Anda di halaman 1dari 25

1

A. Pendahuluan
Salah satu kajian yang terus berkembang dan mendapat porsi lebih dalam
khazanah ilmu pengetahuan kontemporer adalah kajian tentang peta ilmu
pengetahuan itu sendiri atau yang kemudian lebih dikenal dengan kajian
epistimologi. Kajian-kajian ini semakin menemukan peminatnya ketika dia
menyentuh ranah-ranah yang dianggap sakral dalam studi keagamaan.
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa dalam setiap agama samawi, sumber
epistimologi utama adalah kitab suci. Di titik ini terjadi banyak variasi pemikiran
dan penafsiran. Tema-tema kontroversial sengaja dimunculkan meramaikan
kajian-kajian keagamaan. Kitab suci didudukkan pada pada posisi 'terdakwah',
dengan tuduhan utama melahirkan peradaban qauliyah dan memarginalkan
bahkan mendiskreditkan peradaban kauniyah.
Dalam diskursus ini, wacana keislaman mendapat perhatian lebih serius
dibandingkan dengan wacana keagamaan lainnya. Hal ini boleh jadi karena Al
Quran sebagai kitab suci Umat Islam memang layak untuk mendapatkan
pengkajian serius. Bagi kaum Muslimin, mu’jizat terbesar Nabi Muhammad ini
diyakini sebagai petunjuk untuk umat manusia hingga akhir zaman. Realitas
ilmiahnya terbukti akurat, gaya bahasa dan liriknya diakui indah, kisah masa
lampau yang benar dan ramalan masa depan yang tepat, mengantarkan manusia
pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Dari prinsip dasar dan
keyakinan inilah lahir usaha-usaha untuk menggali dan memahami apa yang
disampaikan oleh Al Quran. Maka Al Quran yang dijadikan acuan pertama dan
utama dalam penetapan hukum dipelajari, ditafsirkan dan dikaji dengan serius
sehingga nilai-nilai qurani yang bernuansa ilahiyah mampu dijabarkan dalam
kehidupan insaniyah.
Tema-tema usang yang kembali menjadi pembicaraan adalah sejauh mana
peran manusia dalam proses penafsiran Al Quran. Tafsir Al Quran klasik karya
ulama Islam terdahulu kembali dikaji dan dipelajari baik oleh cendekiawan
muslim maupun non muslim, bahkan mendapat perhatian serius dari para
orientalis, penginjil dan sebagainya. Persinggungan intens dunia pemikiran timur
(dalam hal ini kaum muslimin) dengan dunia pemikiran Barat yang dominan dan
2

hegemonik yang kemudian telah menyeret paksa wacana polemis Hermeneutika


masuk ke dalam kajian Al Quran kontemporer.

B. STUDI AL-QUR’AN DAN KONSEP HERMENEUTIKA (Wilhelm


Dilthey)
1- Pengertian Hermeneutika
Istilah Hermeneutika dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya kajian Al
Quran klasik, tidak di temukan (sekalipun dalam segi penerapan hampir mirip
dengan sebuah aliran penafsiran yang muncul di masa-masa kodifikasi tafsir dan
berkembangnya aliran pemikiran Islam yaitu aliran Bathiniyah). Istilah
Hermeneutika ini –kalau melihat sejarah perkembangan Hermeneutika modern-
mulai populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat
teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak
intelektual muslim kontemporer.1
Menurut etimologi, Hermeneutika berasal dari akar kata bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan, menguraikan dan menerjemahkan.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa Hermeneutika diambil dari kata Hermes.2
Dalam metodologi Yunani terdapat dewa dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus
dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai
utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama
Hermes inilah konsep Hermeneutika kemudian digunakan.3
Dalam keyakinan Yunani, Hermes menerjemahkan dan menjelaskan pesan
para dewa yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Para
hermeneut menyamakan peran Hermes yang mereka yakini sebagai Nabi Idris4
tersebut dengan peran Nabi Muhammad yang menyampaikan risalah Allah

1
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), cet. I, hal. 13
2
Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis
Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007, hal. 29
3
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah
Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006),
hal. 111
4
Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut: Libeirie
Du Liban, 1967), hal. 64
3

melalui Al-Quran kepada umat manusia sekaligus menjelaskannya kepada


mereka. Para hermeneut menganggap bahwa Hermeneutika serupa dengan Tafsir
yang berfungsi menjelaskan Al-Quran.
Adapun dalam menentukan terminologi yang pas tentang Hermeneutika
tidaklah mudah. Tidak cukup hanya dalam rentetan satu atau dua kalimat. Para
hermenut sendiri berbeda dalam mendefinisikannya. Hans Georg Gaddamer
(1900-1998/2002) mendefinisikan Hermeneutika sebagai solusi dari permasalahan
pemahaman dengan menyederhanakan makna dan mencoba mamahami dengan
cara tertentu5. Zygmunt Bauman mengatakan bahwa Hermeneutika adalah upaya
menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau
tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang
menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.6

2- Sejarah Hermeneutika
Al Quran menyatakan bahwa sebelum dia diturunkan, Allah telah lebih
dahulu menurunkan kitab-kitab suci lainnya kepada beberapa orang Rasul
sebelum Muhammad Saw. Antara lain misalnya Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud dan Injil kepada Nabi Isa As. Problematika
yang muncul kemudian adalah bahwa kitab-kitab suci tadi hanya mampu bertahan
keoriginalannya pada periode-periode awal turunnya. Sedangkan pada periode
selanjutnya, terutama setelah meninggalnya para nabi dan sahabat-sahabatnya
tidak terpelihara dengan baik. Generasi yang datang setelah itu baik sengaja
maupun tidak telah banyak melakukan perubahan-perubahan dari teks asli kitab
suci mereka, menyesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan masing-masing.
Begitu seterusnya, sehingga semakin jauh dari masa kenabian maka semakin
berubah dari teks aslinya. Informasi dan kecaman terhadap hal ini banyak kita
dapatkan dalam kitab suci yang turun sebagai penyempurna kitab-kitab tadi yaitu
Al Quran.

5
Fahmi Salim,... hal. 29
6
Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia
University Perss, 1978), hal. 7
4

Akibat perubahan dan penyimpangan inilah sehingga di kemudian hari


para Teolog Yahudi Kristen setelah mempelajari secara kritis menyimpulkan
bahwa baik Taurat maupun Injil yang selama ini dianggap sebagai kitab suci
ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar.
Hermeneutika dalam teologi Yahudi-Kristen lahir dan berkembang dari
pemberontakan mereka terhadap otoritas Bible dan gereja yang banyak
menyimpang dari nilai-nilai keilmuan dan sosial. Mereka menolak teks Bible dan
berusaha agar Bible tidak mencampuri kehidupan mereka. Hal ini dapat kita lihat
misalnya dalam kasus makanan haram yang telah ditentukan dalam Bible
ditafsirkan dengan makna lain yang berubah dari pemahaman teksnya. Teks yang
secara jelas mengharamkan hewan-hewan tertentu untuk dikonsumsi, ditafsirkan
dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki hewan-hewan itu yang mesti dijauhi.
Hermeneutika sendiri mengalami banyak kali pergeseran makna sesuai
kecenderungan dan kondisi sosial para tokohnya. Di sana kemudian banyak
terjadi perdebatan sengit antara masing-masing pemahaman. Ini disebabkan
karena metode ini tidak terlahir lengkap dan siap pakai. Namun ia berkembang
secara berangsur-angsur mengikuti perkembangan tokoh dan perumusnya. Intinya
adalah bahwa hermeneutika akhirnya berakhir pada titik all understanding is
interpretation, semua pemahaman adalah penafsiran, oleh karenanya akan sangat
mengacu pada subyektivitas penafsir.
Secara ringkas sejarah Hermeneutika dalam teologi Kristiani berikut
pertentangan dan perspektif masing-masing tokoh itu adalah sebagai berikut:7
1. Istilah Hermeneutika baru pertama kali ditemukan dalam karya Plato (429-
347 SM)
2. Metode Hermeneutika alegoris dikembangkan oleh Philo of Alexandria
(20 SM-50M). Ia adalah seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai
Bapak Metode Hermeneutika Alegoris.
3. Metode Hermeneutika alegoris ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi
kristen, tokohnya Origen (sekitar 185-254) Ia berhasil menulis kitab

7
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah
Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebaga,... Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
5

Perjanjian Lama dengan menggnakan metode ini, dan berikutnya


dikembangkan oleh Johanes Cassianus (360-430)
4. Metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok
yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch.
Yang pertama dipengaruhi oleh Hermeneutika Plato dan yang kedua
berkiblat pada Heremeneutika Aristoteles. Seorang teolog dan filosof
Kristen, St. Augustine of Hippo (354-430) mengambil jalan tengah dan
memberi makna baru kepada Hermeneutika dengan memperkenalkan teori
semiotik
5. Thomas Aquinas (1225-1274) mengembangkan metode Hermeneutika
dalam teologi Kristen dengan menggabungkan filsafat Aristoteles dengan
doktrin-doktrin Kristiani.
6. Para tokoh reformasi Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich
Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) melakukan perubahan
sikap dan perlawanan terhadap Bible dan otoritas gereja
7. Teori Hermeneutika berkembang menjadi metode interpretasi dan mulai
menyamakan Bible dengan teks-teks lainnya dapat ditemukan awal
mulanya pada karya J.C Dannheucer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus
Exponendarum Sacrarum Litterarum (terbit tahun 1654). Protes terhadap
otoritas gereja yang bertentangan dengan akal muncul dalam karya
Benedictus de Spinoza (1632-1677), Tractatus Theologico-Politicus (terbit
1670). Beberapa filosof dan teolog terkenal dari Universitas Halle
Christian Wolff (1679-1754), Siegmund J. Baumgarten (1706-1755),
Johann S. Semler (1725-1791) ikut berperan bagi derasnya arus pemikiran
liberal bahkan sekuler ini. Masyarakat barat telah lebih cenderung
menggunakan akal secara mandiri dan melepaskan diri bahkan tidak lagi
percaya pada doktrin-doktrin tradisional keagamaan.
8. Perkembangan makna Hermeneutika dari sekedar ilmu interpretasi menuju
kepada metodologi pemahaman dilontarkan oleh seorang pakar filologi,
Friedriech Ast (1778-1841). Di pertengahan abad ke tujuh belas
sebenarnya tanda-tanda menuju pergesaran makna itu sudah mulai terlihat.
6

Keyakinan bahwa teks hanyalah perwakilan dari dunia mitos dan realitas
masyarakat modern sebagai gambaran dunia ilmiah menjadi awal mula
berubahnya penggunaan metodologi Hermeneutika dari sekedar disiplin
ilmu yang mengkomunikasikan pesan-pesan Bible menjadi alat memahami
dengan objek yang lebih terbuka.
9. Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang
alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof sekaligus pendeta
mejadi babak baru perkembangan Hermeneutika. Dia dianggap sebagai
Bapak Hermeneutika Modern sekaligus sebagai Pendiri Protestan Liberal.
Dialah yang pertama kali berusaha membakukan Hermeneutika sebagai
satu metode umum interpretasi yang tidak hanya tebatas pada kitab suci
dan sastra. Karena berlatar belakan pendeta sekaligus filosof,
Schleiermacher membelokkan makna hermeneutika menjadi metododlogi
pemahaman dalam pengertian filsafat. Dia berpendapat bahwa
Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang.
Interpretasi yang benar menurut teori Schleiermacher tidak saja
melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi
juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran
pengarang dilihat dalam konteks kultural yang lebih luas, maka ia dapat
memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya
sendiri. Dalam kaitannya dengan Al Quran, teori ini irrelevan dan
irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap
mental Tuhan ketika mewahyukan Al Quran.
10. Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastra dan
sejarawan asal Jerman, mengkritisi Hermeneutika Schleiermacher. Lagi-
lagi terjadi pemaknaan baru yang kemudian dikenal dengan Hermeneutika
Dilthey. Menurutnya, Hermeneutika adalah "teknik memahami ekspresi
tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan." Ia membelokkan
makna Hermeneutika menjadi metodologi sejarah.
11. Hans Georg Gadamer (1900-1998) yang datang setelah itu mengkritik
Dilthey dan menekan Hermeneutika menjadi kajian ontologis yang lebih
7

konsentrasi pada konteks tradisi filsafat barat. Ini antara lain dikarenakan
Gadamer sendiri besar dilingkungan filsafat fenomeologi Jerman. Tidak
lama kemudian Jurgen Hebermas yang berlatar belakang filsafat sosial
Marxis mengkritik Gadamer dan menggeser makna Hermeneutika menjadi
metode pemahaman yang bernuansa kepentingan (interest), khusunya
kepentingan kekuasaan.
12. Mohammed Arkoun, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Sorbon
dengan isu dekonstruksi yang menurutnya akan memperkaya keilmuan
Islam. Dekonstrusi yang dia maksud adalah membongkar hal-hal yang
selama ini telah menjadi kesepakatan umum di kalangan ummat Islam,
menghilangkan nilai-nilai kesakralan, menekankan kajian pada aspek
historis dan memulai kajian-kajian krititik Bible. Bagi Arkoun, mushaf
yang ada saat ini tidak layak untuk disucikan, sebab nilai kebenarannya
tidak sebagaimana yang ada pada zaman kenabian. Mushaf yang tertulis
ini lebih tidak akurat, tidak outentik dan berkurang dari kitab yang
diturunkan, yang masih dalam bentuk lisan. Menurut Arkoun, kajian yang
dia lakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zaid.
13. Nasr Hamid Abu Zaid (1943-.....), Dosen Bahasa Arab dan Studi Al Quran
di Universitas Kairo dan dosen tamu di Universitas Leiden sejak 1995
hingga sekarang. Ia mengaku sebagai seorang Islamolog dan namanya
dikenal dengan isu kontroversialnya bahwa Al Quran adalah cultural
product, atau dalam istilah Abu Zaid, Al Muntâj Ats Saqafy (produk
budaya). Dalam kajiannya terhadap Al Quran, Abu Zaid menggunakan
sebuah metodologi yang secara simplistis dipaksakan penyebutannya
sebagai metode analisa teks bahasa-sastra (Nahju At Tahlîl An Nushûs Al
Lughawiyah Al Adabiyah). Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya
metode yang mungkin digunakan dalam mengkaji pesan dan memahami
Islam. Metode ini adalah bagian dari hermeneutika yang dipelajari Abu
Zaid ketika dia berada di Pennsylvania, Phidelphia antara tahun 1978
hingga tahun 1980. Diantara karya-karyanya adalah Mafhûmun Nash dan
8

Naqdul Khitâb Ad Dîny. Ia menuduh para ulama Islam terdahulu telah


melakukan dikotomi antara realitas dan teks.
Untuk memahami titik permasalahan yang berkembang pada kajian Al
Quran kontemporer, ada baiknya bila kita secara ringkas mencoba
mempelajari kembali kajian Al Quran klasik yang telah lebih dulu mapan
dan mengakar kuat dalam keilmuan Islam baik dari sisi historis,
keilmiahan maupun kesesuaian dengan kebutuhan zaman.

3- Sekilas tentang Tafsir Al Quran


Secara etimologi, kata Tafsir berasal dari kata fassara yang dalam bahasa
Arab berarti menjelaskan atau menerangkan.8 Dalam Surat Al Furqân Allah Swt.
berfirman:
   
 
  
Artinya : Tidaklah mereka (orang-orang kafir) itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al Furqân: 33)
Secara terminologi Tafsir Al Quran dalam pemahaman Umat Islam berarti
suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai segala hal yang berkaitan dengan
Al Quran. Oleh karena itu, Tafsir mencakup semua cabang ilmu yang
mendekatkan terhadap pemahaman terhadap Al Quran. Az Zarkasy
mendefinisikannya sebagai ilmu tentang turunnya ayat, surat dan kisah-kisah Al
Quran, isyarat yang diturunkan di dalamnya, kemudian penyusunannnya
berdasarkan makiyyah dan madaniyah, ayat-ayat yang jelas dan samar, nasikh
mansukh, khusus dan umum, mutlak dan terikat, global dan terperinci.9
Tafsir Al Quran adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan klasik dalam
sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Ilmu Tafsir sudah muncul

8
Ibnu Manzhur, Lisânul Arab, (Kairo: Darul Hadits, 2003), vol. IX, hal. 124
9
Badruddin Muh. bin Abdillah Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumi Al Quran, (Kairo:
Darul Hadits, 2006), hal. 416
9

sebenarnya bersamaan dengan awal kenabian Muhammad Saw., yang ditandai


dengan turunnya ayat pertama Al Quran, Surat Al Alaq.
Oleh karena itu ketika membicarakan sejarah Tafsir Al Quran maka sacara
tidak langsung kita juga akan mempelajari sejarah perkembangan Al Quran sejak
masa Rasulullah, para sahabat, tabi'in, selanjutnya masa awal penyusunan tafsir,
kemunculan buku-buku tafsir klasik dan akhirnya perkembangan tafsir di masa
modern.
Al Quran yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab mengikuti uslub
yang bekembang dalam bahasa tersebut. Terdapat beragam tingkatan dalam
bahasa Al Quran. Terkadang dia menggunakan majaz, kiasan, perumpamaan, dsb.
Rasulullah Saw., sebagai nabi yang menerima Al Quran memahami dengan baik
semua itu dengan izin Allah Swt.
Sedangkan para sahabat Ra., berbeda-beda dalam pemahaman sesuai
kapasitas keilmuan dan kedekatan masing-masing dengan Rasulullah Saw.
Beberapa sahabat yang dikenal sebagai Mufassir Al Qurân antara lain: Khalifah
yang empat, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa Al Asy'ary dan Abdullah bin Zubair. Sepeninggal Rasulullah Saw., para
sahabat inilah yang menjad rujukan umat dalam menafsirkan ayat-ayat Tuhan.
Setelah daerah kekuasaan kaum muslimin di masa khulafâ' râsyidîn
mengalami perluasan, maka mau tidak mau para sahabat Rasulullah Saw. ikut
membagi diri di daerah-daerah baru tersebut demi penyebaran Islam. Diantara
mereka ada yang menjadi pemimpin-pemimpin dalam pemerintahan, panglima-
panglima tentara pertahanan, hakim-hakim pengadilan dan guru-guru yang
mengajarkan pengetahuan keislaman. Semua mereka mengajarkan apa yang
mereka terima dari Ralullah Saw., hingga akhirnya di setiap daerah muslim
dikenal sekolah atau pengajan-pengajian keislaman. Sebagian dari pengajian-
pengajian itu akhirnya lebih dikenal sebagai madrasah tafsir Al Quran disebabkan
yang menjadi pengajarnya adalah sahabat yang terkenal sebagai seorang mufassir.
Secara umum ada tiga madrasah tafsir yang sangat terkenal di masa
sahabat. Pertama madrasah Ibnu Abbas di Mekah, diantara murid-muridnya
adalah Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Mujahid, Thawus dan Atha' bin Abi Rabah.
10

Berikutnya madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah, diantara murid-muridnya


adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka'ab. Madrasah ketiga
adalah madrasah Ibnu Mas'ud di Iraq. Diantara murid-muridnya adalah Al Qamah
bin Qays, Masruq, Aswad bin Zaid, Murrah Al Hamadani, 'Amir As Sya'biy,
Hasan Al Bashry dan Qatadah.
Periode selanjutnya adalah periode penyusunan ilmu tafsir. Periode ini
dimulai sejak akhir keruntuhan Bani Umayyah dan awal mula kekuasaan Bani
Abbasiyah. Ketika dimulai kompilasi hadits nabawiyah pada masa Umar bin
Abdul Aziz, sebenarnya secara tidak langsung telah terjadi pula kompilasi Tafsir
Al Quran sekalipun belum secara mandiri dan terpisah. Sebab bab-bab hadits yang
disusun para ulama ketika itu mencakup tafsiran-tafsiran Nabi terhadap ayat-ayat
Al Quran bahkan beberapa penafsiran sahabat dan tabi'in. Pemisahan tafsir dari
hadits serta kajian dan kodifikasi tafsir secara serius baru dimulai sekitar akhir
abad ke dua dan awal abad ketiga hijriah oleh para ulama pegiat hadits dan tafsir
seperti Ibnu Majah (373 H), Ibnu Jarir At Thabary (310 H), Abu Bakar bin
Mundzir An Naisabury (318 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Ibnu Hibban (369 H),
Hakim (405 H), Abu Bakar bin Mardawayh (410 H) dst. Tafsir yang berkembang
pada masa itu sangat menekankan pada aspek periwayatan dari Rasulullah Saw.
atau yang lebih dikenal dengan Tafsîr bil Ma'tsûr. Baru setelah itu hingga zaman
sekarang model penafsiran menjadi lebih luas, dengan menggabungkan aspek
periwayatan dan pemahaman akal masing-masing penafsir yang lebih dikenal
dengan Tafsîr bi Ar Ra'yi.10
Tafsîr bi Ar Ra'yi sendiri memiliki berbagai persyaratan tambahan
disamping syarat-syarat umum yang lazim dikenal dalam Tafsîr bil Ma'tsûr.
Tanpa memenuhi syarat-syarat itu sebuah penafsiran dengan menggunakan akal
akan tertolak dan digolongkan para ulama sebagai Tafsîr bi Ar Ra'yi Al
Madzmûm (tafsir berdasarkan akal semata yang tercela).

10
Muhammad Husain Adz Zahaby, At Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Dar Hadits,
2005), Juz I, hal. 33 dst.
11

Ibrahim Khalifah menyebutkan hal-hal yang mesti dilakukan oleh penafsir


bi Ar Ra'yi sebagai berikut:11
1. Kesesuaian yang sempurna antara hasil penafsiran dan apa yang
ditafsirkan, tanpa kekurangan sedikitpun pada makna dan maksud, dan
tidak terjadi penambahan dengan sesuatu yang tidak memiliki hubungan
2. Memahami perkataan sesuai yang ditentukan atau yang dikuatkan.
Sekurang-kurangnya makna tersebutlah yang dimaksud secara hakikat
atau secara majaz, dan seterusnya sesuai bentuk kalimat
3. Memperhatikan bentuk kalimat dan hubungan antara satu dan lainnya
4. Memperhatikan sebab turun ayat
5. Memastikan dan mengumpulkan segala kemungkinan yang terkait dengan
susunan kata-kata Al Quran, selanjutnya menyusunnya berdasarkan ilmu-
ilmu terkait kemudian membuat kesimpulan hukum berdasarkan kaidah
bahasa, syariat dan akal.
Adapun hal-hal yang mesti ditinggalkan oleh penafsir adalah sebagai
berikut:12
1. Menafsirkan tanpa memili pengetahuan memadai dalam ilmu-ilmu yang
terkait dengan penafsiran
2. Berlebih-lebihan dalam menafsirkn hal-hal yang hanya diketahui oleh
Allah semata
3. Menafsirkan berdasarkan hawa nafsu dan pandangan pribadi tentang nilai
baik-buruk
4. Memastikan apa yang diinginkan Allah dari suatu ayat tanpa disertai dalil
5. Menganggap bahwa dalam Al Quran terjadi pengulangan yang tak berarti
atau mengatakan bahwa lafadz yang digunakan Al Quran dalam suatu ayat
bisa digantikan dengan lafadz lain.

11
Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad Dakhîl fi At Tafsîr, (tanpa tahun), hal. 351-352
12
Ibrahim Abdurrahman,... hal 351-352
12

4- Telaah komparatif terhadap Hermeneutika dan Tafsir


Komparasi analitis antara dua bangunan konsep ini adalah langkah awal
yang mesti dilakukan sebelum memberikan peringkat keilmiahan pada masing-
masingnya. Amat sulit sebenarnya mencari kesamaan antara metodologi
Hermeneutika dan Tafsir. Dari segi makna terminologi, sejarah, aplikasi dan
kekuatan ilmiahnya jauh berbeda. Meski ada sekelompok kecil orang yang
mengatakan terdapat beberapa persamaan karena keduanya adalah metodologi
pemahaman, namun perbedaan antara keduanya jauh lebih banyak sehingga
mustahil mensinonimkan dan mengaplikasikan keduanya dalam memahami
makna Al Quran. Atau jika tetap dianggap bahwa pengertian Hermeneutika
masuk dalam defenisi Tafsir, maka Model penafsiran Hermeneutika lebih mirip
Tafsîr bi Ar Ra'yi Al Madzmûm.
Perbedaan paling mendasar antara keduanya adalah bahwa Hermeneutika
merupakan model pemahaman yang menjadikan subjektivitas dan asumsi
hermeneut sebagai sandaran utama. Sehingga itu teori dan aplikasi Hermeneutika
terus mengalami perubahan, perbedaan bahkan pertentangan antara satu dengan
yang lainnya.
Sedangkan Tafsir adalah sebuah metode interpretasi teks yang berusaha
untuk seobjektif mungkin memahami dan menjelaskan pengertian teks sesuai
dengan maksud pengucapnya. Tafsir sangat mementingkan otentisitas dan
validitas teks, serta sangat memperhatikan setting sejarah dari keluarnya teks itu
dan konteks posisi antara satu bagian teks dengan bagian lainnnya. Referensi
utama dalam menafsiri sebuah ayat Al Quran adalah firman Allah Swt. Di ayat
yang lain dan penjelasan Rasul dalam hadits-haditsnya. Derajat tertinggi dalam
Ilmu Tafsir adalah penafsiran Al Quran dengan Al Quran. Setelah itu penafsiran
Rasulullah Saw. sebagai manusia yang paling memahami Al Quran di posisi
kedua. Ketika Rasulullah masih hidup, dua model penafsiran inilah yang
berkembang. Jika ada permasalahan dalam Al Quran yang tidak dipahami oleh
para sahabat, mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw. Oleh sebab
itu penjelasan Al Quran dengan menggunakan metodologi Tafsir memiliki sumber
yang jelas dan jauh dari dugaan.
13

Allah Swt berfirman dalam Al Quran:


  
  
  
    
 
Artinya : Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman (An Nahl: 64)
Seperti ditegaskan oleh Al Quran, segala penjelasan yang dilakukan
Rasulullah bukanlah penjelasan subjektif Beliau, apalagi spekulatif. Akan tetapi
penjelasan yang memang sesuai dengan maksud Allah Swt. Dan disampaikan
dlam pantauan-Nya.
   
     

Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). (An Najm:3-4)
   
  
   
  
    
   
  
Artinya : Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas
(nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan
kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat
menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan Sesungguhnya
Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa. (Al Hâqqah: 44-48)
14

Setelah Rasulullah wafat, penafsiran yang dilakukan sahabat adalah


dengan meneliti makna ayat yang serupa dan memperhatikan konteks
asbabunnuzul yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut. Selain itu mereka
juga merujuk kepada penafsiran Rasulullah Saw. Setelah benar-benar tidak
menemukan dalam Al Quran dan hadits Rasulullah, mereka menanyakan maksud
ayat pada sahabat lain yang pernah mempelajari ayat tersebut secara langsung dari
Rasulullah, karena mereka dianggap lebih memiliki otoritas terhadap
penafsirannya. Baru setelah semua jalan mereka tempuh dan tidak menemukan
Tafsir dari ayat yang mereka inginkan, mereka melakukan ijtihâd, terutama
dengan meneliti pengertian kata-kata kunci dalm ayat tersebut secara bahasa.
Dalam Islam, ijtihad diikat oleh ketentuan dan kaidah tersendiri yang
diatur sedemikian rupa sehingga hanya boleh dilakukan berdasarkan kapasitas
keilmuan yang diakui, wawasan keislaman dan kemampuan bahasa yang
memadai.
Selain itu, Tafsir Al Quran juga harus didukung oleh penguasaan terhadap
disiplin ilmu-ilmu tertentu yang sangat terkait dengan Al Quran baik dalam segi
sejarah, kata-kata maupun isi kandungannya. Tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut
dengan benar seorang muslim tidak dibenarkan menafsirkan Al Quran agar tidak
terjadi penyimpangan. Seorang penafsir Al Quran dituntut untuk mengetahui ilmu
tentang ragam bacaan (qiraah), sejarah, sebab turunnya ayat, nasikh mansukh,
ayat-ayat yang jelas dan samar, gramatika bahasa arab, majaz, kiasan dsb. Ilmu-
ilmu inilah yang menjadikan tidak terjadinya pertentangan dalam ratusan buku-
buku Tafsir ulama Islam klasik maupun kontemporer.
Di titik ini lagi-lagi terjadi perbedaan yang sangat kontras antara dua
metodologi ini. Hermeneutika yang dibangun atas paham relatifisme sehingga
menghasilkan kesimpulan yang berbeda bahkan bertentangan, sama sekali tidak
mementingkan aspek kemampuan ilmiah. Sesuai teori Schleiermacher, siapapun
yang ingin memahami silahkan memahami. Tidak ada syarat-syarat tertentu
menyangkut kapabilitas pelaku pemahaman.
Secara ringkas perbedaan antara Hermeneutika dan Tafsir dapat kita simpulkan
dalam poin-poin berikut:
15

Hermeneutika menjadikan subyektivitas sebagai sandaran utama,


menggunakan prinsip ‘menduga’ dan memandang teks bukan sebagai fenomena
bahasa yang merupakan alat komunikasi obyektif. Sedangkan Tafsir merupakan
metode penjelasan untuk menuju maksud obyektif dari pemilik teks yang memang
memfungsikan teks itu sebagai alat komunikasi antara dirinya dan pembaca.
Tafsir diikat dan harus didukung oleh disiplin ilmu lainnya. Sedangkan
Hermeneutika mengartikan teks tanpa persyaratan penguasaan terhadap keilmuan
lain yang mendukung. Tafsir memperhatikan konteks-konteks yang meliputi teks,
baik konteks historis maupun konteks kalimat. Sedangkan hermeneutika, secara
umum menghendaki pelepasan teks itu dari konteksnya dan dari sejarahnya
sehingga sang pembaca semakin menemukan kebebasan dalam berekspresi ketika
memberikan arti-arti baru terhadap teks (meskipun bertentangan secara kontras
dengan konteks dan bunyi teks)
Fungsi Tafsir adalah sebagai perantara untuk memahami maksud
pengarang teks. Sedangkan dalam Hermeneutika, pemahaman dapat berubah
sesuai dengan berkembangnya keinginan dan obsesi atau ambisi pembaca.
Pemahaman dalam Hermeneutika adalah apa yang diinginkan oleh pembaca,
bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Seorang Hermeneut dapat memberikan
arti apa saja kepada semua bagian teks tanpa terkecuai selama dia ingin.
Sementara dalam tradisi Tafsir, hal-hal dalam teks yang memang kebetulan tidak
ditemukan rincian pengertiannya oleh seorang penafsir semisal ayat-ayat yang
berbicara tentang alam gaib, hari kiamat, dsb, tentu tidak bisa ia kemukakan
penjelasannya (sebab dalam kondisi itu memang sedang tidak ada bahan ilmiah
yang bisa dijadikan sebagai argumentasi obyektif).
Berdasarkan fakta di atas, para cendekiawan muslim kontemporer sepakat
bahwa nilai ilmiah metodologi tafsir jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan
dibandingkan Hermeneutika yang sama sekali tidak memiliki sandaran kecuali
dari kosep 'latah' para penganjurnya.
16

5- Mungkinkah metode Hermeneutika diterapkan dalam studi Al Quran?


Usaha untuk mengaplikasikan metodologi Bible dalam studi Al Quran
telah mulai dirintis oleh oleh para teolog Kristen dan orientalis sejak awal mereka
mengaplikasikannya dalam Injil.13
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mungkin atau pantaskah
metode Hermeneutika ini digunakan untuk memahami Al Quran?
Secara umum, para penganjur Hermeneutika beralasan bahwa studi
Hermeneutika patut dimasukkan dalam kajian-kajian kitab suci untuk
memunculkan nilai-nilai kontekstual yang terhalangi oleh teks. Baik Injil maupun
Taurat menurut mereka tidak membawa nilai-nilai kontekstual itu. Mereka
kemudian menggeneralisir hal yang sama terjadi pada Al Quran. Bahwa teks
ilahiyah itu perlu dijabarkan dengan metodologi Hermeneutika agar lebih bersifat
humanis.
Ada beberapa hal penting yang perlu dikaji terlebih dahulu sebelum
memutuskan boleh tidaknya konsep Hermeneutika diterapkan dalam memahami
Al Quran. Pertama, benarkah bahwa teks Al Quran tidak bernilai kontekstual,
tidak humanis. Kedua, membandingkan teks Al Quran dengan teks kitab suci
lainnya khususnya Bible (Taurat dan Injil) juga mengkaji sejarah Al Quran dan
membandingkannya dengan sejarah Taurat dan Injil.
1. Benarkah Al Quran tidak bersifat humanis?
Umat Islam secara keseluruhan sepakat bahwa Islam tidak hanya terbatas
pada teks yang tersusun dalam kitab suci Al Quran tapi juga sangat menjunjung
tinggi realitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Al Quran sebagai
kitab hudan linnâs merupakan sumber dan tata nilai serta petunjuk bagi manusia
hingga akhir zaman. Oleh karena itu sejauh apapun dinamika dan perkembangan
berfikir manusia tidak boleh terlepas dari koridor Qurani yang telah disipkan
sebagai pedoman final. Ayat Al Quran yang pertama kali turun; Surat Al 'Alaq

13
Sejarah panjang aplikasi Metodologi Bible dalam studi Al Quran dapat dilihat secara
lengkap dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam studi Al Quran, (Jakarta: GIP, 2005)
cet. I
17

mengandung perintah membaca. Dan karena belum ada teks Al Quran yang
terkodifikasi ketika itu, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud Allah Swt.
adalah membaca realitas dan memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan yang
ada disekeliling Nabi Muhamad Saw. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Rasulullah
Saw., sehingga dakwah yang Beliau lakukan sangat memperhatikan nilai-nilai
humanis dan konteks sosial, budaya dan politik.
Tidak berhenti disitu, perintah Allah untuk memperhatikan realitas dengan
konotasi senada berulang-ulang disampaikan dengan menggunakan isyarat-isyarat
bebeda. Kata-kata yang sering digunakan Al Quran misalnya nadhara, fakkara,
bashara, dabbara, dsb. Allah mengajak manusia untuk mencermati penciptaan
alam semesta, realitas kehidupan, lingkungan, hingga anatomi dan psikologi
manusia.
Di sisi lain, hukum dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Quran ditujukan
untuk kemaslahatan umat manusia. Perintah dan larangan yang tertuang di
dalamnya adalah dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sosial dan
keberlangsungan alam semesta. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya
perbahan dan perbaikan yang diajarkan Al Quran terutama untuk menentang
tradisi jahiliyah yang bertentangan dengan akal, di luar kesanggupan atau tanpa
hikmah dan maslahat.14

2. Pebandingan teks dan sejarah Al Quran dan kitab suci lainnya


Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan
antara Al Quran dan Bible dengan menyatakan bahwa semuanya adalah kitab suci
original. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli bisa membedakan antara
kedua kitab agama itu. Norman Daniel misalnya. Dia mengatakan bahwa kitab Al
Quran tidak sama dengan kitab agama lainnya di luar Islam. Demikian juga
Richard Elliot Friedman yang mengatakan bahwa penulis Bible hingga saat ini
masih merupakan teka-teki dan belum dapat diketahui secara pasti.15

14
Banyak contoh menarik yang bisa kita dapatkan, antara lain pada kasus Zaid bin
Haritsah (Al Ahzâb: 36-40), dan Haulah bintu Tsa'labah (Al Mujadilah: 1-4).
15
Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The making of an Image
menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam”.
18

Banyak contoh konkrit yang dapat kita temukan tentang permasalahan


penyimpangan teks Bible ini dari naskah yang sebenarnya. Yang paling menarik
mungkin adalah banyaknya perbedaan mendasar bahkan pertentangan antara ayat
yang satu dengan yang lainnya. Begitu juga permasalahan perbedaan naskah
antara terbitan satu dengan terbitan lainnya. I. J Setyabudi seorang alumnus
Universitas Kristen Satya Wacana bahkan menulis dalam bukunya, Kontroversi
Nama Allah, bahwa penemuan Arkeolog Biblika sejak tahun 1890-1976 M telah
menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba Kitab Perjanjian Baru yang
diteliti memiliki perbedaan kata-kata antara 50.000 sampai 300.000. Ini berarti
berkisar antara ½ sampai dua kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 138.162
kata yang ada dalam Perjanjian Baru itu sendiri.16
Teks Al Quran tidak memiliki problematika semacam ini. Ragam
perbedaan bacaan yang termasuk dalam qirâ’ah mutawâtirah semuanya
mendapatkan pengakuan dari Nabi Muhammad Saw. Adapun tentang
pertentangan antara satu naskah dengan yang lainnya sebagaimana yang terjadi
dalam Bible sama sekali tidak ditemukan dalam kitab suci Al-Quran.
Tentang hal ini Allah Swt berfirman:
 
    
   
   
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. (An Nisa’: 82)
Selanjutnya, Al Quran sebagai kitab suci terakhir untuk umat manusia
diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami dan dipelajari oleh semua
kalangan. Al Quran berbeda dengan Injil yang bahasa aslinya sulit bahkan tidak

Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis: “it is a strange
fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role
in our civilization.” Dikutip dengan beberapa perubahan dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel, (Jakarta: GIP, 2005)
16
I. J Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta, Wacana Press, 2004) hal. 150-152
19

dipahami kecuali oleh kalangan tertentu. Menggunakan Hermeneutika untuk


menafsirkan Al Quran seolah-olah menggambarkan bahwa Al Quran adalah
wahyu Allah yang sulit dimengerti, masih perlu dita’wilkan agar sesuai dengan
pemahaman manusia. Kaum muslimin tidak pernah berbeda dalam memahami
hukum-hukum Al Quran. Ketika membaca ayat tentang pengharaman minuman
keras, babi, berjudi dsb; tidak ada seorang muslimpun yang memiliki pemahaman
berbeda.
Allah Swt. mengulang-ulang penekanan tentang kemudahan bahasa Al
Quran ini. Diantaranya pada awal enam surat yang tersusun secara berurutan
Allah Swt. telah mengisyaratkan hal ini. Allah Swt. berfirman:
- Alif lâm râ. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.(Yunus: 1)
- Alif lâm râ. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu (Hud: 1)
- Alif lâm râ. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah).
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf:1-2)
- Alif lâm mîm râ.. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quran). dan Kitab yang
diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (Ar Ra’d: 1)
- Alif lâm râ. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang
dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji. (Ibrahim: 1)
- Alif lâm râ. (Surat) Ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Al-Kitab (yang
sempurna), yaitu (ayat-ayat) Al Quran yang memberi penjelasan. (Al Hijr: 1)
Surat-surat di atas dimulai dengan huruf-huruf Hijaiyah. Secara
keseluruhan surat-surat yang dimulai dengan huruf Hijaiyah dalam Al Quran ada
20

29 surat. Ada banyak pemahaman ulama tentang maksud Allah memulai surat-
surat ini dengan huruf Hijaiyah.17
Di antara para ulama ada yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad
tersebut digunakan untuk menarik perhatian para pendengar agar memperhatikan
Al Quran. Bahwa Al Quran yang telah diturunkan Allah dalam bahasa Arab dan
tersusun dari huruf-huruf yang mereka pahami. Ayat mubîn, ayat hakîm atau
hudan lil muttaqîn tentu harus tersusun dari bahasa-bahasa yang dapat dipahami
dengan mudah oleh pendengar dan pembacanya.
Kajian komparatif selanjutnya mengenai kitab suci komparasi historis,
perbandingan antara sejarah Al Quran dan sejarah Bible. Salah satu unsur yang
harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan dalam kajian terhadap sebuah
pengetahuan, pemikiran, ide dan konsep adalah melihat latar belakang historis
dimana konsep, ide dan pemikiran tersebut dirumuskan. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, bahwa Hermeneutika muncul dalam pengkajian Bible disebabkan
keraguan akan asal usul Bible, disusul oleh banyaknya pertentangan dengan ilmu
pengetahuan dan etika sosial di dalamnya,18 serta berbagai penyimpangan dalam
penggunaannya. Bible dan gereja di zaman kegelapan (the dark ages)19 dengan
menggunakan otoritasnya sebagai wahyu Tuhan menghegemoni kehidupan
manusia dan melakukan banyak tindak kejahatan. Saat itu, Gereja dengan
mengikrarkan diri sebagai institusi resmi wakil Tuhan di bumi telah melakukan
banyak tindakan brutal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ini
tentu saja berbeda dengan sejarah Al Quran yang sejak awal hingga saat ini tidak
bertentangan dengan perkembangan keilmuan dan telah membebaskan masyarakat
Arab dan umat manusia secara umum dari perbudakan dan penganiayaan.

17
Jalaluddin As Syuyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûmil Qurân (Beirut: Dar Al Kotob Al Ilmiyah,
2004), hal. 319
18
Bukti paling jelas adalah ketika kalangan gereja menolak penemuan ilmiah Johannes
Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624)
19
Barat menyebutnya sebagai zaman pertengahan (The Nedieval Ages). Dimulai
dengan keruntuhan Imperium Romawi Barat tahun 476 hingga munculnya zaman Renaissance
sekitar abad ke 14
21

Oleh karena itu, Al Quran diyakini secara mutlak oleh pengikutnya


sebagai kitab suci yang teks dan maknanya berasal dari Tuhan tanpa sedikitpun
campur tangan manusia.
Al Quran yang ada saat ini sama dengan Al Quran sebagaimana yang ada
di zaman kenabian. Tidak mengalami perubahan dan pergantian baik teks maupun
makna. Allah sendiri telah menjamin hal ini dalam firman-Nya:
  
  
 
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (Al Hijr: 9)
Ada perbedaan mendasar antara konteks zaman Al Quran dengan konteks
zaman kitab suci lainnya. Al Quran adalah kitab suci yang diturunkan untuk
manusia yang hidup sejak zaman kenabian hingga akhir zaman. Dimensi zaman
antara Al Quran dan kitab suci lainnya berbeda. Al Quran lebih luas dan tak
terbatas pada satu generasi.
Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa Al Quran tidak dipengaruhi oleh
perkembangan zaman selama kurang lebih empat belas abad sejak awal turunnya
hingga saat ini. Bahkan Al Quran sangat mempengaruhi perkembangan peradaban
serta telah menciptakan sejarah peradaban tersendiri.
Satu lagi keistimewaan Al Quran dibandingkan kitab-kitab para nabi
sebelumnya. Dia diturunkan sebagai penyempurna dengan cakupan yang lebih
luas. Sasaran hukumnya bukan hanya terbatas pada manusia namun juga meliputi
golongan Jin.
Tentang otoritas teks, kalangan hermeneut modern yang dikepalai oleh
Schleiermacher mengatakan bahwa pengarang tidak memiliki otoritas terhadap
makna teks, tapi sejarah dan pembacalah yang akan menentukan. Hal ini tentu
saja tidak dapat diaplikasikan dalam Al Quran. Fungsi penafsiran adalah untuk
memahami maksud pengarang teks dan tidak kemudian menghasilkan
pemahaman berbeda. Kaum Muslimin telah sepakat dan mengakui otoritas Allah
sebagai Tuhan yang menurunkan Al Quran dan mereka mengamalkan apa yang
22

terkandung di dalamnya sesuai kehendakNya. Berbeda dengan Bible yang oleh


pengikutnya sendiri tidak diakui otoritas pengarangnya sebab para pengarang
tersebut sendiri masih merupakan teka-teki. Terdapat bermacam-macam naskah
berbeda dari Bible dan setiap naskah ada pengarangnya tersendiri. Setiap
pengarang mendapatkan ‘inspirasi’ dari Tuhan. Adian Husaini menulis tentang
inspirasi ini, bahwa makna dan seperti apa inspirasi itu sendiri masih belum tuntas
dalam bahasan studi Bible.20

C. PENUTUP
Rasulullah Saw. bersabda:

‫عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لتتبعن‬
‫سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا فى حجر‬
‫ضب التبعوهم قلنا يا رسول هللا اّليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, Rasulullah Saw. bersabda: Kalian
sungguh akan mengikuti jalan kaum sebelum kalian sehasta demi sehasta,
sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak
sekalipun kalian akan mengikutinya juga. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah
menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka) ?”21
Diskursus Hermeneutika begitu bergema dalam studi Al Quran saat ini.
Perlu ada pengkajian intens yang dilakukan oleh para ulama, cendekiawan dan
akademisi muslim, terutama dalam penolakan terhadap hal-hal yang merusak
kesakralan kitab suci mereka.
Hermeneutika adalah ilmu yang perlu diketahui namun perlu juga
ditempatkan pada tempatnya. Yang paling penting, Hermeunetika perlu dikaji
secara kritis. Dia memang merupakan cabang ilmu yang sering digunakan untuk
'merusak' keilmuan lainnya. Paling tidak seperti itu yang nyata terlihat ketika dia
masuk dan bercampur dengan kajian-kajian filsafat dan sejarah. Dia menjadi
semakin bermasalah ketika digunakan untuk mengetahui makna kitab suci,

20
Makalah Adian Husaini, Hermenutika dan Problematika Teks Bible, hal. 145-147
21
HR Bukhari no. 7320, Muslim no. 2669, Turmudzi no. 2180, Ahmad no. 5/218
23

khususnya Al Quran. Jika mengacu pada pemahaman Hermeneutika menurut


Schleiermacher maka bisa dipastikan bahwa konsep ini akan sangat merusak
cabang keilmuan apapun. Bukan hanya tidak pantas digunakan untuk memahami
Al Quran, tapi juga tidak sesuai untuk kitab suci lainnya bahkan tidak untuk kitab
sastra dan sejarah.
Para Hermeneut memang belum menghasilkan tafsir baru karena mereka
melakukan kajian tidak sistematis dan terpisah-pisah tentang Al Quran. Namun
Hermeneutika harus diwaspadai karena bisa menyebabkan orang tidak lagi
percaya kepada Al Quran sebagai wahyu Ilahi secara murni tanpa campur tangan
manusia. Pada akhirnya juga akan berpeluang memunculkan tafsir-tafsir liberal
yang tidak terkendali, penafsiran sesuka hati, sesuai cara pandang masing-masing
penafsir.
Umat Islam telah memiliki khazanah keilmuan Tafsir Al Quran yang luas,
bermutu, original, ilmiah dan perlu dikembangkan oleh para cendekiawan muslim.
Tidak perlu terpengaruh dan silau dengan hal-hal baru –apalagi yang sama sekali
irrasional dan tidak bernilai ilmiah- yang belum tentu lebih baik dari apa yang kita
miliki.

DAFTAR PUSTAKA
24

Badruddin Muh. bin Abdillah Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumi Al Quran,


(Kairo: Darul Hadits, 2006)

Banyak contoh menarik yang bisa kita dapatkan, antara lain pada kasus Zaid bin
Haritsah (Al Ahzâb: 36-40), dan Haulah bintu Tsa'labah (Al Mujadilah:
1-4).

Barat menyebutnya sebagai zaman pertengahan (The Nedieval Ages). Dimulai


dengan keruntuhan Imperium Romawi Barat tahun 476 hingga
munculnya zaman Renaissance sekitar abad ke 14

Bukti paling jelas adalah ketika kalangan gereja menolak penemuan ilmiah
Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624)

Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis
Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007

Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial,


(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)

HR Bukhari no. 7320, Muslim no. 2669, Turmudzi no. 2180, Ahmad no. 5/218

I. J Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta, Wacana Press, 2004)

Ibnu Manzhur, Lisânul Arab, (Kairo: Darul Hadits, 2003), vol. IX

Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad Dakhîl fi At Tafsîr, (tanpa tahun)

Jalaluddin As Syuyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûmil Qurân (Beirut: Dar Al Kotob Al


Ilmiyah, 2004)

Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,


Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk
Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006)

Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,


Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebaga,... Sumaryono,
Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)

Makalah Adian Husaini, Hermenutika dan Problematika Teks Bible

Muhammad Husain Adz Zahaby, At Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Dar Hadits,
2005), Juz I

Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The making of an Image
menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam”
25

Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis: “it is a
strange fact that we have never known with certainty who produced the
book that has played a central role in our civilization.” Dikutip dengan
beberapa perubahan dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel, (Jakarta: GIP, 2005)

Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut:
Libeirie Du Liban, 1967)

Sejarah panjang aplikasi Metodologi Bible dalam studi Al Quran dapat dilihat
secara lengkap dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam studi
Al Quran, (Jakarta: GIP, 2005)

Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia


University Perss, 1978)

Anda mungkin juga menyukai