Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan teknologi komunikasi telah mempengaruhi banyak
pandangan orang terhadap hal-hal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
pandangan dalam menjadi orang tua. Dahulu, orang tua masih membiarkan
anaknya untuk bermain di luar rumah dengan permainan tradisional bersama
anak-anak lainnya. Akan tetapi, saat ini orangtua lebih mengandalkan
teknologi digital sebagai media permainan bagi anak. Banyak orang tua yang
kemudian berlomba memberikan akses teknologi digital pada anak-anak
mereka dan memberikan teknologi digital langsung di genggaman anak
(Novitasari, Wahyu, 2016).
Teknologi digital menjadi satu aspek penting dalam faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak. Masuknya teknologi digital dalam
kehidupan perkembangan anak menginvasi banyak tahapan perkembangan
yang harusnya dicapai anak. Teknologi membuat hidup mereka lebih cepat
(instan) dan lebih efisien. Teknologi hiburan seperti televisi, internet, video
game, iPod, iPad, dan lainnya telah berkembang begitu pesat sehingga
membuat suatu keluarga hampir tidak menyadari dampak signifikan dan
perubahan gaya hidup pada keluarga mereka (Rowan, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The Asian Parent
Insights pada November 2014, sebanyak 98 persen dari 2.714 orang tua di
Asia Tenggara yang mengikuti penelitian ini mengizinkan anaknya untuk
mengakses teknologi berupa komputer, smartphone, atau tablet. Penelitian ini
dilakukan terhadap 2.714 orang tua di Asia Tenggara yang memiliki anak
berusia 3 - 8 tahun. Para orang tua peserta penelitian ini berasal dari
Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina. Dari hasil survey
tersebut kebanyakan orangtua memperbolehkan anaknya bermain gadget
untuk tujuan edukasi. Namun kenyataannya menurut hasil survey sebagian
besar putra-putri mereka menggunakan gadget / tablet tersebut untuk tujuan
hiburan seperti game (Unantenne,2014).

1
2

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII),


yaitu lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia telah menggunakan atau
memanfaatkan Internet. Pada tahun 2016 dari total penduduk Indonesia
sebanyak 256,2 juta jiwa, terdapat 132,7 juta jiwa diantaranya telah
terhubung ke internet. Penetrasi pengguna internet Indonesia di dominasi
oleh pria sebesar 52,5% dan wanita sebanyak 47,5%. Dalam rentang waktu 2
tahun (2014-2016) pengguna internet di Indonesia meningkat sebesar 44,6
juta. Dari seluruh pengguna internet yang tersebar di Indonesia bahwa 65%
pengguna internet terbanyak terdapat di Pulau Jawa yakni sebesar 86,3 juta
jiwa. Sedangkan pengguna Internet terendah terdapat di Pulau Maluku dan
Papua yakni sebesar 2,5%. Internet di Indonesia banyak digandrungi oleh
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dan mulai dari pelajar hingga
dewasa. Mayoritas pengguna terbanyak berada pada rentang umur 35-44
tahun sebesar 29,2%, pada rentang umur 25-34 tahun sebesar 24,4%.
Sedangkan pengguna berumur 10-24 tahun sebesar 18,4% dan 28% sisanya
tercatat merupakan pengguna berumur 45 tahun keatas.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Desa
Sumber Kembar RT 02 RW 04 Kecamatan pakuniran tanggal 28 Agustus
2018, diperoleh data hasil wawancara 3 ibu rumah tangga. Yang memiliki
anak usia sekolah, mengemukakan bahwa anaknya lebih sering bermain
gadget dibandingkan bermain dengan teman sebayanya.. Selain itu, anak-
anak juga mengemukakan dalam bermain gadget mereka sering lupa untuk
makan, mandi dan malas untuk belajar.
Anak-anak juga akan lebih bersemangat untuk belajar karena aplikasi
semacam ini biasanya dilengkapi oleh gambar-gambar yang menarik. Selain
itu, kemampuan berimajinasi anak juga semakin terasah. Penggunaan gadget
juga berdampak negatif yang cukup besar bagi anak seperti komunikasi
dengan orang tua berkurang, kemampuan psikomotorik berkurang, kesulitan
beradaptasi dengan materi pelajaran, kesulitan dalam bersosialisasi, dan
Mereka lebih memilih duduk diam di depan gadget dan menikmati dunia
yang ada di dalam gadget tersebut. Mereka lambat laun telah melupakan
kesenangan bermain dengan teman-teman seumuran mereka maupun dengan
3

anggota-anggota keluarganya. Hal itu tentunya akan berdampak buruk


terhadap perkembangan tumbuh anak. Selain itu, terlalu lama menghabiskan
waktu di depan layar gadget membuat interaksi sosial anak juga mengalami
gangguan. (Novitasari, Wahyu, 2016).
Seiring berkembangnya teknologi, gadget dengan mudahnya dijumpai
anak dan remaja dimana-mana. Bagi mereka yang tidak menggunakan gadget
sudah pasti dianggap ketinggalan jaman. Tidak heran jika hampir semua anak
dengan mudahnya mengakrabi teknologi. Dari sekedar PS (playstation),
komputer sampai smartphone, iPad, android, internet, blackberry, tak
ketinggalan jejaring-jejaring sosial yang semakin menjauhkan mereka dari
pengajaran untuk saling mengenal dan saling bersosialisi. Pada akhirnya
mereka terjebak dengan dunianya sendiri. Dan secara praktis menjadikan
mereka pribadi yang sudah jelas pintar dalam berteknologi tapi susah dalam
berinteraksi.
Tindakan yang tepat untuk menghadapi masalah-masalah yang
dijelaskan dalam masalah ini adalah peran orang tua. Karena di sini peranan
dari kedua orang tua sangatlah penting. Kedua orang tua diharapkan dapat
membimbing dan mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi, terutama gadget. Sehingga anak-anak dapat
mengerti hal apa saja yang termasuk hal yang baik dan hal yang kurang baik.
Berdasarkan fenomena di atas maka diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai peran orangtua dalam pengawasan penggunaan gadget
(Handphone) pada anak usia sekolah di desa sumber kembar RT 02 RW 04
Kecamatan Pakuniran Kabupaten Probolinggo.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimanakah Peran orangtua dalam pengawasan
penggunaan gadget (handphone) pada anak sekolah dasar di RT 02 RW 04
desa Sumber Kembar kecamatan pakuniran?”
4

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi peran Peran orangtua
dalam pengawasan penggunaan gadget (handphone) pada anak sekolah
dasar di RT 02 RW 04 desa Sumber Kembar kecamatan pakuniran.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan masukan dan tambahan literatur bagi
mahasiswa Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan gadget
(handphone) pada anak sekolah dasar.
1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan penelitian ini memberikan masukan bagi profesi dalam
peran perawat menangani Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan
gadget (handphone) pada anak sekolah dasar.
1.4.3 Bagi Lahan Penelitian
Sebagai tambahan informasi bagi masyarakat atau keluarga tentang
Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan gadget (handphone) pada
anak sekolah dasar.
1.4.4 Bagi Subyek
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh individu sebagai bahan
informasi mengenai tentang Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan
gadget (handphone) pada anak sekolah dasar di RT 02 RW 04 desa Sumber
Kembar kecamatan pakuniran.
1.4.5 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman serta keterampilan dalam
hal penelitian khususnya Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan
gadget (handphone) pada anak sekolah dasar di RT 02 RW 04 desa Sumber
Kembar kecamatan pakuniran.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Peran Keluarga


2.1.1. Pengertian Keluarga
Keluaraga berasal dari bahasa sansekerta: kula dan warga “kulawarga”
yang berarti “anggota” kelompok kerabat. Keluarga adalah lingkungan di mana
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah,Keluarga sebagai
kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki huibungan
antarindividu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu
tersebut, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di sutatu tempat di
bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut salvicion dan celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau
lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah hubungan
perkawinan atau pengangkatan, dihidupnya dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Banyak ahli menguraikan pengertian keluarga sesuai dengan
perkembangan sosial masyarakat (Leny.J, 2010).
1. Duval (1972). Duval menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang
yang di hubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi, dan kelahiran yang
bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial
individu yang ada di dalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan di
tandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan
umum.
2. Departemen kesehatan RI (1988). Menurut departemen kesehatan RI keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu
atap dalam keadaan saling bergantung.

5
6

3. Bailon dan Maglaya (1989). Bailon dan Maglaya mengatakan keluarga


adalah dua atau lebih individu yang bergabung karna hubungan darah,
perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi
satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya.
4. Burgess dan kawan-kawan (1963). Burgess dkk. Menyebutkan bahwa
(1) keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan
perkawinan, darah, dan ikatan adopsi, (2) para anggota sebuah
keluarga biasanya hidup bersama dalam satu rumah tangga atau jika
hidup secara terpisah, mereka tetap mengaggap rumah tangga tersebut
sebagai rumah mereka, (3) anggota keluarga berinteraksi dan
berkomunikasi satu dengan lainnya dalam peran sosial. Keluarga
seperti suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak
perempuan, saudara dan saudari, (4) keluarga sama-sama
menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang di ambil dari
masyarakat dengan beberapa cirri unik tersendiri (Ali.Z.H, 2009).
2.1.2. Klasifikasi Keluarga
Friedman (1986) membagi tipe keluarga seperti berikut ini:
1. Nuclear family (keluarga inti). Terdiri dari orang tua dan anak yang
masih menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah
dari sanak keluarga lainnya.
2. Extended family (keluarga besar). Satu keluarga yang terdiri dari satu
atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling
menunjang satu sama lain.
3. Single parent family. Satu keluarga yang di kepalai oleh satu kepala
keluarga dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung
kepadanya.
4. Nuclear dyed. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa
anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.
5. Blended family. Suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan
pasangan, yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak
hasil perkawinan terdahulu.
7

6. Three generation family. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu
kakek, nenek, bapak, ibu, dan anak dalam satu rumah
7. Single adult living alone. Bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu
orang dewasa yang hidup dalam rumahnya.
8. Middle age atau eldery couple. Keluarga yang terdiri dari sepasang
suami istri paruh baya.
Menurut Marilyn M. Friedman (1998) membagi tipe keluarga menjadi
keluarga inti (konjugal). Keluarga yang menikah. Sebagai orang tua, atau
pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak (anak kandung,
anak adopsi). Keluarga orientasi (keluarga asal). Unit keluarga tempat
seseorang di lahirkan. Dan yang terakhir keluarga besar. Keluarga inti dan orang
lain yang ada hubungan darah, misalnya sanak keluarga, kakek, nenek, tante,
paman, dan sepupu (Ali.Z.H, 2009).
2.1.3. Pengertian Peran Keluarga
Sebuah peran di definisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang secara
relatif homogen di batasi secara normatif yang di harapkan dari seseorang yang
menempati posisi sosial yang di berikan. Peran berdasarkan pada pengharapan
atau penepatan peran yang membatasi apa saja yang harus di lakukan oleh
individu di dalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang
lain terhadap mereka (Nye, 1976, hlm. 7 dalam friedman. M, Bowden.V dan
jones.E, 2010).
Posisi atau status di definisikan sebagai letak seseorang dalam suatu
system sosial. Peran di golongkan di bawah konsep posisi (mertob, 1998 dalam
friedman. M, Bowden.V dan jones.E , 2010). Sementara peran adalah prilaku
yang di kaitkan dengan seseorang yang memegan sebuah posisi tertentu, posisi
mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam dalam suatu sisitem sosial.
Setiap individu menempati posisi ganda orang dewasa, pria, suami, petani,
anggota Elks, dan sebagainya (Biddle & Thomas, 1966;Hardy & hardy, 1998
dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010). Terkait dengan tiap posisi ini
merupakan sejumlah peran. Dalam kasus posisi ibu, peran yang terkait dapat
termasuk pengurus anak dan pimpinan kesehatan keluarga. Marton menjelaskan:
8

Status sosial tertentu tidak hanya melibatkan peran tunggal, namun juga
susunan peran yang terkait. Hal ini merupakan karakteristik struktur sosial dasar.
Kenyataan struktur ini dapat tercatat dengan istilah dan set peran yang berbeda,
dengan yang saya maksud bahwa perlengkap hubungan peran yang di miliki
orang merupakan akibat dari status posisi tertentu yang di tempati. Jadi untuk
masing-masing posisi sejumlah peran yang ada, setiap peran terdiri atas
kumpulan prilaku terkait yang secara budaya di definisikan sebagai orang yang
di harapkan berada pada posisi atau status tersebut. Akan tetapi peran mungkin
dapat di bagi dengan anggota lain dalam kelompok. Sebagai contoh, peran
pengasuhan anak biasanya merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua
pada masyarakat kontemporer (friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010).
2.1.4. Klasifikasi Peran Keluarga Selama Gangguan kesehatan
Peristiwa hidup situasional utama yang dihadapi keluarga dengan tidak
dapat dihindari memengaruhi fungsi peran mereka. Situasi ini biasanya peristiwa
yan menimbulkan tekanan seperti bencana alam, pengagguran, atau gangguan
kesehatan anggota keluarga. Bagian ini memfokuskan kepada struktur peran
keluarga selama gangguan kesehatan anggota keluarga, seperti saat seorang
mengalami penyakit kronik atau disabilitas fisik atau mental. Pada sebagian
besart kasus, ketika seseorang menderita gangguan kesehatan, satu atau lebih
anggota keluarga mengemban peran pembari asuhan.
1. Peran Ibu Dalam Sehat Sakit
Peran penting wanita di sebagian besar keluarga yaitu sebagai
pemimpin kesehatan dan pemberi asuhan. Kriteria seperti apapun
telah digunakan dalam studi untuk mengukur pengambilan keputusan
dan peran kesehatan termasuk tindakan saat penyakit tidak bisa di
sembuhkan dan diobati, layanan medis dan kesehatan yang di
manfaatkan serta sumber bantuan keluarga primerperan pervasive dan
inti dari ibu sebagai pengambil keputusan kesehatan utama, pendidik,
konselor, dan pemberi asuhan dalam matriks keluarga (Finley, 1989;
Litman, 1974). Dalam peran ini, ibu mendefinisikan gejala dan
memutuskan alternatif sumber yang “tepat” ia juga memegang kendali
yang kuat terhadap apakah anak akan mendapatkan layanan
9

pencegahan atau pengobatan (Aday dan Eichhorn, 1972; Rayner, 1970


dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010), dan bertindak
sebagai sumber utama kenyamanan serta bantuan selama masa sakit
(Litman dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010).
Salah satu cara yang dapat di perkirakan pentingnya peran ibu
menjadi pemimpin kesehatan adalah dengan mengamati apa yang akan
terjadi padanya dan keluarga saat ia sakit dan tidak mampu melakukan
perannya. Ibu biasanya menerima peran sakit hanya jika benar-benar
wajib dan kemudian hanya jika tidak dapat ditolak. Karena performa
perannya di anggap penting terhadap fungsi keluarga, penyakitnya
cenderung sangat menggaggu dan merusak pengaturan (Mechanic,
1964 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010 ). Biasanya,
penyakit berat atau disabilitas lama ibu-istri tampak lebih serius
memikul fungsi keluarga di bandingkan disabilitas suami-ayah
(meskipun sakitnya lama, gaung ekonomi yang merugikan dirasakan)
(Litman 1974; Giovaneti de jesus dan bergamasco, 1998 dalam
friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010). Jika ibu sakit, anak
perempuan tertua sering kali diharapkan membantu mendukung
keluarga (Kahana, Johnson, hammand, dan Kercher, 1994 dalam
friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010 ). Keluarga perlu
memahami perjalanan masalah kesehatan untuk memfasilitasi
fleksibilitas peran yang melibatkan keluarga dalam tanggung jawab
memberikan asuhan dan mengurus anak saat orang tua sakit (Rolland,
1994 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010).
2. Peran Pemberi Asuhan
Anggota keluarga, dan khususnya wanita, memainkan peran
penting sebagai pemberi asuhan primer tidak hanya untuk lansia yang
lemah, tetapi untuk banyak anggota keluarga dari semua usia yang
masih bergantun, sering kali akibat disabilitas fisik dan atau mental
kronik. Kemampuan dan kemauan mereka untuk memberi asuhan
sering menjadi sebuah faktor penting dalam menentukan apakah bisa
atau tidak anggota yang mengalami disabilitas atau sakit dapat
10

menghindari anggota masuk institusi. Kecenderungan dalam


pemberian asuhan keluarga meliputi peningkatan jumlah pemberi
asuhan dengan tanggung jawab pemberi asuhan yang ganda; tanggung
jawab cucu untuk membantu satu atau dua generasyang lebih tua; dan
wanita lansia tanpa suami pemberi asuhan akibat tingginya angka
perceraian (Brody, 1995 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E,
2010). Konsekuensi pemberi asuhan dapat negatif atau dapat
mencakup manfaat potensial. Tipe tuntutan pemberi asuhan yan
berbeda berkaitan tipe ketegangan peran yan berbeda. Stressor
objektif, atau karakteristik pasien, yang secara konsisten di kaitkan
dengan pemberi asuhan mencakup keparahan penyakit yang semakin
berat, selain itu, sifat tekanan dan tuntutan peran dapat berubah selama
hidup pemberi asuhan dan anggota keluarga yang bergantung.
Robinson (1998) menemukan teori empat tahap pengalaman wanita
dalam mengasuh anggota keluarga yang mengalami penyakit kronik.
Pengalaman di mulai dari diagnosis penyakit kronik pada anggota
keluarga tersebut dan bergerak kearah tahap kedua yang tidak
seimbang yan ditandai dengan “kehancuran wanita” tahap ketiga
melibatkan perubahan terapeutik melalui intervensi keperawatan dan
bergerak di luar dan mengatasi masalah. Tahap keempat dari teori
robinson, di sebut “bertanggung jawab terhadap kehidupan seseorang”
ditandai dengan wanitatersebut mencapai “keseimbangan yang
meningkatkan kehidupan di antara diri dan semua anggota keluarga
linnya”.
Dalam sebuah studi mengenai pemberi asuhan primer yang
memberikan asuhan kepada pasangan atau orang tua yang mengalami
penyakit Alzheimer atau penyakit terkait demensia (Aneshensel dkk,
1995 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010), salah satu
stresor yang dialami oleh pemberi asuhan adalah kelebihan beban
peran, pemberi asuhan melaporkan mengalami penahan peran, atau
merasa secara tidak sadar tercebak dalam peran pemberi asuhan serta
kelhilangan pertukaran keakraban dalam hubungan pemberi asuhan
11

pasien karena satu dari mitra peran telah “menjadi orang lain”
hubungan pemberi asuhan terhadap anggota keluarga yang lain, serta
peran kerja dan soaial lainnya, sering kali terpengaruh.
Biegel dan rekan (1991) membuat diagram variabel yang
memperkirakan ketegangan pemberi asuhan, dalam diagram mereka,
variabel kontekstual yang merantarai reaksi pemberi asuhan meliputi
faktor-faktor demografik (jenis kelamin, tipe hubungan, peran dengan
pasien, usia, status sosio ekonomi) faktor psikologis sebelumnya,
kualitas hubungan, tahap hidup, keluarga, dan dukungan sosial.
Beberapa faktor ini seperti jenis kelamin (wanita) dan hubungan peran
(pasangan dan orang tua) secara konsiten dikaitkan dengan beban
pemberi asuhan yang lebih besar dengan variabel lainnya pertunjukan
pola kontradiksi atau pola yang lebih kompleks. Meskipun pemberi
asuhan adalah wanita yang disosialisasikan dengan peran pemberi
asuhan, mereka mengalami efek merugikan yang lebih besar di
bandingkan dengan pemberi asuhan pria (Pruchono dan Resch, 1989
dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010).
Konstibusi pria untuk member asuhan seharusnyatidak
diremehkan. Pria sering kali memberikan dukungan dan afeksi
kepadad pemberio asuhan primer. Banyak suami lansia mengemban
peran pemberi asuhan jika istri mereka sakit atau tidak mampu
(Richards, 1996 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010) .
dalam sebuah studi yang membandingkan pengalaman asuhan orang
tua wanita pada status pernikahan yang berbeda (Brody dkk, 1990
dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010), wanita yang
memiliki suami lebih beruntung dari pada wanita yang tidak memiliki
suami. Suami memberikan dukungan financial dan sosial serta
membantu tugas instrumental. Wanita yang tidak mempunyai suami
melaporkan kesepian, kurang dukungan, dan kurang bantuan
instrumental pada pemberian asuhan orang tua.
Peran pemberi asuhan bervariasi sesuai dengan posisi atau
hubungannya dengan penerima asuhan; yaitu, peran berubah secara
12

bermakna saat pemberi asuhan adalah pasangan hidup, orang tua,


anak, saudara kandung, atau teman. Ibu adalah pemberi asuhan primer
bagi anak yang sakit kronik (Shepard dan Mahon, 1996 dalam
friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010). Pasangan atau anak usia
dewasa adalah pemberi asuhan usia lansia yang paling sering. Orang
tua mengasuh anak usia dewasa mereka yang mengalami disabilitas
(Litwak, Jessop, dan Moulton, 1994 dalam friedman. M, Bowden.V
dan jones.E, 2010). Dan saat kakak merawat adik atau sebaliknya.
Meskipun terdapat banyak stressor pemberian asuhan, banyak
pengalaman positif dalam pemberian asuhan dilaporkan. Beberapa
penerima asuhan membalas melalui ekspresi afeksi atu penghargaan
mereka, yang menjelaskan mengapa beberapa pemberi asuhan tidak
mengalami akibat negatif meskipun memberikan asuhan yang
menuntut secara fisik (Carruth, 1996) dalam friedman. M, Bowden.V
dan jones.E, 2010). Dalam mempelajari balasan dalam pemberi asuhan
keluarga (Walker, Part, dan Opp,1992) menemukan bahwa mayoritas
anak perempuan yang memberikan asuhan menggap bahwa mendapat
bantuan yang bernilai dari ibu mereka yang mendapat asuhan sebagai
balasan atau bantuan mereka. Konstribusi yang didapat anak
perempuan tersebut meliputi kasih saying, informasi, nasihat, dan
uang. Bulger, Wandersman, dan goldman (1993) mengamati bahwa
lansia yang mengasuh anak usia dewasa yang bergantung mendapat
keuntungan dari persahabatan dan bantuan dengan tugas-tugas rumah
tangga fisik. Sementara asumsi telah di buat bahwa melakukan peran
ganda, seperti pekerja dan pemberi asuhan, menyebabkan pengaruh
negatif seperti konflik peran dan kelebihan beban peran. Dampak
emosional darigabungan peran ganda pada pemberi asuhan yang
bekerja lebih sering di temukan memiliki pengaruh positif (Neal dkk,
1993 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010).
3. Perubahan Peran Selama Sakit dan Hospitalisai
Dalam sebuah krisi, misalnya yang di sebakan oleh penyakit
serius anggota keluarga, struktur keluarga dimodikifasi bergantung
13

pada seberapa besar derajat anggota yang sakit mampu menjalankan


peran biasanya dalam keluarga dan pemusatan peran atau tugas-tugas
yang kosong dari keluarga. Peran yang di ambil oleh ibu adalah,
seperti yang di bahas sebelumnya, contoh yang baik dari pemusatan
peran anggota. Ketika penyakit menyebabkan kekosongan peran-peran
penting, keluarga sering kali memasuki sebuah keadaan tidak
seimbang yaitu hubungan peran dan kekuasaan dapat berubah sampai
hemoestasis baru tercapai ( Fife, 1985 dalam friedman. M, Bowden.V
dan jones.E, 2010).
Fungsi peran yang seimbang dapat dibagi sering kali menjadi
tidak dapat di pertahankan oleh pasangan saat salah seorang menjadi
tifak mampu. Negosiasi perbaikan peran sering kali dibutuhkan untuk
mencegah ketegangan dan kebingungan peran (Rolland, 1994 dalam
friedman. M, Bowden.V dan jones.E, 2010). Dalam sebuah studi
mengenai pengaruh asuhan penyakit kritis terhadap anggota keluarga
(Johnson et al, 1995 dalam friedman. M, Bowden.V dan jones.E,
2010), sebagian besar anggota keluarga melaporkan perubahan dalam
peran keluarga dan peningkatan tanggung jawab sebagai akibat dari
hospitalisai perawatan kritis.
Ada dua tipe dasar perubahan peran yang terjadi akibat hilangnya
atau ketidakmampuan anggota keluarga. Yang pertama, anggota
keluarga yang lain memiliki cukup sumber dari dalam dan luar
sehingga mereka mampu melakukan kewajiban dan tugas-tugas peran
dasar dan penting yang tidak mampu di emban oleh anggota keluarga
yang sakit ini merupakan cara situasi ditangani dengan fungsional.
Yang kedua, anggota keluarga kekurangan sumber dari dalam dan luar
yang diperlukan, dan sebagai akibat nya, peran dasar dan penting
tertentu dalam keluarga tidak dilakukann atau dilakukan tetapi tidak
memuaskan. Dengan kata lain, keluarga yang berfungsi secara adekuat
dapat secara fleksibel memodifikasi peran keluarga untuk memenuhi
tuntutan situasi atau dapat mendatangkan sumber dan bantuan dari luar
untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi, dalam kuarga yang
14

difungsional, hal ini tidak terjadi. Karena perubahan peran di perlukan


akibat hilangnya atau ketidakmampuan satu anggota keluarga, konflik
peran dan ketegangan peran sering kali ada, khususnya selama tahap
ketidakseimbangan keluarga segera setelah kehilangan atau
ketidakmampuan, saat struktur keluarga dalam masa transisional. Baik
konflik antar peran atau interperan dapat terjadi, saat anggota keluarga
“dipaksa” mmenerima peran baru dan memiliki kesempatan kecil
untuk belajar peran iniatau untuk mengatur semua tanggung jawab
peran lain mereka. Ketegangan/stres peran sering kali menjadi hasil
akhir. Anggota keluarga yang di bebani dengan penerimaan peran baru
sering kali merasa khawatir, cemas, dan bersalah karena mereka
merasa tidak dapat melakukan pekerjaan secara kompeten dalam peran
baru mereka atau dengan tambahan tanggung jawab kompleks peran
mereka sangat menuntut dan tidak dapat diatur.
Ketika sebuah keluarga telah mencapai sebuah keseimbangan
baru sebagai respon terhadap ketidakmampuan seorang anggota
keluarga yang sakit untuk melakukan perannya secara adekuat,
integrasi ulang serupa harus di lakukan saat anggota tersebut kembali
ke tempat lamanya dalam unit keluarga. Dapat di mengerti bahwa
setelah menjalani proses adaptasi, anggota keluarga yang lain mungkin
akan menolak untuk “mengatur ulang” sekali lagi peran dan tugas
kleluarga, meskipun anggota “yang hilang” telah pulih dan masuk
kembali. Keengganan ini terlihat bahkan pada keluarga yang berfungsi
baik sekalipun karna proses integrasi ulang seorang anggota keluarga
menyebabkan kesulitan dan masalah yang merupakan bagian dari
ketidakteraturan sebelum keseimbangan baru (friedman. M, Bowden.V
dan jones.E, 2010).
15

2.2 Konsep Gadget


2.2.1 Definisi Gadget
Gadget adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang mengartikan
sebuah alat elektronik kecil dengan berbagai macam fungsi menurut Osland
(Effendi, 2013). Gadget sendiri dapat berupa komputer atau laptop, tablet,
dan juga telepon seluler atau smartphone.
Gadget merupakan barang canggih yang diciptakan dengan berbagai
aplikasi yang dapat menyajikan berbagai media berita, jejaring sosial, hobi,
bahkan hiburan. Barang canggih ini yang dilihat dari segi harga yang tidak
bisa dibilang murah tidak hanya sekedar dijadikan media hiburan semata
tapi dengan aplikasi yang terus diperbaharui gadget wajib digunakan oleh
orang-orang yang memiliki kepentingan bisnis, atau pengerjaan tugas kuliah
dan kantor, akan tetapi pada faktanya gadget tak hanya digunakan oleh
orang dewasa atau lanjut usia (22 tahun keatas), remaja (12-21 tahun), tapi
pada anak-anak (7-11 tahun), dan lebih ironisnya lagi gadget digunakan
untuk anak usia (3-6 tahun), yang seharusnya belum layak untuk
menggunakan gadget (Widiawati & Sugiman, 2014).
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan gadget
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan gadget.
Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Iklan yang merajalela di dunia pertelevisian dan di media sosial
Iklan seringkali mempengaruhi remaja untuk mengikuti perkembangan
masa kini. Sehingga hal itu membuat remaja semakin tertarik bahkan
penasaran akan hal baru (Fadilah, 2015).
2. Gadget menampilkan fitur-fitur yang menarik
Fitur-fitur yang ada didalam gadget membuat ketertarikan pada remaja.
Sehingga hal itu membuat remaja penasaran untuk mengoperasikan
gadget (Fadilah, 2015).
3. Kecanggihan dari gadget
Kecanggihan dari gadget dapat memudahkan semua kebutuhan remaja.
Kebutuhan remaja dapat terpenuhi dalam bermain game, sosial media
bahkan sampai berbelanja online (Fadilah, 2015).
16

4. Keterjangkauan harga gadget


Keterjangkauan harga disebabkan karena banyaknya persaingan
teknologi. Sehingga dapat menyebabkan harga dari gadget semakin
terjangkau. Dahulu hanyalah golongan orang menengah atas yang
mampu membeli gadget, akan tetapi pada kenyataan sekarang orang tua
berpenghasilan pas-pasan mampu membelikan gadget untuk anaknya
(Fadilah, 2015).
5. Lingkungan
Lingkungan membuat adanya penekanan dari teman sebaya dan juga
masyarakat. Hal ini menjadi banyak orang yang menggunakan gadget,
maka masyarakat lainnya menjadi enggan meninggalkan gadget. Selain
itu sekarang hampir setiap kegiatan menuntut seseorang untuk
menggunakan gadget (Fadilah, 2015).
6. Faktor budaya
Faktor budaya berpengaruh paling luas dan mendalam terhadap perilaku
remaja. Sehingga banyak remaja mengikuti trend yang ada didalam
budaya lingkungan mereka, yang mengakibatkan keharusan untuk
memiliki gadget (Kotler,2007).
7. Faktor sosial
Faktor sosial yang mempengaruhinya seperti kelompok acuan, keluarga
serta status sosial. Peran keluarga sangat penting dalam faktor sosial,
karena keluarga sebagai acuan utama dalam perilaku remaja (Kotler,
2007).
8. Faktor pribadi
Faktor pribadi yang memberikan kontribusi terhadap perilaku remaja
seperti usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan lingkungan ekonomi,
gaya hidup, dan konsep diri (Kotler, 2007).
2.2.3 Dampak yang timbul pada masalah gadget
1. Dampak Positif
Menurut Handrianto (2013), mengatakan bahwa, gadget memiliki
Dampak positif yaitu:
17

a. Berkembangnya imajinasi, (melihat gambar kemudian


menggambarnya sesuai imajinasinya yang melatih daya pikir tanpa
dibatasi oleh kenyataan).
b. Melatih kecerdasan, (dalam hal ini anak dapat terbiasa dengan
tulisan,angka, gambar yang membantu melatih proses belajar).
c. Meningkatkan rasa percaya diri. (saat anak memenangkan suatu
permainan akan termotovasi untuk menyelesaikan permainan).
d. Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan
pemecahan masalah.(dalam hal ini anak akan timbul sifat dasar rasa
ingin tahu akan suatu hal yang membuat anak akan muncul
kesadaran kebutuhan belajar dengan sendirinya tanpa perlu dipaksa).
2. Dampak Negatif
a. Komunikasi dengan orang tua berkurang
Kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua menyebabkan
hubungan antara keduanya akan semakin renggang sehingga dapat
memicu terbentuknya keluarga yang tidak harmonis lagi. Apabila
ada masalah sedikit saja dalam keluarga tersebut maka sulit sekali
diselesaikan dengan kekeluargaan. Bahkan dapat menimbulkan
permasalahan baru yang tidak segera mendapatkan solusi.
b. Kemampuan psikomotorik berkurang
Menghabiskan waktu dengan gadget membuat kemampuan anak
yang lain kurang berkembang, salah satunya adalah kemampuan
psikomotorik anak. Padahal semestinya usia anak-anak adalah usia
untuk mengeksplor seluruh bakat psikomotorik yang dimilikinya,
seperti menggambar, bernyanyi, bermain bersama rekan sebaya dan
kegiatan lainnya. Saat melakukan aktivitas fisik seperti ini, sejumlah
kemampuan lain juga akan diasah sekaligus. Seperti saat
menggambar, anak juga belajar mengembangkan otak kanannya.
Saat bermain bersama rekan sebaya, anak akan belajar mengasah
keterampilan sosialnya.
c. Kesulitan beradaptasi dengan materi pelajaran
18

Aplikasi-aplikasi dan sistem operasi pada gadget menyajikan


interaksi multimedia yang memikat. Permainan warna, animasi
ditambah suara membuat anak betah berlama-lama di depan layar
gadget. Pada saat masa sekolah tiba, anak yang terbiasa berinteraksi
dengan gadget akan menemui kesulitan untuk menyerap materi
pelajaran sekolah yang cenderung statis. Teks hitam putih, tanpa
animasi, tanpa suara Apalagi berhadapan dengan guru yang kurang
lihai mengemas mata pelajaran menjadi menarik. Ini bisa
menurunkan minat belajar anak.
d. Kesulitan dalam bersosialisasi
Waktu anak untuk bersosialisasi akan hilang apabila anak hanya
mendekam saja di dalam kamar dengan ditemani oleh gadget.
Dengan terkurungnya anak di dalam kamar maka anak sama saja
mengisolasi diri dengan lingkungan disekitarnya sehingga dapat
mempengaruhi proses belajar bersosialisasi dengan lingkungannya.
Sehingga anak tidak akrab lagi dengan keluarga, teman dan tetangga
sekitar.

2.3 Konsep Anak


2.3.1 Definisi Anak
Anak merupakan idividu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun),
usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5–5 tahun), usia sekolah
(5-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak
satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak
terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang
cepat dan lambat. Dalam proses berkembang anak memiliki ciri fisik,
kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. (Aziz Alimul, 2009)
2.3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di
seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan
19

perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang


dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley dan Wong,
2000)
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terdapat suatu
peristiwa yang dialaminya yaitu masa percepatan dan perlambatan. Masa
tersebut akan berlainan dalam satu organ tubuh. Percepatan dan perlambatan
tersebut merupakan suatu kejadian yang berbeda dalam setiap organ tubuh
akan tetapi masih saling berhubungan satu dengan yang lain. Peristiwa
pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah,
ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa
perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi
pematangan organ mulai dari aspek social, emosional, intelektual.
1. Faktor Pengaruh Tumbuh Kembang Anak
a. Faktor Herediter
Faktor herediter merupakan faktor yang dapat diturunkan sebagai
dasar dalam mencapai tumbuh kembang anak di samping faktor
lain. Yang termasuk herediter adalah bawaan, jenis kelamin, ras,
suku bangsa. Faktor ini dapat ditentukan dengan intensitas dan
kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat sensitivitas jaringan
terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya pertumbuhan
tulang.
Pada pertumbuhan dan perkembangan anak dengan jenis kelamin
laki-laki setelah lahir akan cenderung lebih cepat atau tinggi
pertumbuhan tinggi badan dan berat badan dibandingkan dengan
anak perempuan dan akan bertahan sampai usia tertentu mengingat
anak perempuan akan mengalami pubertas lebih dahulu dan
kebanyakan anak perempuan akan mengalami pertumbuhan yang
lebih tinggi dan besar ketika masa pubertas dan begitu juga
sebaliknya di saat anak laki-laki mencapai pubertas maka laki-laki
cenderung lebih besar.
20

b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor yang memegang peranan
penting dalam menentukan tercapai dan tidaknya potensi yang
sudah dimiliki. Yang termasuk faktor lingkungan ini dapat meliputi
lingkungan prenatal, lingkungan yang masih dalam kandungan dan
lingkungan post natal yaitu lingkungan setelah bayi lahir.
c. Faktor Hormonal
Faktor hormonan yang berperan dalam tumbuh kembang anak antar
lain : somatotropin (growth hormone) yang berperan dalam
mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan dengan menstimulasi
terjadinya proliferasi sel kartilago dan sistem skeletal, hormone
tiroid dengan menstimulasi metabolisme tubuh, sedangkan
glukokortikoid yang mempunyai fungsi menstimulasi pertumbuhan
sel interstisial dari testis untuk memproduksi testosterone dan
ovarium untuk memproduksi estrogen selanjutnya hormone
tersebut akan menstimulasi perkembangan seks baik pada anak
laki-laki maupun perempuan yang sesuai dengan peran hormonnya
(Wong, DL, 2009)
2. Tahap Pencapaian Tumbuh Kembang Anak
Dalam tahap pencapaian pertumbuhan dan perkembangan, anak dapat
dikelompokkan ke), dan kelompok usia 6 tahun keatas yang terbagi
dalam pra remaja (6-10 tahun) dan masa remaja dalam dua kelompok
besar yakni kelompok usia 0-6 tahun yang terbagi menjadi tahap
prenatal yang terdiri dari masa embrio (mulai konsepsi-8 minggu) dan
masa fetus (9 minggu sampai lahir), tahap post natal yang terdiri dari
masa neonatus (0-28 hari) dan masa bayi (29 hari-1 tahun), tahap
prasekolah (3-6 tahun), dan kelompok usia 6 tahun ke atas yang terbagi
dalam masa remaja (10-18/20 tahun).
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami
proses percepatan pada umur 10-12 tahun, dimana penambahan berat
badan per tahun akan dapat 2,5 kg dan ukuran panjang tinggi badan
sampai 5 cm per tahunnya. Pada usia sekolah ini secara umum aktivitas
21

fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan


motoriknya. Pertumbuhan jaringan limfatik pada usia ini akan semakin
besar bahkan melebihi jumlahnya orang dewasa. Kemampuan
kemandirian anak semakin dirasakan dimana lingkungan luar rumah
dalam hal ini adalah sekolah cukup besar, sehingga beberapa masalah
sudah mampu diatasi dengan sendirinya dan anak sudah mampu
menunjukkan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada, rasa
tanggung jawab dan percaya diri dalam tugas sudah mulai terwujud
sehingga dalam menghadapi kegagalan maka anak sering kali dijumpai
reaksi kemarahan atau kegelisahan, perkembangan kognitif, psikososial,
interpersonal, psikoseksual, moral, dan spiritual sudah mulai
menunjukkan kematangan pada masa ini
2.3.3 Bermain Pada Anak
1. Pengertian
Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktekkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran,
menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku
dewasa. Sebagai suatu aktivitas yang memberikan stimulasi dalam
kemampuan keterampilan, kognitif dan afektif maka sepatutnya
diperlukan suatu bimbingan, mengingat bermain bagi anak merupakan
suatu kebutuhan bagi dirinya sebagaimana kebutuhan lainnya seperti
kebutuhan makan, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan
lain-lain.
2. Fungsi Bermain Pada Anak
a. Pertama, membantu perkembangan sensorik dan motorik. Fungsi
bermain pada anak ini adalah dapat dilakukan dengan melakukan
rangsangan pada sensorik dan motorik,melalui rangsangan ini
aktivitas anak dapat mengeksplorasi alam sekitarnya sebagai contoh
bayi dapat dilakukan dengan rangsangan taktil, audio dan visual
melalui rangsangan ini perkembangan sensorik dan motorik akan
meningkat.
22

b. Kedua, membantu perkembangan kognitif, perkembangan kognitif


dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini dapat terlihat pada saat
anak bermain, maka anak akan mencoba melakukan berkomunikasi
dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan seperti
dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dan kenyataan,
mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan berbagai
manfaat benda yang digunakan dalam permainan, sehingga fungsi
bermain pada model demikian akan meningkatkan perkembangan
kognitif selanjutnya.
c. Ketiga, meningkatkan sosialisasi anak, proses sosialisasi dapat
terjadi melalui permainan, sebagai contoh dimana pada usia bayi
akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan
merasakan ada teman yang dunianya sama, pada usia todler anak
sudah mencoba bermain dengan sesamanya dan ini sudah mulai
proses sosialisasi satu dengan yang lain.
d. Keempat, meningkatkan kreativitas, bermain juga dapat berfungsi
dalam peningkatan kreativitas, dimana anak mulai belajar
menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan mampu
memodifikasi objek yang digunakan dalam permainan sehingga anak
akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti bermain
bongkar pasang mobil-mobilan.
e. Kelima, meningkatkan kesadaran diri, bermain pada anak akan
memberikan kemampuan pada anak untuk eksplorasi tubuh dan
merasakan dirinya sadar dengan orang lain yang merupakan bagian
dari individu yang saling berhubungan, membandingkan dengan
perilaku orang lain.
f. Keenam, mempunyai nilai terapeutik, bermain dapat menjadikan diri
anak lebih senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan
dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur diri anak
terhadap dunianya.
g. Ketujuh, mempunyai nilai moral pada anak, bermain juga dapat
memberikan nilai moral tersendiri pada anak, hal ini dapat dijumpai
23

anak sudah mampu belajar benar atau salah dari budaya di rumah, di
sekolah dan ketika berinteraksi dengan temannya, dan juga ada
beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan yang harus
dilakukan tidak boleh dilanggar.
3. Macam-macam Permainan
a. Bermain afektif sosial
b. Bermain bersenang-senang
c. Bermain keterampilan
d. Bermain dramatik
e. Bermain menyelidiki
f. Bermain konstruksi
g. Bermain soliter/mandiri
h. Bermain parallel
i. Bermain asosiatif
j. Bermain kooperatif
4. Jenis Alat Permainan Berdasarkan Kelompok Umur
a. Usia 0-1 Tahun
Pada usia ini perkembangan anak mulai dapat dilatih dengan adanya
refleks, melatih kerja sama antara mata dan tangan, mata dan telinga
dalam berkoordinasi, melatih mencari objek yang ada tetapi tidak
kelihatan, sehingga fungsi bermain pada usia ini sudah dapat
memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan Jenis permainan yang
dianjurkan pada usia ini antara lain: benda (permainan) aman yang
dapat dimasukkan ke dalam mulut, gambar bentuk muka, boneka
orang dan binatang, alat permainan yang dapat digoyang dan
menimbulkan suara, alat permainan yang berupa selimut, boneka,
dan lain-lain.
b. Usia 1-2 Tahun
Jenis permainan yang dapat dilakukan pada usia 1-2 tahun pada
dasarnya bertujuan untuk melatih anak melakukan kegiatan sehari-
hari dan memperkenalkan beberapa bunyi dan mampu
membedakannya. Jenis permainan ini seperti semua alat permainan
24

yang dapat didorong dan ditarik, berupa alat rumah tangga balok-
balok, buku bergambar, kertas, pensil berwarna, dan lain-lain.
c. Usia 2-3 Tahun
Usia ini dianjurkan untuk bermain dengan tujuan menyalurkan
perasaan atau emosi anak, mengembangkan keterampilan berbahasa,
melatih motorik kasar dan halus, mengembangkan kecerdasan,
melatih daya imajinasi dan melatih kemampuan membedakan
permukaan dan warna benda. Adapun jenis permainan pada usia ini
yang dapat digunakan antara lain: alat-alat untuk gambar, puzzle
sederhana, manik-manik ukuran besar, berbagai benda yang
mempunyai permukaan dan warna yang berbeda-beda dan lain-lain.
d. Usia 3-6 Tahun
Pada usia ini anak sudah mulai mampu mengembangkan
kreativitasnya dan sosialisasi sehingga dapat diperlukan permainan
yang dapat mengembangkan kemampuan menyamakan dan
membedakan, kemampuan berbahasa, mengembangkan kecerdasan,
menumbuhkan sportivitas, mengembangkan koordinasi motorik,
mengembangkan dalam mengontrol emosi, memperkenalkan
pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan dan memperkenalkan
suasana kompetisi serta gotong-royong. Sehingga jenis permainan
yang dapat digunakan pada anak usia ini seperti benda-benda sekitar
rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat gambar, kertas untuk
belajar melipat, gunting, dan air.

2.3.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah ( 6-12 Tahun)


1. Perkembangan Motorik
a. Motorik Kasar
1) Bersepeda
2) Sepatu roda, dan papan luncur
3) Kemampuan berlari dan melompat meningkat secara progresif
4) Berenang
25

b. Motorik Halus
1) Menulis tanpa merangkai huruf (misalnya, hanya menulis salah
satu huruf saja) pada usia dini; menulis dengan merangkai huruf
(misalnya, membentuk satu kata) pada tahun berikutnya (pada
usia 8 tahun).
2) Menguasai lebih besar keterampilan dan video games.
3) Kemampuan bermain computer (keterampilan manual).
2. Perkembangan Psikososial
a. Tinjauan (Erikson)
1) Erikson menyatakan krisis psikososial yang dihadapi anak pada
usia 6-12 tahun sebagai “industry versus inferioritas”.
a) Hubungan dengan orang terdekat anak meluas hingga
mencakup teman sekolah dan guru.
b) Anak usia sekolah secara normal telah menguasai tiga tugas
perkembangan pertama (kepercayaan, otonomi, dan inisiatif)
dan saat ini berfokus pada penguasaan kepandaian.
c) Perasaan industry berkembang dari suatu keinginan untuk
pencapaian.
d) Perasaan inferioritas dapat tumbuh dari harapan yang tidak
realistis atau perasaan gagal dalam memenuhi standar yang
ditetapkan orang lain untuk anak. Ketika anak merasa tidak
adekuat, rasa percaya dirinya akan menurun.
2) Anak usia sekolah terkait dengan tugas dan aktivitas yang dapat
ia selesaikan.
3) Anak usia sekolah mempelajari peraturan, kompetensi, dan kerja
sama untuk mencapai tujuan.
4) Hubungan sosial menjadi sumber pendukung yang penting
semakin meningkat.
b. Rasa Takut dan Stresor
1) Sebagian perasaan takut yang terjadi sejak masa kanak-kanak
awal dapat terselesaikan atau berkurang, namun anak-anak
26

menyembunyikan rasa takutnya untuk menghindari dikatakan


sebagai pengecut atau bayi.
2) Rasa takut yang sering terjadi
a) Gagal di sekolah
b) Gertakan
c) Guru yang mengintimidasi
d) Sesuatu yang buruk terjadi pada orang tua
3) Stresor yang sering terjadi
a) Stresor untuk anak usia sekolah yang lebih kecil, yaitu
dipermalukan, membuat keputusan, membutuhkan
izin/persetujuan, kesepian, kemandirian, dan lawan jenis.
b) Stresor untuk anak usia sekolah yang lebih besar yaitu,
kematangan seksual, rasa malu, kesehatan, kompetisi,
tekanan dari teman sebaya, dan keinginan untuk
menggunakan obat-obatan.
4) Orang tua dan pemberi asuhan lainnya dapat membantu
mengurangi rasa takut anak dengan berkomunikasi secara empati
perhatian tanpa menjadi overprotektif.
5) Anak perlu mengetahui bahwa orang-orang akan mendengarkan
mereka dan memahami perkataannya.
c. Sosialisasi
1) Masa usia sekolah merupakan periode perubahan dinamis dan
kematangan seiring dengan peningkatan keterlibatan anak dalam
aktivitas yang lebih kompleks, membuat keputusan, dan kegiatan
yang memiliki tujuan.
2) Ketika anak usia sekolah belajar lebih banyak mengenai
tubuhnya, perkembangan sosial berpusat pada tubuh dan
kemampuannya.
3) Hubungan dengan teman sebaya memegang peranan penting
yang baru.
4) Aktivitas kelompok, termasuk tim olahraga, biasanya
menghabiskan banyak waktu dan energi.
27

d. Bermain dan Mainan


1) Bermain menjadi lebih kompetitif dan kompleks selama periode
usia sekolah.
2) Karakteristik kegiatan meliputi tim olahraga, klub rahasia,
aktivitas “geng”, pramuka atau organisasi lain, puzzle yang rumit,
koleksi, papan permainan, membaca, mengagumi pahlawan
tertentu.
3) Peraturan dan ritual merupakan aspek penting dalam bermain dan
permainan.
4) Mainan, permainan, dan aktivitas yang meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan meliputi :
a) Permainan kartu dan papan bertingkat yang rumit
b) Buku dan kerajinan tangan
c) Musik dan seni
d) Kegiatan olahraga (misalnya, berenang)
e) Kegiatan tim
f) Video game (Tingkatkan pemantauan orang tua terhadap isi
permainan untuk menghindari pajanan terhadap perilaku
kekerasan dan seksual yang tidak dikehendaki)
e. Disiplin
1) Anak usia sekolah mulai menginternalisasikan pengendalian diri
dan membutuhkan sedikit pengarahan dari luar. Mereka
melakukannya, walaupun membutuhkan orang tua dan orang
dewasa lain yang dipercaya untuk menjawab pertanyaan dan
memberikan bimbingan untuk membuat keputusan.
2) Tanggung jawab pekerjaan rumah tangga membantu anak usia
sekolah merasa bahwa mereka merupakan bagian penting
keluarga dan meningkatkan rasa pencapaian terhadap prestasi
mereka.
3) Izin mingguan, diatur sesuai dengan kebutuhan dan tugas anak,
membantu dalam mengajarkan keterampilan, nilai, dan rasa
tanggung jawab.
28

4) Ketika mendisiplinkan anak usia sekolah, maka orang tua dan


pemberi asuhan lain harus menyusun batasan yang konkret dan
beralasan (memberikan penjelasan yang meyakinkan) serta
mempertahankan peraturan sampai batas minimal.
3. Perkembangan Psikoseksual
a. Tinjauan (Freud)
1) Periode latensi, yang terjadi dari usia 5 sampai 12 tahun,
menunjukkan tahap yang relatif tidak memperhatikan masalah
seksual sebelum masa pubertas dan remaja.
2) Selama periode ini, perkembangan harga diri berkaitan erat
dengan perkembangan keterampilan untuk menghasilkan konsep
nilai dan menghargai seseorang.
b. Perkembangan seksual
1) Masa praremaja dimulai pada akhir usia sekolah. Perbedaan
pertumbuhan dan kematangan diantara kedua gender semakin
nyata pada masa ini.
2) Pada tahap awal usia sekolah, anak memperoleh lebih banyak
pengetahuan dan sikap mengenai seks. Selama masa usia
sekolah, anak menyaring pengetahuan dan sikap tersebut.
3) Pertanyaan mengenai seks memerlukan jawaban jujur yang
berdasarkan tingkat pemahaman anak.
4. Perkembangan Kognitif
a. Tinjauan (Piaget)
1) Anak berusia antara 7 dan 11 tahun berada dalam tahap konkret
operasional, yang ditandai dengan penalaran induktif, tindakan
logis, dan pikiran konkret yang reversibel.
2) Karakteristik spesifik tahap ini antara lain:
a) Transisi dari egosentris ke pemikiran objektif (melihat dari
sudut pandang orang lain, mencari validasi, bertanya)
b) Berfokus pada kenyataan fisik saat ini disertai
ketidakmampuan melihat untuk melebihi kondisi saat ini
29

c) Kesulitan menghadapi masalah yang jauh, masa depan atau


hipotesis
d) Perkembangan berbagai klasifikasi mental dan aktivitas yang
diminta
e) Perkembangan prinsip konservasi (volume, berat, massa, dan
angka)
3) Aktivitas yang khas pada anak tahap ini antara lain:
a) Mengumpulkan dan menyortir benda (misalnya, kartu
baseball, boneka, dan kelereng)
b) Meminta/memesan barang-barang menurut ukuran, bentuk,
berat, dan kriteria lain
c) Mempertimbangkan pilihan dan variabel ketika memecahkan
masalah
b. Bahasa
1) Anak mengembangkan pola artikulasi orang dewasa formal pada
usia 7 sampai 9 tahun.
2) Anak belajar bahwa kata-kata dapat dirangkai dalam bentuk
terstruktur.
3) Kemampuan membaca merupakan salah satu keterampilan paling
penting yang dikembangkan oleh anak.
2.3.5 Komunikasi Dengan Anak Berdasarkan Usia Tumbuh Kembang
1. Usia Bayi (0-1 tahun)
Komunikasi pada bayi yang umumnya dapat dilakukan adalah dengan
melalui gerakan-gerakan bayi, gerakan tersebut sebagai alat komunikasi
yang efektif, di samping itu komunikasi pada bayi dapat dilakukan
secara nonverbal1 Perkembangan komunikasi pada bayi dapat dimulai
dengan kemampuan bayi untuk melihat sesuatu yang menarik, ketika
bayi digerakkan maka bayi akan berespons untuk membuat suara-suara
yang dikeluarkan oleh bayi. Perkembangan komunikasi pada bayi
tersebut dapat dimulai pada usia minggu ke delapan di mana bayi sudah
mampu untuk melihat objek atau cahaya, kemudian pada minggu kedua
belas bayi sudah mulai melakukan tersenyum. Pada usia enam belas bayi
30

sudah mulai menolehkan kepala pada suara yang asing bagi dirinya.
Pada pertengahan tahun pertama bayi sudah mulai mengucapkan kata-
kata awal seperti ba-ba, da-da, dan lain-lain dan pada bulan ke sepuluh
bayi sudah bereaksi terhadap panggilan terhadap namanya, mampu
melihat beberapa gambar yang terdapat dalam buku, pada akhir tahun
pertama sudah mampu melakukan kata-kata yang spesifik antara dua
atau tiga kata. Selain melakukan komunikasi seperti diatas terdapat cara
komunikasi yang efektif pada bayi yakni dengan cara menggunakan
komunikasi nonverbal dengan teknik sentuhan seperti mengusap,
menggendong, memangku, dan lain-lain
2. Usia Todler dan Prasekolah (1-2, 5 tahun, 2, 5 – 5 tahun)
Perkembangan komunikasi pada usia ini dapat ditunjukkan dengan
perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak sudah mampu
memahami kurang lebih sepuluh kata, pada tahun kedua sudah mampu
200 – 300 kata dan masih terdengar kata-kata ulangan.
Pada anak usia ini khususnya usia 3 tahun anak sudah mampu menguasai
sembilan ratus kata dan banyak kata-kata yang digunakan seperti
mengapa, apa, kapan, dan sebagaimanya. Komunikasi pada usia tersebut
sifatnya sangat egosentris, rasa ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya
tinggi, kemampuan bahasa mulai meningkat, mulai merasa kecewa dan
rasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus berpusat
pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada
usia ini anak masih belum fasih dalam berbicara (Behrman, 1996).
Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan
memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada
mereka untuk menyentuh alat pemeriksaan yang akan digunakan,
menggunakan nada suara, bicara lambat, jika tidak dijawab harus
diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap
mendesak untuk dijawab seperti kata-kata “jawab dong”, mengalihkan
aktivitas saat komunikasi, memberikan mainan saat komunikasi dengan
maksud anak mudah diajak komunikasi, mengatur jarak interaksi di
mana kita dalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya mengatur jarak,
31

adanya kesadaran diri di mana kita harus menghindari konfrontasi


langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Secara nonverbal
kita selalu memberi dorongan penerimaan dan persetujuan jika
diperlukan, jangan sentuh anak tanpa disetujui dari anak, salaman
dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan perasaan cemas,
menggambar, menulis atau bercerita, dalam menggali perasaan dan
fikiran anak disaat melakukan komunikasi.
3. Usia Sekolah (5-11 tahun)
Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat dimulai dengan
kemampuan anak mencetak, menggambar, membuat huruf atau tulisan
yang besar dan apa yang dilaksanakan oleh anak mencerminkan pikiran
anak dan kemampuan anak membaca di sini sudah dapat mulai, pada
usia kedelapan anak sudah mampu membaca dan sudah mulai berpikir
terhadap kehidupan.
Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah ini adalah tetap
masih memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak yaitu gunakan
kata yang sederhana yang spesifik, jelaskan sesuatu yang membuat
ketidakjelasan pada anak atau sesuatu yang tidak diketahui, pada usia ini
keingintahuan pada aspek fungsional dan prosedural dari objek tertentu
sangat tinggi maka jelaskan arti fungsi dan prosedurnya, maksud dan
tujuan dari sesuatu yang ditanyakan secara jelas dan jangan menyakiti
atau mengancam sebab ini akan membuat anak tidak mampu
berkomunikasi secara efektif.
4. Usia Remaja (11-18 tahun)
Perkembangan komunikasi pada usia remaja ini ditunjukkan dengan
kemampuan berdiskusi atau berdebat dan sudah mulai berpikir secara
konseptual, sudah mulai menunjukkan perasaan malu, pada anak usia ini
sering kali merenung tentang kehidupan masa depan yang direfleksikan
dalam komunikasi. Pada usia ini pola pikir sudah mulai menunjukkan
kearah yang lebih positif, terjadi konseptualisasi mengingat masa ini
adalah masa peralihan anak menjadi dewasa.
32

Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia ini adalah berdiskusi atau
curah pendapat pada teman sebaya, hindari beberapa pertanyaan yang
dapat menimbulkan rasa malu dan jaga kerahasiaan dalam komunikasi
mengingat awal terwujudnya kepercayaan anak dan merupakan masa
transisi dalam bersikap dewasa.
33

3 Kerangka Pikir

Peran Keluarga Faktor-faktor yang


mempengaruhi penggunaan
gadget :
1. Iklan yang merajalela di
1. Peran Ibu dunia pertelevisian dan di
Dalam Sehat media sosial
Sakit 2. Gadget menampilkan fitur-
2. Peran Pemberi fitur yang menarik
Asuhan 3. Kecanggihan dari gadget
3. Perubahan 4. Keterjangkauan harga
Peran Selama gadget Dampak
Sakit dan penggunaan
5. Lingkungan
Hospitalisai gadget pada
Dampak
6. FaktorPositif
budaya: anak usia
1.
7. Berkembangnya
Faktor sosial imajinasi
sekolah dasar
2.
8. Melatih kecerdasan
Faktor pribadi
Penggunaan 3. Meningkatkan rasa
gadget berupa percaya diri
handphone pada 4. Mengembangkan
anak usia sekolah kemampuan dalam
kelas 2 dan 3
membaca, matematika,
Tumbuh dan pemecahan masalah
kembang anak
usia sekolah: Dampak Negatif :
1. Perkembangan 1. Komunikasi dengan orang
motorik tua berkurang
2. Perkembangan 2. Kemampuan psikomotorik
psikososial berkurang
3. Perkembangan 3. Kesulitan beradaptasi
psikoseksual dengan materi pelajaran
4. Perkembangan 4. Kesulitan dalam
kognitif bersosialisasi

Bagan 2.1 Kerangka Pikir Peran orangtua dalam pengawasan penggunaan


gadget (handphone) pada anak usia sekolah di RT 02 RW 04
Desa Sumber Kembar Kecamatan Pakuniran Kabupaen
Probolinggo.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah rencana menyeluruh peneliti untuk
memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian dan untuk menguji hipotesis
penelitian (Nursalam, 2010). Desain penelitian merupakan hasil akhir dari
suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan
bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan, dipergunakan sebagai petunjuk
dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan
atau menjawab pertanyaan penelitian (Nursalam, 2010).
Strategi atau pendekatan penelitian yang dipakai dalam karya imiah
ini adalah pendekatan penelitian kualitatif dengan strategi penelitian case
study research yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari responden dan melakukan studi
pada situasi alami. (Sugiyono, 2014)
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna
(perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan
teori dimanfaatkan sebagai sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai
dengan fakta dilapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai
pembahasan hasil penelitian. Penelitian kualitatif jauh lebih subjektif dari
pada penelitian kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari
pengumpulan informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara
secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis ini adalah penelitian terbuka
dilakukan dalam jumlah relatif kelompok kecil yang diwawancarai secara
mendalam.

34
35

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Sumber Kembar RT 002 RW
004 Kecamatan Pakuniran Kabupaten Probolingo.
3.2.2 Waktu Penelitian
Tabel 3.1 Jadwal Penyusunan KTI
Bulan
No Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli
2018 2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019
1 Pembuatan
Proposal
2 Study
Pendahuluan
3 Ujian
Proposal KTI
4 Pelaksanaan
Penelitian
5 Penyusunan
Laporan
6 Ujian Hasil
Penelitian
7 Perbaikan
KTI
8 Pengumpulan
KTI

Waktu penelitian telah dilaksanakan mulai bulan Apri sampai bulan Juni 2019

3.3 Setting Penelitian


Setting dalam penelitian ini adalah di Desa Sumber Kembar RT 002
RW 004 Kecamatan Pakuniran Kabupaten Probolinggo. Di Desa ini belum
pernah dilakukan penelitian terkait dengan judul “peran orangtua dalam
36

mengatasi penyebab pengguna gadget(smartphone) pada anak usia Sekolah


Dasar” sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Desa tersebut.

Di Desa ini terdapat 4 Dusun, Dusun Kedung pawon terdapat RW 1


RT 4 sebelah utara, Dusun Krajan Terdapat 4 RT 1 RW sebelah barat,
Dusun Taman terdapat RW 1 RT 4 sebelah timur dan Dusun Darpo RW 1
RT 4 di sebelah selatan. Desa ini memiliki luas 73 Ha, dengan jumlah
penduduk 2250 orang.

3.4 Subjek Penelitian Atau Partisipan


Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini
dipilih sesuai kriteria yang ditentukan oleh peneliti dan harus dapat
memberikan informasi yang kaya secara sukarela (Moleong, 2010). Teknik
sampling pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan
purposive sampling, yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu
yang dianggap dapat memberikan data secara maksimal sehingga akan
memudahkan peneliti dalam mengungkap objek yang diteliti (Denzim dan
Lincon, 2011). Dalam teknik ini informan ditentukan oleh pertimbangan
informasi yang diperlukan dan jika tidak ada lagi informasi yang dapat di
jaring, maka penarikan informan diakhiri (Moleong, 2010). Informan yang
digunakan pada penelitian ini dengan kriteria sebagai berikut yaitu:
1. Orang tua yang mempunyai anak usia 6-9 tahun
2. Dapat berkomunikasi dengan baik
3. Memfasilitasi anak dengan gadget
4. Bersedia dijadikan sebagai subjek penelitian
37

3.5 Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan 2 teknik pengumpulan
data, yaitu:
3.5.1 Wawancara mendalam (In Depth Interview)
Wawancara ini merupakan teknik pengumpulan data yang di
gunakan untuk mengeksplorasi dan memperluas informasi terdalam yang di
ungkap menggunakan pertanyaan terbuka (denzim dan lincom, 2011).
Wawancara secara mendalam ini dilakukan dengan bantuan pedoman
wawancara yang bertujuan untuk memperoleh data secara dalam dan rinci
tentang pemberian pemakaian gadget pada anak. Pada penelitian ini
wawancara mendalam dilakukan pada orang tua yang berada di Desa
Sumber Kembar.
3.5.2 Observasi
Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan secara langsung kepada informan (Hidayat, 2007). Teknik
pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mendapatkan
pengalaman secara langsung. Kemudian mencatat keadaan sebenarnya yang
terjadi di lokasi penelitian (Moleong, 2012). Pada penelitian ini peneliti
akan melakukan observasi partisipasi aktif dengan bergabung dengan obyek
yang diamati, dan untuk melengkapi data observasi peneliti melakukan
percakapan dengan informan terkait informasi yang berkaitan dengan peran
orangtua dalam mengatasi penyebab pengguna gadget(smartphone) pada
anak usia Sekolah Dasar. Peran peneliti, dalam penelitian ini adalah sebagai
pengamat tanpa menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati.
Pengamatan ini bersifat terbuka yaitu pengamatan yang diketahui oleh
subyek dan subyek memberikan kesempatan dengan sukarela untuk
diamati. Obyek pengamatan yang dilakukan yaitu keadaan lingkungan
sekitar tempat tinggal informan dan rumah informan (jumlah anggota
keluarga yang tinggal satu rumah).

3.5.3 Analisis Dokumen


38

Teknik pengumpulan data melalui kajian dokumen ini digunakan


untuk melengkapi data dari hasil wawancara mendalam dan observasi.
Dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah jumlah penggunaan
gadget pada anak sekolah Dasar. Alat bantu yang digunakan dalam
pengumpulan data ini yaitu : pedoman wawancara yang berisi pertanyaan
terbuka, alat perekam dan kamera.
Dalam penelitian terdapat dua tahap penelitian, yaitu:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun
berdasarkan dimensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi subyek, pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara.
Pedoman wawancara yang disusun, ditujukan kepada yang lebih ahli
dalam hal ini adalah pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap
pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan
wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat
pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap
perilaku subyek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan
atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subyek dan
pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan
observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera
mungkin mencatatnya setelah wawancara.
Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik
subjek penelitian. Untuk itu sebelum wawancara dilaksanakan peneliti
bertanya kepada subyek tentang kesiapannya untuk diwawancarai. Setelah
subyek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan
dengan subyek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan
wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian


39

Peneliti membuat kesepakatan dengan subyek mengenai waktu dan tempat


untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah
wawancara dilakukan, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan
wawancara dalam bentuk verbatim tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan
analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang
dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. Setelah itu,
peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan,
peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

3.6 Metode Uji Keabsahan Data (Uji Trigulasi Sumber)


Studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Empat kriteria
keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan
kualitatif. Empat hal tersebut adalah sebagai berikut:
3.6.1 Keabsahan Konstruk (Construct Validity)
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa
yang berikut benar-benar merupakan variabel yang ingin diukur.
Keabsahan ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang
tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Menurut Arikunto (2010) ada 4 macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu:
a. Triangulasi Data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari
satu subyek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda. Pada
penelitian ini triangulasi data yang digunakan yaitu pada Anak usia 6-9
tahun yang komunikatif dan koperatif.

b. Triangulasi Pengamat
40

Adanya pengamat diluar peneliti yang turut memeriksa hasil


pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus
bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan
masukan terhadap hasil pengumpulan data.
c. Triangulasi Teori
Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data
yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai
teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji
terkumpulnya data tersebut.
d. Triangulasi Metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan triangulsi metode,
yakni dengan cara melakukan wawancara pada saat melakukan penelitian
dan ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara dilakukan
pada Anak usia 6-9 tahun yang komunikatif dan kooperatif.
3.6.2 Keabsahan Internal
Kebsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa
jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan
interprestasi yang tepat. Aktivitas dalam melakukan penelitian kualitatif
akan selalu berubah dan tentunya akan mempengaruhi hasil dari penelitian
tersebut. Walaupun telah dilakukan uji keabsahan internal, tetap ada
kemungkinan munculnya munculnya kesimpulan lain yang berbeda.
3.6.3 Keabsahan Eksternal (Eksternal Validity)
Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian
dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian
kualitatif memiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitian
kualitatif tetapi dapat dikatakan memiliki keabsahan eksternal terhadap
kasus-kasus ini selama kasus tersebut memiliki konteks yang sama.
41

3.6.4 Keajegan (Rabilitas)


Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh
penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang
penelitian yang sama, sekali lagi. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu
pada kemungkinan penelitian selanjutnya memperoleh hasil yang sama
apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subyek yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep kegiatan keajegan penelitian kualitatif selain
menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan
pengolahan data.

3.7 Metode Analisa Data


Marshall dan Rosman mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk
proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian
kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Jonathan
Sarwono, 2006), diantaranya:
3.7.1 Mengorganisasikan data
Penelitian mendapatkan data langsung dari subyek melalui
wawancara mendalam (indepth interviwer), dimana tersebut direkam
dengan tape recorder (Handphone) dibantu alat tulis lainnya. Kemudian
dibuatkan transkripnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk
rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat
dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang
telah didapatkan.
3.7.2 Pengelompokan berdasarkan kategori, tema dan pola jawaban
Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap
data, perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul
diluar apa yang ingin digali. Dibutuhkan pengertian yang mendalam
terhadap data, perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal
yang muncul diluar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan
pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis
sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman
ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan
42

melakukan coding, melakukan pemulihan data yang relevan dengan pokok


pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dengan penjelasan singkat,
kemudian dikelompokkan atau dikategorikan berdasarkan kerangka
analisis yang telah dibuat.
Pada analisis ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti.
Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap
hal-hal diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokkan
tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan
tema-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat
menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada
subyek.
3.7.3 Menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data
Setelah kategori pola dan tergambar dengan jelas, peneliti menguji
data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini.
Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali
berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga
dapat dicocokkan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan
hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesisi
tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai
hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
3.7.4 Mencari alternatif penjelasan bagi data
Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi
terwujud, peneliti masuk ke dalam penjelasan. Dan berdasarkan
kesimpulan yang telah di dapat dari kaitannya tersebut, penulis merasa
perlu mencari sesuatu alternatif penjelasan lain tentang kesimpulan yang
telah di dapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada
alternatif penjelasan yang lain dari analisis, ada kemungkinan terdapat hal-
hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya. Pada
tahap ini dijelaskan dengan alternatif lain melalui referensi atau teori-teori
lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian pembahasan,
kesimpulan dan saran.
43

3.7.5 Penulis hasil penelitian


Penulisan data subyek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan
suatu hal yang membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah
kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulis yang
dipakai adalah persentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data
hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan
subyek dan siknificant other. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh
dari subyek dan siknificant other, dibaca berulang sehingga penulis
mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis sehingga didapat
gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari subyek. Selanjutnya
dilakukan interprestasi secara keseluruhan dimana di dalamnya mencakup
keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.

3.8 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian, setelah mendapat rekomendasi dari
Akper Hafshawaty Zainul Hasan Genggong, kemudian dilanjutkan dengan
mengajukan ijin kepada BanKes BangPol, untuk mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya peneliti mengadakan pendekatan kepada subyek untuk koordinasi.
Setelah disetujui kuesioner dikirim ke subyek yang diteliti dengan
menekankan pada masalah etika yang meliputi:
3.8.1 Informedconsent (Lembar Persetujuan Penelitian)
Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden.
Tujuannya adalah subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta
dampak yang diteliti selama penumpukan data. Jika subyek bersedia diteliti
maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak untuk
diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
3.8.2 Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan subyek identitas subyek, peneliti tidak
akan mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data dan
kuesioner yang diisi oleh subyek.
3.8.3 Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti.
44

3.8.4 Benefience (manfaat)


Dari apa yang dilakukan akan memberikan manfaat bagi subyek
maupun peneliti.
3.8.5 Honesty (kejujuran)
Kejujuran mengenai tujuan dilakukannya wawancara dapat
memberikan informasi yang terbuka.
3.8.6 Accurate (akurat)
Peneliti akan memberikan hasil wawancara dengan tidak
mengurangi atau menambahkan hasil akhir.

Anda mungkin juga menyukai

  • KTI Bab 3 Muiz
    KTI Bab 3 Muiz
    Dokumen11 halaman
    KTI Bab 3 Muiz
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Obat B.ana
    Obat B.ana
    Dokumen4 halaman
    Obat B.ana
    Nurul
    Belum ada peringkat
  • Letak
    Letak
    Dokumen17 halaman
    Letak
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Epilepsi
    Epilepsi
    Dokumen4 halaman
    Epilepsi
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Fix Format Kep - Keluarga
    Fix Format Kep - Keluarga
    Dokumen53 halaman
    Fix Format Kep - Keluarga
    Nurul
    Belum ada peringkat
  • Jtptunimus GDL Titikyulia 6694 2 Babii PDF
    Jtptunimus GDL Titikyulia 6694 2 Babii PDF
    Dokumen58 halaman
    Jtptunimus GDL Titikyulia 6694 2 Babii PDF
    yuli
    Belum ada peringkat
  • LP Typus
    LP Typus
    Dokumen14 halaman
    LP Typus
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Syok
    Laporan Pendahuluan Syok
    Dokumen12 halaman
    Laporan Pendahuluan Syok
    Nana
    Belum ada peringkat
  • LP Syok Hipovolemik
    LP Syok Hipovolemik
    Dokumen12 halaman
    LP Syok Hipovolemik
    ivo
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan
    Laporan Pendahuluan
    Dokumen20 halaman
    Laporan Pendahuluan
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan BBLN
    Laporan Pendahuluan BBLN
    Dokumen20 halaman
    Laporan Pendahuluan BBLN
    Andriy Bastian
    Belum ada peringkat
  • Askep Keluarga
    Askep Keluarga
    Dokumen17 halaman
    Askep Keluarga
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • LP Keluarga DM
    LP Keluarga DM
    Dokumen18 halaman
    LP Keluarga DM
    Deni Irawan
    Belum ada peringkat
  • Bahasa Indo 1-s20
    Bahasa Indo 1-s20
    Dokumen2 halaman
    Bahasa Indo 1-s20
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Skripsi
    Skripsi
    Dokumen3 halaman
    Skripsi
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Muiz Keluarga
    Muiz Keluarga
    Dokumen13 halaman
    Muiz Keluarga
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Bahasa Indo Ijos
    Bahasa Indo Ijos
    Dokumen6 halaman
    Bahasa Indo Ijos
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN TUMOR GINJAL
    LAPORAN TUMOR GINJAL
    Dokumen15 halaman
    LAPORAN TUMOR GINJAL
    william
    Belum ada peringkat
  • Sop Bu Ana
    Sop Bu Ana
    Dokumen2 halaman
    Sop Bu Ana
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Tumor Rizal 2
    Tumor Rizal 2
    Dokumen13 halaman
    Tumor Rizal 2
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Tumor Rizal 2
    Tumor Rizal 2
    Dokumen13 halaman
    Tumor Rizal 2
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • LP Typus
    LP Typus
    Dokumen14 halaman
    LP Typus
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • GAYA HIDUP LANJUT USIA
    GAYA HIDUP LANJUT USIA
    Dokumen17 halaman
    GAYA HIDUP LANJUT USIA
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Stroke
    Stroke
    Dokumen1 halaman
    Stroke
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • FGHH
    FGHH
    Dokumen1 halaman
    FGHH
    badik
    Belum ada peringkat
  • Bahasa Indo Ijos
    Bahasa Indo Ijos
    Dokumen6 halaman
    Bahasa Indo Ijos
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • KTI Bab 3 Muiz
    KTI Bab 3 Muiz
    Dokumen11 halaman
    KTI Bab 3 Muiz
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Askep Keluarga
    Askep Keluarga
    Dokumen17 halaman
    Askep Keluarga
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • Lembar Konsultasi ALPI
    Lembar Konsultasi ALPI
    Dokumen2 halaman
    Lembar Konsultasi ALPI
    Siti Muisyatun Munawaroh
    Belum ada peringkat
  • FGHH
    FGHH
    Dokumen1 halaman
    FGHH
    badik
    Belum ada peringkat