Anda di halaman 1dari 34

KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN

SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

“Anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur kalau kesaktiannya
sudah sepadan atau melebihi saya,” (Sunan Kalijaga seperti yang dituturkan
secara turun-temurun).

A. Latar Belakang Masalah

Kasuran adalah sebuah kampung yang pada 28 Juli 1826 menjadi ladang

pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro pada serdadu Belanda-

Jawa. Setidaknya berdasarkan laporan Louw dan De Klerck 1894-1909, II: 497,

yang dikutip oleh Peter Carey (2008:123) ”Setelah pencegatan (ambush) di

Kasuran, Sleman pada 28 Juli 1826, tatkala semua, kecuali tujuh belas orang dari

lima puluh anggota peleton Belanda-Jawa terbunuh Diponegoro menggambarkan

bagaimana ’ia menunggang kuda melalui (tempat pertempuran) dan merasa sangat

terharu menyaksikan yang tewas dan yang luka’. Memang begitu mengerikan

pemandangan itu, katanya, sehingga ia sampai menutup mata.”

Dusun Kasuran Kulon, sebuah dusun yang terletak di daerah Margodadi,

dan Dusun Kasuran Wetan, yang terletak di daerah Margomulyo kecamatan

Seyegan, merupakan dua dusun yang berada di kawasan wilayah Kabupaten

Sleman Yogyakarta. Dusun ini di berbagai media dianggap sebagai salah satu

diantara dusun yang paling unik di dunia. Dari total penduduk Kasuran Kulon

yang berjumlah kurang lebih 828 jiwa, menurut klaim Wartilah , mayoritas

diantara mereka tidur tanpa menggunakan kasur tapi menggunakan tikar sebagai

gantinya. Sedangkan di Kasuran Wetan sekitar 1095 jiwa tidak ada satupun yang

menggunakan kasur kapuk, namun mayoritas diantara mereka menggunakan

1
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kasur spon sebagai penggantinya. Klaim ini sama-sama dikatakan oleh Wartilah

dan Noor Sidiq, Kepala dusun Kasuran Kulon dan Wetan. Namun, penulis tidak

berpretensi untuk terjebak dalam masalah kajian data kuantitatif, dan tidak akan

memeriksa kebenarannya, namun lebih pada bagaimana masyarakat Kasuran

memproduksi dan mereproduksi praktik dan tetap bertahan hingga saat ini.

Dusun Kasuran dikenal sebagai dusun yang memiliki tradisi yang unik,

karena mayoritas masyarakatnya tidak menggunakan alas kasur kapuk meskipun

terdapat beberapa kontradiksi yang terlihat dalam praktik mereka ini. Nihilnya

kasur kapuk di dusun ini mengundang sejumlah tanda tanya bagi banyak orang.

Penulis mencoba melakukan penelusuran di tempat tersebut, namun penulis tidak

memperoleh data tertulis. Hanya data-data mengenai akibat yang didapatkan,

sebagaimana juga telah dilansir di beberapa media, dan ini salah satunya yang

senantiasa direproduksi media.

Sebagai konsekuensi dari berbagai cerita yang turun temurun itulah

kemudian warga Kasuran memilih tidak menggunakan kasur kapuk sebagai alas

tidur. Padahal kisah ini jika ditilik dari hasil wawancara dengan Wartilah, pesan

Sunan Kalijaga yang dituliskan dalam pendahuluan di atas berawal dari cerita

turun temurun bahwa pada suatu hari Sunan Kalijaga pada zaman kerajaan Demak

mampir ke daerah Grogol yang berdekatan dengan Kasuran. Dia hendak shalat

dhuhur dan mencari air untuk berwudhu, namun dia tidak menemukan air.

Akhirnya Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya sehingga keluar mata air yang

dinamakan Tuksibeduk. Setelah shalat, dia merasa lelah kemudian mampir ke

dusun Kasuran. Di sana dia meminta sesepuh dusun Kasuran, Kyai dan Nyai

2
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Kasur menyediakan kasur untuk beristirahat. Setelah segar kembali, Sunan

berpesan kepada Kyai dan Nyai Kasur agar warganya tidak bermalas-malasan,

apalagi tidur di kasur. Dia berkata: “anak cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh

tidur di kasur apabila kesaktiannya sudah sepadan atau melebihi saya.”

Kasur pada zaman dahulu merupakan salah satu simbol kemewahan,

kecukupan material, dan bermalas-malasan. Kasur merupakan salah satu simbol

kepemilikan modal ekonomi pada waktu itu yang bila salah satu penduduknya

punya kasur berarti dia hidup dalam kecukupan. Di sini tampak bahwa kata “anak

cucu saya jangan tidur di kasur. Boleh tidur di kasur apabila kesaktiannya sudah

sepadan atau melebihi saya” dimaknai secara literal, tanpa menangkap semangat

pada makna tersebut yang menurut sebagian penduduk adalah tidak bolehnya

bermalas-malasan.

Walhasil, ucapan Sunan Kalijaga yang telah diterima secara turun temurun

ini memiliki implikasi yang serius, bahwa tidak ada satupun diantara dua dusun

ini yang menggunakan kasur kapuk! Hal ini disebabkan mereka takut akan

tertimpa musibah dan tidur di atas kasur menjadi suatu fenomena yang tidak wajar

pada mereka. Saat ini mereka lebih nyaman tidur dengan menggunakan tikar di

atas amben mereka.

Di sini tampak bahwa ucapan Sunan Kalijaga betul-betul dipegang teguh

oleh seluruh warga Kasuran. Dawuh Sunan Kalijaga menjadi folklore yang

menjadi kebudayaan kolektif, tersebar, dan diwariskan secara turun temurun baik

secara lisan maupun praktek. Ucapan itu kemudian menjadi shared knowledge

yang dipegang oleh masyarakat Kasuran. Dua diantara empat fungsi folklore

3
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

adalah sebagai alat pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya

norma masyarakat dan pengendalian masyarakat. (Dananjaya, 2002).

Praktik tidur tanpa kasur sebagai praktik bisa dilihat melalui teori habitus

Bourdieu. Hal ini karena apa yang disebut habitus selalu melibatkan praktik dan

struktur masyarakat. Itulah mengapa praktik tidur tanpa kasur bisa dilihat dalam

hubungan dengan struktur sosial masyarakat Kasuran, kultural, religius

masyarakat Kasuran.

Dusun Kasuran merefleksikan sebuah tatanan sosial yang terstrukturasi oleh

berbagai modal dan kekuasaan. Keduanya saling berdialektika dan membentuk

praktik-praktik tertentu yang terus diproduksi oleh masyakarat di dalamnya.

Praktik yang hendak dibahas di sini adalah tidur tanpa kasur yang dalam beberapa

hal sangat relevan jika dianalisis dengan gagasan-gagasan Bourdieu tentang kuasa

simbolik, habitus, modal, dan ranah. Keberadaan elit-elit mulai dari tokoh agama,

dukuh setidaknya menunjukkan hal ini. Dengan bekal modal yang mereka punyai,

baik sosial maupun kultural, mereka meneguhkan posisi-posisi mereka demi

kepentingan tertentu.

Kategori-kategori ini saling berpengaruh satu sama lain dalam

merepresentasikan suatu struktur sosio-kultural tertentu yang terbentuk oleh agen-

agen yang berkepentingan di dalamnya. Ranah dipahami sebagai ruang di mana

berbagai kekuatan dan potensi berjuang mendapatkan posisi-posisi demi

keeksisan dan situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi

sosial yang objektif (Bourdieu & Wacquant, 1992: 97, Johnson, 2010: xviii).

Ranah yang paling menonjol di dalam masyarakat Kasuran adalah ranah agama,

4
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ranah kultural, dan ranah politik. Ranah agama, misalnya, ditunjukkan oleh

mayoritas penduduk Kasuran yang beragama Islam tradisional, dengan

memosisikan Sunan Kalijaga sebagai salah satu panutan mereka dalam bertindak

dan berperilaku. Dalam ranah kultural, ucapan Sunan Kalijaga terbukti memiliki

pengaruh kuat terhadap masyarakat Kasuran, karena ucapan itu tak hanya

dipercaya, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Meminjam

istilah Lévi Strauss, ucapan itu telah menjadi semacam “mitologi” yang

diproduksi dan terus diproduksi kembali dalam ranah kultural masyarakat

Kasuran. Sementara itu, kehidupan politik (dan kultural) masih berpusat pada

kepala Dukuh, yang memberinya posisi signifikan dalam membentuk semacam

institusi pengetahuan tentang “tidak boleh tidur di atas kasur.”

Habitus dipahami sebagai “logika permainan”, “rasa praktis” yang

mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik

dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan

sekadar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus merupakan kondisi internal

dan dapat menjadi semacam blue print bagi seseorang atau semacam “skenario

yang telah ditentukan” bagi kebiasaan hidup, bahkan karier sosial, jika tidak

terdapat kondisi eksternal yang berpengaruh dan dapat mengubah skenario.

(Bourdieu, 1990a: 53)

Ada beberapa tokoh yang habitusnya sangat kentara terlihat dalam

masyarakat Kasuran. Salah satunya adalah kepala dukuh. Ia berkumpul dengan

keluarga yang mempercayai ucapan Sunan Kalijaga sebagai sesuatu yang final

dan absolut. Ia juga dibiasakan untuk tidak tidur di atas kasur. Hingga saat dewasa

5
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dan kini menjadi kepala dukuh, ia seolah memiliki kekuatan, tidak hanya secara

politis, tetapi juga secara alamiah untuk mempercayai sekaligus menginduksikan

ucapan Sunan Kalijaga sebagai suatu “skenario kultural” yang wajib dijalankan

oleh masyarakat Kasuran.

Tidak hanya itu, fakta bahwa kepala dukuh sebagai agen penting dalam

masyarakat Kasuran yang memiliki modal dan habitus yang memadai untuk

menyebarkan “mitologi” itu, maka ia pun juga akan memperjuangkan posisi-

posisi tertentu demi tujuan terentu pula. Tujuan strategi dan perjuangan menurut

Bourdieu (1987) terbagi menjadi beberapa hal. Di antaranya adalah strategi yang

dilakukan demi kebutuhan pengakuan dan strategi sebagai produk ‘intuitif

pengetahuan yang dimiliki seseorang.’

Salah satu teori Bourdieu adalah pada doxa. Doxa dipahami sebagai

hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara habitus dan ranah,

sehingga ia diterima begitu saja sebagai satu kesadaran praktis. Jika praktik tidur

tanpa kasur dianggap sebagai doxa maka hal ini tidak terlalu bekerja pada

masyarakat yang menggunakan kasur spon sebagai gantinya. Artinya, terjadi

suatu proses kontinuitas dan diskontinuitas, negosiasi, dan resistensi terhadap

doxa itu sendiri di dusun Kasuran.

Yang tak kalah penting pula adalah konsep Bourdieu tentang

misrecognition. Misrecognition dipahami sebagai suatu kondisi ketika subjek

tidak sadar secara ideologis, semacam kondisi faktis ketika mereka

mempraktikkan tidur tanpa kasur, seolah-olah sebagai sesuatu yang given.

Padahal dalam kenyataannya ada suatu proses yang memungkinkan

6
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

misrecognition itu tidak bekerja dengan baik. Hal ini terlihat, misalnya, ketika

terjadi transfer modal dalam arena yang berbeda, yakni media massa. Media telah

menciptakan arena tersendiri dalam mereproduksi modal tidur tanpa kasur di luar

dusun Kasuran. Salah satu contohnya adalah bahwa praktik tidur tanpa kasur pada

awalnya merupakan satu praktik yang berjalan dan dipraktikkan oleh masyarakat

Kasuran. Praktik ini berjalan lama sebagaimana halnya kebiasaan masyarakat

Kasuran minum the di pagi hari. tidak ada yang mempertanyakannya. Hal ini

kemudian menjadi wacana yang diperdebatkan ketika praktik ini masuk dan

diliput oleh media massa, baik offline maupun online.

Pada problem yang lebih mendasar, praktik tidur tanpa kasur juga memberi

evaluasi kritis terhadap Bourdieu untuk melakukan rehabilitasi teoritis terhadap

modal religius yang cenderung institusional. Artinya, modal religius hanya dilihat

kemungkinannya bekerja pada orang-orang yang memiliki posisi di lembaga-

lembaga keagamaan tertentu, seperti NU dan Muhammadiyah di dusun Kasuran.

Sementara itu mereka yang tidak memiliki posisi-posisi strategis di lembaga

religius kurang dianggap memiliki kemampuan untuk mereproduksi disposisi atau

selera. Padahal, banyak masyarakat yang awam yang juga memiliki opini

tersendiri tentang tidur tanpa kasur.

Jadi, masalah yang ingin dibidik oleh studi ini menyangkut tiga hal:

pertama, asal usul tidur tanpa kasur lahir sejak awal kemunculannya sebagai

praktik mitologis. Bagaimana praktik ini berjalan diproduksi dan direproduksi

secara terus menerus oleh para agen, apa tujuan-tujuan dari para agen ini tetap

melakukan reproduksi terhadap praktik ini; kedua, praktik tidur tanpa kasur itu

7
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sendiri dilihat dari perspektif ‘habitusnya’ Bourdieu. Bagaimana sebenarnya

praktik ini mempengaruhi struktur dan cara berpikir masyarakat Kasuran dan

bagaimana hal ini menjadi bagian dari pola hidup masyarakat Kasuran; ketiga,

teori Bourdieu yang lahir pada konteks masyarakat Prancis tidak seluruhnya bisa

menelaah fenomena tidur tanpa kasur di dusun Kasuran sehingga dibutuhkan

telaah kritis terhadap teori Bourdieu itu sendiri, baik secara teoritis maupun

praktis.

B. Rumusan Masalah

Pertama, Bagaimana asal usul praktik tidur tanpa kasur sebagai praktik

(mitologis) di dusun Kasuran? Kedua, bagaimana praktik tidur tanpa kasur

dipahami dalam konstruksi pemikiran Bourdieu tentang habitus? Ketiga,

bagaimana praktik tidur tanpa kasur memperlihatkan beberapa kontradiksi internal

dan eksternal dalam teori Bourdieu?

C. Signifikansi Penelitian

Penulis berpendapat bahwa penelitian ini penting dan layak dilakukan

sebagai penelitian akhir disertasi dilihat dari beberapa hal.

1) Dari segi lapangan penelitian. Pertama, bahwa dusun Kasuran merupakan

salah satu dusun paling unik dimana penduduknya tidak ada yang menggunakan

kasur sebagai alas tidur. Kedua, Dusun Kasuran dihuni oleh penduduk yang

memiliki latar belakang agama yang berbeda, Hindu, Kristen, Islam (NU-MD)

sehingga akan menarik bila diteliti mengenai bagaimana pandangan agama-agama

mengenai hal ini, dan bagaimana pula misalnya Islam baik yang NU ataupun

8
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Muhammadiyah bergelayut antara memegang praktik (mitos) tersebut dan tetap

percaya akan takdir tuhan. Ketiga, pemaknaan literal terhadap teks “jangan tidur

di atas kasur” dengan maksud benar-benar tidak tidur di atas kasur, bukan

bermakna jangan bermalas-malasan. Keempat, terdapatnya bentuk modifikasi atau

rekayasa mengenai makna kasur. Bagi sebagian penduduk Kasuran terdapat

pandangan bahwa Kasur yang dimaksudkan oleh sunan Kalijaga adalah kasur

yang terbuat dari kapuk. Sebagian warga Kasuran menggunakan springbed atau

kasur busa karena yang dimaksudkan dulu oleh Sunan Kalijaga adalah kasur

kapuk. Penelitian ini juga hendak melakukan eksplorasi atas berbagai ragam asal-

usul cerita praktik tidur tanpa kasur ini yang dalam realitasnya memiliki beberapa

alur sumber cerita. Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah mengumpulkan

beragam sumber mengenai asal-usul praktik tidur tanpa kasur di dusun Kasuran

ini.

2) Dari segi teoretis, penelitian ini menarik, bukan saja karena ia

menunjukkan bagaimana kuasa simbolik-nya Bourdieu bekerja di Dusun Kasuran,

melainkan juga karena ia menemukan sejumlah fakta yang sekaligus dapat

menguji pemikiran Bourdieu secara kritis pada level-level praktis tertentu.

Penelitian ini berusaha, pertama-tama, mengidentifikasi beberapa konsep

Bourdieu, seperti doxa, misrecognition, habitus, dan hexis, lalu berusaha menarik

adanya beberapa kemungkinan praksis yang bisa menjadi “varian lain” dalam

gagasan tersebut. Dengan demikian, riset ini bekerja dalam dua level secara

bertahap, yakni mengelaborasi gagasan Bourdieu di satu sisi, lalu melakukan

telaah kritis terhadap gagasan-gagasan tersebut di lapangan di sisi yang lain.

9
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tujuan dari disertasi ini bukanlah untuk mendekonstruksi Bourdieu, namun justru

melengkapinya dengan mencoba melihat beberapa celah-celah kajian yang

tampak luput jika dibaca dengan teori Bourdieu.

3) Di samping itu, penelitian ini juga menyempurnakan beberapa teori

Bourdieu yang pernah digunakan sebelumnya. Misalnya, studi ini bisa

melengkapi asumsi teoretisnya Mukhtasyar Syamsuddin (2011) mengenai

“habitus” dalam konteks filsafat kebudayaan dengan mengujinya di level praktis

masyarakat. Jika Syamsuddin melihat habitus melalui teori filsafat kebudayaan,

penelitian ini justru hendak menelaahnya melalui praktik kultural yang sifatnya

inter-religious. Dalam level praktis, sebagaimana yang nantinya akan

ditunjukkan, seringkali dijumpai pengecualian-pengecualian yang tak bisa

terbantahkan sehingga memungkinkan adanya dialektika yang lebih serius antara

habitus Bourdieu dan aplikabilitasnya di lapangan. Selain itu, penelitian ini juga

bisa menjadi kajian kritis lebih jauh bagi proses konstruksi wacana, sebagaimana

yang pernah diteliti oleh Dwi Aji Budiman (2009) di level media massa, dengan

menambahkan faktor mitologis di dalamnya. Dengan menjadikan pertarungan

simbolik Bourdieu sebagai perangkat analisis, konstruksi wacana akan

memperlihatkan dinamikanya yang lebih kompleks dan inhern dalam suatu

masyarakat. Wacana pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan soal kekuasaan

dalam linguistikalitas tanda-tanda, tetapi juga dominasi simbolik dalam mitologi

tertentu yang berpengaruh terhadap praktik-praktik sosial masyarakat yang

bersangkutan.

10
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4) Bagi masyarakat secara umum, penelitian ini berguna untuk

memperlihatkan gejala-gejala kultural terkait dengan bagaimana praktik itu

bekerja, tidak saja di level kepercayaan, tetapi juga di level praktik. Fenomena

masyarakat Kasuran merupakan contoh dinamika yang unik dari sistem sosial

yang seolah-olah ‘tunduk’ pada sistem -mitologis secara turun-temurun.

Sedangkan bagi penduduk Kasuran, studi ini tidak saja menyajikan informasi

yang lebih dalam mengenai tradisi turun-temurun tersebut sebagaimana yang

sudah banyak ditampilkan di media massa elektronik maupun audiovisual. Lebih

jauh dari itu, penelitian ini justru ingin mengemas informasi itu lebih sistematis

sehingga memungkinkan masyarakat Kasuran untuk merenungkannya kembali

secara kritis di level kesadaran kolektif mereka. Alih-alih merusak tradisi

Kasuran, penelitian ini justru ingin memperlihatkan “sisi lain” yang mungkin

selama ini luput dari pandangan umum mereka, bahwa ada struktur-dalam yang

bekerja di belakang tradisi tersebut hingga ia bisa terus berlangsung hingga saat

ini.

D. Kerangka Teoretik

Kasuran merupakan lapangan penelitian yang menjadi fokus dari disertasi

ini. Setidaknya penelitian ini akan dimulai dari bagaimana masyarakat Kasuran

memandang dan memaknai ucapan Sunan Kalijaga di atas. Kemudian bagaimana

masyarakat Kasuran yang terdiri dari berbagai agama dan ormas ini memaknainya

dan bagaimana pula pertarungan simbolik yang terjadi didalamnya. Pemaknaan

literal atas kasur sangat berpengaruh pada masalah ini sehingga sebagian

masyarakat mencoba memberikan alternatif lain, yakni kasur spon atau springbed

11
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sebagai bentuk modifikasi dan rekayasa. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa

terdapat beberapa hal yang akan penulis analisis dan sekaligus nantinya akan

menunjukkan beberapa kelemahan mendasar dari teori Bourdieu.

1. Habitus: Antara Praktik dan Mekanisme Defensif

Kembali kepada masalah habitus, Bourdieu (1990a:53) mendefinisikannya

sebagai ‘systems of durable, transposable dispositions.... which generate and

organize practices.’ Suatu skema, sistem yang tahan lama, kecenderungan yang

dapat berpindah dan dapat menghasilkan dan mengatur suatu praktik. Secara

umum habitus ini dapat diberikan karakteristik berikut ini: habitus membentuk

pandangan dunia kita, kepercayaan dan nilai-nilai; kecenderungan-kecenderungan

kita atas praktik dan nilai-nilai tertentu dipengaruhi oleh budaya trajektoris kita;

habitus itu bersifat tahan lama dan dapat berpindah; habitus itu arbitrer dan tidak

seluruhnya disadari. (Webb, Schirato, Danaher, 2002:38)

Lalu bagaimana sebuah tuturan Sunan Kalijaga di atas secara perlahan-

lahan menjelma menjadi sebuah folklore, mitos, lalu menjadi satu praktik

kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Kasuran? Ini menjadi satu hal yang

menarik bagi penulis untuk mengkajinya. Pertama-tama kita perlu mengkaji apa

itu mitos. Mitos merupakan satu cerita, asal-usul, bahkan keyakinan yang

keberadaannya satu paket dengan berbagai pandangan yang tidak boleh dilanggar.

Mitos seringkali dianggap sebagai cerita yang ‘aneh’ yang sulit kita pahami

maknanya atau sulit diterima kebenarannya karena kisah didalamnya seringkali

irasional, tidak masuk akal bahkan tidak sesuai dengan yang kita alami dalam

kehidupan sehari-hari. (Telaumbanua, 287) Tidak jarang pada batas-batas tertentu,

12
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mitos seringkali bertentangan dengan agama, meskipun di dalam agama juga tidak

kalah banyak mitos-mitosnya.

Secara sederhana, persebaran sebuah mitos pada awalnya dimulai dari

sebuah perkataan seseorang yang kemudian didengar oleh orang lain lalu

diceritakan kepada yang lainnya, dan terus menerus direproduksi. Perkataan ini

biasanya mengandung suatu cerita aneh atau pengalaman aneh. Misalnya

seseorang (sebutlah si A) pernah mendengar suara rintihan bayi di belakang

rumahnya ketika dini hari. Hal ini kemudian diceritakan kepada orang lain, dan

orang tersebut kemudian menceritakan kepada yang lainnya sehingga menjadi

cerita umum dan katakanlah shared knowledge di kampungnya. Sehingga orang

yang melewati belakang rumah si A dia menjadi agak merinding atau minimal

ingat cerita orang-orang mengenai rintihan bayi tersebut. Lama kelamaan, karena

terus-menerus direproduksi ia menjadi sebuah mitos, bahkan pada saat-saat

tertentu kebenarannya semakin diyakini bila ada orang lain yang pernah

mendengarnya pula. Perlahan-lahan hal ini menjadi suatu kebenaran dan menjadi

habitus bagi penduduk setempat bahwa ada suara rintihan bayi bila melewati

belakang rumah si A. Hal ini kemudian mengendap dalam alam bawah sadar

masyarakat setempat. Pada gilirannya, habitus tersebut berada dalam alam bawah

sadar manusia.

Yasraf (2003:137) menyatakan bahwa mitos dipandang sebagai keyakinan

kolektif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tapi diterima secara tidak

kritis dan digunakan sebagai justifikasi lembaga sosial. Menurutnya, mitos adalah

sudut pandang kita dalam melihat sebuah permasalahan. Mitos menata persepsi

13
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kita. Mitos mendorong kita untuk bertindak dengan cara tertentu, bukan cara yang

lain. mitos membentuk kebiasaan mental kolektif (collective mindset).

Bagaimana menghubungkan mitos dengan habitus? Bourdieu menyatakan

bahwa bahasa merupakan satu elemen intrinsik dalam perjuangan kompetitif atas

pemakaian kebudayaan dan proses reproduksi budaya yang memberikan

kontribusi penting pada tatanan yang ada. (Jenkins, 2010:243) Pandangan ini,

kemungkinan besar didasari atas titik tolak pandangan Bourdieu pada masalah

kebudayaan. Mitos itu hadir dalam bentuk tuturan atau menggunakan bahasa

sebagai alat komunikasi, mitos juga hadir dalam sebuah kebudayaan tertentu.

Sesuatu disebut mitos karena ia pada dasarnya adalah sebuah peristiwa ‘aneh’

yang terjadi dan secara terus-menerus diwacanakan melalui bahasa. Hal ini

kemudian menjadi satu budaya, yang tentunya, bahasa melibatkan sisi budaya

manusianya termasuk budaya pikirnya. Hal ini kemudian menjadi sebuah habitus

seperti yang dikatakan Bourdieu dalam Richard Jenkins (237-8) bahwa terdapat

habitus linguistik yang meliputi kecenderungan budaya untuk mengatakan hal-hal

tertentu, suatu kompetensi linguistik yang spesifik, dan kapasitas sosial untuk

menggunakan kompetensi itu secara tepat. Selain itu, terdapat pula didalamnya

pasar linguistik yang berbentuk sanksi dan sensor, dan mendefenisikan apa yang

tidak boleh dikatakan dan apa yang boleh dikatakan. Mengatakan bahwa tuturan

Sunan Kalijaga itu sama sekali tidak benar merupakan satu bentuk pamali atau

pantangan bagi masyarakat Kasuran. Mengatakan tuturan itu sebagai tidak benar

berarti dia (warga) menentang dan akan memiliki konsekuensi-konsekuensi

lanjutan, misalnya sakit yang tak kunjung sembuh bahkan meninggal dunia.

14
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Meski demikian, kuasa simbolik ternyata tidak hanya bekerja melalui

habitus sosial masyarakat, tetapi juga melalui mekanisme defensif terhadap mitos

tersebut. Bourdieu menganggap bahwa kuasa simbolik merupakan kuasa turunan

yang dialihrupakan dan dilegitimasi oleh kuasa-kuasa lain sehingga ia mampu

menstruktur realitas sebagai sesuatu yang absah, alamiah, dan terberi. Akan tetapi,

problemnya adalah bahwa dalam merespons ucapan Sunan Kalijaga tentang kasur

itu, masyarakat Kasuran tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur habitus

sosialnya. Mereka tidak secara otomatis menganggap ‘larangan tidur di atas

kasur’ sebagai sesuatu yang alamiah, tetapi ada proses pertarungan makna yang

dapat memungkinkan mereka menuju ke arah itu. Sebagaimana Bourdieu

jelaskan, dalam masyarakat maju, prinsip dominasi telah bergeser dari pemaksaan

lahir yang cenderung menggunakan cara-cara pemaksaan fisik, menjadi bentuk-

bentuk manipulasi simbolis. (Swartz, 1997: 82).

Proses pertarungan itu tidak selalu berkaitan dengan kuasa eksternal dan

internal dalam simbol ‘kasur’ tersebut yang diciptakan oleh para agen (kepala

dusun, kesadaran kolektif masyarakat, atau pemegang kekuasaan tertentu), tetapi

juga pertarungan dualistik antara ketakutan pribadinya terhadap hukuman

pelanggaran dan ketaatan mereka pada Sunan Kalijaga. Di sini, tidak semua

masyarakat yang tidak tidur di atas kasur mendasarkan alasannya karena patuh

terhadap ucapan Sunan Kalijaga. Sebagian di antara mereka, pertama-tama,

mematuhi tradisi tersebut karena khawatir terhadap konsekuensi kultural jika

melanggarnya. Kondisi inilah yang sekaligus menjadi varian lain dalam

konstruksi kuasa simbolik Bourdieu, bahwa kuasa simbolik ternyata tidak hanya

15
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

muncul karena adanya kesalah-pengenalan terhadap dasar kekuasaan yang

sebenarnya, tetapi oleh sebagian masyarakat juga disebabkan oleh—apa yang

disebut Freud sebagai—‘mekanisme defensif’ (defensive mechanism) masyarakat

terhadap simbol-simbol mitologis semacam itu. Singkatnya, sebagian dari mereka

tidak tidur di atas kasur bukan karena mengikuti tradisi sosial, bukan pula karena

kepatuhannya yang fanatik terhadap Sunan Kalijaga, tetapi karena ketakutannya

terhadap konsekuensi-konsekuensi kultural jika melanggar tradisi itu, dan

konsekuensi-konsekuensi ini—sebagaimana yang telah ditunjukkan di depan—

benar-benar dirasakan sebagai suatu keniscayaan. Atau dengan bahasa lain, kuasa

simbolik bisa dikatakan sebagai kekuatan magis untuk membuat individu,

kelompok, atau masyarakat agar patuh dengan mobilisasi tata simbol. Dan saat

orang yang didominasi menerima begitu saja dan tidak menyadari pemaksaan

yang ditanamkan lewat simbol-simbol, maka pada saat itulah praktik kuasa

simbolik bekerja. (Fasri, 2014: 122)

2. Modal

Bagi Bourdieu, modal di sini tidak bisa dihubungkan oleh seperangkat

materi semata. Modal, baginya, bisa berupa kultural, sosial, simbolis, dan

ekonomis (Bourdieu, 1986: 65). Bentuk-bentuk modal ini sangat penting dalam

ranah sosial, dan dapat terakumulasi dan berpindah dari satu arena ke arena yang

lain. Modal kultural, dalam teori Bourdieu, menempati posisi signifikan dalam

relasi kekuasaan sosial, karena ia menyediakan sejenis strategi dominasi dan

hierarki non-ekonomi terhadap kelas-kelas dalam tatanan sosial. Modal kultural

bisa berupa kompetensi, skill, dan kualifikasi yang memungkinkan para agen

16
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dominan untuk memobilisasi otoritas kultural dan dapat menjadi sumber salah-

pengenalan dan kekerasan simbolik.

Modal kultural ini juga turut berpengaruh terhadap penciptaan modal

simbolik yang dimiliki oleh para agen. Para pemegang modal simbolik bisa

memengaruhi para agen lain yang tidak memiliki modal ini, mendiseminasikan

nilai-nilai sosial, yang diharapkan bisa menjadi habitus yang tanpa disadari oleh

mereka. Dalam proses transformasi dan pengalihrupaan inilah, kekerasan simbolik

bekerja secara diam-diam. Karena berada dalam sebuah arena yang di dalamnya

para agen saling berdialektika membentuk habitus, kekerasan itu tidak lagi

dirasakan sebagai sebuah ‘kekerasan’, melainkan sebagai praktik kultural yang

given.

3. Field (Arena)

Berbicara mengenai gagasan-gagasan Bourdieu tentu tidak bisa

mengesampingkan pemikirannya mengenai field (ranah, arena). Karena pada field,

perebutan untuk memperoleh sumberdaya itu berlangsung. Bourdieu

mendefinisikan field sebagai

“a network, or configuration, of objective relations between positions.


These positions are objectively defined, in their existence and in the
determinations they impose upon their occupants, agents, or institutions,
byy their present and potential situation in the structure of the distribution
of species of power (or capital) whose possession commands access to the
spesific profits that are at stake in the field, as well as by their objective
relation to other positions (domination, subordination, homology, etc.”
(Bourdieu & Wacquant, 1992: 97)

Menurut Fashri (2014:109), di satu sisi, masyarakat dibentuk oleh

perbedaan distribusi dan penguasaan modal. Namun di sisi lain, para individu ini

berjuang memperbesar modal mereka. Sehingga hanya melalui field yang

17
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

didalamnya terjadi apa yang disebut Bourdie sebagai field of struggle ditambah

modal, Bourdieu hendak menampilkan sosiologi kritisnya bahwa di suatu

masyarakat selalu ada praktik dominasi antara yang mendominasi dan yang

didominasi. Artinya, di masyarakat Kasuran, banyak agen yang bermain dengan

melakukan produksi dan reproduksi praktik tidur tanpa kasur ini untuk berbagai

kepentingan masing-masing agen.

4. Doxa dan Rekayasa

Bourdieu memandang arena sebagai field of struggle. Para aktor akan

berjuang dengan berbagai strategi untuk meningkatkan posisi mereka. Doxa

merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses

pemikiran, dianggap sebagai terbukti secara universal, yang memberikan

informasi tindakan dan pemikiran agen di dalam ranah tertentu. Doxa cenderung

memihak atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan

perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan mereka

sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.

Secara lebih khas, Bourdieu menyatakan bahwa doxa adalah hubungan ketaatan

langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia

disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang terjadi secara praverbal

yang berasal dari rasa praktis. (Bourdieu, 1992:66-68). Heterodoksi dan ortodoksi

memiliki andil (share) pada doxa. Doxa itu merepresentasikan common ground

dan nilai bersama yang tidak menjadi perdebatan dalam dunia opini. Memang

dalam berbagai konteks, doxa merepresentasikan ketiadaan opini yang

diperdebatkan pada masa lalu—ortodoksi hari ini keesokan harinya menjadi doxa.

18
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(Bourdieu, 1998b:56-57). Secara harfiah, ortodoksi adalah ajaran atau dogma

yang benar, berasal dari kata Yunani “orthodoxos”. “Orthos” artinya lurus atau

lempang. “Doxa” artinya pendapat atau dogma. Lawan dari ortodoksi adalah

heterodoksi, yakni pendapat atau dogma “lain” (hetero) yang dianggap

menyimpang dari ajaran yang benar dan lempang.

Akan tetapi, semesta wacana tidur tanpa kasur di dusun Kasuran tidak

selamanya merupakan doxa, tidak pula merupakan heterodoksi. Meskipun tidur

tanpa kasur lebih dominan (sebagai doxa) dalam masyarakat, tidak ada dogma lain

(sebagai heterdoksi) yang bekerja untuk melawan doxa tersebut. Artinya, tidak

terlihat usaha-usaha melakukan counter opini terhadap doxa yang disebut dengan

heterodoksi. Dalam titik persingungan ini, terdapat sebuah realitas yang mungkin

diabaikan oleh Bourdieu. Di sini, peneliti lebih memilih menyebutnya sebagai

“rekayasa”. Dalam konteks masyarakat Kasuran, modifikasi itu terlihat dari

bagaimana masyarakat Kasuran menggunakan kasur springbed atau kasur spon

sebagai alas tidur mereka. Dengan menggunakan kedua jenis kasur ini, di satu sisi

mereka tetap melaksanakan doxa (tidak tidur di atas kasur kapuk), tapi di sisi lain

mereka pun tidak benar-benar melakukan heterodoksi (menggunakan kasur

kapuk). Lebih dari itu, mereka berusaha melakukan “rekayasa” terhadap keduanya

dengan mencari “skenario aman”, yakni menggunakan kasur spon dan springbed.

Dinamika semacam inilah yang hendak dieksplorasi lebih jauh dalam

penelitian ini. Kelemahan Bourdieu utamanya terletak dalam pembagiannya yang

cenderung binerian antara “doxa” dan “heterodoksi”. Ia sedikit mengabaikan

“fakta marginal” yang mungkin melampaui oposisi biner semacam itu. Realitas

19
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sosial, bagaimanapun, merupakan sebuah struktur yang tidak selamanya stabil. Ia

bisa menampilkan sebuah gambaran besar tentang tatanan masyarakat tertentu,

tapi ia juga bisa memperlihatkan struktur lain yang bekerja di balik tatanan

tersebut, suatu struktur yang bisa memperkaya (atau melemahkan?) tatanan itu

dari dalam.

5. Hexis dan Resistensi

Sebagaimana disebutkan bahwa habitus merupakan seperangkat disposisi

yang mengarahkan agen untuk cenderung bertindak dengan cara tertentu.

Disposisi ini memunculkan praktik, persepsi, dan sikap-sikap yang berjalan secara

reguler, tanpa disadari dan tanpa merasa dibimbing oleh suatu aturan sadar

tertentu. Habitus mengarahkan anggota masyarakat untuk berinteraksi dengan cara

konsisten dengan norma sosial yang berlaku dari kelompok mereka. Yang

termasuk disposisi adalah posture, pidato gaya, cara makan, cara bergerak,

konsepsi-konsepsi ruang pribadi, kecenderungan terhadap cara berpikir dan

perasaan tertentu. Bourdieu berpendapat bahwa disposisi ini terjadi pada alam

bawah sadar. Bourdieu menegaskan bahwa tubuh merupakan “site of incorporated

history”. Selanjutnya dia menyatakan bahwa “Bodily hexis is political mythology

realised, embodied, turned into a permanent disposition, a durable manner of

standing, speaking and thereby of feeling and thinking.” (Bourdieu, 1977:93-94)

Hexis merupakan bahasa latin dari habitus, dan Bourdieu secara umum

menyadur konsep hexis yang dikemukakan oleh Aristoteles. Bagi Bourdie, hexis

diartikan sebagai sebuah sikap, cara, dan bentuk gaya (Jenkins, 1992:45; Takwin,

2006:40-1)

20
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Akan tetapi, konsep gerakan tubuh yang terjadi tanpa dipikirkan lagi, yang

oleh Bourdieu diistilahkan dengan hexis sebagai salah satu produk habitus, pada

hakikatnya mengalami ketegangan simboliknya tersendiri yang sulit dipersepsikan

sebagai suatu kreasi sosial tertentu. Dalam hal ini, penelitian ini hendak

menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat Kasuran memikirkan secara i-

rasional ucapan Sunan Kalijaga tentang ‘kasur’ itu. Jika masyarakat Kasuran

direpresentasikan sebagai suatu kelas habitus, yang di dalamnya terdapat hexis

yang selalu bekerja secara sosial, hal ini justru terbantahkan dengan adanya

sekelompok masyarakat di Kasuran yang ternyata tetap menggunakan kasur

kapuk di luar Dusun Kasuran.

Mereka sadar (recognize) bahwa kasur benar-benar memiliki makna

simbolik yang khas di wilayah Kasuran, tapi hal ini tidak lantas membuat mereka

tidak-sadar (misrecognize) atau merasa dialihrupakan oleh simbol itu di luar

wilayah mereka. Singkatnya, perilaku mereka untuk ‘tidak menggunakan kasur’

tidak sepenuhnya memenuhi kriteria konseptual sebagai hexis (suatu produk

habitus yang oleh Bourdieu diartikan sebagai gerakan tubuh yang terjadi tanpa

dipikirkan lagi, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dalam melakukannya

orang tidak perlu lagi memikirkan rasionalitas tindakan tersebut). Di luar wilayah

Kasuran, mereka nyatanya masih ‘mempertanyakan’ sakralitas kasur dengan cara

menggunakannya sebagai alas tidur mereka. Jika demikian ihwalnya, fenomena

ini berarti tidak hanya melibatkan persoalan rekayasa (sebagaimana yang

disebutkan di atas), tetapi juga semacam ‘resistensi’ terhadap kuasa simbolik itu

sendiri. Lagi-lagi, inilah kemungkinan yang tidak ditangkap secara utuh oleh

21
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bourdieu. Jika memang kuasa simbolik diyakini mengakar dalam diri individu

melalui habitus sosial mereka, masihkah tersisa ruang bagi resistensi dan

perubahan? Fenomena masyarakat Kasuran menunjukkan bahwa ruang resistensi

itu pada kenyataannya masih ada.

6. Misrecognition dan Kesadaran Kognitif

Bourdieu juga menggunakan istilah misrecognition (salah pengenalan),

yang mirip dengan gagasan Marxian tentang false consciousness (kesadaran

palsu) (Gaventa, 2003: 6), tetapi bekerja pada level terdalam yang melampaui

segala kehendak manipulasi sadar oleh seseorang atau sekelompok masyarakat.

Tidak seperti pandangan Marxian, misrecognition lebih merupakan fenomena

kultural daripada ideologis, karena ia

embodies a set of active social processes that anchor taken-for-granted


assumptions into the realm of social life and, crucially, they are born in
the midst of culture. All forms of power require legitimacy and culture is
the battleground where this conformity is disputed and eventually
materialises amongst agents, thus creating social differences and unequal
structures (Navarro 2006: 19)

Secara kultural, “salah-pengenalan” menjelma praktik-praktik sosial yang

diterima secara taken for granted dalam tatanan kehidupan sosial. Tentu saja,

salah-pengenalan ini dihasilkan melalui berbagai strategi untuk mendapatkan

legitimasi dan pengakuan dari masyarakat sekitar. Agen dominan di sini berperan

penting dalam pembentukan salah-pengenalan tersebut. Ia akan turut membentuk

sebuah kehidupan kultural yang di dalamnya praktik-praktik dan nilai-nilai suatu

kelompok masyarakat terstruktur dalam proses konformitas yang terus menerus.

22
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Jika meminjam gagasan Anthony Giddens, “salah-pengenalan”-nya

Bourdieu tampaknya paralel dengan “kesadaran praktis” (practical

consciousness). Bagi Giddens, agen dianggap memiliki pengetahuan tentang

sebagian besar tindakannya, dan pengetahuan ini diekspresikan sebagai kesadaran

praktis. Hampir semua rutinitas hidup personal atau sosial terbentuk melalui

kinerja gugus kesadaran praktis ini (Priyono, 2002:29). Seseorang hampir tak

pernah mempertanyakan mengapa ia harus berhenti di lampu merah, tidak riuh di

tempat ibadah, dan sebagainya. Tampaknya, “salah-pengenalan”-nya Bourdieu

berada dalam level kesadaran praktis, di mana masyarakat Kasuran seharusnya

tidak mempertanyakan kembali apa yang sudah taken for granted dalam

kehidupannya.

Akan tetapi, tepat di titik inilah sebenarnya Bourdieu mengabaikan satu

kesadaran penting yang sebenarnya dibahas lebih lanjut oleh Giddens, yakni

kesadaran kognitif. Kesadaran diskursif dipahami sebagai serangkaian kapasitas

pengetahuan yang kita miliki dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan

rinci serta eksplisit mengenai tindakan yang kita lakukan (Priyono, 2002:28).

Selain memungkinkan agen untuk menformulasikan penjelasan, kesadaran

diskursif juga memberi kesempatan pada agen untuk mengubah pola tindakannya.

Dalam konteks masyarakat Kasuran, kesadaran praktis itu ternyata masih

berlaku dan bekerja dengan level yang berbeda-beda. Sebagian besar masyarakat

Kasuran memang dipengaruhi oleh “salah-pengenalan” terhadap kuasa yang

sebenarnya (ekonomi, sosial, kultural, dan politik) sehingga terbentuklah

kesadaran praktis mereka terhadap kultur tidur tanpa kasur. Akan tetapi, ada

23
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

beberapa orang yang diyakini masih berada di level “pengenalan”, di level

kesadaran kognitif. Mereka adalah orang-orang yang “masih mempertanyakan”

kultur tidur tanpa kasur, dan tetap mempraktikkan tidur dengan kasur kapuk.

Sejauh pengamatan peneliti, ada beberapa indikasi yang menunjukkan

bahwa masyarakat Kasuran ternyata meyakini ucapan Sunan Kalijaga itu tidak

hanya bekerja di level kesadaran praktis, tetapi juga di level kognitif. Risikonya

adalah bahwa masyarakat yang memiliki kesadaran kognitif berpotensi untuk

mempertanyakan ucapan itu sebagai sesuatu yang tidak benar-benar terberi

(given). Adanya kesadaran kognitif ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa

masyarakat juga memiliki pengetahuan kritis tentang kasur tersebut, misalnya

bahwa tidur tanpa kasur akan berdampak pada kesehatan mereka. Artinya, status

pengetahuan tentang ‘kasur’ di dusun tersebut membuktikan adanya kesadaran

masyarakat terhadap konsekuensi pemakaian kasur sekaligus mempertanyakan

tesis Bourdieu tentang salah-pengenalan.

E. Telaah Pustaka

Selama ini masyarakat Kasuran dikenal di dunia maya sebagai masyarakat

yang unik. Hal ini bisa ditelusuri, mulai dari koran Kedaulatan Rakyat,

Lampungpos, serta beberapa media televisi seperti TransTV dll., telah melakukan

peliputan, namun laporannya hanya berupa feature. Oleh karena itu, penulis akan

mendudukkan telaah pustaka ini dalam dua kategori besar, yang pertama adalah

kajian mengenai Dusun Kasuran, kedua kajian mengenai teori Bourdieu terutama

kajian tentang karya yang terkait dengan kajian agama.

1. Feature dan Film mengenai Kasuran

24
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Sejauh penelusuran penulis mengenai dusun Kasuran terdapat beberapa

tulisan yang konsen tentang dusun ini.

Feature “Mengintip Kehidupan Masyarakat Dusun Kasuran” yang dimuat

di majalah Kartini Nomor 2094. Tulisan ini mengetengahkan setting kehidupan

masyarakat Kasuran serta praktik tanpa kasur di dusun ini. Di majalah ini

diketengahkan beberapa pendapat mengenai asal-asul tidur tanpa kasur di dusun

ini. Tulisan ini merupakan salah satu tulisan pertama yang mengetengahkan

dengan baik mengenai dusun Kasuran. Tulisan feature ini nantinya akan menjadi

salah satu sumber penting mengenai tulisan Kasuran yang akan dipakai dalam

penelitian ini.

Berbagai tulisan yang ada di internet, misalnya yang dimuat di

Banjarmasin Post mengangkat tema “Warga Kasuran Kulon Sudah terbiasa Tidur

tanpa Kasur” (9 Oktober 2012). Tulisan ini adalah feature sangat pendek dan

sangat deskriptif, namun informatif.

Film dokumenter tentang Kasuran yang berjudul “No Kasur No Cry”.

Film besutan Abduh dan Fiqih Muhammad Ginanjar serta hanya berdurasi 4

menit ini ditayangkan di Metro TV. Film pendek ini menjelaskan tentang praktik

tidur tanpa kasur melakukan wawancara dengan beberapa warga yang ada di

Kasuran. Salah satu yang diwawancarai adalah kadus Kasuran Kulon, Wartilah.

Namun karena ini sifatnya film dan cuma berupa film dokumenter berdurasi

pendek, maka penulis melihat data ini akan penulis gunakan sebagai data

sekunder dalam penelitian ini.

25
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Film dokumenter yang digarap oleh para mahasiswa AKINDO yang

berjudul “Mitos Kasuran”. Film dokumenter ini memotret tentang sejarah tidur

tanpa kasur, pro dan kontra para penduduk mengenainya, serta beberapa situs

penting yang, seperti makam kyai Kasur dan Nyai Kasur, pura Hindu, Sendang

Depok, bahkan Tuksibeduk yang konon dua situs yang disebutkan terakhir ini

merupakan sisa-sisa peninggalan Sunan Kalijaga.

2. Kajian Bourdieu mengenai Agama

Dalam berbagai tulisannya, terdapat setidaknya 10 essay Bourdieu

mengenai agama serta beberapa bagian mengenai agama yang berserakan di

berbagai karya buku-bukunya. Namun bukan berarti, sedikitnya essai mengenai

agama yang ditulisnya mengindikasikan tidak pentingnya agama bagi dia. Salah

satu karyanya The Algerians menunjukkan bahwa dia sangatlah tertarik dengan

pengaruh Islam dalam kehidupan orang-orang Algeria. Buku ini ditulisnya ketika

dia sedang melakukan tugas militer dan ketika dia melaksanakan penelitian

etnografi di negara tersebut. Bourdieu melihat bahwa Algeria merupakan daerah

yang sangat mempesona dan kaya bagi analsis sosiologis mengingat tradisi-tradisi

budaya disana dikonfrontasikan dengan modernitas saat masa-masa kolonialisasi

Prancis di Afrika Utara. Secara luas dia sangat terpesona dengan para petani disitu

yang sangat kuat dalam memegang agama (Islam).

Tulisan lainnya, Chose Dites (Things Said) merupakan kumpulan tulisan

ceramahnya. Dua diantara tulisan-tulisannya adalah mengenai sosiologi Agama.

Yang pertama adalah “Sociologue de la Croyance et croyances de sociologues”

26
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(Sociologist of Belief and Beliefs of Sociologist) serta “La dissolution du

religieux” (The Dissolution of the Religious). Tulisan yang kedua menjelaskan

tentang efek-efek dari masalah-masalah modernisasi yang dihadapi oleh ranah

agama dan kepemimpinan agama.

Outline of the Theory of Practice menegaskan kerangka berpikir

Bourdieu mengenai Habitus ranah dan modal. Buku ini menggunakan data buku

The Algerian untuk mengkonstruk dan mengilustrasikan beberapa konsep inti

yang telah di sebutkan, habitus, ranah, dan modal. Buku ini memang tidak secara

khusus membahas mengenai kajian keagamaan, namun dalam buku ini Bourdieu

memetakan kerangka metodologisnya yang kemudian dipakai dalam berbagai

buku berikutnya, baik dalam ranah kajian umum ataupun agama.

3. Kajian Agama dengan Perspektif Bourdieu

Terdapat banyak sekali tulisan-tulisan mengenai Bourdieu dan

penggunaannya di level metodologi. Di sini penulis akan membatasinya pada

penggunaan teori pada level kajian keagamaan. Tentunya sangat banyak sekali

yang menggunakan hanya saja penulis akan menyebutkan beberapa kajian saja

mengingat terbatasnya ruang di penelitian ini. Arief Munandar (2011) dalam

disertasinya yang berjudul “Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus

Kader Partai Keadilan Sejahtera dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu

2004”. Dalam penelitian ini, Bourdieu digunakan sebagai salah satu cara dalam

melihat bagaimana mengidentifikasi faksionalisasi atau pengelompokan yang ada

di PKS dan menggambarkan bagaimana kelompok tersebut bekerja dalam

dinamika internal PKS. Dengan menggunakan teori habitus, symbolic power,

27
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

doxa, heterodoksi dan ortodoksi, Arief menggambarkan bahwa dinamika internal

PKS pada sisi lunak (soft side) ditampilkan sebagai pertarungan simbolik yang

berupa pertarungan antara ortodoksi dan heterodoksi demi membangun sebuah

doxa baru.

Hereyanto menulis karya ilmiah yang berjudul “Tradisi Keagamaan dan

Kekuasaan Simbolik di kalangan Masyarakat Amuntai Kalimantan Selatan”

(2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi keagamaan di kalangan

masyarakat Amuntai yang menjadi media dalam memperoleh kekuasaan serta

strategi yang digunakan oleh kelompok-kelompok dalam memperoleh kekuasaan

melalui tradisi keagamaan. Hereyanto menganalisis penelitian dengan teori

Bourdieu, habitus, dan kuasa simbolik. Dia melihat bahwa tumbuh

berkembangnya tradisi keagamaan dalam masyarakat Amuntai merupakan sebuah

habitus dalam masyarakat. Masyarakat Amuntai yang agamis ini kemudian

membuat sebagian masyarakat yang ingin mendapatkan kekuasaan atau

mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan berbagai investasi modal

sosial, budaya, ekonomi, dan simbolik, melalui jalur-jalur keagamaan.

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian akhir master ini adalah bahwa

strategi modal ekonomi yang terjadi di Amuntai adalah pemberian bantuan kepada

masyarakat baik melalui individu maupun institusi yang mengatasnamakan zakat

atau sedekah, sedangkan investasi modal ekonomi melalui pemberian bantuan

kepada tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.

Eduard Iricinschi & Holger M. Zellentin, dalam bukunya, Heresy and

Identity in the Late Antiquity menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua cara

28
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dalam memahami hubungan antara heterodoksi dan ortodoksi pada doxa, bahkan

dalam karya Bourdieu sendiri, keduanya bisa dianggap sebagai dua teori yang

berbeda mengenai perkembangan diskursus heretis. Namun mungkin akan lebih

baik jika kita melihat dua hal tersebut sebagai model perkembangan yang berbeda

dan berpotensi sebagai model suplemental saja. Berdasarkan pada salah satu

model tersebut—dan hal ini tampaknya menjadi satu-satunya alasan Bourdieu

menggagas dan memformulasikan konsep doxa—heterodoksi dan ortodoksi

memiliki andil (share) pada doxa, Doxa itu merepresentasikan common ground

dan nilai bersama yang tidak menjadi perdebatan dalam dunia opini. Memang

dalam berbagai konteks doxa merepresentasikan ketiadaan opini yang

diperdebatkan pada masa lalu—ortodoksi hari ini keesokan harinya menjadi doxa.

Terry Rey (2007) mencoba mengaplikasikan teori-teori Bourdieu dalam

kajian keagamaan. Buku yang terdiri dari 5 bab ini secara mudah menjelaskan

beberapa perangkat teori yang digunakan Bourdieu. Dalam bab 3 misalnya Rey

menjelaskan beberapa karya Bourdieu yang berbicara mengenai agama. Secara

umum, Rey mengakui bahwa memang sulit menggunakan teori Bourdieu dalam

konteks memahami agama dari sisi positifnya, karena teori Bourdieu termasuk

dalam kategori ilmu kritis yang mencoba mempertanyakan banyak narasi dalam

agama. Kajian mengenai habitus misalnya, menurut Rey menjelaskan banyak hal

dalam memahami agama.

Dari semua paparan di atas tampak bahwa tidak ada yang pernah

melakukan penelitian yang serupa dengan disertasi ini. dari beberapa tesis dan

disertasi terdapat beberapa kemiripan dalam upaya menggunakan teori-teori

29
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bourdieu, namun objek penelitian Kasuran ini merupakan satu penelitian yang

belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, lebih-lebih dengan

mempergunakan teori tertentu. Oleh karena itu, di sini penulis kira posisi tegas

disertasi ini diantara kajian-kajian mengenai Kasuran ataupun Bourdieu yang

telah ada.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan

observasi partisipan (participant observation) sebagai metode utama. Observasi

partisipan, dalam beberapa hal, merupakan salah satu metode paling natural dan

paling menantang dari sekian banyak metode pengumpulan data kualitatif. Ia

menghubungkan peneliti dengan pengalaman manusia yang paling mendasar,

dengan berusaha berpartisipasi secara mendalam untuk mengetahui bagaimana

dan mengapa perilaku manusia terjadi dalam konteks tertentu (Spradley, 1980:

23).

Tantangan utama dari metode ini adalah bahwa ketika peneliti menjadi

observer partisipan dalam pengertian yang lebih formal, maka ia harus, setidak-

tidaknya, merancang proses penelitian secara sistematis dan teroganisir. Artinya,

peneliti tidak hanya menjadi pemeran dalam konteks sosial tertentu, tetapi juga

turut menjalankan beberapa peran sekaligus, seperti mencatat, merekam suara,

bunyi, dan gambar; dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk

mencari makna di balik perilaku masyarakat tertentu. Terkadang, peneliti juga

30
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

harus mencoba menemukan dan menganalisis beberapa aspek sosial yang tidak

disadari atau tidak dibicarakan secara eksplisit oleh para partisipan (De Walt &

De Walt, 2011: 57).

Dalam konteks penelitian sosial, ada beberapa elemen kunci dari metode

observasi partisipan ini.

1. Mengunjungi secara langsung lokasi di mana ada aspek pengalaman

manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini, peneliti secara langsung

mengunjungi dusun Kasuran Kulon, Margodadi, dan Kasuran Wetan

Margomulyo, Seyegan, Sleman Yogyakarta, yang di dalamnya terdapat

tradisi “tidur tanpa kasur” yang menjadi objek penelitian ini.

2. Membuat laporan tentang para partisipan. Salah satu poin observasi

partisipan adalah bahwa peneliti harus mengobservasi dan mempelajari

segala hal yang dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan mereka.

Dalam konteks penelitian kali ini, peneliti berusaha menjadi insider yang

bisa diterima oleh masyarakat Kasuran sehingga peneliti bisa membuat

catatan-catatan observasional tentang apa yang terjadi dengan masyarakat

tersebut dalam kaitannya dengan tradisi “tidur tanpa kasur”.

3. Menghabiskan durasi waktu tertentu dalam berinteraksi dengan subjek

penelitian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Peneliti telah

merancang timeline untuk melaksanakan observasi partisipan di dusun

Kasuran dengan berbagai pertimbangan tentang efektivitas dan

efisiensinya di lapangan.

31
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Ada beberapa alasan mengapa observasi partisipan dipilih. Dengan

mengadopsi gagasan Bernard (2006: 57-61), peneliti menemukan lima alasan

mengapa metode ini dipilih untuk menganalisis kondisi sosio-kultural masyarakat

Kasuran.

1. Membuka kemungkinan untuk pengumpulan data yang lebih luas. Hal ini

hanya mungkin dilakukan dengan memosisikan diri sebagai insider di

dusun Kasuran. Observasi partisipan memberi kesempatan besar terhadap

peneliti untuk memperoleh data semacam itu di lapangan.

2. Mereduksi masalah reaktivitas. Dengan menjadi insider yang

berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat Kasuran, sikap reaktif

masyarakat terhadap peneliti—yang umumnya terjadi jika peneliti

berposisi sebagai outsider—bisa direduksi seminimal mungkin.

3. Memperoleh pemahaman intuitif atas makna data. Interpretasi terhadap

data kualitatif di lapangan tentu sangat riskan jika tidak disertai dengan

upaya melibatkan diri secara langsung di dalamnya. Observasi partisipan

memberi peneliti pengetahuan langsung terhadap wilayah studi yang

hendak ditelaah.

4. Memungkinkan eksplorasi masalah atas data yang tidak bisa dilakukan

oleh teknik pengumpulan data yang lain. Teknik-teknik seperti buku,

literatur, seperangkat aturan formal, dan sebagainya tidak bisa mencover

apa yang terjadi di lapangan, bagaimana orang berinteraksi, dan

bagaimana orang memaknai sesuatu. Observasi partisipan bisa menjadi

alternatif strategis untuk memperoleh data yang lebih dekat dengan fakta.

32
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Sedangkan analisis data yang penulis pakai adalah dengan menggunakan

teori Pierre Bourdieu mengenai kuasa simbolik, habitus, modal, dan field (ranah

atau arena). Penelitian ini juga tidak akan berhenti dengan hanya mempergunakan

teori-teori Bourdieu untuk menganalisis Kasuran, namun lebih dari itu penelitian

ini juga mengkritik berbagai perspektif metodologis yang ditawarkannya.

G. Sistematika Bahasan

Disertasi ini terbagi dalam VI Bab. Bab I berisi pendahuluan, yang

memuat latar belakang masalah, pertanyaan dan signifikansi penelitian, kerangka

teori, telaah pustaka, dan metodologi penelitian. Bab II adalah menjelajahi dusun

Kasuran, memberikan setting geografis, pemetaan warga berdasar agama dan

ormas, serta memahami pola kehidupan masyarakat Kasuran. Bahasan pada bab

ini akan fokus pada kajian historis Dusun Kasuran. Kemudian maksud dari

pemetaan warga berdasar agama dan Ormas ini akan berupaya untuk bahan dasar

dalam menjelaskan bab selanjutnya (Bab V). Bab III membahas praktik tidur

tanpa kasur antara arena dan resistensi. Bab ini berisikan beberapa bagian penting

mengenai asal-usul praktik tidur tanpa kasur ini dengan merunutnya dari berbagai

sudut pandang, baik dari Islam maupun Hindu.

Bab IV Reproduksi Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Kasuran. Bagian ini

akan memuat mengenai jejak-jejak dan proses produksi dan reproduksi kuasa

simbolik tidur tanpa kasur dengan mencoba menyusun kerangka genealogis.

Bahasan pada bab ini akan menjawab rumusan masalah yang pertama dan kedua.

Bab ini menjadi semacam pemetaan kasus dan memahami karakteristik pola hidup

di Kasuran. Pada bagian ini penulis akan menggunakan beberapa konsep

33
KUASA SIMBOLIK TIDUR TANPA KASUR DI DUSUN KASURAN, SEYEGAN, SLEMAN
SAIFUDDIN ZUHRI MA
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bourdieu untuk menganalisis bagaimana kuasa simbolik itu bekerja di level

masyarakat Kasuran dan direproduksi sebagai sesuatu yang terberi.

Bab V Dinamika Internal-Eksternal Kuasa Simbolik Masyarakat Kasuran.

Bab VI Kesimpulan dan Penutup.

34

Anda mungkin juga menyukai