Anda di halaman 1dari 5

Yuk Simak!

Pengelolaan Zakat Di Zaman


Rasulullah SAW

Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan salah satu pokok yang menjadikan
tegaknya islam karena keberadaanya. Sebaliknya, Islam tak akan berdiri apabila salah satu dari
pokoknya hilang atau tak ada.
Dengan menunaikan zakat, berarti kita telah menjaga tegaknya islam, sesuai dengan hadis
Rasulullah Saw bersabda“Islam dibangun diatas lima (pokok; rukun): bersa ksi bahwasanya tidak
ada tuhan kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menunaikan haji, dan puasa dibulan ramadhan.”(HR. Bukhori- Muslim)
Selanjutnya dengan zakat ini, Allah Swt telah mensucikan harta, dan menghendaki kebaikan untuk
kehidupan manusia melalui syariatnya, kita bisa merasakan dampakseseorang yang telah berzakat
diantaranya tolong- menolong, gotong- royong, dan selalu menjalin persaudaraan.
Tak hanya sekedar kewajiban bagi umat muslim, zakat juga merupakan salah satu solusi bagi
permasalahan ekonomi di dunia khususnya di Indonesia. Hal itu terbukti sejak zaman Rasulullah,
dengan penggalian dan pengelolaan zakat secara optimal, perekonomian di dalam negara menjadi
stabil. Sepeninggalnya Rasulullah SAW, para sahabat seperti Abu Bakar bin Siddiq, Umar bin
Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib terus melakukan manajemen zakat.
Bahkan ketika para sahabat telah tiada. Manajamen zakat semakin membaik. Sehingga, sejarah
kegemilangan zakat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah pun dapat
terdengar sampai sekarang. Bagaimana tidak? Di masa pemerintahannya selama 30 bulan, tidak
ditemukan lagi masyarakat miskin yang berhak menerima zakat, karena semua muzakki
mengeluarkan zakat, dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, melainkan juga produktif.
Pada zaman Rasulullah SAW, tepatnya di tahap awal hijrah di Madinah, zakat belum dijalankan.
Pada tahun pertama di Madinah itu, Nabi dan para sahabatnya beserta segenap kaum muhajirin
(orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Mekah ke Madinah) masih dihadapkan kepada
bagaimana menjalankan usaha penghidupan di tempat baru tersebut. Hal ini dikarenakan, selain
memang tidak semua di antara mereka orang yang berkecukupan, kecuali Usman bin Affan, semua
harta benda dan kekayaan yang mereka miliki juga ditinggal di Mekah.
Saat kondisi kaum Muslimin sudah mulai tenteram, tepatnya pada tahun kedua Hijriyah, barulah
kewajiban zakat diberlakukan. Rasulullah SAW langsung mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi
Qadli di Yaman, Rasul pun memberikan nasihat kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli
kitab beberapa hal, termasuk menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan “sampaikan bahwa
Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda mereka, yang dipungut dari orang-orang kaya
dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka,” sebagai kepala negara saat itu, ucapan
Rasul langsung ditaati oleh seluruh umat muslim tanpa ada perlawanan.
Harta benda yang dizakati di zaman Rasulullah SAW yakni, binatang ternak seperti kambing, sapi,
unta, kemudian barang berharga seperti emas dan perak, selanjutnya tumbuh-tumbuhan seperti
syair (jelai), gandum, anggur kering (kismis), serta kurma. Namun kemudian, berkembang
jenisnya sejalan dengan sifat perkembangan pada harta atau sifat penerimaan untuk
diperkembangkan pada harta itu sendiri, yang dinamakan “illat”. Berdasarkan “Illat” itulah
ditetapkan hukum zakat.
Maka dari itu pada masa Nabi Muhammad SAW tidak diwajibkan zakat pada kuda, karena kuda
hanya diperlukan untuk peperangan. Sebaliknya pada masa Khalifah Umar bin Khattab dikenakan
zakat atas kuda, karena kuda sudah diperkembangkan melalui peternakan. Demikian juga pada
masa Nabi hingga masa thabi’in tak ada zakat pada rumah, karena rumah hanya untuk tempat
kediaman.
Prinsip zakat yang diajarkan Rasulullah SAW adalah mengajarkan berbagi dan kepedulian, oleh
sebab itu zakat harus mampu menumbuhkan rasa empati serta saling mendukung terhadap sesama
muslim. Dengan kata lain, zakat harus mampu mengubah kehidupan masyarakat, khususnya umat
muslim. (Dompet Dhuafa/Uyang/berbagai sumber)

Manajemen Zakat Pada Masa Rasulullah Saw Dan Pada Masa


Khulafa Rasidin

Latar Belakang
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban
ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan
sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam
diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi
Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka
yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat
diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada
pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok
tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli
kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur
dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat
Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang
telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat
manusia dimana pun.
Manajemen zakat pada masa Rasulullah SAW
Pada dasarnya manajemen zakat sama dengan manajemen pada umumnya yaitu bagaimana cara
mengatur dan mengelolah zakat .
1. Zakat Pada Periode Makkah
Ayat-ayat Alqur'an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta
kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih
tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana
wahyu Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat : 39
''Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)''.

2. Zakat pada periode Madinah


Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad
SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW, para sahabatnya,
dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah)
masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di
tempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup --
kecuali Utsman bin Affan -- karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal
di Makkah. Kalangan anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan
para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan
keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain.
Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa
tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah. Pada saat itu keahlian orang-orang muhajirin
adalah berdagang. Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari
mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami
kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah
sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah. Kemudian
Rasulullah SAW menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian masjid
yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa
(penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik
dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan. Setelah keadaan perekonomian kaum
Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan,
pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah
Islam mulai menemukan kekuatannya.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu berikut ini: ''Dan dirikanlah shalat serta
tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan'' (QS Al-Baqarah: 110). Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat
ini diungkapkan sebagai sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran.
Rasullah Mulai Mengutus para sahat untuk dijadikan utusan sebagai duta guna mendakwakan
agama islam dan mengambil zakat. Rasullulah telah menelegasikan Muad bin Yaman seraya
bersabda “engkau akan aku utus untuk datang ke ahli kitab. Persoalan utama yang harus engkau
dakwahkan kepada mereka adalah mengajak untuk beribadah kepada allah. Jika ia telah
mengetahui allah lalu beritahunkanlah kepada mereka tentang allah mewajibkan zakat. Zakat
diatrik dari orang-orang yang kaya dan selanjutnya di bagikan kepada kaum fakir.”
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan
dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang
berhak menerima zakat Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela
menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap
Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.
Selain itu zakat pada masa rasulullah SAW juga di gunakan sebagai sumber pendapatan negara.
Walaupun sudah di undangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun kedua hijriah, namun baru
bisa di pungut sebatas zakat fitrah, kewajiban atas zakat mal masih bersifat sukarela. Efektif
pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun kesembilan hijriah. Ketika Islam telah kokoh,
wilayah negara meluas dengan cepat orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan
yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat presentasi sistem
penggajian hak-hak amil zakat.
Dapat diartikan bahwa manajemen zakat pada masa rasulullah SAW di gunakan untuk
mensejahterakan rakyatnya dengan mengunakan azas berimbang artinya semua pemasukan habis
di gunakan untuk dibelanjakan sesuai kebutuhan negara. Karena zakat merupakan ibadah wajib
untuk umat islam, maka menghitung berapa besar zakat yang ahrus di keluarkan dapat di lakukan
sendiri dengan penuh kesadaran iman dan takwa. Begitulah rasulullah SAW meletakan zakat
yang berlandaskan keadilan sejak masa awal pemerintahan islam. Karena zakat ini sangat penting
dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis. Peranan zakat, baik zakat fitrah maupun
zakat harta dalam pemerataan pendapatan akan lebih ketara kalau dihubungkan dan dilaksanakan
dengan nilai-nilai lainya.

Manajemen zakat pada masa Khulafa ‘al Rasyidun


Pada masa kepemerintahan Khulafa’al Rasyidun melanjutkan tugas Nabi, terutama tugas tugas
pemerintahan khususnya dalam mengembangkan sejarah agama Islam termasuk menegakkan
syariat zakat. Karena dalam masa ini fungsi zakat sebagai pajak dan sumber utama pendapatan
Negara. Abu Bakar di hadapkan pada permasalahan pembangkangan-pembangkangan seperti
kaum yang murtad dan kelompok yang tidak mau membayar zakat kepada negara. Abu bakar
mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari umat Islam termasuk badui
yang kembali meperlihatkan pembangkanganya setelah Rasullulah wafat. Menurut imam sayuti
ketika berita wafatnya Rasullulah tersebarr keseluruh penjuru madinah, banyak suku-suku arab
yang menolak membayar zakat. Abu bakar memerintakan pasukanya untuk menyerang suku-suku
pembangkang tersebut. Langkah ini tidak disetujui Umar bin Khattab ra. dengan alasan, perintah
memerangi seseorang itu hanya bisa dibenarkan hingga batas seseorang belum mengucapkan dua
kalimah syahadah. Sementara Abu bakar beralasan bahwa apabila tindakan pembangkangan
mereka untuk membayar zakat dibiarkan, akan menjadi presiden buruk terhadap pemahaman
Islam. Dalam pelaksanaan dan pengelolaan zakat Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan
ketelitianya. Terbukti dengan ketelitian dan keakuratanya khalifah Abu Bakar langsung turun
tangan dan mengangkat beberapa tugas (amil zakat), sehingga pemungutan dan penyaluran harta
zakat berjalan dengan baik.
Negara juga harus melaksanakan apa yang telah di tetapkan oleh Allah. Zakat di berikan kepada
mereka yang berhak menerima sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Quran. Selanjutnya
pemungutan dan pengelolaan zakat dalam masa Khalifah Umar Ibn al-Khattab ini makin
diintensifkan kaena zakat di jadikan sebagai pendapatan negara, pendapatan ini didistribusikan
dalam tingkat lokal. Jika ada kelebihan maka kelebihan tersebut di kirim ke baitul maal pusat dan
di bagikan kepada 8 asnaf. Sehingga penerimaan harta zakat makin meningkat, karena semakin
banyak jumlah para wajib zakat dengan pertambahan dan perkembangan umat Islam dengan tujuan
untuk kemaslahatan umat yaitu : Pertama, Istikhlaf penugasan sebagai Khalifah di bumi. kedua,
solidaritas sosial Ketiga, persaudaraan.
Kemudian pada masa Zakat Pada Masa Kholifah Utsman Ibn Affan. Dalam periode ini,
penerimaan zakat makin meningkat lagi, sehingga gudang Baitul Mal penuh dengan harta zakat
selain itu karena kholifah usman adalah seorang saudagara yang kaya sekalipun menjadi kepala
pemerintahan namun bukan berarti kalu beliau kaya tidak akan terjadi masalah justru
menimbulkan kesalah pahaman. Dilaporkan untuk mengamankan zakat dalam gangguan dan
masalah pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul naka, khalifah usman
mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksirkan kepemiliknya sendiri
Usman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan pada harta milik seseorang setelah dipotong
seluruh utang-utang yang bersangkutan. Namun pada intinya manajemen zakat pada masa khalifah
Usman Ibn Affan, urusan zakat ini demikian penting, untuk itu dia mengangkat pejabat khusus
menanganinya yaitu zaid Ibn sabit, sekaligus mengangkatnya mengurus lembaga keuangan Negara
(BaitulMal). Pelaksanaan pemungutan dan pendistribusian zakat makin lancar dan meningkat.
Harta zakat yang terkumpul segera di bagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga
tidak terdapat sisa harta zakat yang tersimpan dalam Baitulmal
Zakat Pada Masa Kholifah Ali Ibn Abi Thalib. Dalam menjalankan kebijakan perekonomian, Ali,
sebagaimana juga para khalifah sebelumnya, pemungutan zakat dan pajak-pajak mendapat
perhatian utama. Ali melakukannya dengan cara yang adil dan berada dalam batas-batas tertentu,
“sepadan” dengan kemampuan rakyat. Cara ini dilakukan agar rakyat tidak mengorbankan
kebutuhan hidupnya yang pokok untuk membayar pajak tersebut Dalam penerapan dan
pelaksanaan zakat, Ali Ibn Abi Thalib selalu mengikuti kebijaksanaan khalifah-khalifah
pendahulunya. Harta zakat yang sudah terkumpul ia perintahkan kepada petugas supaya segera
mambagi-bagikan kepada mereka yang berhak yang sangat membutuhkannya, dan jangan sampai
terjadi penumpukan harta zakat dalam Baitul Mal. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal,
khalifah Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama
kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya dalam Islam. Ali tetap
berpendapat bahwa seluruh pandapatan Negara yang disimpan di dalam Baitul Mal harus
didistribusikan.

Kesimpulan
Adanya manajemen zakat ini sudah mulai dikenal sejak zaman Rasulullah SAW yang juga
dijadikan sabagai sumber pendapatan negara. Yang di mana tidak hanya dapat memperbaiki
perekonomian pada masa itu tapi juga memperkuat ukhuwah Islamiyah para umat Islam dimasa
itu. Sehingga banyak para muallaf yang berbondong-bondong memperkuat agama Islamnya
ataupun non-Islam yang berpindah agama menjadi Islam. Mereka tersentuh haru dengan adanya
ikatan sosial yang kuat antar umat muslim yang saling tolong-menolong tidak hanya dalam bidang
ekonomi namun juga dalam dikehidupan sehari-hari. Jiwa sosialisme loyalitas mereka cukup erat
dan kuat. Karena dalam manajemen zakat ini sendiri mengutamakan kesejahteraan umat tidak
sekedar egosentrisme mencari kesejahteraan untuk diri sendiri. Tentu manajemen zakat ini sebagai
upaya implementasi nilai-nilai agama Islam agar tidak sekedar omong kosong yang saat ini dapat
dibuktikan salah satunya dengan hadirnya Rumah Zakat yang tersebar dibeberapa wilayah di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai