Anda di halaman 1dari 5

Membangun Kesejahteraan Umat

Pengertian
Kata sejahtera memiliki beberapa arti. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk
pada keadaan yang baik; kondisi saat orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan
hidup yang makmur. Dalam ekonomi, kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang
menjadi landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan capaian-
capaian material ( misalnya produk domestic bruto perkapita), walaupun mereka berbeda
tentang cara distribusinya.
Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan
Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal ini lebih
spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan
bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya.
Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat
mewujudkan semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni:
1. Terlindung kesucian agamanya
2. Terlindung keselamatan dirinya
3. Terlindung akalnya
4. Terlindung kehormatannya
5. Terlindung hak milik/hak ekonominya.[1]
Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi.
Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem
pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menentukan
dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera
seperti itu akan bertahan lama atau berlaku secara universal.
A. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Hukum
Surat an-Nisa’ menyebutkan bahwa sumber hukum dalam Islam yang wajib dijadikan
referensi di dalam segala tindakan dan hukum mereka, yaitu:
Pertama, Al-Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah.
Kedua, Sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) .
mengamalkannya adalah ketaatan kepada Rasul.
Ketiga, Pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi di dalam umat. Mereka terdiri atas ulama’ dan orang-
orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti tentara, para petani,
industriawan dan pendidik yang semuanya menangani bidangnya masing-masing.
Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan kepada Ulil Amri.
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 59 tersebut adalah
perintah wajib yang Allah Ta’ala lontarkan kepada umat islam berupa taat kepada-Nya dan
Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadits, dan taatilah penguasa-
penguasa kamu, jika mereka beragama islam yang berpegang teguh kepada syari’at Allah,
sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk, jika dia durhaka kepada Sang Khalik. Dan dalam
firman-Nya terdapat kata “minkum (di antara kamu)” merupakan dalil bahwa penguasa-
penguasa yang wajib kamu taati adalah penguasa-penguasa yang muslim lahir dan batinnya,
daging dan darahnya, bukan muslim bentuk dan penampilannya saja. Pada ayat kemudian
“kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
dan Rasul”, maksudnya adalah putuskanlah sesuatu yang menjadi perselisihan tersebut dari
hukum-hukum yang terdapat dalam kitab Allah dan hadits nabi –Nya, dan pada sambungan
ayat,”jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir,” ini adalah syarat yang
menghapus jawabnya untuk menunjukkan lafazh yang terdahu;lu. Jawabnya yang terbuang;
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya. Ini bertujuan memotivasi agar umat islam
senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an (Allah) dan hadits (rasul-Nya). Seperti
perkataan,”jika kamu anakku maka kamu jangan menentang aku”. “Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” ialah kembali kepada Allah dan rasul-Nya melalui
Al-Qur’an dan hadits merupakan hal yang lebih utama bagi umat dan lebih baik
akibat/dampaknya bagi umat.[3]
Setiap hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits, bila umat muslim tidak bersandar
kepadanya, tidak pula kembali kepada pendapat Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ijma’ Ulama’) maka
hukumnya bathil, yang mengikuti hawa nafsu semata dan tidak menjamin kemaslahatan hajat
hidup orang banyak serta ridha Allah SWT.[4]
Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi kemaslahatan
umat, sebenar-benar hukum yang mengedepankan hak asasi manusia, adil tanpa memandang
pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, dan bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar
serta tidak pula tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
B. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi
Isu ekonomi islam secara internasional telah lama bergulir. Guliran ini menemukan
momentumnya pada awal 1970-an, ketika terjadi perang Arab-Israel yang membangunkan
solidaritas dan kesadaran umat islam dari tidur panjangnya. Demikian pula halnya di Indonesia
, meskipun rembesan-rembesan gairah ekonomi islam internasional telah masuk ke negeri ini
sejak decade 1980-an, tetapi gerakan ekonomi islam menemukan momentumnya pada saat
krisis ekonomi melanda negeri ini di ujung decade 90-an. Hal itu ditandai dengan maraknya
berdiri lembaga-lembaga syari’ah dan sejenisnya seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) dan
bank-bank syari’ah di sektor praktis.[5]
Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud untuk
memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada nilai-nilai
kemanusiaan. Perbincangan tentang prinsip moral tersebut dikemukakan Yusuf Qardhawi,
yang mencakup:
Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melampaui
batas. Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik, adil, saling
menguntungkan dan penuh dengan keridhaan Allah SWT.
Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan nikmat dari Allah
kepada hamba-Nya.[6] Dengan demikian orientasi ekonomi islam adalah mewujudkan
kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah
SWT.
Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup manusia,
sehingga tidak heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan apa saja, agar
pemberdayaan ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi secara baik, menjadi kata
kunci memelihara dan meningkatkan pertumbuhan hidup secara baik. Soal bagaimana
pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan persoalan pemberdayaannya kepada manusia
karena mereka yang lebih tahu urusan dunianya. Penyerahan Rasulullah tersebut
mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan pemberdayaan
terhadap urusan hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas norma hukum yang telah
digariskan Allah SWT.
Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap aktivitas
kehidupan, begitu juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi islam. Prinsip
pemberdayaan itu sejalan dengan tujuannya antara lain:
1. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2. Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3. Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
4. Terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemaslahatan dan kesejahteraan umat.[7]
Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari beberapa
keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1. Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
2. Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
3. Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
4. Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta.[8]
Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang
berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak dimiliki secara
mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manusia untuk bermuamalah
selama tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis islam.
C. Membangun Kesejahteraan Melalui Sistem Politik
Manusia adalah human social atau makhluk sosial yang tak bisa berlepas diri dari hidup
orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia tak akan bisa bertahan hidup
tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain.
Manusia juga oleh Aristoteles disebutkan “zoon politicon” yaitu dalam artian manusia
memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma dan sistem dalam mengatur urusan hidup
dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan
bersama. Oleh karena itu ada dua poin penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran
Quraish Shihab terhadap Al-Qur’an tentang kekuasaan, yaitu:
1. Penegakkan Etika dalam Kehidupan Politik
Kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka apapun proses
politik harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama. Ini
sesuai dengan pesan utama Rasulullah SAW, bahwa ia tidak diutus kedunia melainkan untuk
menyempurnakan etika (makhluk) manusia.
Quraish Shihab menolak pandangan yang mengahalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan . Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor, dalam politik tidak
ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan jangan bawa-bawa moralitas dalam
arena politik, dan jargon-jargon lain yang berusaha menjustifikasi segala cara untuk mencapai
tujuan politik, adalah cara pandangan yang sesat lagi menyesatkan. Orang boleh saja berupaya
untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi sekalipun, namun ia tidak boleh
melupakan nilai-nilai moral dan etika.[9]
Bagi Quraish, agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan maghfirah Allah, yang dalam
bahasa Al-Qur’an diungkapkan dengan baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, menurutnya,
ada tiga peran agama dalam menwujudkan hal demikian, yaitu:
1. Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia
2. Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat sesuatu kekuatan pendorong
untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat
3. Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang menghambat
seseorang dari segala penyimpangan.[10]
Menurut Quraish juga, dalam pandangan agama, Tuhan memberi kemampuan kepada
pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong kepada kebenaran melebihi
kemampuan tuntutan-tuntutan-Nya yang termaktub dalam kitab suci. Dalam konteks ini hadits
Nabi menyatakan yang artinya “Sesungguhnya Allah mencegah melalui penguasa apa yang
tidak tercegah melalui Al-Qur'an”.[11]
Dengan kekuasaan yang dimiliki pemerintah, sekian banyak hal dapat dicapai dan
sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian, kekuasaan politik yang dilandasi
etika yang kuat tentu akan melahirkan masyarakat yang beretika pula.
2. Pemihakan Terhadap Kepentingan Masyarakat
Seseorang memperoleh kekuasaan politik adalah berdasarkan kontrak sosial.
Masyarakat yang dipimpinnya telah menyerahkan sebagian haknya untuk diatur urusan-
urusannya dan menyatakan kepatuhan kepadanya. Bentuk konkretnya pada masa lalu
diwujudkan ketika rakyat membai’at pemimpin. Dalam masa modern sekarang hal ini
direalisasikan dalam bentuk pemilu. Memang di dalam pemilu tidak semua orang secara
aklamasi memilih seorang penguasa atau dengan kata lain tidak ada penguasa yang
memperoleh suara secara mutlak. Namun dengan mayoritas suara yang diperolehnya dari
masyarakat ia berhak menduduki kursi kepemimpinan. Meskipun sebagian rakyat tidak
memilihnya, ketika ia terpilih secara sah, maka semua rakyat wajib mematuhinya.
Oleh sebab itu, sebagai imbalannya pemimpin yang terpilih wajib menjalankan tugas-
tugasnya dengan baik dan mengayomi semua masyarakatnya, mengutamakan kepentingan
mereka dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap mereka. Karena kekuasaan merupakan
perjanjian segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk
pelaksanaan kekuasaan akan dipertanggungjawabkannya di depan Mahkamah Allah kelak.
Tidak ada satupun yang lepas dari pertanggungjawaban.[12]
Penutup
Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik
telapak tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat secara sistem hukum,
sistem ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya.
 Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan
hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata
beribadah dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya.
 Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap harta yang
dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu memakan/merampas harta orang
lain.
 Sejahtera secara politik diukur dengan penegakkan etika dalam kehidupan berpolitik dan
pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Karena kekuasaan merupakan perjanjian
segitiga antara penguasa, rakyat serta penguasa dan Allah SWT.

[1] Naskah Konferensi Rajab 1432 H, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan


Khilafah, (Medan: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011), h. 19
[2] Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2012), h.
87
[3] Syaikh M. Ali Ash-shabuni, Shofwatut Tafasir, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2011), jilid I, h. 664
[4] Mahmud Syaltut, Terjemahan Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1990), h. 399
[5] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam au Wazhifah al-Hukumah al-Islamiyyah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 5
[6] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 117-118
[7] Ahmad Sabban Rajagukguk, Berdialog dengan Tuhan, (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2009), h. 194
[8] Ibid, h. 194
[9] Muhammad Iqbal, Etika Politik Qur’ani, (Medan: IAIN Press, 2010), h. 113
[10] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2000), h. 58
[11] M. Quraish Shihab, Menebar Pesan Ilahi, h. 377
[12] Ibid, h. 414

Anda mungkin juga menyukai