Anda di halaman 1dari 5

Form Proposal Perekaman

I. JUDUL
Eksistensi Etnis Cina di Tengah Kota Syariah

II. LATAR BELAKANG


Permulaan awal masuknya etnis cina di aceh ditandai dengan banyaknya
kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang yang beretnis Tionghoa.
Kemungkinan awal masuknya etnis cina di Aceh dikarenakan letak Aceh
dibagian barat dan wilayahnya memiliki dua muka laut yaitu samudera Hindia
dan selat malaka, maka dapatlah diperhitungkan bahwa wilayah ini tempat
singgah permulaan dari kegiatan mondar-mandir pelayaran antara kepulauan di
Indonesia maupun dengan pelabuhan sebelah barat baik india, parsi, irak, arab,
cina, dll. Kesanggupan mereka menggunakan perahu untuk berlayar dan berkat
kemampuan bakat pelayaran yang memadai memberikan suatu petunjuk
mengenai terlaksananya hubungan dengan tiongkok dengan salah satu wilayah
di indonesia sejak zaman dahulu. Salah satunya dapat di buktikan dengan catatan
Tiongkok Tsien han-shu (tarikh dinasti Han, antara 206 SM sampai 24 M).
Catatan tersebut berkenaan dengan masa pemerintahan Kaisar Wang (1-6 M).
Kaisar tersebut mengirim bingkisan berupa mutiara dan permata lainnya ke
sebuah negeri yang disebut dalam catatan tersebut bernama Huang Che. Kaisar
Wang memesan agar bingkisannya diimbali dengan binatang badak yang
terdapat di negeri itu. Wang bermaksud memelihara badak bersama peliharaan
lain di kebun binatangnya. Banyak sejarawan yang berpendapat bahwa Huang
Che yang maksud adalah Aceh.
Pengenalan tiongkok dengan kerajaan kerajaan di Indonesia meneguhkan
pendapat bahwa barang barang hasil bumi Indonesia telah diangkut oleh pelaut-
pelaut Indonesia ke Tiongkok. Dan dari sana diangkut melalui jalan ke arah barat,
terutama ke india, arab, parsi, mesir, dan seterusnya. Jalur darat banyak sekali
menelan biaya dan berbahaya, namun cara ini telah cukup lama digunakan
sebelum diketahui lintasan laut dari tiongkok lewat perairan indonesia dan selat
malaka serta samudera india.
Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh,
didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah
dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di
Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada
abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi)
menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh.
pada masa kerajaan samudera pasai, para pedagang dari Timur Tengah,
India sampai Tiongkok pada abad ke 13-16 M ramai mengunjungi tanah Aceh
untuk kegiatan perdagangan. Samudera Pasai ini terletak pada jalur sutera laut
yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para
pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan
pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13)
dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang
dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak
diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti
Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho
juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang
tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Lonceng Cakra
Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang.
Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara
Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam yang
pertama di Indonesia dan pusat penyebaran Islam keseluruh Nusantara pada
waktu itu. Ajaran-ajaran Islam disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur
Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.
Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya
"kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi, jauh
sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada di
Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur
perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan
internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana
yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.
Sejak dahulu orang orang tionghoa di tanah serambi mekah dikenal sangat
giat, Tionghoa di Banda Aceh bekerja sebagai buruh pertambangan, pelabuhan,
perkebunan, buruh kontrak kebun karet dan lainnya. Sebagian uang hasil kerja
sehari-hari ini ditabung. Karena gigih bekerja, banyak di antara mereka lebih
cepat kaya ketimbang pribumi. Tabungan itu kemudian jadi modal untuk
membeli tanah dan membuat toko. Pelan-pelan mereka membuka usaha dagang,
sambil tetap bekerja sebagai buruh. Ketika uang mereka benar-benar cukup,
maka beralihlah pekerjaan mereka dari pekerja kasar menjadi pedagang barang
dan jasa dengan memanfaatkan tempat usaha sendiri.
Hidup sebagai minoritas dalam masyarakat Aceh, dengan perbedaan budaya
dan agama, tidak membuat etnis Tionghoa di Banda Aceh terkungkung.
Mayoritas muslim bisa menerima perbedaan ini. Tapi, persaingan dagang
kemudian ikut menjadi pemicu terjadinya sejarah kelam konflik antara mereka
dengan pribumi.
Namun, problematika yang dialami oleh etnis tionghoa yang berada di
indonesia khususnya di aceh telah banyak mengalami pasang surut. Mulai dari
masa orde lama, masa orde baru, dan akhirnya pada masa reformasi seperti
sekarang ini. Masa orde lama merupakan masa paling kelam dalam perjalanan
hidup etnis tionghoa di tanah serambi mekah pada waktu itu, dikarenakan
gagalnya kudeta partai komunis indonesia (PKI) tahun 1965. Sejak saat itu,
ketentraman terusik, hidup dibalik bayang bayang diskriminasi yang saat itu
indonesia di pimpin oleh Presiden Soeharto. Lalu, semenjak masa reformasi
keeksistensian orang orang yang beretnis tionghoa di indonesia, khususnya di
aceh telah diakui keberadaannya tanpa adanya diskriminatif oleh pihak
manapun. Hal ditandai dengan munculnya berbagai perkumpulan etnis tionghoa
di aceh, adanya sekolah-sekolah berbasis etnis cina, dan banyaknya aktivis
budha di tanah serambi mekah yang diterima oleh masyarakat aceh, maupun
ulama aceh itu sendiri.

III. PERMASALAHAN
Kota Banda Aceh adalah salah satu kota yang diberikan hak otonomi daerah
untuk melaksanakan hukum syariat Islam. Masyarakat Banda Aceh khususnya
dan masyarakat Aceh pada umumnya diwajibkan untuk mengikuti aturan hukum
ini, seperti harus berpakaian yang islami, wanita wajib menggunakan jilbab,
dilarang berkhalwat laki-laki dan perempuan, tidak boleh mengonsumsi khamar,
dan lain sebagainya. Tentu siapa saja yang melanggaran aturan tersebut akan
dikenakan sanksi sesuai dengan qanun yang telah ditetapkan.
Di balik segala aturan syariat Islam yang berlaku tersebut, terdapat
sekelompok masyarakat yang bukan beragama Islam tetap tinggal bersama.
Mereka adalah etnis Cina yang mayoritas beragama Budha. Maka timbul
pertanyaan, bagaimana keberterimaan mereka ketika mereka berada di negeri
syariah tersebut. Bagaimana ikatan toleransi yang terjalin sehingga masyarakat
Aceh dulu dapat menerima kedatangan orang-orang Cina yang berbeda etnis dan
bahkan berbeda agama tersebut. Padahal, pada zaman dahulu, Aceh sangat
dikenal dengan wilayah yang sangat sensitif dengan hal yang berkaitan
keagamaan. Maka dari itu, peristiwa ini perlu digali kembali, bukan untuk
mengorek-ngorek luka lama, melainkan untuk menjaga keutuhan sejarah. Rasa
bhineka tunggal ika ini perlu direkam jejaknya agar tidak terjadinya
kesalahpahaman atau perselisihan di masa anak cucu kita nanti. Lalu bagaimana
cara mereka melestarikan budaya nenek moyang mereka ditengah masyarakat
aceh yang kental dengan budaya aceh yang terkenal islaminya. Dan bagaimana
cara mereka berinteraksi dengan masyarakat aceh sehingga etnis cina di aceh
mampu menguasai perekonomian/perdagangan di aceh tanpa adanya konflik.
Namun, mereka malah mampu menjalin keakraban dengan masyarakat Aceh
umumnya, khususnya Kota Banda Aceh. Poin-poin yang telah disebutkan tadi
menjadi hal yang sangat penting untuk direkam sehingga menjadi pembelajaran
baru untuk ditelusuri dan menjadi suatu simbol pemersatu antara masyarakat
pribumi aceh maupun masyarakat tionghoa yang berada di aceh.

IV. SINOPSIS
Subjek yang akan direkam adalah orang-orang etnis tionghoa yang masih
menetap di Aceh, khususnya kawasan Banda Aceh sampai sekarang ini. Beberapa
di antaranya akan dilakukan wawancara. Selain itu, turut disertakan pandangan
sejarawan yang paham akan sejarah awal mula masuknya etnis Cina/Tionghoa di
Aceh yang terjadi beratus tahun lalu hingga berabad yang lalu dan sejarah
kerjasama antara Aceh dan Cina. Tidak hanya itu, objek lainnya yang akan di
rekam adalah bukti-bukti sejarah yang masih tersisa yang berhubungan dengan
masuknya etnis cina ke Aceh dan hubungan yang dilakukan antara Aceh dan
bangsa Cina. serta akan ditelusuri tentang perkembangan perekonomian etnis
tionghoa yang berada di aceh yang telah menguasai perdagangan di aceh hingga
berabad abad lamanya sampai sekarang. Dan juga akan ditelusuri sejarahnya
melalui buku-buku sejarah aceh yang banyak memuat semua hal yang berkaitan
dengan semua poin yang dibahas.

Anda mungkin juga menyukai