Soerjono Soekanto (1983) membedakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
penegakan hukum antara lain: (1) faktor hukumnya sendiri, (2) faktor penegak hukum yaitu pihak- pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum, (3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung dalam penegakan hukum, (4) faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan (5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Namun, diantara kelima faktor tersebut terdapat faktor yang menentukan hukum itu hidup ialah faktor penegak hukum. Karena faktor penegak hukum memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum dan dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk mengetahui bekerjanya hukum didalam suatu masyarakat, mengukur tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum maupun tingkat ketakutan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu, kuat atau lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dijadikan ukuran untuk menentukan bekerja atau tidak bekerjanya hukum di masyarakat. Seperti ketika aparat penegak hukum melakukan razia atau operasi penegakan hukum, maka saat itu masyarakat berpandangan adanya hukum dan seketika itu harus ditaati, namun sebaliknya ketika aparat penegak hukum tidak melakukan operasi penegakan hukum, maka seolah-olah hukum tidak ada dan boleh dilanggar. Dalam situasi seperti ini, masyarakat tersebut dapat dikatakan masih dalam taraf masyarakat yang “takut” kepada aparat penegak hukum, dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang “taat” terhadap hukum. Misalnya, Apabila ada seorang pengendara sepeda motor memutuskan menggunakan helm meskipun jarak yang ditempuhnya itu dekat dan atau diketahui tidak ada polisi lalu lintas di sepanjang jalan yang dilaluinya, maka pengendara sepeda motor tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang taat pada hukum. Namun, apabila pengendara sepeda motor memutuskan tidak menggunakan helm, cukup dibawa saja dan akan digunakan ketika ada polisi lalu lintas yang berada disepanjang jalan yang akan dilaluinya, maka pengendara sepeda motor tersebut dikategorikan sebagai takut pada aparat penegak hukum. Meskipun disadari oleh penggendara sepeda motor bahwa kewajiban menggunakan helm adalah untuk melindungi kepala dari si pengendara itu sendiri, disamping diwajibkan oleh hukum, namun hal ini seringkali dilanggar dan ketika itu dapat diukur tingkat kepatuhan pada hukum atau ketakutan pada aparat penegak hukum. Dengan demikian hal diatas dapat digunakan sebagai salah satu hipotesis bahwa penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk membentuk masyarakat yang patuh terhadap hukum, meskipun pada awalnya didahului dengan masyarakat yang takut terhadap penegak hukum. Disamping itu, faktor penegak hukum itu sendiri yaitu para petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menegakan hukum juga memiliki peran yang utama dalam menentukan bekerja atau tidaknya hukum di dalam masyarakat. Sebagai individu, penegak hukum tentunya memiliki latar belakang, kepentingan dan tuntutan kebutuhan di dalam hidupnya. Situasi seperti ini lah yang seringkali menjadi pemicu terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi mempengaruhi individu penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya antara lain (1) faktor moralitas penegak hukum, (2) kesejahteraan dan motivasi, (3) pengawasan, (4) waktu masa jabatan, (5) faktor reward and punishment, dan (6) kemampuan intelektual.