Anda di halaman 1dari 2

MOLULO, Berawal dari Sebuah Ritual Menjadi Konfigurasi Sosial

Penulis : Ismoyo Ndosam, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UHO


Sejarah Molulo

Tari Lulo atau Molulo dalam masyarakat tolaki adalah gambaran sosial masyarakat yang

terimplementasi melalui sebuah gerakan yang penuh dengan filosofi. Molulo berasal dari kata

Molulowi. Molulowiyang dalam Bahasa daerah Tolaki berarti menginjak-injak onggokan padi.

Tari Lulo memang sangat erat kaitannya dengan aktivitas sosial masyarakat Tolaki, khususnya

aktivitas pertanian. Sejak dahulu kala masyarakat suku Tolaki sudah mengenal sistem bercocok

tamam. Mereka akan membuka sebuah lading yang nantinya akan ditanami padi untuk nantinya

mereka bisa bertahan hidup. Kegiatan Mondau atau menanam padi di ladang ini biasanya akan

berlangsung sekali dalam setahun.

Kegiatan Monda’u pada masyarakat Tolaki akan diakhiri dengan ritus Monahu Nda’u atau pesta

panen. Setiap masyarakat yang telah memanen padi maka mereka akan memulai mengolah padi

mereka hingga menjadi bahan makanan. Terlebih dahulu mereka akan memisahkan bulir-bulir

gabah dari tangkai padinya. Dengan cara diinjak-injak sementara kedua tangan berpegangan di

dinding rumah atau di sebuah kayu yang melintang. Kegiatan inilah yang disebut dengan

Molulowi. Dari kegiatan Monahu Nda’u yang kerap kali dilaksanakan setiap akhir dari kegiatan

Monda’u, maka tari Lulo pun mulai tercipta. Masyarakat Tolaki kuno pada saat itu beranggapan

bahwa hasil panen yang melimpah tak terlepas dari peran sang Sanggoleo Mbae (Dewi

Padi/Dewi Sri). Masyarakat saat itu pun berinisiatif untuk menciptakan sebuah gerakan yang

akan menghibur sang Sanggelo Mbae saat pesta panen berlangsung. Sebagai ungkapan rasa

syukur mereka pada Sanggoleo Mbae atas hasil panen yang melimpah dengan melalui sebuah

gerakan yang terinspirasi dari kegiatan Molulowi.

Perkembangan Molulo dan Instrumen musik yang digunakan.


• Molulowi

Kegiatan Molulowi yang awalnya dilakukan di dalam rumah lambat laun dikerjakan di luar

rumah. Mengingat kegiatan Molulowi bukanlah sebuah perkara yang mudah maka kegiatan ini

mulai dilakukan oleh banyak orang. Dengan beralaskan selembar Ambahi besar (Tikar) maka

kegiatan Molulowi mulai dilakukan. Untuk menjaga kegiatan ini berlangsung dengan baik, maka

istrumen musik diciptakan untuk menghibur masyarakat yang sedang Molulowi. Kanda-kanda

Wuta atau gendang tanah adalah instrument music pertama kali yang hadir di tengah acara

Molulowi. Kanda-kanda wuta merupakan sebuah istrumen yang sangat unik yang tak dijumpai di

belahan dunia mana pun. Dengan menggunakan sebuah tanah lapang, maka tanah akan dilubangi

dengan diameter dan kedalaman tertentu. Setelah tanah dilubangi maka lubang tanah akan

ditutupi oleh pelepah batang sagu yang disesuaikan dengan diameter lubang. Sementara sebuah

senar dari bambu dipasang melintang di kedua sisi lubang. Sebuah tongkat kecil yang berbentuk

sumpit dipasang mebujur di anatara pelepah sagu dan senar bambu. Maka bunyi akan dihasilkan

dengan memukul senar bambu. Tekanan pada senar bamboo akan merambat pada tongkat sumpit

yang berdiri tegak di atas lubang tang ditutupi oleh pelepah pohon sagu. Biasanya untuk

menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda maka lubang akan dibuat lebih dari satu dengan

diameter dan kedalaman yang berbeda, sehingga bunyi dari setiap lubang akan berbeda.

Anda mungkin juga menyukai