Anda di halaman 1dari 10

PSIKOLOGI PEREMPUAN

Oleh: Haslinda

Email: Haslindahmystakum@gmail.com

Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti latihan khusus Kohati(LKK)

HMI Cabang Parepare

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

CABANG PAREPARE

2019

Pengertian psikologi

Berdasarkan sejarahnya, psikologi sebenernya berakar dari filosofi mengenai


eksistensi manusia, dimulai dari tipe-tipe kepribadian manusia, serta bagaimana
manusia berperilaku. Sebagaimana hampir semua disiplin ilmu yang ada sekarang,
ilmu psikologi pada awal pengembangannya masih suka kecampur-campur
konsepnya dengan banyak hal lain, terutama filsafat non-empirik. Seiring
berjalannya waktu, ilmu psikologi semakin terlepas dengan konsep-konsep lain dan
menjadi disiplin ilmu mandiri yang memiliki definisi yang jelas, indikator, serta tolak
ukur yang bisa dikuantifikasi.Secara singkat, ilmu psikologi bisa diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah. Dalam
proses perkembangannya, ilmu psikologi mengalami beberapa fase seiring dengan
semakin bermunculannya teori baru yang saling mengoreksi, mengevaluasi, dan
melengkapi satu sama lain. Hingga akhirnya, ilmu psikologi terus berupaya untuk
dapat melihat “pola umum” untuk menjelaskan perilaku manusia yang kompleks.

Dekonstruksi Pandangan Psikologi terhadap perempuan

Usaha “penetrasi” terhadap perempuan sampai saat ini masih terus terjadi, baik
dalam analisis psikologi klasik maupun teologi klasik. Ada bias patriarkhisme dalam
analisis psikologi dan ajaran Islam dalam menginterpretasikan manusia, di mana
perempuan acapkali dimarginalkan. Dua kendala itu, yaitu kendala psikologis dan
teologis harus segera ditepis untuk dapat membangun paradigma psikologi feminis
berperspektif Islam dalam memahami eksistensi perempuan. Dengan psikologi
feminis berperspektif Islam tidak bermaksud mengganti patriarkhisme dengan
matriarkhisme, tetapi karena kaum feminis dan para penafsir muslim kontemporer
telah menemukan inti ajaran

berharga dalam Islam yang membebaskan teks suci dari bias gender. Kritik psikologi
feminis dan kaum feminis muslim kontemporer terhadap psikologi klasik dan teologi
klasik mengenai eksistensi perempuan sangat berguna untuk mendobrak mitos-
motos tentang perempuan yang selama ini dipelihara dan dikembangkan. Gugatan
kaum feminis tidak terbatas kepada persoalan-persoalan parsial semata, melainkan
juga menyentuh paradigma dan analisis psikologi dan interpretasi teks suci. Konsep
pemberdayaan perempuan mulai dikembangkan oleh kaum feminis, kendatipun
rintangannya cukup banyak. Mereka harus berhadapan dengan para ahli psikologi
serta para ahli tafsir sebagai pemegang otoritas keagamaan. Dorongan terbesar
menulis ini bukanlah meniscayakan eksistensi psikologi feminis berdasarkan nurani
feminis semata, melainkan ingin berupaya mendudukan perempuan dalam posisi
yang equal, humanis, dan Islami, karena eksistensi laki-laki dan perempuan memiliki
jalinan resiprokal yang merupakan pilar bagi terwujudnya keharmonisan,
kemanusiaan, peradaban, keadilan, kelestarian, interdependensi, interkoneksi, dan
interkomplementer antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki, baik di tingkat
keluarga (mikro), maupun di masyarakat, dan negara (makro), sehingga tercipta
suasana yang menerima beberapa perbedaan tanpa pembedaan. Dalam analisis
psikologi yang selama ini dikembangkan, perempuan didefinisikan dengan norma
laki-laki dan dipaksakan harus memenuhi norma tersebut, padahal norma tersebut
sering berubahubah sehingga dapat terjadi kekeliruan dalam pengukurannya.
Kekeliruan tersebut ditepis oleh psikologi feminis.

Eksistensi perempuan dan budaya patriarki

Perempuan dan laki-laki setara di hadapan Tuhan. Kemuliaan keduanya tergantung


kualitas ketaqwaannya, bukan karena perbedaan jenis kelamin perempuan atau laki-
laki. Selain perbedaan fisiologis dan biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-
laki yang merupakan faktor nature yang bersifat absolut, maka perbedaan non-
fisiologis dan non-biologis merupakan faktor nurture yang dikonstruksi melalui
sosialisasi dari orangtua secara turun temurun antar generasi, itu bersifat relatif,
tergantung kepada kultur di mana individu berada. Meski ada perbedaan fisologis
dan biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki sekalipun, tidak dibenarkan
menjadi pembedaan perlakuan, apalagi ketidakadilan dan kesewenangan satu
terhadap yang lain. Pembedaan perlakuan kepada sama-sama makhluk Tuhan,
pada hakekatnya menentang Tuhan.

Masyarakat-masyarakat memperlakukan perempuan sesuai dengan adat dan tradisi


yang terwarisi diantara mereka. Dan adat ini mengharamkan perempuan untuk
memperoleh hak-hak yang telah diberikan oleh Islam kepadanya. Hukum-hukum
diterapkan terhadap perempuan sangat berbeda dengan hukum-hukum yang
diterapkan terhadap laki-laki. Terdapat pebedaan yang sangat jauh diantara
keduanya,

perempuan tidak disenangi kelahirannya karena berbeda dengan anak-anak laki-


laki, terkadang dilarang untuk mendapatkan pengajaran, diharamkan untuk
mendapatkan warisan, selalu di bawah pengawasan hingga tidak ada yang
bersumber darinya satu tindakan apapun kecuali moral. Sementara, laki-laki diterima
semua tindakannya walaupun selain moral. Dan perempuan boleh dibunuh karena
salah satu dari tindakan-tindakan tersebut, sementara anak laki-laki bangga dengan
melakukan tindakan-tindakan ini. Perempuan tidak mempunyai hak untuk
mengajukan pendapatnya dalam hal apapun, baik yang berkaitan dengan keluarga
atau masyarakat. Dan mungkin, dia tidak mempunyai kebebasan menggunakan
barang-barang dan hadiah-hadiah pernikahannya. Sebagai isteri, dia harus lebih
mengutamakan untuk melahirkan anak laki-laki agar mendapatkan kedudukan yang
tinggi dalam masyarakat.

Sementara, di sisi lain terdapat sebagian masyarakat yang Islami (sebagian


golongan dalam masyarakat tersebut) yang telah menyuburkan aliran-aliran barat.
Masyarakat ini mengikuti orang-orang Barat dengan taqlid buta pada segala
sesuatu, bahkan dia mengambil adat-adat yang paling jelek pada masyarakat-
masyarakat Barat. Yang terpenting, bagi perempuan pada masyarakat ini adalah hal
yang baru, yaitu bepenampilan cantik. Maka dia senantiasa terobsesi dengan
kecantikannya, beratnya, sangat memperhatikan badannya dan kecantikannya
melebihi akalnya. Kehebatannya untuk menjerumuskan dan menakjubkan orang lain
adalah suatu hal yang lebih diprioritaskan dari pada menimba ilmu dan posisinya
dalam masyarakat. Dan tentu saja tidak terdapat mushaf di dalam tasnya, karena
dipenuhi dengan alat-alat make up yang selalu dibawa bersamanya ke setiap
tempat. Sementara kecantikan rohnya tersembunyi ketika ketertarikannya semakin
bertambah, maka dia menghabiskan umurnya dengan mementingkan
kewanitaannya dan tidak ada sama sekali perhatian terhadap kepribadiannnya.
Perempuan adalah satu kelompok dalam masyarakat yang rentan. Adalah sistem
patriarki yang menjadikan mereka sebagai masyarakat kelas dua. Patriarki
menempatkan perempuan bukan sebagai subjek yang merdeka, melainkan objek
dari subjek laki-laki.

Dalam "Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara", Frederick Engels
menjelaskan bahwa sistem patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal
kepemilikan pribadi, di mana sistem kepemilikan ini juga menandai lahirnya sistem
kelas.

Dari segi kontruksi sosial di masyarakat, adanya ketimpangan kekuasaan antara


laki-laki dengan perempuan yang dapat dilihat melalui anggapan masyarakat yang
masih menganggap perempuan sebagai sosok yang lemah dan harus dilindungi laki-
laki, dan sosok laki-laki sebagai sosok yang maskulin dengan kejantanannya sering
dianggap sebagai sosok yang lebih superior dari pada perempuan menjadi salah
satu factor mengapa korban pelecehan seksual seringkali perempuan, meskipun
tidak menutup kemungkinan laki-laki dapat menjadi korban juga.

Kontruksisosial yang cenderung patriarkis memengaruhi paradigma kita akan


pelecehan social dan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan yang timpang.
Dan hal tersebut kita anggap sebagai sebuah kewajaran.

Padahal banyak bukti bahwa Islam lahir sebagai agama yang sangat adil. Islam
sama sekali tidak menyetujui segala realitas kehidupan yang mendiskriminasi satu
atas yang lain, misalnya atas dasar kesukuan, ras, kebangsaan, kebudayaan, jenis
kelamin dan hal-hal lain. Maka setiap cara pandang yang membedakan antara
manusia satu dengan manusia lain berdasarkan kriteria normatif sosiologis tadi,
merupakan pengingkaran terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan, karena menurut Islam,
keistimewaan manusia yang satu atas yang lain hanya dapat dibenarkan sejauh
menyangkut tingkat pengakuannya atas ke-Esaan Tuhan belaka. Perwujudan atas
pengakuan ini dapat terlihat pada sejauhmana tingkat pengabdian manusia
kepadaNya, secara individu maupun sosial. Dalam bahasa populer, kriteria ini
disebut dengan “taqwa”. Prinsip ini tertera dengan jelas dalam firman Allah: Sungguh
(manusia) yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (Q.S.Al-
Hujurat [49]:13).

Selama ini masih banyak orang beranggapan bahwa kepribadian perempuan dan
laki-laki sangat berbeda dan tidak ada kesamaan yang dapat menjembatani
keduanya. Anggapan ini menimbulkan banyak orang mengalami penderitaan psikis
karena mereka terikat untuk berperan sebagai perempuan saja atau laki-laki saja,
seperti yang telah digariskan oleh masyarakat. Mereka seolah membawa suratan
takdir sejak lahir untuk berperilaku dan berperan sesuai dengan yang telah
digariskan masyarakat terhadapnya. Mereka tidak boleh keluar dari batas itu. Begitu
mereka bertindak sebaliknya dari yang diharapkan masyarakat, mereka dianggap
mempunyai kelainan. Sedangkan kalau mereka tetap dalam jalur yang diharapkan
masyarakat, kendati merasa sakit, mereka tetap dianggap sehat. Mereka
sebenarnya menjadi neurosis bukan karena ketidakmampuannya mengalahkan diri
sendiri, tetapi sebagai akibat pembatasan masyarakat mendefinisikan kehidupan
mereka .

Banyak ahli psikologi saat ini, yang berusaha untuk memperbaharui konsep berfikir
masyarakat tentang peran perempuan dan laki-laki yang sangat stereotype itu. Carl
Jung adalah seorang ahli psikologi yang mencoba menjelaskan bahwa pada
dasarnya manusia memiliki dua aspek sekaligus dalam dirinya, yaitu aspek feminin
dan maskulin, di mana kedua aspek tersebut dalam psikologi dikenal dengan istilah
“androgenitas”, yang berasal dari bahasa Yunani “andro” adalah laki-laki, dan “gyne”
adalah perempuan, yaitu integrasi maskulin dan feminim yang saling komplementer,
bukannya saling bertentangan. Dengan demikian, tidak ada dikotomi yang perlu
dipertentangkan antara sifat keperempuanan dan kelaki-lakian pada kedua jenis itu,
sebab setiap manusia memiliki kedua aspek tersebut. Dalam hal ini, androgenitas
tidak semestinya diartikan sebagai aspek jasmaniah, akan tetapi merupakan
“keadaan kesadaran individu di mana maskulin dan feminin saling bertemu dalam
eksistensi yang harmonis”.

Ciri fisik lain yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki adalah fakta
bahwa perempuan mengalami haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui
dengan Air Susu Ibu (ASI). Meskipun demikian, tidak semua perempuan mengalami
haidh, dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, hamil, melahirkan
dan menyusui bukanlah tugas perempuan, melainkan potensi yang dimiliki oleh
sejumlah perempuan, sementara sejumlah perempuan lain yang tidak memiliki
potensi tersebut tetap dipandang sebagai perempuan yang “normal’ dalam batas
tertentu, dan tetap berbeda secara fisiologis dan biologis dengan laki-laki umumnya.

Faktor biologis bukanlah penyebab semua perbedaan gender seseorang. Citra fisik
tidak meniscayakan citra non fisik antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu,
kita wajib menyingkirkan citra bias gender yang hanya didasarkan pada perbedaan
biologis semata yang simplistik. Hendaknya manusia menerima perbedaan fisik
tanpa pembedaan perlakuan. Itulah cita-cita perempuan dalam pencitraan terhadap
sosoknya.

Pada umumnya perempuan dicitrakan atau mencitrakan dirinya sendiri sebagai


makhluk yang emosional, mudah menyerah (submisif), pasif, subjektif, lemah dalam
matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik, dan dorongan seksnya rendah.
Sementara laki-laki dicitrakan dan mencitrakan dirinya sebagai mahluk yang
rasional, logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, senang berpetualang, aktif,
memiliki fisik dan dorongan seks yang kuat. Masalahnya, citra fisik perempuan
acapkali dipersepsikan sebagai citra kepribadian perempuan. Pandangan Freud
bahwa perbedaan anatomi sebagai takdir berimplikasi pada pandangan bahwa
kepribadian perempuan dan laki-laki itu sangat berbeda sesuai dengan takdir
anatomisnya. Perempuan yang mengalami perubahan siklus hormon ketika
mengalami haidh, lazim dipersepsikan memiliki kepribadian yang tidak stabil yang
berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan yang emosional, tidak stabil, dan mood
yang berubah dipersepsikan disebabkan oleh siklus hormonal perempuan pada
masa haidh. Ketidak-stabilan hormonal yang mempengaruhi mood dan emosional
perempuan menjadi sebuah stereotip yang dikembangkan di masyarakat hingga
saat ini bahwa perempuan lemah dan tidak stabil, sehingga membatasi ruang gerak
perempuan untuk terlibat dalam berbagai bidang, seperti: politik, ekonomi,
kemiliteran, maupun eksplorasi ruang angkasa.

Kondisi tersebut menimbulkan pengkotakan, mana area yang pantas dan tidak
pantas untuk perempuan. Akibat citra fisik yang dimiliki, perempuan dicitrakan
sebagai makhluk yang tidak sempurna (the second class), makhluk yang tidak
penting (subordinate), sehingga selalu dipinggirkan (marginalization), dieksploitasi,
dan mereka diposisikan hanya mengurusi masalah domestik dan rumah tangga
(domestication/housewivezation), seperti masalah dapur, kasur, dan sumur, meski
dalam mengurus masalah domestik sekalipun, kaum perempuan tetap tidak memiliki
kedaulatan penuh karena dikendalikan oleh kaum laki-laki dalam kondisi budaya
patriarkhis, sehingga seringkali menghadapi tindakan kekerasan secara fisik,
seksual, ekonomi, dan pelecehan. Sejak kecil anak perempuan dikendalikan oleh
ayah, saudara-saudara laki-laki, paman, atau walinya. Setelah dewasa perempuan
dikendalikan oleh suaminya, dan jika berkarir dikendalikan oleh majikannya dan
peraturan kerja yang patriarkhis. Perempuan yang menderita akibat perlakuan laki-
laki atau sistem yang patriarkhis itu dipandang lumrah dan lazim, sehingga
perempuan tidak memiliki pilihan untuk tinggal di rumah atau ke luar rumah. Kedua
dunia itu sama-sama tidak memberi tempat yang aman dan nyaman untuk
perempuan. Akibatnya banyak perempuan yang tetap bertahan dalam rumah
tangganya, apapun keadaannya. Fenomena perempuan yang bertahan menerima
nasib yang menyakitkan ini dianggap sebagai citra perempuan yang memiliki sifat
masokhism, suatu yang dicitrakan Freud kepada perempuan yang mampu bertahan
dalam kesakitan dan penderitaan. Oleh karena masokhism dipandang sebagai citra
perempuan, ini mengindikasikan penegasan akan kelaziman dominasi dan
hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Pencitraan yang bias ini telah menimbulkan
stereotip peran gender yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Pencitraan
yang bias ini sudah melembaga terstruktur dalam budaya, hampir tanpa gugatan
dan kritikan.

psikologi perempuan dideskripsikan oleh Broverman, sebagai berikut:

Feminin sama sekali tidak agresif, sama sekali tidak mandiri, sangat emosional,
tidak menyembunyikan emosi sama sekali, sangat subyektif, sangat mudah
dipengaruhi, sangat tunduk, tidak suka matematika dan sains sangat banyak, sangat
bersemangat dalam krisis kecil, sangat pasif, tidak sama sekali kompetitif, sangat
tidak logis, sangat berorientasi rumah, sama sekali tidak terampil dalam bisnis,
sangat licik, tidak tahu jalan dunia, perasaan mudah terluka, sama sekali tidak suka
bertualang, sulit membuat keputusan, menangis sangat mudah, hampir tidak pernah
bertindak sebagai pemimpin, sama sekali tidak percaya diri, sangat tidak nyaman
tentang menjadi agresif, sama sekali tidak ambisius, tidak dapat memisahkan
perasaan dari ide, sangat tergantung, sangat sombong tentang penampilan, berpikir
wanita selalu lebih unggul daripada pria, tidak berbicara bebas tentang seks dengan
laki-laki, tidak menggunakan bahasa yang kasar sama sekali, sangat cerewet,
sangat bijaksana, sangat lembut, sangat menyadari perasaan orang lain, sangat
religius, sangat tertarik pada penampilan sendiri, sangat rapi dalam kebiasaan,
sangat tenang, kebutuhan yang sangat kuat untuk keamanan, menikmati seni dan
sastra, dengan mudah mengungkapkan perasaan yang lebih dalam.

Feminitas dan maskulinitas seringkali dipandang sebagai citra yang bersifat internal
dan menetap, padahal sebenarnya merupakan produk budaya yang dinamis dan
berkembang. Oleh karena dicitrakan oleh lingkungan dan budaya yang dinamis dan
berkembang, maka pencitraan perempuan dan laki-laki berdasarkan gender berbeda
antara satu budaya dengan budaya lain, dan berbeda antar waktu dan tempat.

Kedudukan Wanita dalam Islam

Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan
pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam AlQur’an dinyatakan:

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-
Mumtahanah : 38)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan


dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl :
97, lihat juga An-Nisa).

Wanita menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan terhadap kesalan pertama


Adam alaihis-salam. Keduanya bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap
Allah, keduanya memperoleh hukuman, dan keduanya mendapat ampunan. (QS Al-
Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 – 24). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an (surat Thahaa :
121), Adam secara khusus dipersalahkan.

Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa,
zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa
kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita
diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat
puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan
dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan
bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia
boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya.
Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang disebutkan di atas.
Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid

pada masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan karenanya wanita boleh
menghadiri shalat jumat sedangkan hal tersebut (shalat jumat) merupakan
kewajiban bagi laki-laki.

Bertentangan dengan penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam beberapa


suku Arab, Al-Qur’an melarang hal tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah
kejahatan pembunuhan:

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9).

Mengkritisi perbuatan yang dilakukan beberapa orang tua yang menolak kelahiran
anak perempuan, Al-Qur’an menegaskan:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?.
Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)

Perempuan dan jilbab

Satu hal yang membuat seseorang kerap ingin berontak adalah upaya pengkotak-
kotakan antara perempuan baik-baik dan tidak baik-baik dengan adanya pembedaan
pada pakaian. Seolah-olah jilbab adalah simbol kesucian perempuan.. Karena istilah
itu hanya dan memang hanya diperuntukkan untuk perempuan, tidak pernah untuk
laki-laki. Padahal baik laki-laki maupun perempuan punya kewajiban untuk
memelihara kesucian diri. Namun hanya karena perempuan yang bervagina
dianggap punya selaput dara yang dapat rusak, sementara penis laki-laki dianggap
tetap saja utuh selama-lamanya, maka beban kesucian itu hanya diberikan pada
perempuan.

Seolah itu tak cukup, ada lagi pengkotak-kotakan lain yang membedakan
perempuan berjilbab dari caranya berjilbab dan mengukur tingkat keimanannya dari
panjang pendeknya jilbabnya. Maka timbullah istilah Kudung Gaul, Berjilbab tapi
Telanjang. Padahal Islam yang saya kenal tidaklah buruk dalam berkata-kata.

Apalagi dengan maraknya desakan untuk menerapkan syariah Islam di Indonesia.


Belum apa-apa tindakan zalim itu sudah terjadi. Perempuan yang tak berjilbab
digunduli. Perempuan yang pulang malam tanpa mahrom digunduli. Razia terhadap
semua perempuan yang masih berada di luar rumah di atas jam 22.00, tapi tidak
berlaku untuk laki-laki.

Kapan perempuan mau maju kalau hanya sibuk mengukur panjangnya pakaian
sesama perempuan yang sebetulnya hanya peluang untuk saling memecah belah di
antara kita?

Sering dikatakan bahwa perempuan harus menutup auratnya agar tidak mengalami
pelecehan seksual. Alasan yang dikemukakan adalah nafsu syahwat laki-laki lebih
besar daripada perempuan. Namun hal ini pun sebetulnya tidak pernah terbukti
secara medis. Menurut cendekiawan Muslim Faqihuddin Abdul Kodir dari Fahmina
Institute, persoalan agresivitas dan kepasifan seksual lebih terkait dengan fisik dan
mental daripada dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Maka pelabelan
seksualitas perempuan pasif dan seksualitas laki-laki agresif adalah
menyesatkan dan tidak terbukti secara empiris. Artinya, perempuan dan laki-
laki bisa agresif dan bisa juga pasif dalam hal hasrat seksual, tergantung dengan
makanan yang dikonsumsi, kondisi fisik, mental dan lingkungan. Dan semua orang
juga tahu laki-laki dapat secara bebas mengungkapkan kebutuhan seksualitasnya,
sementara perempuan sejak dulu dikondisikan bahwa ia harus pasif dan betapa
jalang dirinya jika melihat buku stensilan atau film-film porno sebagaimana laki-laki.

Namun pandangan yang menyesatkan ini ternyata tetap dipertahankan secara luas.
Seolah-olah pemerkosaan dan pelecehan hanya persoalan perempuan berpakaian
mini. Padahal pemerkosaan terjadi di mana-mana, bahkan di Arab Saudi dan
Afghanistan, di mana para perempuannya wajib berjilbab.
Saya percaya Islam menginginkan baik perempuan maupun laki-laki untuk
memelihara auratnya. Namun saya meyakini Islam sesungguhnya sangat fleksibel.
Saya menginginkan Islam yang memiliki banyak wajah dan rupa. Islam tak mesti
disimbolkan dengan jilbab, sorban, gamis dan janggut (kenapa tidak naik unta
juga?).

Namun bukan berarti yang sudah berjilbab, yang diidentikkan masyarakat Indonesia
sebagai perempuan baik-baik, pun lepas dari tekanan yang acap kali tak
proporsional. Sering kita dengar omongan orang, “Ih percuma berjilbab tapi pelit,”
atau “Berjilbab kok judes, percuma saja”. Ketika seorang perempuan berjilbab
berbuat salah ia akan langsung diserang, “Buat apa Anda pakai jilbab?”, seolah
perempuan berjilbab tidak boleh salah. Perempuan berjilbab serupa sebuah tiang
penyangga bangunan yang harus tetap tegar berdiri sementara tiang-tiang yang lain
berubuhan tanpa merasa bersalah. Padahal perempuan dan laki-laki, bergamis,
berjenggot, berjas, berjilbab gaul, atau mengenakan rok mini, celana panjang, kulot,
wajib berbuat baik dan menjaga tutur katanya agar tak menyakiti orang. Tapi mereka
semua juga manusia biasa yang sering kali lupa dan bersalah.

Manusia memang serba terbatas, termasuk dalam kemampuan melihat melampaui


jarak pandangnya. Maka selama jilbab malah menjadi sarana lain penindasan
terhadap perempuan oleh peradaban ini, selama sebagian masyarakat berpuas diri
dengan hanya berpikir pewajiban berjilbab sudah menyelesaikan separuh
permasalahan umat, selama kaum perempuan justru jadi terpecah belah hanya
karena pilihan cara berpakaian, selama pengkotak-kotakan moral perempuan
membuat masyarakat semakin punya justifikasi untuk mengontrol perempuan atas
nama agama.jilbab justru memecah belah.Solidaritas antar sesama perempuan
perlu dibangun untuk melawan seluruh ketidak adilan.

Bangsa Indonesia saat ini memerlukansumber daya manusia yang memiliki


kualitas baik.Salah satunya perempuan.

yangdilakukan terhadap perbedaan antara perempuan danlaki-laki saat ini tidak


boleh dijadikan sebagai alasanuntuk membatasi pergerakan perempuan
dalam pembangunan di Indonesia. Perempuan pun jugaharus memiliki kesempatan
yang sama dalam pembangunan sebuah negara.KOHATI harus hadir sebagai
jawaban datrimasalah-masalah yang dihadapi oleh Indonesia.KOHATI harus
menyiapkan kader HMI-Wati yangmempunyai kualitas. Jangan sampai HMI-Wati
saatini mereka terlalu memikirkan untukmengembangkan dirinya sendiri tanpa
melihat permasalahan-permasalahan

dilingkungan sekitarnya.KOHATI harus menciptakan seorang HMI-Wati yangsesuai


dengan tugas dan fungsi perempuan sebagai seorang anak, ibu dan sosok yang
mengayomi masyarakat, sesuaidengan bait terakhir dalam Mars Kohati,
“ Membina Masyarakat Islam Indonesia “

-JAYALAH KOHATI

DAFTAR PUSTAKA

Muthahhari,Murtadha. 2012. Filsafat Perempuan Dalam


Islam. Terjemahan oleh Arif Mulyadi. Yogyakarta: Rausyanfikr
Institute

Muthahhari,Murtadha. 2011. Teologi dan Falsafah Hijab.


Terjemahan oleh Rina Tyas Sari, Yogyakarta: Rausyanfikr Institute

Badawi, jamal.2008. Kedudukan Wanita dalam Islam.


Terjemahan oleh Ummu Abdullah.
Riyadi Terre, Edi DKK. 2013. Manusia, laki-laki, perempuan.
Jakarta: Komunitas Salihara-Hivos

Nurhayati,Eti. Psikologi Perempuan Dalam Berbagai


Perspektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012.

Feby Indirani, Atas Nama Kemuakan pada, Patriarki, Maka


Kulepas Jilbabku,( https://magdalene.co/story/atas-nama-kemuakan-
pada-patriarki-maka-kulepas-jilbabku).

Annisa Nirmala, Mahasiswa,Perempuan Dan ketidak Adilan


Sosial,(https://www.qureta.com/post/mahasiswa-perempuan-dan-
ketidakadilan-
sosial?fbclid=IwAR2jD4C6hAPG0QVCjFSUT6T08u71Tjf8qkS-
j_ueKtyIYxYKTOpH_pMBmGU#).

Agnia Addini, KOHATI dan generasi prempuan Indonesia


berkualitas, (https://akurat.co/news/id-321419-read-kohati-dan-generasi-
perempuan-indonesia-berkualitas).

Anda mungkin juga menyukai