Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Varikokel

2.1.1 Definisi

Varikokel merupakan dilatasi abnormal pleksus pampiniformis pada funikulus

spermatika dan menjadi suatu penyebab potensial infertilitas pada pria. (Baazeem,

et al., 2011)

2.1.2 Epidemiologi

Infertilitas dianggap sebagai salah satu masalah utama kesehatan masyarakat,

karena mempengaruhi sekitar 15% dari pasangan di usia reproduksi mereka. Faktor

yang terjadi pada pria sekitar 40% -50% kasus infertilitas. Jenis yang paling umum

dari infertilitas pada pria adalah infertilitas idiopatik, yang ditandai dengan adanya

satu atau lebih parameter sperma yang abnormal dan tidak dapat diidentifikasi

penyebabnya. Penyebab umum lainnya dari infertilitas pada pria adalah varikokel.

Insiden varikokel 4,4% -22,6% pada populasi umum, 15-20% pada pria dengan

infertilitas primer dan 75% -81% dengan infertilitas sekunder. (Reddy, et al., 2015;

Hamada, et al., 2016). Varikokel memiliki sifat progresif dan jarang terjadi pada

kelompok usia pra-remaja dan prevalensi meningkat secara progresif dengan

bertambahnya umur.

2.1.3 Anatomi

Vena yang berasal dari testis membentuk plexus pampiniformis yang terdiri

dari tiga kelompok pembuluh darah yaitu anterior, medial dan posterior. Kelompok

8
9

posterior melintas di bagian posterior spermatic cord menuju pudendal eksternal

dan vena kremaster. Yang terakhir ini kemudian menuju vena epigastrika inferior

setinggi cincin inguinalis eksternal (Gambar. 2.1 a). Kelompok medial berada di

sekitar vas deferens kemudian menuju vena iliaka interna. Kelompok anterior

berjalan bersama-sama dengan arteri spermatika interna.

Pada cincin inguinal superfisial, bentuk kompleks menjadi tiga atau empat

cabang yang masuk ke pelvis. Vena-vena tersebut akhirnya menyatu menjadi dua

dan kemudian menjadi vena spermatika interna yang berjalan di depan ureter dan

bersama-sama dengan arteri testikular. Ini merupakan saluran vena utama pada

bagian komponen medial dan lateral. Cabang lateral sering berakhir ke kapsul ginjal

,vena mesenterika, kolon atau vena retroperitoneal.

Vena spermatika interna kanan memasuki vena cava inferior, tepat dibagian

bawah vena renalis. Vena spermatika interna kiri menuju ke bagian permukaan

bawah vena renalis kiri, bagian lateral kolumna vertebral (Gambar. 2.1 b). Variasi

anatomi terjadi pada sekitar 20% dari kasus. Anomali penting termasuk drainase

vena spermatika interna yang tepat ke dalam pembuluh darah ginjal kanan (8-10%)

dan adanya beberapa vena spermatika terminal (15-20%).


10

Gambar 2.1. Anatomi vena testikular ( Hamada, et al., 2016)

2.1.4 Patofisiologi

Terdapat tiga teori untuk menjelaskan terjadinya varikokel. Teori pertama

menyatakan, masuknya vena testikular kiri ke vena renalis kiri dengan sudut yang

tajam. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang kemudian

berpengaruh pada plexus pampiniformis (Miyaoka & Esteves , 2012). Teori kedua

mengatakan adanya pengaruh tidak kompetennya katup vena yang menyebabkan

aliran retrograde dan dilatasi vena. Teori ini telah didukung oleh venografik dan

studi Color Doppler. Berdasarkan hal ini katup yang tidak kompeten terjadi pada

atau di bawah vena komunikan yang meliputi vena spermatika interna, vena

kremaster dan vena pudendal eksternal. Terdapat dua subtipe patofisiologis yaitu

tipe shunt dan tipe stop (Gambar 2.2. a dan b)


11

Gambar 2.2. Anatomi dan Tipe Varikokel (a) Varikokel tipe shunt (b) varikokel
tipe stop (Mohseni, et al., 2011)

Ketika katup yang tidak kompeten terletak hanya di atas vena yang komunikan,

akan terjadi varikokel jenis stop yang merupakan 14% dari semua varikokel.

Varikokel tipe stop ditandai dengan aliran retrograde dari vena spermatika interna

menuju ke pleksus pampiniformis. Tidak ada darah aliran vena orthograde dan

tampak refluks menuju vena yang komunikan karena masih adanya katup bagian

distal dan secara fungsional masih kompeten. Ligasi secara pembedahan dari

varikokel tipe stop akan memperbaiki kondisi varikokel dengan offsetting refluk

yang dihasilkan oleh katub yang tidak kompeten terhadap katup vena yang normal.

Sebaliknya ketika katup vena yang tidak kompeten terdapat di bawah vena yang

komunikan, varikokel tipe shunt akan terjadi, yang merupakan 86% dari semua

varikokel. Varikokel tipe shunt ditandai dengan aliran darah retrograde baik dari
12

vena spermatika internal ke pleksus pampiniformis dan refluk orthograde menuju

ke vena yang komunikan (vasal dan vena kremaster)

Ligasi dengan pembedahan pada varikokel tipe shunt kurang efektif karena

katup yang tidak kompeten terdistribusikan secara luas. Suatu studi prospektif

terkontrol melibatkan 74 anak-anak dan remaja dengan varikokel tipe shunt

dikaitkan dengan risiko yang lebih besar terjadinya hipotrofi testis dibandingkan

varikokel tipe stop. Selain itu angka kekambuhan yang lebih tinggi pada varikokel

tipe shunt yang dioperasi dengan teknik retroperitoneal dibandingkan dengan teknik

inguinal. (Mohseni, et al., 2011)

Teori ketiga mengatakan adanya efek pemecah kacang (The nutcracker

phenomenon) di mana terjadinya kompresi vena renalis kiri antara arteri

mesenterika superior dan aorta abdominal akan menghambat sebagian aliran darah

melalui vena testikularis kiri sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik

dalam plexus pampiniformis (Gat, et al., 2010). Nutcracker phenomenon akan

membuat meningkatnya gradien tekanan renocaval dan menurunkan refluks vena

spermatika interna sehingga pengembangan jalur vena yang komunikan. Bukti

yang mendukung teori ini disampaikan pada studi studi hemodinamik pada orang

dewasa dan anak-anak dengan varikokel. Pada orang dewasa terdapat hubungan

antara gradien tekanan renocaval dan refluk renospermatika refluks, dalam hal ini

juga menunjukkan bahwa keparahan kompresi vena renalis sisi kiri dalam posisi

tegak, menentukan kecepatan aliran retrograde dalam vena spermatika kiri dan

ukuran varikokel.
13

Etiologi varikokel mungkin kombinasi dari semua mekanisme tersebut yang

tampak pada posisi tegak, berbadan kurus dan tinggi. Ketidakmampuan katup vena

dan sedikitnya jaringan lemak di sekitar vena renalis kiri dengan penyempitan sudut

aortomesenterik dapat menyebabkan terjadinya varikokel. (Rais, et al., 2013)

Sekitar 85-90% dari semua varikokel secara klinis diklasifikasikan sebagai

unilateral sisi kiri. Namun, data terakhir menunjukkan bahwa bilateral varikokel

yang teraba ditemukan pada lebih 50%.(Miyaoka & Esteves, 2012). Data tersebut

sesuai dengan penelitian venografik yang menunjukkan bilateral refluks vena yang

abnormal di 84-86% pria dengan varikokel. Temuan ini mungkin menjelaskan

terjadinya kerusakan testis bilateral pada pria dan mengapa perbaikan dalam

parameter sperma hanya 65% pasca varikokelektomi unilateral. Sebaliknya

varikokel yang terjadi hanya pada sisi kanan saja hanya ditemukan pada 2% pria

dengan varikokel dan hal ini mungkin terkait dengan adanya lesi obstruktif, seperti

retroperitoneal atau masaa yang menekan pelvis. ( Hamada, et al., 2016)

Sekitar 80% penderita varikokel merupakan pria yang fertil. Sampai saat ini

patofisiologi masih terus dipelajari tetapi hingga saat ini masih belum bisa

dijelaskan kenapa sekitar 15-20% merupakan pria yang infertil. Hipertermia

skrotum, gangguan hormonal, hipoperfusi dan hipoksia testis, refluks metabolit

yang toksik merupakan mediator yang potensial terjadinya infertil karena varikokel.

Akhir-akhir ini stres oksidatif merupakan mediator yang penting yang berdampak

pada infertil karena varikokel. (Hamada, et al., 2013) Meskipun demikian, alasan

mengapa beberapa penderita varikokel merupakan pria infertil, sedangkan

mayoritas merupakan pria yang fertil masih belum jelas. Fenomena tersebut
14

mungkin dijelaskan bahwa infertilitas merupakan kombinasi dari faktor pria dan

wanita, di mana bila sistem reproduksi wanita berfungsi dengan baik akan dapat

mengkompensasi kekurangan faktor pada pria kemudian berpengaruh terjadinya

kehamilan.

Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan terjadinya gangguan fertilitas

pada varikokel.

1. Hipertermia skrotum

Varikokel diduga menginduksi terjadinya peningkatan temperatur skrotum

melalui refluk aliran darah dari abdomen karena katup pembuluh darah vena

spermatika interna dan vena kremaster yang tidak kompeten, menuju ke pleksus

pampiniformis. Hal ini secara konsisten ditunjukkan pada percobaan pada hewan.

Peningkatan temperatur ini mengakibatkan menurunnya kadar testoteron

intratestikular dan gangguan fungsi sekresi sel Sertoli dan juga berdampak pada

fungsi sekresi sel leydig. (Khera & Lipshultz, 2008). Varikokelektomi akan

mengakibatkan penurunan suhu pada skrotum.

Suhu optimal terjadinya spermatogenesis adalah 2,5°C dibawah suhu inti

tubuh dan kondisi yang panas akan menyebabkan gangguan dan penurunan

produksi sperma. Namun mengingat bahwa kebanyakan pria dengan varikokel

merupakan pria fertil dan juga terdapat suhu pada skrotum yang lebih tinggi

dibandingkan pada pria tanpa varikokel maka kontribusi dari peningkatan suhu

skrotum ini tidak bisa menjelaskan sebagai satu-satunya faktor yang menyebabkan

infertilitas karena varikokel.


15

Peningkatan suhu skrotum dapat mengakibatkan terjadinya stess oksidatif pada

testis. Memang secara in vitro dan in vivo telah menunjukkan hubungan langsung

antara pajanan panas dengan timbulnya Reactive Oxygen Species (ROS). Derajat

varikokel berhubungan dengan kadar ROS seminal. (Allamaneni, et al., 2004).

Meningkatnya ROS yang dihasilkan oleh mitokondria, membran plasma,

sitoplasma dan peroxisome terjadi dalam kondisi stres panas. Meningkatnya

produksi mitokondria ROS dimediasi oleh termal inhibisi dari kompleks

mitokondria yang menghasilkan transfer elektron ke molekul oksigen dan dengan

demikian terjadi pembentukan ROS dan penghambatan sintesis adenosin trifosfat.

Meningkatnya produksi nitric oxide (NO) yang ditimbukan karena panas akan

meningkatkan regulasi inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang memberi peran

terjadinya kerusakan testis karena varikokel. NO yang berlebihan dapat

mengakibatkan gangguan mobilitas sperma dan apoptosis sperma. (Rosselli, et al.,

1995). Sel spermatogonia A, sel Sertoli dan Leydig dianggap lebih tahan panas

karena mereka sebelumnya telah terkena suhu yang lebih tinggi di uterus.

Sebaliknya, spermatogonia B dan spermatozoa yang berkembang, khususnya

spermatosit dan spermatid muda sangat rentan terhadap stres panas. (Guo, et al.,

2009)

2. Hipertensi vena dan refluk metabolit toksik

Hipertensi vena testis ditandai dengan tekanan hidrostatik yang berlebihan

yang kemudian diteruskan melalui katup vena gonad yang sudah tidak kompeten.

Hal ini berkaitan refluks metabolit adrenal dan ginjal yang toksik ke testis,

termasuk epinefrin, urea dan prostaglandin E dan F2α yang mengakibatkan


16

vasokonstriksi kronis arteriol testis. Fenomena ini akan menyebabkan terjadinya

hipoperfusi, stasis dan hipoksia serta gangguan proses spermatogenesis. (Nistal, et

al., 2004)

Evaluasi secara mikroskopis dari fragmen vena spermatika terjadi perubahan

pada lapisan otot longitudinal dan juga penurunan jumlah elemen saraf dan vasa

vasorum di dinding pembuluh darah. Temuan ini mengindikasikan adanya

kerusakan pada mekanisme kontraktil aliran darah melalui pleksus pampiniformis.

Pada studi vasografi menunjukan peningkatan lima kali lipat tekanan hidrostatik

pada vena spermatika yang membalikkan gradien tekanan, akhirnya menyebabkan

keadaan hipoksia. (Gat, et al., 2006)

Studi venografi telah menunjukkan bahwa refluk aliran darah vena pada sisi kiri

varikokel umum terjadi. Metabolit ginjal dan adrenal dapat mencapai ke sel endotel

vena spermatika internal dan jaringan testis. Metabolit-metabolit tersebut akan

menginduksi stres oksidatif di testis. Secara in vitro, metabolit-metabolit tersebut

juga memberi peran terjadinya stres oksidatif pada sel di bagian lain tubuh manusia.

(Zhang, et al., 2004)

3. Hipoksia testis

Pada suatu penelitian mengenai mekanika aliran darah dengan tekanan

venografik dan histopatologi menyatakan bahwa iskemia jaringan testis bisa terjadi

jika tekanan vena spermatika interna yang melebihi tekanan arteriol testis. Pada

gambaran histologis tampak adanya iskemia dan mikrothrombin pada arteriol.

(Gat, et al., 2005) Terjadi penurunan aliran darah arteri dan gangguan metabolisme

energi pada varikokel adalah komponen penting dari patofisiologi varikokel. Selain
17

itu, studi eksperimental varikokel telah menunjukan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah testis, yang kemudian menurun seiring dengan waktu.

(Gambar 2.3). Perubahan cairan dalam ruang interstitial dapat terjadi secara paralel.

(Sofikitis, et al., 2014)

Gambar 2.3 Mikrovaskular pada Varkokel (Sofikitis, et al., 2014)

4. Insufisiensi dari aksis hipotalamus-hipofisis-gonadal

Evaluasi terhadap kadar Luteinizing Hormone (LH), Follicle-Stimulating

Hormone (FSH) dan testosteron tidak bervariasi pada sebagian besar pasien dengan

varikokel telah mengakibatkan hipotesis bahwa aksis hipotalamus-hipofisis-gonad

tidak terpengaruh karena varikokel. Sebaliknya, ada pendapat lain yang

menyampaikan bahwa terdapat respon gonadotropin yang berlebihan terhadap

stimulasi Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dalam kelompok pria infertil

dengan varikokel. Selain itu, mereka menemukan bahwa pasca varikokelektomi,

hanya beberapa pasien yang menunjukkan respon gonadotropin menjadi normal

terhadap stimulasi GnRH yang akan meningkatkan konsentrasi sperma. Jadi dapat

diduga bahwa ada subpopulasi pria dengan varikokel yang menunjukkan


18

ketidakseimbangan sensitivitas pada aksis hipotalamus-hipofisis-testis. (Sofikitis,

et al., 2014)

5. Akumulasi Kadmium

Kadmium merupakan zat yang sangat toksik dan merupakan salah satu

kandungan pada rokok dan turut serta terlibat dalam apoptosis sperma. (Ku et al.,

2005) Testis tidak memiliki pompa aktif untuk mengeluarkan kadmium dan seiring

waktu, terjadi akumulasi kadar kadmium pada testis. Hurley et al. melakukan

penelitian dengan menghubungkan jumlah sel yang mengalami apoptosis di tubulus

seminiferous dengan kadar kadmium pada testis. Mereka menyatakan bahwa kadar

kadmium testis lebih tinggi pada pasien dengan varikokel. (Hurley et al., 2000)

Kadar Kadmium secara signifikan meningkat pada sampel biopsi testis pada

pria infertil dengan varikokel. Kadar kadmium berbanding terbalik dengan

peningkatan konsentrasi sperma setelah varikokelektomi. Kadmium dapat efek

negatif pada spermatogenesis dengan mengurangi konsentrasi seng (Zink) dan

meningkatkan produksi ROS. (Benoff, et al., 2004)

6. Epididimis

Epididimis terlibat dalam proses pematangan sperma dan transportasi sperma.

Terdapat berbagai jenis sel yang melapisi tubulus epididimis yang mampu

menghasilkan ROS. Hipoksia dan stres panas adalah pemicu ketidakseimbangan

antara ROS dan antioksidan dalam tubulus epididimis. Perubahan struktur dan

apoptosis sel epididimis menunjukkan testis dan epididimis ikut terlibat pada

patogenesis gangguan spermatogenesis. (Ozturk, et al., 2008)


19

7. Apoptosis and kerusakan Deoxyribose-Nucleic Acid (DNA) sperma

Varikokel berhubungan dengan kerusakan DNA sperma yang akan

menurunkan infertilitas. Tingginya kadar kerusakan DNA sperma juga telah

dihubungkan dengan kadar ROS yang meningkat pada pasien dengan varikokel bila

dibandingkan dengan pria normal. Menariknya, perbedaan ini ditemukan pada pria

dengan varikokel tanpa melihat adanya penurunan parameter sperma. Varikokel

juga dihubungkan dengan peningkatan apoptosis intratestikular. Banyak faktor

yang memicu apoptosis seperti akumulasi kadmium, kadar androgen yang

menurun, stres panas dan interleukin-6. (French, et al., 2008)

Ada bukti yang menunjukkan bahwa ada lebih banyak fragmentasi DNA

sperma di dalam epididimis dan yang diejakulasikan dibandingkan dengan sperma

yang ada di testis. (Moskovtsev, et al., 2010; Esteves, et al., 2015). Oleh karena itu

ada mekanisme lain yang terlibat pada terbentuknya fragmentasi DNA di luar testis.

Fragmentasi DNA sperma mencerminkan kualitas sperma yang buruk. Pada

beberapa penelitian melaporkan bahwa varikokel terkait dengan peningkatan

kerusakan DNA sperma dan terjadi penurunan fragmentasi DNA setelah dilakukan

varikokelektomi yang kemudian akan meningkatkan terjadinya kehamilan.

(Blumer, et al., 2008; Smit, et al., 2010) Varikokelektomi akan mengurangi stres

oksidatif pada spermatozoa. Terjadinya perbaikan pasca varikokelektomi

tergantung dengan waktu, membaiknya stres oksidatif dan fragmentasi DNA

sperma yang bisa terjadi dalam waktu 6 bulan pasca varikokelektomi. (Dada, et al.,

2010)
20

Gambar 2.4 Efek Varikokel terhadap Fertilitas (Cho, et al., 2016)

8. Fragmentasi DNA Sperma

ROS dianggap sebagai penyebab utama fragmentasi DNA sperma. Hubungan

positif antara produksi ROS dan fragmentasi DNA sperma dalam sampel sperma

telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Sumber stres oksidatif yang

bertanggung jawab terhadap kerusakan DNA telah dibahas pada beberapa

kepustakaan. Mitokondria dan nuclear DNA sperma adalah target potensial oleh

ROS. Sementara mitokondria DNA lebih rentan terhadap serangan ROS, kerusakan

nuclear DNA sperma secara klinis lebih signifikan. Fragmentasi DNA sperma

dapat dideteksi dengan pemeriksaan flow cytometry dan atau dengan mikroskop

fluoresensi. Secara umum digunakan teknik Sperm Chromatin Structure Assay

(SCSA) mengukur denaturasi DNA.

Fragmentasi DNA sperma mencerminkan suatu kualitas sperma yang buruk.

Di sisi lain, terdapat fakta bahwa sperma dengan fragmentasi DNA yang tinggi

dapat memiliki motilitas dan morfologi yang normal dan sebagai tambahan dalam

menilai prognosis. Kemungkinan terjadi kehamilan secara in vivo berkurang


21

dengan fragmentasi DNA sperma yang tinggi. Indeks fragmentasi DNA yang lebih

dari 30% yang diukur dengan SCSA berhubungan dengan terjadinya kehamilan

yang lebih rendah. (Evenson & Wixon, 2008)

Terdapat sejumlah penelitian yang meneliti hubungan antara varikokel dan

fragmentasi DNA sperma. Pria varikokel yang fertil dan infertil cenderung

memiliki fragmentasi DNA sperma yang lebih tinggi daripada kontrol, sehingga

menunjukkan bahwa varikokel terkait dengan kerusakan DNA bahkan ketika

fertilitas belum ditentukan. (Zini & Dohle, 2011)

Pada suatu penelitian yang memeriksa kerusakan DNA sperma sebelum dan

pasca varikokelektomi menunjukkan bahwa pasien dengan varikokel memiliki

kerusakan DNA sperma yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada

kontrol, dengan perbedaan rata-rata 9,84% (IK 95% 9,19-10,49; P<0.00001).(Li, et

al., 2012). Pada penelitian yang lain menunjukkan bahwa varikokelektomi

menurunkan fragmentasi DNA sperma dengan nilai mean perbedaan -3,37% (Ki

95% -4,09-2,65; P<0,00001) dibandingkan dengan yang tidak dilakukan

varikokelektomi. (Wang, et al., 2012)

2.1.5 Efek Varikokel Terhadap Fertilitas Pria

Penurunan kadar testoteron intratestikular dan aktivitas androgen-binding

protein suatu penanda fungsi sekresi sel Sertoli akan menimbulkan defek

disamping juga mempengaruhi spermatogenesis. Epididimis sebagai tempat

pematangan sperma juga ikut terpengaruh karena sumber utama testosteron

intraepididimal adalah testoteron pada testis yang ipsilateral dan dalam lumen
22

epididimis. Testosteron berikatan dengan androgen-binding protein yang disekresi

oleh sel Sertoli, tidak oleh sex hormone-binding globulin yang dihasilkan oleh hati.

Perkembangan varikokel sisi kiri akan menimbulkan gangguan proses

spermatogenesis testis pada kedua sisi dan juga mengganggu pematangan

spermatozoa di epididimis.(Gambar 2.5) Defek ini bersama faktor yang lain yaitu

stress oksidatif sperma dan fragmentasi DNA sperma saling berhubungan

menimbulkan gangguan fertilitas pada pria. Varikokelektomi akan mengembalikan

suhu pada testis dan efek biokimia dan fisiologi sperma menjadi normal kembali

(Gambar.2.6)

Gambar 2.5 Efek biokimia pada Varikokel (Sofikitis, et al., 2014)

2.1.6 Diagnosis dan Derajat Varikokel

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pasien dalam posisi berdiri di ruangan

yang hangat. Metode pemeriksaan untuk mendiagnosisi varikokel dengan cara ini

memiliki sensitivitas dan spesifisitas sekitar 70% dibandingkan dengan alat


23

diagnostik lainnya. (Trum, et al., 1996). Pemeriksaaan varikokel klinis mengacu

pada deteksi yang baik secara visual atau inspeksi atau palpasi.

Evaluasi untuk varikokel membutuhkan penataaan ruangan yang baik dan

lingkungan yang hangat serta dilakukan secara sistematis. Suatu lingkungan yang

hangat dan nyaman akan memungkinkan penilaian varikokel. Suhu dingin dapat

mengakibatkan skrotum tertarik keatas dan mengganggu identifikasi varikokel.

Pemeriksaan awal dilakukan dalam posisi berdiri, tanpa dan dengan manuver

valsava. Pemeriksaan berikutnya diulang pada posisi terlentang untuk

mengevaluasi dekompresi vena melebar. Selain palpasi pada plexus pampiniformis

yang mengalami dilatasi, ukuran testis dan konsistensi juga harus dicatat. Derajat

varikokel dinilai berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) tahun

2000. (Rowe, et al., 2000)

Tabel 2.1 Derajat Varikokel (Rowe, et al., 2000)

Derajat Varikokel Pemeriksaan

Subklinis Varikokel tidak teraba atau tidak terlihat saat istirahat atau
saat manuver Valsava tetapi dapat diketahui dengan
pemeriksaan penunjang (USG Doppler)
Derajat 1 Teraba saat manuver Valsava

Derajat 2 Teraba saat istirahat tetapi tidak terlihat

Derajat 3 Terlihat dan teraba saat istirahat


24

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Venografi

Pemeriksaan dengan venografi spermatika retrograde mampu

mendiagnosis varikokel dan menggambarkan mekanisme gangguan katup

yang tidak kompeten. Akses melalui vena femoralis kanan atau vena jugularis

interna yang kanan dan menuju vena spermatika. (Masson & Brannigan, 2014)

Venografi umumnya dianggap sebagai tes yang paling sensitif karena hampir

100% dari individu dengan varikokel yang teraba menunjukkan refluks vena

spermatika.

b. Thermografi dan Scintigrafi

Pada awalnya termografi skrotum dan skintigrafi dikembangkan sebagai

alternatif non-invasif untuk venografi. Termografi adalah teknik menggunakan

film fleksibel yang mengandung kristal cair yang panas yang mendeteksi

perubahan suhu pada skrotum. Identifikasi varikokel didasarkan pada temuan

hipertermia atas pada pleksus pampiniformis atau testis. Sebuah studi

menyatakan pada pria dengan varikokel terdapat suhu pleksus pampiniformis

≥34°C atau perbedaan suhu ≥0.5°C antara plexus pampiniformis kiri dan

kanan. Namun adanya lesi intratestikular seperti kanker testis atau infeksi

dapat juga mengakibatkan hipertermia ipsilateral sehingga mengurangi

diagnostik spesifisitas untuk mengidentifikasi varikokel (Kulis, et al., 2012)

c. Ultrasound (USG)

USG skrotum saat ini yang paling banyak digunakan sebagai modalitas

untuk penelitian mengenai varikokel. Dengan penggunaan frekuensi tinggi


25

probe USG dan munculnya teknologi Doppler menjadikan USG skrotum

menjadi semakin mudah untuk dikerjakan. Hal ini dapat memberikan gambar

dengan resolusi yang tinggi dan aliran pembuluh darah dalam testis serta

struktur yang berdekatan. Mengingat sensitivitas tinggi dan spesifisitas (97%

dan 94% jika dibandingkan dengan venografi), non-invasif dan mudah

dikerjakan, USG skrotum dengan pemeriksaan Doppler telah menjadi pilihan

dalam mengevaluasi skrotum dan testis. Gambaran pada USG pada pasien

dengan varikokel adalah adanya gambaran beberapa anechoic, serpiginous,

struktur tubular di dekat sisi superior dan lateral testis (Sommers & Winter,

2014)

d. Computerized Tomography (CT)

Evaluasi varikokel dengan menggunakan CT tidak praktis karena ekspos

radiasi yang tinggi. (Karcaaltincaba, 2011) Meskipun protokol CT dengan

ekspos radiasi dosis rendah dipertimbangkan sebagai protokol konvensional

tetapi dengan adanya ketersediaan USG yang masih menjadi pilihan sebagai

modalitas pencitraan awal. Pada saat ini peran pencitraan dengan CT untuk

mendiagnosis varikokel masih sedikit dan digunakan bila ada kecurigaan

adanya suatu kelainan retroperitoneal atau keganasan yang mendasari

terjadinya varikokel.

e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Meskipun tidak umum dalam kepustakaan, ada beberapa diterbitkan

dalam penelitian yang menggunakan MRI untuk diagnosis dan pencitraan

varikokel. Keunggulan MRI dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain


26

yaitu berkurangnya ketergantungan operator dan mendapatkan gambaran

yang terperinci dari anatomi retroperitoneal. Ketika penyebab varikokel

dicurigai adanya gangguan retroperitoneal, MRI mungkin memberikan peran

dalam mengkonfirmasikan dan selanjutnya mengevaluasi penyebab tersebut.

Secara khusus, MR angiografi juga digunakan untuk mempelajari tejadinya

varikokel akibat nutcracker syndrome. (Gulleroglu, et al., 2014)

2.2 Penatalaksanaan Varikokel

Prinsif dasar dalam penatalaksanaan varikokel adalah menutup aliran darah

vena spermatika interna dengan preservasi arteri spermatika interna, vena yang lain

dan sistem limfatik spermatic cord. Secara umum penatalaksanaan varikokel dibagi

menjadi dua macam yaitu pembedahan (varikokelektomi) dan radiologi intervensi,

yang kemudian masing-masing terdiri dari beberapa bagian. Hampir semua

memiliki angka keberhasilan yang baik dengan sedikitnya angka komplikasi.

Varikokelektomi dibagi menjadi beberapa metode berdasarkan instrument/alat

bedah yang digunakan yaitu operasi bedah terbuka, bedah mikro dan laparoskopi.

Sedangkan berdasarkan lokasi insisi dibagi menjadi retroperitoneal, inguinal,

subinguinal dan scrotal. Penanganan berdasarkan intervensi radiologi digunakan

sebagai alternatif tindakan pembedahan dengan keunggulan tindakan minimal

invasif dan memiliki kemampuan untuk untuk mengontrol pembuluh darah

kolateral yang sulit terlihat saat operasi. Modalitas intervensi radiologi adalah

retrograde embolization atau scleroterapi dan antegrade scleroterapi.


27

Tingkat rekurensi dan komplikasi yang berbeda-beda berhubungan dengan

penatalaksanaan varikokel. (Tabel 2.2) Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa

varikokelektomi dengan bedah mikro adalah metode yang paling efektif dan

morbiditas paling sedikit. (Jungwirth, et al., 2012; Duarsa, 2015)

Pada penelitian ini digunakan varikokelektomi retroperitoneal atau vasoligasi

tinggi (teknik Palomo) karena teknik operasi ini yang paling banyak digunakan di

RSUP Sanglah dan merupakan teknik standar yang dipergunakan oleh bagian

Urologi RSUP Sanglah.

2.2.1 Varikokelektomi retroperitoneal, inguinal atau skrotal

Varikokelektomi retroperitoneal atau vasoligasi tinggi (teknik Palomo)

dilakukan dengan melakukan insisi pada medial dari spina iliaka anterior superior

(SIAS) setinggi cincin inguinalis internal. Otot oblique eksternus dibuka, otot

oblique interna diretraksi dan menyisihkan peritoneum kemudian dilakukan

evaluasi arteri dan vena spermatika. Keuntungan varikokelektomi retroperitoneal

adalah secara teknik operasi lebih mudah dan dapat mengidentifikasi satu atau dua

vena spermatika interna sebelum percabangannya. Kerugiannya adalah mustahil

untuk mengakses vena spermatika eksterna, yang juga dikenal sebagai rute

alternatif terjadinya varikokel ( Hamada, et al., 2016)

Insisi setinggi inguinal pada awalnya disampaikan oleh Ivanissevich tahun

1960. Dengan teknik ini diperlukan ekspos dan insisi aponeurosis oblique eksternus

dan dengan teknik ini memungkinkan evaluasi terhadap vena spermatika interna

dan vassa kremaster eksterna. Dalam pendekatan retroperineal akan sulit untuk

mengidentifikasi dan preservasi arteri spermatika dan saluran limfe, yang kemudian
28

dikaitkan dengan tingginya insiden hidrokel pasca operasi. Di masa yang lalu,

teknik dengan insisi pada skrotum telah banyak digunakan, tetapi saat ini tidak lagi

dianggap sebagai pilihan karena risiko yang lebih tinggi terjadinya cidera pada

arteri spermatika dan terjadinya atrofi testis. (Fretz & Sandlow, 2002)

Gambar 2.6 Lokasi insisi varikokelektomi retroperitoneal, inguinal subinguinal


(Esteves, 2012)

2.2.2 Bedah mikro varikokelektomi inguinal atau varikokelektomi subinguinal

Teknik bedah mikro inguinal dan subinguinal merupakan teknik inovatif yang

memungkinkan ligasi semua pembuluh darah vena dengan preservasi arteri

testikular dan saluran limfe. Dengan teknik operasi ini akan menurunkan tingkat

kekambuhan dan komplikasi. (Choi & Kim, 2013)

2.2.3 Varikokelektomi laparoskopi

Teknik varikokelektomi laparoskopi hampir sama dengan varikokelektomi

operasi bedah terbuka. Varikokelektomi laparoskopi membutuhkan biaya operasi

yang lebih mahal karena penggunaan alat-alat canggih dan waktu operasi yang lebih
29

lama. Sedangkan mengenai waktu penyembuhan hampir sama dengan operasi

terbuka.

2.2.4 Embolisasi Retrograde atau skleroterapi

Oklusi varikokel dengan intervensi radiologi varikokel adalah pilihan

pengobatan alternatif yang minimal invasif dan kemampuan untuk mengontrol

kolateral vena yang mungkin tidak terlihat pada operasi bedah terbuka. Kelemahan

teknik ini adalah biaya dan tingkat kegagalan yang tinggi. (Diegidio, et al., 2011).

Ada berbagai teknik intervensi radiologi untuk oklusi varikokel, sebagian besar

baik sklerotherapi atau teknik embolisasi dapat dilakukan setelah dilakukan

venografi retrograde. Hal ini masih menjadi perdebatan Beberapa ahli radiologi

menganjurkan skleroterapi sebagai teknik standar, tetapi yang lain lebih memilih

teknik embolisasi. (Iaccarino & Venetucci, 2012)

2.2.5 Skleroterapi Antegrade

Skleroterapi Antegrade sebagai alternatif pilihan intervensi radiologi. Pada

awalnya skleroterapi antegrade dilakukan melalui akses di skrotum dan kemudian

dalam perkembangannya dilakukan melalui akses di pangkal paha atau subinguinal

dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik. (Iaccarino & Venetucci, 2012)
30

Tabel 2.2 Tingkat rekurensi dan komplikasi yang berhubungan dengan


penatalaksanaan varikokel (Jungwirth, et al., 2012)

2.3 Indikasi Varikokelektomi

Dalam penanganan varikokel tidak semua pasien dilakukan tindakan

varikokelektomi atau intervensi radiologi. Saat ini ada beberapa pedoman sebagai

pertimbangan dalam penatalaksanaan varikokel. The Male Infertility Best Practice

Policy Committee of the American Urological Association dan the Practice

Committee of the American Society for Reproductive Medicine menetapkan indikasi

untuk pengobatan varikokel sebagai berikut


31

1. Varikokel teraba pada pemeriksaan fisik skrotum

2. Pasangan dengan infertilitas

3. Pasangan wanita memiliki fertilitas yang normal atau penyebab yang

berpotensi infertilitas dapat diobati

4. Pria yang memiliki parameter sperma yang abnormal atau hasil abnormal

pada tes fungsi sperma.

Pengobatan varikokel untuk infertilitas tidak diindikasikan pada pasien dengan

parameter semen yang normal atau varikokel subklinis. (Jungwirth, et al., 2012)

Pedoman yang hampir sama juga dikemukakan oleh European Urological

Association (EAU) tahun 2012 yang menyampaikan tiga rekomendasi untuk

pengobatan varikokel, yaitu:

1. Pengobatan varikokel direkomendasikan untuk remaja yang mengalami

kegagalan perkembangan testis yang progresif yang tercatat dengan

pemeriksaan fisik secara serial. (Rekomendasi kelas B).

2. Tidak ada bukti menunjukkan manfaat dari pengobatan varikokel pada pria

infertil yang memiliki parameter sperma yang normal atau pada pria dengan

varikokel subklinis. Dalam situasi ini, pengobatan varikokel tidak dapat

direkomendasikan (rekomendasi grade A).

3. Perbaikan varikokel harus dipertimbangkan dalam kasus varikokel yang

teraba secara klinis, oligospermia, durasi infertil lebih dari 2 tahun dan

infertilitas yang tidak jelas penyebabnya pada pasangan suami istri

(rekomendasi kelas A).


32

2.4 Efek dari Varikokelektomi


Tujuan akhir dari varikokelektomi adalah perbaikan parameter sperma dan

terjadinya kehamilan. Pada suatu penelitian meta analisis menyampaikan bahwa

terjadinya kehamilan spontan berhubungan dengan perbaikan parameter sperma.

(Agarwal, et al., 2007)

2.4.1 Efek varikokelektomi terhadap parameter sperma

Pada beberapa penelitian secara konsisten mengatakan bahwa varikokelektomi

memiliki pengaruh yang positif terhadap perbaikan parameter sperma. Suatu

penelitian yang diakukan oleh Agarwal et al., untuk menentukan efek dari

varikokelektomi (vasoligasi tinggi atau bedah mikro inguinal) terhadap perbaikan

parameter sperma dari 17 penelitian termasuk randomized controlling trial (RCT)

dan penelitian observasional. Populasi penelitian adalah pria infertil dengan

varikokel unilateral atau bilateral yang secara klinis teraba dan setidaknya satu dari

pemeriksaan parameter sperma yang abnormal. Hasil penelitian menunjukan bahwa

konsentrasi sperma meningkat 9,71 × 106/mL (IK 95% 7,34-12,08, p <0,00001) dan

motilitas meningkat 9,92% (IK 95% 4,90-14,95, p <0,0001) setelah bedah mikro

varikokelektomi. Demikian pula, sperma konsentrasi meningkat 12,03 × 106 / mL

(IK 95% 5.71-18,35; p = 0,0002) dan motilitas meningkat 11,72% (IK 95% 4,33-

19,12; p=0,002) setelah vasoligasi tinggi varikokelektomi. Sedangkan perbaikan

morfologi sperma adalah 3.16% (IK 95% 0,72-5,60; p <0,01) setelah baik bedah

mikro atau vasoligasi tinggi varikokelektomi. (Agarwal, et al., 2007)

Baazeem et al. yang juga melaporkan pada suatu penelitian meta analisis terdiri

dari beberapa RCT dan juga beberapa penelitian untuk embolisasi radiologi.
33

Analisa terhadap beberapa penelitian yang mencakup konsentrasi sperma (22

penelitian), total motilitas (17 penelitian) dan motilitas yang progresif (5 penelitian)

sebelum dan sesudah varikokelektomi pada varikokel klinis. Didapatkan

peningkatan konsentrasi sperma 12,32 × 106 /mL (IK 95% 9,45-15,19; p <0,0001)

dan peningkatan total motilitas sperma dan motilitas sperma yang progresif,

masing-masing 10,86% (IK 95% 7,07-14,65; p <0,0001) dan 9,69% (IK 95% 4.86-

14.52; p = 0,003). Hasil ini menunjukkan bahwa varikokelektomi berhubungan

secara signifikan terhadap peningkatan konsentrasi sperma serta total motilitas dan

motilitas sperma yang progresif. (Baazeem, et al., 2011)

Penelitian meta analisis yang lain oleh Schauer et al. yang meneliti efek tiga

teknik bedah varikokelektomi (vasoligasi tinggi, varikokelektomi inguinal, dan

pendekatan subinguinal) terhadap perbaikan parameter sperma (jumlah dan

motilitas sperma). Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi perbaikan yang

signifikan dalam jumlah sperma dan motilitas terlepas dari teknik bedah yang

digunakan. (Schauer, et al., 2012) Selain itu varikokel juga berhubungan terhadap

kerusakan DNA sperma dan gangguan parameter sperma merupakan akibat dari

adanya stres oksidatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa varikokelektomi

akan dapat membalikkan kondisi kerusakkan DNA sperma. (Zini & Dohle, 2011)
34

Gambar 2.7 Efek varikokelektomi terhadap Fertilitas (Sofikitis,et al., 2014)

ABP = androgen-binding protein; ESMP = epididymal sperm maturation process;


ITT = intratesticular testosterone; ROS = reactive oxygen species.

2.4.2 Efek varikokelektomi terhadap terjadi kehamilan

Pada tahun 2009, Cayan et al. menganalisis tingkat kehamilan pasca

varikokelektomi untuk menentukan teknik yang terbaik berdasarkan hasil dari 36

penelitian. Mereka menyimpulkan bahwa bedah mikro varikokelektomi memiliki

angka keberhasilan terjadinya kehamilan spontan dan rendahnya kekambuhan

pasca operasi dibandingkan dengan varikokelektomi konvensional dan radiologi

embolisasi.
35

Kolaborasi Cochrane telah melakukan meta analisis untuk mengevaluasi efek

perbaikan varikokel terhadap terjadinya kehamilan sejak tahun 2001. Mereka

menunjukkan secara konsisten bahwa tidak ada efek menguntungkan dari

pengobatan varikokel pada pasangan untuk terjadinya konsepsi atau kehamilan.

Sebelumnya suatu meta-analisis oleh kolaborasi Cochrane hanya menyimpulkan

bahwa tidak ada bukti bahwa pengobatan varikokel pada pria dari pasangan yang

infertil yang tidak jelas penyebabnya untuk bisa terjadi konsepsi atau kehamilan.

Baazeem et al. melaporkan meta analisis pada 380 pasangan (192 randomized

untuk pengobatan dan 188 randomized untuk observasi) dimasukkan dari empat

RCT yang melaporkan terjadinya kehamilan setelah varikokelektomi pada pria

dengan oligospermia. Odd ratio (OR) yang dihasilkan dari model fixed-efect adalah

mendukung terapi (OR, 2.10; IK 95%,1,31-3,38; p = 0,002). (Baazeem, et al., 2011)

Pada tahun 2007, Marmar et al. pada suatu penelitian meta analisis untuk

mengevaluasi varikokelektomi pada pria subfertil yang mencakup lima penelitian

(dua randomized, tiga observasional) mencari keberhasilan tercapainya kehamilan

setelah varikokelektomi pada pria varikokel klinis yang pada pemeriksaan

parameter spermanya didapatkan setidaknya satu yang abnormal. Mereka

menyimpulkan bahwa varikokelektomi memiliki efek yang menguntungkan

terhadap status fertilitas dengan OR 2,87.


36

2.5 Faktor-faktor terjadinya Kehamilan spontan

Beberapa penelitian dilakukan terhadap faktor risiko yang diduga

menyebabkan perbaikan parameter sperma dan kehamilan spontan pasca

varikokelektomi. Faktor-faktor tersebut adalah umur saat varikokelektomi, derajat

varikokel, indeks massa tubuh, durasi infertil, merokok dan parameter sperma

sebelum varikokelektomi, namun pada penelitian-penelitian tersebut masih

menunjukan hasil yang berbeda-beda dan masih diperdebatkan.

2.5.1 Umur saat varikokelektomi

Umur memegang peranan terhadap fertilitas pria dalam hal parameter sperma.

Terjadinya fragmentasi DNA sperma oleh karena adanya stres oksidatif yang

semakin bertambah seiiring dengan bertambahnya umur. Selain itu umur juga

berperan pada faktor endokrin yaitu pada aksis hipotalamus-hipofisis-gonadal

dimana terjadinya penurunan testosteron yang berperan pada proses

spermatogenesis. Sedangkan varikokel memiliki efek merusak biologi testis seiring

dengan bertambahnya umur (Zorba, et al., 2009).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antara faktor

umur saat varikokelektomi dengan terjadinya kehamilan spontan. Penelitian-

penelitian tersebut mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang

dilakukan oleh Tinga et al. yang mendapatkan peningkatan secara signifikan

parameter sperma pasca varikokelektomi terjadi pada usia muda, sedangkan pada

pasien yang lebih tua tidak ada perbaikan secara signifikan. (Tinga, et al., 1984).

Penelitian lain yang dilakukan Hassanzadeh-Nokashty et al. mendapatkan hasil

bahwa pasien dengan umur kurang dari 25 tahun menunjukkan peningkatan


37

parameter sperma. (Hassanzadeh-Nokashty, 2011). Hasil yang serupa juga

didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Goldstein dan Rodriguez

Peña et al. (Kim & Goldstein, 2008; Pen, et al., 2009). Hasil yang berbeda

didapatkan dari penelitian-penelitian yang yang mendapatkan tidak ada perbedaan

perbaikan parameter sperma pada semua kelompok umur. (Ishikawa & Fujisawa,

2005; Huang, et al., 2014) Semua penelitian tersebut tidak ada yang

menghubungkan dengan terjadinya kehamilan spontan pada pasangannya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Zini et al. mendapatkan tidak ada perbedaan

yang signifikan terhadap terjadinya kehamilan spontan pasca varikokelektomi pada

pria dengan umur lebih dari 40 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih

muda.(49% vs 39%). Tetapi jika dibandingkan pria lebih 40 tahun yang dilakukan

varikokelektomi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dilakukan

varikokelektomi didapatkan kehamilan spontan secara signifikan (49% Vs 21%)

(Zini, et al., 2008.) Hasil yang sama didapatkan pula pada penelitian oleh Reşorlu

et al. dan Liguori et al. (Resorlu, et al., 2010; Liguori, et al., 2010)

Pengaruh umur pada wanita berperan untk terjadinya kehamilan spontan . Suatu

penelitian menunjukkan bahwa risiko infertilitas meningkat dengan meningkatnya

umur (Sabarre, et al., 2013). Bukti menunjukkan bahwa umur memegang peranan

penting dalam fertilitas. Penelitan oleh Kelly-Weeder dan Lorane mendapatkan

hasil bahwa wanita dengan umur lebih dari 35 tahun akan membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk terjadi kehamilan. (Kelly-Weeder & Lorane, 2007).

Sedangkan pada penelitan yang lain mengatakan, kehamilan sebelum umur 30

tahun untuk perempuan dan sebelum 35 untuk pria akan memiliki lebih banyak
38

kesempatan untuk terjadi kehamilan. (Sarvari & Heidari, 2010). Wanita dengan

umur 40 tahun hanya memiliki peluang sekitar 5-10% untuk terjadi kehamilan.

(Sharma, et al., 2011)

2.5.2 Derajat Varikokel

Derajat varikokel juga tampaknya memberi peranan dalam kadar ROS sperma.

Semakin besar derajat varikokel akan semakin meningkatkan kadar ROS dan

menurunkan juga konsentrasi sperma. Semakin tinggi derajat varikokel

kecendrungan juga memiliki baseline parameter sperma yang buruk tetapi akan

memiliki perbaikan parameter sperma yang lebih baik dibandingkan dengan derajat

yang lebih kecil setelah varikokelektomi. Penelitian oleh Abdalla et al.

mendapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat varikokel dengan

terjadinya kehamilan spontan pasca varikokelektomi, hasil yang sama juga

didapatkan oleh Abdel-Meguid . (Abdalla, et al., 2011; Abdel-Meguid, et al., 2011).

Pada beberapa penelitian yang lain mendapatkan hasil yang berbeda bahwa

terjadinya kehamilan spontan lebih banyak terjadi pada pria dengan varikokel

derajat 1 dan 2. (Reddy et al 2015; Shabana, et al., 2015). Penelitian yang dilakukan

oleh Samplaski et al. mendapatkan perbaikan parameter sperma (total motile sperm

count (TMC), konsentrasi sperma, motilitas dan morfologi) berhubungan langsung

dengan derajat varikokel setelah varikokelektomi. (Samplaski, et al., 2014).

Sedangkan menurut Panduan Penanganan Infertilitas Pria, Ikatan Ahli Urologi

tahun 2015, varikokel derajat 2 dan 3 sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

keberhasilan varikokelektomi. (Duarsa, 2015)


39

2.5.3 Indeks Masa Tubuh (IMT)

Peningkatan IMT akan mempengaruhi terjadinya peningkatan stres oksidatif

secara sistemik yang kemudian berefek dengan ekspos ROS pada testis dan

kemudian merusak DNA sperma. Pasien dengan berat badan lebih dan obesitas juga

memberi peranan kepada ketidakseimbangan endokrin pada aksis hipotalamus-

hipofisis-gonadal yang menurunkan kadar testosteron. Selain itu meningkatnya

lemak pada perut akan juga mempengaruhi peningkatan suhu skrotum.

Indeks Massa tubuh telah banyak dihubungkan dengan terjadinya varikokel

dan telah banyak penelitian yang mendapatkan hubungan tersebut. (Gokce, et al.,

2013, Rais, et al., 2013) Namun belum banyak penelitian yang menghubungkan

antara IMT dengan terjadinya kehamilan spontan pasca varikokelektomi. Ada

keterbatasan data dalam kepustakaan mengenai hubungan IMT dengan terjadinya

kehamilan spontan pasca varikokelektomi. Penelitian yang dilakukan oleh Pham

dan Sandlow mendapatkan hasil bahwa varikokelektomi pada pria dengan berat

badan lebih dan obesitas memberi hasil varikokelektomi yang sama dibandingkan

dengan pria dengan berat badan yang normal sekalipun kecendrungan tampak hasil

lebih baik pada pria dengan berat badan yang normal (Pham & Sandlow, 2012). Hal

yang berbeda didapatkan dari penelitian Abdalla et al. bahwa pria dengan IMT yang

rendah atau normal secara signifikan akan terjadi kehamilan spontan pasca

varikokelektomi (Abdalla, et al., 2011)

Hubungan antara obesitas dengan terjadinya infertilitas pada wanita telah

ditunjukkan pada beberapa penelitian. Obesitas akan mengganggu fungsi

reproduksi, gangguan perkembangan folikel ovarium dan gangguan kualitas dan


40

jumlah oosit. Obesitas mempengaruhi aksis hipotalamus-hipofisis-gonad karena

peningkatan kadar estrogen bebas dan peningkatan konversi dari androgen menjadi

estrogen di jaringan adiposa. Peningkatan estrogen menyebabkan penurunan GnRH

oleh umpan balik negatif, menyebabkan siklus haid tidak teratur dan anovulasi.

Disisi lain sekitar 35-60% pasien dengan PCOS dengan obesitas akan semakin

menyebabkan gangguan fertilitas pada wanita.

WHO melaporkan sekitar 60% wanita dengan berat badan lebih (IMT ≥25

kg/m2 ) di Amerika Serikat dan pada sebagian besar negara di Eropa dan 30% ( ≥30

kg/m2) diantaranya dengan obesitas. Pada wanita dengan IMT >25 kg/m2 memiliki

tingkat kehamilan lebih rendah dibandingkan dengan IMT < 25 kg/m2 (masing-

masing 10,5% vs 253%). (Nodine & Hastings-Tolsma, 2012). Obesitas pada wanita

telah terbukti meningkatkan waktu untuk terjadinya konsepsi. Risiko relatif tidak

terjadinya ovulasi 2.7 (95% CI, 2,0-3,7) pada wanita dengan BMI ≥ 32 kg /m2.

(Pandey, et al., 2010)

2.5.4 Durasi Infertil

Zorba et al. meneliti efek dari durasi infertil terhadap terjadinya kehamilan

spontan pasca varikokelektomi mendapatkan bahwa kehamilan spontan berkorelasi

negatif terhadap lamanya infertil. (Zorba, et al., 2009). Hasil yang berbeda

didapatkan oleh Al-Ghazoetal mendapatkan hasil terjadinya kehamilan spontan

lebih banyak terjadi pada durasi infertil kurang dari 3 tahun dibandingkan dengan

durasi infertil lebih dari 3 tahun.(Al-Ghazo, et al., 2011) Hasil yang berbeda

didapatkan oleh Giagulli and Carbone yang mengatakan bahwa varikokelektomi


41

akan lebih bermanfaat bila telah terjadi durasi infertilitas lebih dari 2 tahun (Giagulli

& Carbone, 2010).

2.5.5 Merokok

Pasien varikokel yang merokok akan menyebabkan tingginya kadar kadmium

(Cd) pada sperma. Kadmium dapat efek negatif pada spermatogenesis dan

meningkatkan produksi ROS. Begitu pula kandungan nikotin pada rokok akan

menyebabkan fragmentasi DNA sperma. Pada penelitian pada pria varikokel yang

merokok didapatkan penurunan persentase motilitas sperma yang progresif dan

juga penurunan konsentrasi sperma. (Collodel, et al., 2009; Fariello, et al., 2012;

Taha, et al., 2014). Telah banyak pada kepustakaan yang menghubungkan antara

pria varikokel yang merokok terhadap terjadinya penurunan parameter sperma dan

saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan pengaruh merokok pada pria

yang dilakukan varikokelektomi terhadap terjadinya kehamilan spontan.

Di Eropa prevalensi wanita yang merokok pada usia reproduksi semakin

meningkat pada beberapa dekade terakhir mencapai 33% in 2006 (Huisman et al.,

2005). Di Amerika Serikat prevalesi wanita yang merokok sekitar 28% (CDC,

2008). Merokok juga berpengaruh terhadap terjadinya menopause yang lebih awal.

Seperti halnya pada pria yang mempengaruhi spermatogenesis, merokok pada

wanita juga mempengaruhi fertilitas mulai dari pengaruh gangguan endokrin,

gangguan pada ovarium dan tuba falopii sehingga pada akhirnya juga mengganggu

proses follikulogenesis. (Dechanet, et al., 2011)


42

2.5.6 Parameter Sperma sebelum Varikokelektomi

Parameter sperma yang meliputi konsentrasi, motilitas dan morfologi sperma

yang abnormal sebelum varikokelektomi sebagai baseline parameter sperma juga

memberi peranan terjadinya kehamilan spontan. Parameter sperma yang abnormal

dengan cut-of value tertentu akan mengalami perbaikan parameter sperma pasca

varikokelektomi yang cukup untuk bisa menyebabkan terjadi kehamilan spontan.

Penelitian mengenai parameter sperma memprediksi terjadinya kehamilan

spontan masih mendapatkan hasil yang tidak konsisten. Kamal et al. pada penelitian

retrospektif mendapatkan hasil bahwa konsentrasi sperma sebelum

varikokelektomi sebagai faktor yang signifikan terjadinya kehamilan spontan.

(Kamal et al., 2001). Pada penelitian yang lain mendapatkan hasil bahwa

konsentrasi sperma dan motiltas sperma sebelum varikokelektomi berhubungan

positif terhadap terjadinya kehamilan spontan. (Peng, et al., 2015; Shabana, et al.,

2015. Sedangkan hasil yang berbeda didapatkan oleh Kumar et al. yang

menyatakan terjadinya kehamilan spontan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh dua

faktor yaitu motilitas sperma dan morfologi sperma. (Kumar, et al., 2016)

2.5.7 Penyakit Sistemik Kronis

Penyakit sistemik kronik yang tampaknya memberi peranan penting terhadap

fertilitas adalah diabetes mellitus (DM) dan hipertensi. Pada pria dengan DM akan

mengganggu seluruh organ tubuh termasuk gangguan pada organ reproduksi pria.

DM menyebabkan kerusakan secara histologis pada epididimis. Beberapa

mekanisme yang menjelaskan terjadinya penurunan parameter sperma pada DM

yaitu adanya gangguan endokrin, neuropati dan meningkatnya stres oksidatif. Pada
43

beberapa penelitian juga didapatkan bahwa DM menurunkan kadar testoteron. Hal

ini dihubungkan karena adanya defek steroidogenesis pada sel Leydig. Neuropati

menyebabkan atonia vesika seminalis, vesika urinaria dan uretra. Kemudian DM

menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan pada

DNA sperma. (Vignera, et al., 2012). Pada wanita, terjadinya amenore merupakan

hal yang sering terjadi pada DM yang tidak terkontrol. Gangguan endokrin yang

terjadi mempengaruhi gangguan ovulasi dan gangguan pada tuba. (Lavender et

al., 2010)

Hipertensi juga memberi peranan terhadap fertilitas. Suatu penelitian yang

dilakukan Eisenberg et al. yang meneliti suatu hubungan dan pengaruh kondisi

komorbid terhadap parameter sperma dengan menggunakan Charlson comorbidity

index (CCI). Mendapatkan hasil bahwa hipertensi berpengaruh untuk terjadinya

parameter sperma yang abnormal. Terdapat 45% pada pria dengan hipertensi

memiliki parameter sperma yang normal, sisanya dengan parameter sperma yang

abnormal. (Eisenberg, et al., 2015)

2.5.8 Penyakit pada Sistem Reproduksi Wanita

Terdapat penyakit pada sistem reproduksi wanita yang sering berhubungan

pada infertilitas yaitu endometriosis dan polycystic ovary syndrome (PCOS).

Endometriosis adalah penyakit inflamasi dengan estrogen-dependent.

Endometriosis mempengaruhi lebih dari 10-15% dari wanita usia subur. (Sabarre,

et al., 2013) Hubungan antara endometriosis dan infertilitas telah disebutkan pada

banyak kepustakaan dan hubungannya dengan infertilitas masih menjadi

perdebatan. Anti-genetic growth factors dan sitokin tampaknya memberi peranan


44

penting terhadap endometriosis yang mempengaruhi fertilitas. (Macer & Taylor,

2012)

PCOS adalah suatu kondisi berlebihnya andogen dan resistensi terhadap insulin

yang menyebabkan sulitnya terjadi kehamilan oleh karena adanya gangguan

ovulusi. (Tsai, et al., 2013) Sekitar 30-70% wanita dengan PCOS mengalami

obesitas. Berat badan lebih dan obesitas pada wanita dengan PCOS akan

menyebabkan gangguan metabolik dan fertilitas.

2.5.9 Pekerjaan

Faktor pekerjaan pada wanita tampaknya juga berhubungan dengan fertilitas.

Pada suatu penelitian Cohort yang meneliti pengaruh lamanya pekerjaan terhadap

terjadinya kehamilan. Wanita yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terjadi kehamilan dibandingkan dengan

wanita yang bekerja 21- 40 jam per minggu. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya

kelelahan yang akan mempengaruhi gangguan menstruasi dan ovulasi. (Gaskins, et

al., 2015)

Anda mungkin juga menyukai