Anda di halaman 1dari 11

The Importance of Organizational Culture to Facilitate

Knowledge Sharing
(Exploring Knowledge Sharing in ERP Implementation; an
Organizational Culture Framework)

Disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Manajemen Talenta dan
Pengetahuan

Disusun oleh:
Ni Putu Maha Lina 120820180508

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MAGISTER MANAJEMEN
BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan restrukturisasi ekonomi global telah sampai pada tahap knowledge driven
economy. Sejauh ini, perkembangan ekonomi global telah beralih dari ekonomi pertanian
menjadi ekonomi industri, lalu ekonomi pasca-industri hingga yang terakhir adalah knowledge
driven economy. Karakteristik utama pada tahapan akhir ini adalah produksi, distribusi, dan
penggunaan pengetahuan sebagai pendorong utama pertumbuhan, penciptaan kekayaan, dan
lapangan kerja (APEC).

Negara maju di dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa telah lebih dahulu mempersiapkan
sumber daya manusia yang berpendidikan, memiliki keterampilan, kesiapan teknologi dan
inovasi untuk mendukung implementasi knowledge driven economy. Sebagai contoh,
perusahaan Xerox menggunakan Eureka (sistem intranet yang terkoneksi dengan database).
Penggunaan sistem Eureka banyak digunakan oleh tenaga ahli untuk membagi tips ke seluruh
dunia tentang cara memperbaiki laptop. Hewlett-Packet mengembangkan internal knowledge
untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang penjualan printer HP di masa
mendatang (Mills dan Snyder, 2009).

Negara berkembang sedang menuju tahap knowledge driven economy. Hal ini ditunjukkan oleh
hasil survey Cornell University, INSEAD, and the World Intellectual Property Organization
(WIPO) tentang peringkat negara ASEAN. Dalam survey tersebut, terlihat perbaikan peringkat
negara ASEAN dari survey yang dilakukan sebelumnya. Singapura adalah salah satu negara
yang paling didorong oleh inovasi dunia, berada di peringkat ke-7. Negara-negara ASEAN
lainnya antara lain Malaysia (37), Vietnam (47), Thailand (51), Brunei (71), dan Filipina (73).
Indonesia dalam survey ini menempati peringkat (87) dari 127 negara di dunia. Berdasarkan
laporan tersebut, Indonesia mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah klasik termasuk
peraturan pemerintah, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, lemahnya pengembangan
penelitian dan pengembangan (Litbang) dan kurangnya kesadaran untuk menggunakan paten.

Masalah klasik knowledge driven economy di Indonesia, sudah seharusnya menjadi motivasi
untuk memperkuat daya saing sumber daya manusia Indonesia. Salah satu cara yang dapat
dilakukan di level mikro ekonomi adalah meningkatkan kapabilitas SDM di organisasi atau
perusahaan. Masalah yang dihadapi setiap organisasi, khususnya perusahaan, pada saat ini
adalah bagaimana agar perusahaan mampu meningkatkan pengetahuan secara berkelanjutan
dari SDM-nya yang sesuai dengan tuntutan tantangan yang dihadapi (Joeliaty, 2014).

Knowledge management adalah proses yang terintegrasi untuk mengumpulkan, menyimpan,


dan menyebarkan pengetahuan di dalam sebuah organisasi yang mendukung tercapainya
knowledge driven economy. Proses knowledge management melibatkan beberapa aktivitas.
Salah satu aktivitas yang menjadi perhatian peneliti adalah knowledge transfer/knowledge
sharing (Ford, 2001). Namun, pada implementasinya knowledge sharing tidak mudah
dilakukan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari tacit knowledge yang lebih sulit dibagi
dibandingkan explicit knowledge (Ling dkk, 2009; Jasimuddin dkk., 2005). Sebuah organisasi
yang memiliki keunggulan kompetitif umumnya melibatkan banyak orang untuk berkolaborasi
dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Hurley dan Hult, 1998). Dengan kata lain,
budaya organisasi yang baik adalah syarat terwujudnya knowledge sharing, creation dan
dissemination di dalam perusahaan (Islam dkk, 2014).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Knowledge Management dan Knowledge Sharing


Turban, dkk (2005) menjelaskan bahwa knowledge management adalah suatu proses yang
membantu organisasi mengidentifikasikan, memilih, mengorganisasi, menyebarkan dan
mentransfer keahlian dan informasi penting yang menjadi bagian dari memori organisasi dan
umumnya berada di dalam suatu organisasi.

Menurut Fernandez (2004), Knowledge management (KM) melalui beberapa tahapan proses.
Beberapa tahapan dari proses KM itu sendiri yaitu: pertama, Knowledge Discovery. Knowledge
Discovery merupakan proses membangun tacit atau explicit knowledge baru dari data dan
informasi atau dari sintesis pengetahuan terdahulu. Kedua, Knowledge Capture. Knowledge
capture merupakan proses perbaikan salah satu dari explicit atau tacit knowledge yang melalui
people, artifact, atau melalui entitas organisasi. Ketiga, Knowledge Sharing. Knowledge
sharing merupakan proses di mana explicit atau tacit knowledge dapat dikomunikasikan
dengan individu lainnya. Keempat, Knowledge Aplication. Knowledge aplication merupakan
penggunaan pengetahuan yang dipunyai beberapa individu lain tanpa mendapatkannya secara
nyata atau mempelajari pengetahuan itu.

Knowledge sharing di antara karyawan dalam suatu organisasi secara luas dianggap sebagai
komponen penting dalam bisnis (Jasimuddin dkk., 2012). Dyer and Nobeoka (2000)
mendefinisikan knowledge sharing sebagai sekumpulan aktivitas mengenai bagaimana anggota
organisasi membagi pengetahuan untuk meningkatkan organization learning capacity,
menstimulasi terciptanya pengetahuan baru yang pada akhirnya meningkatkan kompetisi. Jadi,
knowledge sharing merupakan tahapan proses dari knowledge management. Sebuah organisasi
yang mengimplementasikan knowledge management tidak dapat terlepas dari knowledge
sharing.
2.2 Organizational Culture

Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi bersama yang memandu apa yang terjadi dalam
organisasi dengan mendefinisikan perilaku yang sesuai untuk berbagai situasi (Ravasi &
Schultz, 2006). Budaya organisasi memengaruhi cara orang dan kelompok berinteraksi satu
sama lain, dengan klien, dan dengan para pemangku kepentingan. Juga, budaya organisasi
dapat mempengaruhi berapa banyak karyawan mengidentifikasi dengan organisasi mereka
(Schrodt, 2002).
Detert et. al mendefiniskan 8 dimensi budaya organisasi, di antaranya:

a. Orientation to Change (stability vs change)


Beberapa organisasi berorientasi pada perubahan, sedangkan organisasi lainnya lebih
berorientasi pada stabilitas. Sebagai contoh, suatu perusahaan dapat melaksanakan
kebijakan peningkatan layanan pelanggan (change). Tetapi pada perusahaan lain belum
tentu melakukan perubahan untuk meningkatkan pelayanan. Tingkah laku anggota
organisasi dapat tetap sama dengan tidak melakukan perubahan pada organisasi
(stability).
b. Control, coordination, and responsibility (concentrated vs Autonomous Decision
Making)
Keputusan terkonsentrasi (concentrated) atau didelegasikan (autonomous).
Permasalahan utama di banyak organisasi adalah perilaku silo di manamasing-masing
divisi terkotak-kotak. Unit atau area fungsional beroperasi secara independen dalam
organisasi., bukan saling menguatkan dan berbagai perspektif.
c. Orientation to collaboration (isolation vs collaboration)
Isolation adalah budaya organisasi yang mengedepankan otonomi, individualitas dan
beranggapan kolaborasi tidak efisien. Kolaborasi adalah budaya organisasi yang
beranggapan usaha individu akan lebih efisien dan efektif jika dilakukan bersama sama.
d. Basis of truth and rationality (hard data vs personal experience)
Sejauh mana organisasi mencari kebenaran melalui studi ilmiah sistemik menggunakan
hard data atau pengalaman pribadi/intuisi.
e. Motivation (external vs internal)
Sejauh mana organisasi menganggap bahwa individu termotivasi oleh keinginan
internal untuk berkinerja baik atau dengan penghargaan dan dorongan eksternal.
f. Orientation to work (process vs result)
Sejauh mana individu dalam organisasi fokus pada pekerjaan sebagai tujuan (hasil) atau
fokus pada proses dimana pekerjaan dilakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
g. Orientation and focus (internal vs external)
Sejauh mana peningkatan organisasi didorong oleh fokus pada peningkatan proses
internal atau oleh keinginan pemangku kepentingan eksternal.
h. Nature of time horizon (external vs. internal)
Sejauh mana organisasi fokus pada jangka panjang atau jangka pendek

2.2 The Importance of Organizational Culture to Facilitate Knowledge Sharing


Peran budaya organisasi sangat krusial untuk memfasilitasi knowledge sharing agar berjalan
sesuai tujuan. Tabel 1 menjelaskan dimensi budaya organisasi dan hambatan dalam
implementasi knowledge sharing. Hambatan yang berasal dari budaya organisasi dapat diatasi
dengan mencarikan solusi/inisiatif. Dengan adanya inisiatif mengenai pandangan yang
convergence tentang pentingnya budaya organisasi, diharapkan akan memberi dampak positif
bagi penerapan knowledge sharing itu sendiri.

Tabel 1. Peran budaya organisasi untuk memfasilitasi Knowledge Sharing (Jones, dkk., 2004)
Dimensi Budaya Hambatan Inisiatif Pengaruh ke
Knowledge Sharing
Orientation to Kecenderungan Mengatur tim agar Memfasilitasi
Change (stability vs organisasi untuk lebih berfokus pada integrasi knowledge
change) mempertahankan proses sharing
status quo (enggan
terlibat dalam
knowledge sharing)
Control, Hierarki organisasi Eliminasi senioritas Mendorong para
coordination, and yang rigid dan fungsi yang junior untuk berani
responsibility (senioritas) terkotak-kotak pada memberikan
(concentrated vs tim pandangan atau
Autonomous mengatakan tidak
Decision Making) setuju dari senior;
membantu
mengurangi silo
behaviour dari
masing-masing
divisi
Orientation to Anggota tim hanya Menstrukturisasi tim Mendorong
collaboration mau berbagi kepada “podville” pandangan yang luas
(isolation vs rekan dekat/ satu di antara tim dan
collaboration) divisi
kedekatan dalam
pekerjaan
Basis of truth and Anggota tim Mengoptimalkan Mendorong
rationality cenderung formal dan informal keinginan tim untuk
(hard data vs menghalangi sharing team building membagi
personal experience) of experiental exercises pengetahuan dengan
knowledge lainnya, baik berupa
hard data atau
pengalaman pribadi.
Motivation (external Anggota tim Menyediakan bonus Menanamkan
vs internal) berkonflik untuk yang sesuai dengan mindset bahwa
mendapatkan bonus capaian kinerja pengetahuan bukan
anggota tim untuk disimpan
sendiri, melainkan
disebar luaskan
Orientation to work Organisasi Reorganisasi Fokus pada
(process vs result) memberikan knowledge gathering mengumpulkan
deadline pekerjaan jika diperlukan pengetahuan yang
pada team (work benar dan sesuai
pressure)
BAB III
STUDI KASUS
EXPLORING KNOWLEDGE SHARING IN ERP IMPLEMENTATION; AN
ORGANIZATIONAL CULTURE FRAMEWORK

Latar Belakang dan Tujuan Penelitain


Studi kasus dalam bab ini mengangkat implementasi ERP (enterprise resource planning)
dalam perusahaan tambang minyak dan gas di Amerika. ERP adalah sebuah alat yang
membantu perusahaan dalam menekan biaya dan meningkatkan efisiensi dengan
mengintegrasikan proses bisnis dan berbagi sumber daya dalam organisasi. ERP membantu
organisasi dalam melaksanakan proses pembelajaran dan meningkatkan reliabilitas
pengambilan keputusan. budaya organisasi merupakan pendorong utama dan penghambat
berbagi pengetahuan organisasi. Di banyak organisasi, perubahan mungkin diperlukan untuk
mengubah sikap dan perilaku karyawan sehingga mereka mau dan secara konsisten berbagi
pengetahuan mereka. Budaya organisasi mempengaruhi sikap anggota terhadap berbagi
pengetahuan. Knowledge sharing sangat penting untuk keberhasilan implementasi ERP,
penting untuk memahami hubungan antara budaya organisasi dan knowledge sharing untuk
mengembangkan teori yang berkontribusi terhadap keberhasilan implementasi ERP.

Penelitian ini bertujuan mengetahui sejauh mana peranan budaya organisasi untuk
memfasilitasi knowledge sharing dengan ERP.

Methodology Penelitian :
- Data dikumpulkan menggunakan multi-site case study yang melibatkan 4 perusahaan
industri minyak
- SAP R/3 dipilih sebagai software ERP dalam penelitian
- SAP R/3 meliputi software financial accounting, controlling, fixed asset management,
project system, plant maintenance, materials management, dan production planning
- Unit analis adalah project team
- Interview dilakukan dengan metode in-person interviews
Hasil penelitian

Keempat perusahaan memiliki budaya yang berbeda dalam mendukung knowledge sharing
dengan fasilitas ERP. Secara garis besar, perusahaan A dan perusahaan D
mengimplementasikan knowledge sharing dengan budaya organisasi yang mendukung.
Perusahaan B dan C mengalami hambatan dalam implementasi knowledge sharing karena
budaya organisasi yang belum mendukung penuh. Tabel 3.menjelaskan ringkasan mengenai
dimensi budaya yang memfasilitasi knowldge sharing pada masing-masing perusahaan.

Tabel 3. Dimensi budaya dalam studi kasus ERP

Dimensi Company A Company B Company C Company D


Budaya
Orientation to Change Stability and Stability Change
Change
change
(stability vs
change)

Control, Autonomous Autonomous Autonomous Concentrated


coordination,
and
responsibility
(concentrated vs
Autonomous
Decision
Making)

Orientation to Collaboration Isolation Collaboration Collaboration


collaboration
(isolation vs
collaboration)

Basis of truth Hard data and Hard data Hard data Hard data and
and rationality
personal personal
(hard data vs
personal experience experience
experience)

Motivation Primarily Primarily Primarily External and


(external vs
internal internal internal internal
internal)

Orientation to Primarily Result and Primarily Primarily


work (process
process process process process
vs result)
Orientation and Primarily Primarily Primarily Primarily
focus (internal internal internal internal internal
vs. external)
Nature of time Long-term Long-term Long-term Long-term
horizon (short
term vs. long
term)

Daftar Pustaka
David Skyrme Associates. (2009). Knowledge connections. Retrieved September 22 2019,
from Knowledge Connections Website: http:// www.skyrme.com

Fernandez-Baccera. (2004). Knowledge management: challenges, solution and technology.


Prentice Hall.

Islam dkk (2015). Organizational culture, structure, technology infrastructure and knowledge
sharing: Empirical evidence from MNCs based in Malaysia 45(1):67-88 · February 2015.
DOI: 10.1108/VINE-05-2014-0037

Jones et al (2004). Exploring Knowledge Sharing in ERP Implementation; An Organizational


Culture Framework. Decision Support Systems 41(2):411-434 · January 2006.
DOI: 10.1016/j.dss.2004.06.017

Ravasi, D.; Schultz, M. (2006). “Responding to organizational identity threats: Exploring the
role of organizational culture”. Academy of Management Journal, 49 (3): 433–458.

Schrodt, P (2002). “The relationship between organizational identification and organizational


culture: Employee perceptions of culture and identification in a retail sales
organization”. Communication Studies 53: 189–202.

William J Rothwell, Ph.D, SPHR, (2004), Knowledge Transfer: 12 Strategies for Succession
Management ̧ IPMA-HR News.
Zuopeng (Justin) Zhang, Sajjad M. Jasimuddin (2012) Knowledge market in organizations:
incentive alignment and IT support Industrial Management & Data Systems. ISSN: 0263-557

Anda mungkin juga menyukai