.
- Metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
- Metformin merupakan pilihan utama untuk
penderita diabetes dengan obesitas,
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
ii. Tiazolidinidion

17
- Menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer.
- Tiazolidinidion dikontraindikasikan pada
gagal jantung karena meningkatkan retensi
cairan.
3. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose):
- Bekerja dengan mengurangi absorbsi
glukosa di usus halus.
- Acarbose juga tidak mempunyai efek
samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonilurea.
- Acarbose mempunyai efek samping pada
saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
4. Incretin Mimetic, penghambat DPP-4
- Bekerja sebagai perangsang pelepasan
insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia,
dan menghambat pelepasan glukagon
- Tidak meningkatkan berat badan seperti
insulin dan sulfonilurea
- Efek samping antara lain gangguan saluran
cerna seperti mual muntah
(Waspadji dalam Soegondo, 2013 dan Ndraha,
2014).
b. Insulin
Indikasi terapi dengan insulin, antara lain:
1. Semua orang dengan Diabetes Melitus Tipe 1
memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak
ada.
2. Pada Diabetes Melitus Tipe 2 tertentu akan
membutuhkan insulin bila:
- Terapi jenis lain tidak mencapai target
pengendalian kadar glukosa darah

18
- Keadaan stres berat, seperti pada infeksi
berat, tindakan pembedahan, infark miokard
akut atau stroke
3. Diabetes Melitus Gestasional membutuhkan insulin
bila perencanaan makan saja tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah
4. Ketoasidosis diabetik
5. Pengobatan Sindroma Hiperglikemik Hiperosmolar
Non-Ketotik
6. Diabetes Melitus yang mendapat nutrisi parenteral
atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori,
untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat, secara bertahap akan memerlukan
insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode
resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan
kebutuhan insulin.
7. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
8. Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO
(Soegondo, 2013)
Empat tipe insulin yang diproduksi dan
dikategorikan berdasarkan puncak dan jangka waktu
efeknya:
1. Insulin kerja singkat (short acting), yaitu insulin
reguler merupakan satu-satunya insulin jernih atau
larutan insulin, sementara lainnya adalah suspensi.
Insulin reguler adalah satu-satunya produk insulin
yang cocok untuk pemberian intravena
2. Insulin kerja cepat (rapid acting), cepat diabsorbsi.
3. Insulin kerja sedang. Kadang-kadang memiliki
pengaruh sebagai penyebab reaksi imunologik,
seperti urtikaria pada lokasi suntikan.
4. Insulin kerja panjang, mempunya kadar zink yang
tinggi untuk memperpanjang waktu kerjanya.
Insulin basal dapat memenuhi kebutuhan basal

19
insulin selama 24 jam tanpa adanya efek puncak.
Insulin ini mulai banyak dipakai dalam terapi
kombinasi baik dengan insulin lain maupun dengan
obat oral (Soegondo, 2013).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25 % pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 kemudian akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya.
Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan
kadar glukosa darahnya dengan kombinasi sulfonilurea
dan metformin, langkah berikut yang mungkin
diberikan adalah insulin (Waspadji dalam Soegondo,
2013).
Di samping pemberian insulin secara
konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin
kerja cepat, insulin dapat pula diberikan dengan dosis
terbagi yaitu insulin kerja menengah dua kali sehari
kemudian diberikan campuran insulin kerja cepat sesuai
dengan respons kadar glukosa darahnya. Umumnya,
pasien juga dapat langsung diberikan insulin campuran
kerja cepat dan menengah dua kali sehari. Kombinasi
insulin kerja sedang yang diberikan malam hari
sebelum tidur dengan sulfonilurea memberikan efek
yang lebih baik daripada dengan insulin saja, baik satu
kali ataupun dengan insulin campuran. Keuntungannya
pasien tidak harus dirawat dan kepatuhan pasien tentu
lebih besar (Waspadji dalam Soegondo, 2013).
4. Penyuluhan
Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat
penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi
diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk

20
meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang
diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang
lebih baik (Waspadji dalam Soegondo, 2013).
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif
dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komprehensif dan berupaya meningkatkan motivasi
pasien untuk memiliki perilaku sehat (Ndraha, 2014).
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini
atau saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan
dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi
pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori serta diet tinggi lemak (Ndraha,
2014).

G. Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
a. Hipoglikemi
Pada umumnya hipoglikemi terjadi bila kadar
glukosa darah <50 mg% dan cepat membaik dengan
meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia sangat
berbahaya dan apabila sering terjadi dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat
pasokan energi yang berakibat pada kerusakan otak
permanen atau bahkan kematian. Hipoglikemia ini lebih

21
sering terjadi pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu sedangkan hipoglikemia
pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 lebih jarang terjadi
(Price dan Wilson, 2012).
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah kegawat
daruratan akibat hiperglikemia dimana banyak asam
terbentuk dalam darah. Keluhan KAD timbul akibat sel otot
tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam
keadaan darurat tubuh akan memecah lemak dan
terbentuklah asam yang dalam peredaran darah disebut
keton. KAD sering terjadi pada penderita Diabetes Melitus
Tipe 1 (IDDM). Penyakit tersebut biasanya dipercepat oleh
suatu penyakit akut, misalnya penyakit infeksi, trauma,
gangguan kardiovaskular, stres emosi, dan sebagainya.
Selain itu KAD sering terjadi akibat penyuntikan insulin
berhenti atau kurang karena lupa menyuntik (Price dan
Wilson, 2012).
b. Hiperosmolar Non Ketotik
Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu keadaan
dimana kadar glukosa darah sangat tinggi sehingga darah
menjadi kental. Kadar glukosa darah penderita bisa sampai di
atas 600 mg/dl. Glukosa ini akan menarik air keluar sel,
selanjutnya keluar dari tubuh melalui eksresi urin yang akan
mengakibatkan kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi (Price
dan Wilson, 2012).
Pada awalnya, ketika peningkatan kadar glukosa
menyebabkan peningkatan osmolaritas, perpindahan air dari
ruang ruang intrasel ke ekstrasel dan peningkatan asupan air
yang dirangsang oleh rasa haus membantu mempertahankan
volume intravaskular. Jika poliuria berlanjut dan mekanisme
kompensasi ini tidak dapat mengimbangi pengeluaran cairan,
maka akan terjadi dehidrasi sel sebagai respon terhadap

22
peningkatan mencolok osmolaritas plasma. Penurunan cairan
intrasel diotak yang parah inilah yang menyebabkan koma
(Sherwood, 2011).
2. Komplikasi Metabolik Kronik
a. Neuropati Diabetika
Kerusakan saraf (neuropati) biasanya terjadi
setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila
glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal,
terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun, bila dalam
jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak
dinding pembuluh darah kapiler yang memberi nutrisi ke
saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Prevalensi
Neuropati pada pasien DM Tipe 1 pada populasi klinik
berkisar 3% s/d 65,8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12,8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM Tipe 2
prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7,6% s/d
68,0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13,1%
s/d 45,0% (Ndraha, 2014).
b. Nephropati Diabetika
Nephropati Diabetika, juga dikenal dengan sebutan
“Sindrom Kimmelstiel-Wilson” dan Glomerulonefritis
interkapiler. Sindrom ini ditemukan oleh peneliti Inggris
Clifford Wilson (1906-1997) dan peneliti Amerika kelahiran
Jerman Paul Kimmelstiel (1900-1970).
Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk
membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang
dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan
ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein
yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar.

23
Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama
menderita hipertensi, maka penderita makin mudah
mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada
penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Prevalensi mikroalbuminuria dengan
penyakit DM Tipe 1 berkisar 4,3% s/d 37,6% pada populasi
klinis dan 12,3% s/d 27,2% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan, pada pasien DM Tipe 2 prevalensi
mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2,5% s/d
57,0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18,9%
s/d 42,1% (Ndraha, 2014).
c. Retinopati Diabetika
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya
dan menjadi penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit
utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1)
retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak
pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah
yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak,
lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi
keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3)
glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata
sehingga merusak saraf mata (Ndraha, 2014).
c. Peripheral Vascular Disease (PVD)
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di
tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular
Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih
cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak
mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa
lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes
berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan

24
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila
ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau
neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien
biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh
darah jantung (Ndraha, 2014).
d. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi
kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya
mikroorganisme seperti virus atau bakteri sehingga
penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang
mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru,
kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa
darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga
mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi
(Ndraha, 2014).
3. Depresi
Perlu disadari bahwa hidup sebagai penyandang DM
dapat memberikan beban psikososial bagi penderita maupun
anggota keluarganya. Respon psikologis yang negatif terhadap
diagnosis bahwa seseorang mengidap penyakit ini dapat
berupa penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, cemas
dan depresi (Semiardji, 2013). Perubahan hidup yang
mendadak membuat penderita DM menunjukkan beberapa
reaksi psikologis yang negatif diantaranya kecemasan yang
meningkat dan depresi. Orang yang menderita penyakit DM
memiliki risiko lebih besar mengalami depresi. Depresi terjadi
akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan
dengan penyakit dan terapinya. Depresi pada penderita
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang
dialami dari penyakit kronik, berupa:
a. Adanya stress psikologik yang timbul akibat tuntutan
perubahan pola hidup (pola diet dan olahraga) serta

25
penggunaan obat-obatan antidiabetik maupun insulin
secara teratur.
b. Tekanan psikologis meningkat pada dua tahun pertama
sering terjadi, terutama sejak diketahui adanya retinopati
diabetik.
(Semiardji, 2013)

BAB III
METODE MINI PROJECT

3.1 Sasaran Kegiatan


Sasaran kegiatan ini adalah para pengunjung dan tenaga kesehatan yang
berada di depan ruang tunggu pemeriksaan di wilayah kerja Puskesmas
Merdeka.

3.2 Bentuk Kegiatan


1. Pembukaan
2. Penyuluhan interaktif: Penyakit Tidak Menular (PTM)
3. Tanya jawab
4. Pembagian leaflet dan pendataan peserta
5. Penutup

3.3 Pelaksanaan Kegiatan

26
Tanggal Kegiatan Pelaksana
No
1 26 Agustus 2019 Pengajuan Judul Pendamping Internsip
Dokter Internsip
2 27 Agustus 2019 Penentuan Judul Pendamping Internsip
Dokter Internsip
3 26 Agustus 2019 Menentukan Masalah Pendamping Internsip
Dokter Internsip
4 27 Agustus 2019 Menetukan Sasaran Mini Pendamping Internsip
Project Dokter Internsip
5 28 Agustus 2019 Rapat Perencanaan Kegiatan Pendamping Internsip
Dokter Internsip

6 28 Agustus 2019 Pembentukan Panitia Pendamping Internsip


Kegiatan Dokter Internsip

7 29 Agustus 2019 Pengambilan data di ruang Pendamping Internsip


TB Pemegang program
TB
Dokter Internsip
8 16 September 1. Pembukaan Pendamping Internsip
2. Penyuluhan interaktif
2019 Dokter Internship
TB
Staf PKM Merdeka
3. Tanya jawab
4. Pembagian leaflet dan
pendataan peserta
5. Penutup

27
BAB IV
HASIL MINI PROJECT

Dari hasil penelitian di Puskesmas merdeka didapatkan jumlah sampel 47


pasien. Berikut adalah distribusi tabel berdasarkan karakteristik pasien diabetes
mellitus di Puskesmas Merdela kota Palembang periode Januari – Agustus tahun
2019.

Tabel 4.7.1. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Berdasarkan Jenis


Kelamin yang Berobat di Puskesmas Merdeka periode Januari -
Agustus 2019
Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki 15 31,9
Perempuan 32 68,1
Total 47 100
Sumber : Data Sekunder 2019

Pada Tabel 4.7.1 di atas diperoleh data distribusi penderita diabetes mellitus
berdasarkan jenis kelamin terbesar pada kelompok Perempuan yaitu sebanyak 32
pasien (68,1%) dan sisanya sebanyak 15 pasien laki-laki (31,9%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2012)
dimana jumlah responden perempuan yang mengalami Diabetes Melitus Tipe 2
lebih tinggi yaitu sebanyak 432 orang (86,4%), dibandingkan laki-laki yaitu 68
orang (13,6%). Perempuan lebih berisiko mengidap Diabetes Melitus karena

28
secara fisik memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar
(Noor, 2015). Penyebab paling mendasar pada DM Tipe 2 masih belum diketahui
meskipun telah dilakukan penelitian intensif, tetapi para peneliti telah
mengidentifikasi sejumlah keterkaitan antara obesitas dan penurunan sensitifitas
terhadap insulin. Jaringan lemak mengeluarkan hormon resistin yang mendorong
resistensi insulin dengan menganggu kerja insulin. Produksi resistin meningkat
pada obesitas. Selain itu, asam-asam lemak bebas yang dikeluarkan dari jaringan
lemak dapat menumpuk secara abnormal di otot dan menganggu kerja insulin otot
(Sherwood, 2011).
Sebagian besar individu obesitas memiliki kadar leptin yang tinggi. Leptin
merupakan salah satu hormon yang dianggap berperan dalam menyebabkan
obesitas. Leptin menekan ekspresi Gen Acetil Co-A Carboxylase, sintesis asam
lemak dan sintesis lipid, reaksi biokimia yang berkontribusi pada akumulasi lipid.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hastuty, dkk (2012) didapatkan bahwa kadar
leptin pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini kemungkinan berkaitan
dengan pengaruh hormonal dimana teori menyebutkan bahwa estrogen dan
prolaktin merupakan stimulator terhadap sintesis dan sekresi leptin sehingga
semakin banyak estrogen maka kadar leptin akan semakin tinggi. Hormon
estrogen dan prolaktin adalah hormon yang terdapat pada wanita sebaliknya
hormon androgen yang merupakan inhibitor terhadap sintesis leptin lebih banyak
pada pria.
Usia juga berperan dalam terjadinya obesitas dimana semakin bertambahnya
usia maka cenderung mengalami kehilangan massa otot dan mudah terjadi
akumulasi lemak tubuh. Otot membakar kalori lebih banyak dibandingkan tipe
jaringan yang lain. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan
kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah sehingga berisiko terjadinya
obesitas

Tabel 4.7.2. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Berdasarkan Umur yang


Berobat di Puskesmas Merdeka periode Januari – Agustus 2019

29
Umur (tahun) Jumlah %
< 50 8 17
50 – 59 16 34
60 – 69 16 34
≥ 70 7 15
Total 47 100
Sumber : Data Sekunder 2019

Pada Tabel 4.7.2. di atas diperoleh data distribusi penderita diabetes


mellitus berdasarkan umur terbanyak pada kelompok umur 50 - 59 tahun dan 60 -
69 sebanyak 16 pasien (34%), umur <50 tahun sebanyak 8 pasien (17%),
kemudian umur ≥70 tahun 7 pasien (15%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Zahtamal, dkk
(2007) mengenai faktor-faktor risiko pasien Diabetes Melitus. Penelitian tersebut
melakukan analisis data dengan menggunakan uji korelasi spearman’s rho
diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara umur
dengan kejadian DM (p=0,000). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa orang dengan usia lebih dari 45 tahun adalah kelompok usia yang berisiko
menderita DM. Lebih lanjut dikatakan bahwa DM merupakan penyakit yang
terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif) terutama gangguan
organ pankreas dalam menghasilkan hormon insulin, sehingga DM akan
meningkat kasusnya sejalan dengan pertambahan usia (Zahtamal, dkk., 2007).
Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian sebelumnya di
Jakarta dan di Padang, menunjukkan bahwa kelompok umur 50-60 tahun adalah
kelompok yang terbanyak menderita DM dibanding kelompok umur di bawahnya.
Angka kasus DM akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Selain itu,
DM disebut juga sebagai salah satu penyakit degeratif karena adanya gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar
gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria) (Zahtamal,
dkk.,2007)

30
Tabel 4.7.3. Distribusi Penderita Diabetes Mellitus Berdasarkan Kategori
Kadar Gula Darah di Puskesmas Merdeka periode Januari –
Agustus 2019
Kategori Jumlah %
140-199 mg/dl 0 0
200-299 mg/dl 28 59%
≥300 mg/dl 19 41%

Total 47 100
Sumber: Data Sekunder 2019

Pada Tabel 4.7.3 di atas diperoleh data distribusi penderita diabetes mellitus
berdasarkan kadar gula darah di puskesmas merdeka. Berdasarkan kadar gula
darah terbanyak pada kategori 200-299 mg/dl , yaitu sebanyak 28 pasien (59%),
kategori ≥300 mg/dl, yaitu sebanyak 19 pasien (41%), dan kategori 140-199
mg/dl sebanyak 0 pasien (0%).
Kriteria kadar gula darah sewaktu sebagai penyaring dan diagnosis diabetes
mellitus yaitu apabila kadar gula darah sewaktu 100-199 mg/dl termasuk dalam
kriteria belum pasti diabetes mellitus, jika kadar gula darah ≥200 termasuk dalam
kriteria diabetes mellitus.(American Diabetic Association,2010)

Tabel 4.7.4. Distribusi Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Kategori


Pengobatan di Puskesmas Merdeka periode Januari – Agustus
2019
Pengobatan Jumlah %
dependent insulin 0 0
Obat Antihiperglikemik Oral 47 100
Total 47 100
Sumber : Data Sekunder 2019

31
Pada Tabel 4.7.4 di atas diperoleh data distribusi penderita diabetes mellitus
berdasarkan jenis pengobatan, semua kelompok mendapatkan tatalaksana dengan
menggunakan obat hiperglikemik oral yaitu sebanyak 47 pasien (100% ).
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder
atau Tersier. (Zahtamal, dkk.,2007)

32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Distribusi penderita TB Paru berdasarkan jenis kelamin terbesar pada
kelompok laki-laki yaitu sebanyak 18 pasien (64,2%) dan terkecil pada
kelompok perempuan yaitu sebanyak 10 pasien (35,8%).
2. Distribusi penderita TB Paru berdasarkan umur terbanyak pada umur 21-
60 tahun sebanyak 25 pasien (89,3%), umur >60 tahun sebanyak 3 pasien
(10,7%), kemudian umur <20 tahun 0 pasien (0%).
3. Semua penderita TB paru di puskesmas merdeka di tatalaksana dengan
pengobatan kategori I.
4. Semua penderitab TB merupakan kasus baru dan belum pernah mendapat
pengobatan.
5. Distribusi penderita TB Paru berdasarkan pemeriksaan sputum BTA 3x
terbanyak dengan BTA +1 sebanyak 10 orang (38,71%) diikuti oleh BTA
negatif 7 orang (25,00%), BTA +3 sebanyak 6 orang (21,42%), dan
pasien dengan BTA +2 sebanyak 5 orang (17,85%).
6. Pengelolan penyakit menular seperti Tuberkulosis bukan hanya dengan
intervensi tetapi juga secara promotif dan preventif. Untuk itu diperlukan
pelaksanaan rutin mengenai Tuberkulosis di dalam ruang lingkup
puskesmas merdeka, agar upaya kesehatan lebih tercapai (accessible),
lebih terjangkau (affordable) dan lebih berkualitas (quality).

5.2 Saran
 Pelaksanaan penyuluhan di dalam puskesmas merupakan agenda
penting untuk menyegarkan ingatan para tenaga kesehatan mengenai
penyakit-penyakit menular seperti tuberculosis, diharapkan kegiatan ini
dapat diselenggarakan rutin, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan

33
masyarakat tentang tuberkulosa paru, baik gejala, penatalaksanaan dan
komplikasinya.
 Perlunya dukungan berbagai pihak untuk membantu meningkatkan
semangat para tenaga kesehatan dalam menunaikan berbagai perannya
sebagai agen sosialisasi, pendataan, dan konselor.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). 2010. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care Vol.33: 562-569
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2797383/pdf/zdcS62.pdf)

Guyton dan Hall. 2008. Insulin, Glukagon, dan Diabetes Melitus: Human
Physiology and Disease Mechanism 11 adition, ahli bahasa Irawati dkk.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal. 1022.

34
Hastuty, dkk. 2012. Analisis Kadar Leptin pada Obestitas Viseral dan Non Viseral
(http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-28821-8-Yulina-
USU.pdf)

Kemenkes RI. 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia


Mencapai 21,3 juta orang.
(http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun-2030-prevalensi-
diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang. html).

Ndraha, S. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol.
27, No. 2 (http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING ARTICLE
Diabetes Mellitus Tipe 2 dan tatalaksana terkini.pdf).

PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-


2 di Indonesia. Penerbit PERKENI, Jakarta, Indonesia. Hal. 4-32

Price, S. A dan Lorraine, M. W. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose


Penyakit. EGC, Jakarta Indonesia. Hal. 1259 – 1270.

Semiardji, G. 2013. Stres Emosional pada Penyandang Diabetes. Dalam:


Soegondo,S., P. Soewondo. dan I. Subekti. 2013. “Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu”. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Badan Penerbit FKUI. Jakarta, Indonesia. Hal. 337-342.

Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari sel ke Sistem. Edisi 6. EGC,
Jakarta Indonesia. Hal. 780-782.

Shoback, 2011. Greenspan's basic & clinical endocrinology (9th ed.). New York:
McGraw-Hill Medical. pp. Chapter 17. ISBN 0-07-162243-8
(https://id.wikipedia.org/wiki/Diabetes_melitus_tipe_2).

Soegondo, S. 2013. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam:


Soegondo, S., Pradana, S., Imam, S. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Penerbit FKUI, Jakarta Indonesia. Hal. 19 – 29.

Waspadji, S. 2013. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang


Rasional. Dalam: Soegondo, S., Pradana, S., Imam, S. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Penerbit FKUI, Jakarta Indonesia. Hal.31 –
45.

Zahtamal, dkk. 2007. Faktor-Faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Vol. 23, No.3
(file:///C:/Users/User/Downloads/3621-6071-1-PB%20(1).pdf)

35
LAMPIRAN

Data Pasien DM Puskesmas Merdeka Periode Januari-Agustus 2019

36
37
38

Anda mungkin juga menyukai