Real
Real
A. Pendahuluan
Salah satu kajian yang terus berkembang dan mendapat porsi lebih dalam
khazanah ilmu pengetahuan kontemporer adalah kajian tentang peta ilmu
pengetahuan itu sendiri atau yang kemudian lebih dikenal dengan kajian
epistimologi. Kajian-kajian ini semakin menemukan peminatnya ketika dia
menyentuh ranah-ranah yang dianggap sakral dalam studi keagamaan.
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa dalam setiap agama samawi, sumber
epistimologi utama adalah kitab suci. Di titik ini terjadi banyak variasi pemikiran
dan penafsiran. Tema-tema kontroversial sengaja dimunculkan meramaikan
kajian-kajian keagamaan. Kitab suci didudukkan pada pada posisi 'terdakwah',
dengan tuduhan utama melahirkan peradaban qauliyah dan memarginalkan
bahkan mendiskreditkan peradaban kauniyah.
Dalam diskursus ini, wacana keislaman mendapat perhatian lebih serius
dibandingkan dengan wacana keagamaan lainnya. Hal ini boleh jadi karena Al
Quran sebagai kitab suci Umat Islam memang layak untuk mendapatkan
pengkajian serius. Bagi kaum Muslimin, mu’jizat terbesar Nabi Muhammad ini
diyakini sebagai petunjuk untuk umat manusia hingga akhir zaman. Realitas
ilmiahnya terbukti akurat, gaya bahasa dan liriknya diakui indah, kisah masa
lampau yang benar dan ramalan masa depan yang tepat, mengantarkan manusia
pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Dari prinsip dasar dan
keyakinan inilah lahir usaha-usaha untuk menggali dan memahami apa yang
disampaikan oleh Al Quran. Maka Al Quran yang dijadikan acuan pertama dan
utama dalam penetapan hukum dipelajari, ditafsirkan dan dikaji dengan serius
sehingga nilai-nilai qurani yang bernuansa ilahiyah mampu dijabarkan dalam
kehidupan insaniyah.
Tema-tema usang yang kembali menjadi pembicaraan adalah sejauh mana
peran manusia dalam proses penafsiran Al Quran. Tafsir Al Quran klasik karya
ulama Islam terdahulu kembali dikaji dan dipelajari baik oleh cendekiawan
muslim maupun non muslim, bahkan mendapat perhatian serius dari para
orientalis, penginjil dan sebagainya. Persinggungan intens dunia pemikiran timur
(dalam hal ini kaum muslimin) dengan dunia pemikiran Barat yang dominan dan
2
1
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), cet. I, hal. 13
2
Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis
Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007, hal. 29
3
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah
Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006),
hal. 111
4
Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut: Libeirie
Du Liban, 1967), hal. 64
3
2- Sejarah Hermeneutika
Al Quran menyatakan bahwa sebelum dia diturunkan, Allah telah lebih
dahulu menurunkan kitab-kitab suci lainnya kepada beberapa orang Rasul
sebelum Muhammad Saw. Antara lain misalnya Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud dan Injil kepada Nabi Isa As. Problematika
yang muncul kemudian adalah bahwa kitab-kitab suci tadi hanya mampu bertahan
keoriginalannya pada periode-periode awal turunnya. Sedangkan pada periode
selanjutnya, terutama setelah meninggalnya para nabi dan sahabat-sahabatnya
tidak terpelihara dengan baik. Generasi yang datang setelah itu baik sengaja
maupun tidak telah banyak melakukan perubahan-perubahan dari teks asli kitab
suci mereka, menyesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan masing-masing.
Begitu seterusnya, sehingga semakin jauh dari masa kenabian maka semakin
berubah dari teks aslinya. Informasi dan kecaman terhadap hal ini banyak kita
dapatkan dalam kitab suci yang turun sebagai penyempurna kitab-kitab tadi yaitu
Al Quran.
5
Fahmi Salim,... hal. 29
6
Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia
University Perss, 1978), hal. 7
4
7
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah
Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebaga,... Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
5
Keyakinan bahwa teks hanyalah perwakilan dari dunia mitos dan realitas
masyarakat modern sebagai gambaran dunia ilmiah menjadi awal mula
berubahnya penggunaan metodologi Hermeneutika dari sekedar disiplin
ilmu yang mengkomunikasikan pesan-pesan Bible menjadi alat memahami
dengan objek yang lebih terbuka.
9. Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang
alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof sekaligus pendeta
mejadi babak baru perkembangan Hermeneutika. Dia dianggap sebagai
Bapak Hermeneutika Modern sekaligus sebagai Pendiri Protestan Liberal.
Dialah yang pertama kali berusaha membakukan Hermeneutika sebagai
satu metode umum interpretasi yang tidak hanya tebatas pada kitab suci
dan sastra. Karena berlatar belakan pendeta sekaligus filosof,
Schleiermacher membelokkan makna hermeneutika menjadi metododlogi
pemahaman dalam pengertian filsafat. Dia berpendapat bahwa
Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang.
Interpretasi yang benar menurut teori Schleiermacher tidak saja
melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi
juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran
pengarang dilihat dalam konteks kultural yang lebih luas, maka ia dapat
memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya
sendiri. Dalam kaitannya dengan Al Quran, teori ini irrelevan dan
irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap
mental Tuhan ketika mewahyukan Al Quran.
10. Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastra dan
sejarawan asal Jerman, mengkritisi Hermeneutika Schleiermacher. Lagi-
lagi terjadi pemaknaan baru yang kemudian dikenal dengan Hermeneutika
Dilthey. Menurutnya, Hermeneutika adalah "teknik memahami ekspresi
tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan." Ia membelokkan
makna Hermeneutika menjadi metodologi sejarah.
11. Hans Georg Gadamer (1900-1998) yang datang setelah itu mengkritik
Dilthey dan menekan Hermeneutika menjadi kajian ontologis yang lebih
7
konsentrasi pada konteks tradisi filsafat barat. Ini antara lain dikarenakan
Gadamer sendiri besar dilingkungan filsafat fenomeologi Jerman. Tidak
lama kemudian Jurgen Hebermas yang berlatar belakang filsafat sosial
Marxis mengkritik Gadamer dan menggeser makna Hermeneutika menjadi
metode pemahaman yang bernuansa kepentingan (interest), khusunya
kepentingan kekuasaan.
12. Mohammed Arkoun, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Sorbon
dengan isu dekonstruksi yang menurutnya akan memperkaya keilmuan
Islam. Dekonstrusi yang dia maksud adalah membongkar hal-hal yang
selama ini telah menjadi kesepakatan umum di kalangan ummat Islam,
menghilangkan nilai-nilai kesakralan, menekankan kajian pada aspek
historis dan memulai kajian-kajian krititik Bible. Bagi Arkoun, mushaf
yang ada saat ini tidak layak untuk disucikan, sebab nilai kebenarannya
tidak sebagaimana yang ada pada zaman kenabian. Mushaf yang tertulis
ini lebih tidak akurat, tidak outentik dan berkurang dari kitab yang
diturunkan, yang masih dalam bentuk lisan. Menurut Arkoun, kajian yang
dia lakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zaid.
13. Nasr Hamid Abu Zaid (1943-.....), Dosen Bahasa Arab dan Studi Al Quran
di Universitas Kairo dan dosen tamu di Universitas Leiden sejak 1995
hingga sekarang. Ia mengaku sebagai seorang Islamolog dan namanya
dikenal dengan isu kontroversialnya bahwa Al Quran adalah cultural
product, atau dalam istilah Abu Zaid, Al Muntâj Ats Saqafy (produk
budaya). Dalam kajiannya terhadap Al Quran, Abu Zaid menggunakan
sebuah metodologi yang secara simplistis dipaksakan penyebutannya
sebagai metode analisa teks bahasa-sastra (Nahju At Tahlîl An Nushûs Al
Lughawiyah Al Adabiyah). Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya
metode yang mungkin digunakan dalam mengkaji pesan dan memahami
Islam. Metode ini adalah bagian dari hermeneutika yang dipelajari Abu
Zaid ketika dia berada di Pennsylvania, Phidelphia antara tahun 1978
hingga tahun 1980. Diantara karya-karyanya adalah Mafhûmun Nash dan
8
8
Ibnu Manzhur, Lisânul Arab, (Kairo: Darul Hadits, 2003), vol. IX, hal. 124
9
Badruddin Muh. bin Abdillah Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumi Al Quran, (Kairo:
Darul Hadits, 2006), hal. 416
9
10
Muhammad Husain Adz Zahaby, At Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Dar Hadits,
2005), Juz I, hal. 33 dst.
11
11
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad Dakhîl fi At Tafsîr, (tanpa tahun), hal. 351-352
12
Ibrahim Abdurrahman,... hal 351-352
12
13
Sejarah panjang aplikasi Metodologi Bible dalam studi Al Quran dapat dilihat secara
lengkap dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam studi Al Quran, (Jakarta: GIP, 2005)
cet. I
17
mengandung perintah membaca. Dan karena belum ada teks Al Quran yang
terkodifikasi ketika itu, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud Allah Swt.
adalah membaca realitas dan memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan yang
ada disekeliling Nabi Muhamad Saw. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Rasulullah
Saw., sehingga dakwah yang Beliau lakukan sangat memperhatikan nilai-nilai
humanis dan konteks sosial, budaya dan politik.
Tidak berhenti disitu, perintah Allah untuk memperhatikan realitas dengan
konotasi senada berulang-ulang disampaikan dengan menggunakan isyarat-isyarat
bebeda. Kata-kata yang sering digunakan Al Quran misalnya nadhara, fakkara,
bashara, dabbara, dsb. Allah mengajak manusia untuk mencermati penciptaan
alam semesta, realitas kehidupan, lingkungan, hingga anatomi dan psikologi
manusia.
Di sisi lain, hukum dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Quran ditujukan
untuk kemaslahatan umat manusia. Perintah dan larangan yang tertuang di
dalamnya adalah dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sosial dan
keberlangsungan alam semesta. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya
perbahan dan perbaikan yang diajarkan Al Quran terutama untuk menentang
tradisi jahiliyah yang bertentangan dengan akal, di luar kesanggupan atau tanpa
hikmah dan maslahat.14
14
Banyak contoh menarik yang bisa kita dapatkan, antara lain pada kasus Zaid bin
Haritsah (Al Ahzâb: 36-40), dan Haulah bintu Tsa'labah (Al Mujadilah: 1-4).
15
Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The making of an Image
menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam”.
18
Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis: “it is a strange
fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role
in our civilization.” Dikutip dengan beberapa perubahan dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel, (Jakarta: GIP, 2005)
16
I. J Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta, Wacana Press, 2004) hal. 150-152
19
29 surat. Ada banyak pemahaman ulama tentang maksud Allah memulai surat-
surat ini dengan huruf Hijaiyah.17
Di antara para ulama ada yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad
tersebut digunakan untuk menarik perhatian para pendengar agar memperhatikan
Al Quran. Bahwa Al Quran yang telah diturunkan Allah dalam bahasa Arab dan
tersusun dari huruf-huruf yang mereka pahami. Ayat mubîn, ayat hakîm atau
hudan lil muttaqîn tentu harus tersusun dari bahasa-bahasa yang dapat dipahami
dengan mudah oleh pendengar dan pembacanya.
Kajian komparatif selanjutnya mengenai kitab suci komparasi historis,
perbandingan antara sejarah Al Quran dan sejarah Bible. Salah satu unsur yang
harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan dalam kajian terhadap sebuah
pengetahuan, pemikiran, ide dan konsep adalah melihat latar belakang historis
dimana konsep, ide dan pemikiran tersebut dirumuskan. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, bahwa Hermeneutika muncul dalam pengkajian Bible disebabkan
keraguan akan asal usul Bible, disusul oleh banyaknya pertentangan dengan ilmu
pengetahuan dan etika sosial di dalamnya,18 serta berbagai penyimpangan dalam
penggunaannya. Bible dan gereja di zaman kegelapan (the dark ages)19 dengan
menggunakan otoritasnya sebagai wahyu Tuhan menghegemoni kehidupan
manusia dan melakukan banyak tindak kejahatan. Saat itu, Gereja dengan
mengikrarkan diri sebagai institusi resmi wakil Tuhan di bumi telah melakukan
banyak tindakan brutal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ini
tentu saja berbeda dengan sejarah Al Quran yang sejak awal hingga saat ini tidak
bertentangan dengan perkembangan keilmuan dan telah membebaskan masyarakat
Arab dan umat manusia secara umum dari perbudakan dan penganiayaan.
17
Jalaluddin As Syuyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûmil Qurân (Beirut: Dar Al Kotob Al Ilmiyah,
2004), hal. 319
18
Bukti paling jelas adalah ketika kalangan gereja menolak penemuan ilmiah Johannes
Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624)
19
Barat menyebutnya sebagai zaman pertengahan (The Nedieval Ages). Dimulai
dengan keruntuhan Imperium Romawi Barat tahun 476 hingga munculnya zaman Renaissance
sekitar abad ke 14
21
C. PENUTUP
Rasulullah Saw. bersabda:
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لتتبعن
سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا فى حجر
ضب التبعوهم قلنا يا رسول هللا اّليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, Rasulullah Saw. bersabda: Kalian
sungguh akan mengikuti jalan kaum sebelum kalian sehasta demi sehasta,
sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak
sekalipun kalian akan mengikutinya juga. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah
menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka) ?”21
Diskursus Hermeneutika begitu bergema dalam studi Al Quran saat ini.
Perlu ada pengkajian intens yang dilakukan oleh para ulama, cendekiawan dan
akademisi muslim, terutama dalam penolakan terhadap hal-hal yang merusak
kesakralan kitab suci mereka.
Hermeneutika adalah ilmu yang perlu diketahui namun perlu juga
ditempatkan pada tempatnya. Yang paling penting, Hermeunetika perlu dikaji
secara kritis. Dia memang merupakan cabang ilmu yang sering digunakan untuk
'merusak' keilmuan lainnya. Paling tidak seperti itu yang nyata terlihat ketika dia
masuk dan bercampur dengan kajian-kajian filsafat dan sejarah. Dia menjadi
semakin bermasalah ketika digunakan untuk mengetahui makna kitab suci,
20
Makalah Adian Husaini, Hermenutika dan Problematika Teks Bible, hal. 145-147
21
HR Bukhari no. 7320, Muslim no. 2669, Turmudzi no. 2180, Ahmad no. 5/218
23
DAFTAR PUSTAKA
24
Banyak contoh menarik yang bisa kita dapatkan, antara lain pada kasus Zaid bin
Haritsah (Al Ahzâb: 36-40), dan Haulah bintu Tsa'labah (Al Mujadilah:
1-4).
Bukti paling jelas adalah ketika kalangan gereja menolak penemuan ilmiah
Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624)
Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis
Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007
HR Bukhari no. 7320, Muslim no. 2669, Turmudzi no. 2180, Ahmad no. 5/218
Muhammad Husain Adz Zahaby, At Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Dar Hadits,
2005), Juz I
Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The making of an Image
menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam”
25
Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis: “it is a
strange fact that we have never known with certainty who produced the
book that has played a central role in our civilization.” Dikutip dengan
beberapa perubahan dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel, (Jakarta: GIP, 2005)
Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut:
Libeirie Du Liban, 1967)
Sejarah panjang aplikasi Metodologi Bible dalam studi Al Quran dapat dilihat
secara lengkap dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam studi
Al Quran, (Jakarta: GIP, 2005)