Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Ta’aruf dan Khitbah Dalam Perspektif Fiqh


Menurut Empat Madzhab

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat


Yang di bimbing oleh Bapak M. Ikrom, M.HI,

Oleh :

Kelompok I

Fani Aprilianti S20181040


M. Fikri Alamsyah S20181053
Indana Zulfa Nilasari S20181093

PROGRAM STUDI AL- AKHWAL ASY-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
SEPTEMBER, 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 2

A. Ta’aruf ................................................................................................................................. 2
1. Pengertian Ta’aruf ......................................................................................................... 2
2. Dasar Hukum Ta’aruf .................................................................................................... 2
3. Batasan Ta’aruf ............................................................................................................. 3

B. Khitbah ............................................................................................................................... 5
1. Pengertian Khitbah ....................................................................................................... 5
2. Dasar Hukum Khitbah ................................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................... 8

A. Kesimpulan .......................................................................................................................... 8
B. Saran .................................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga
sekarang, ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok
untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan
adalah solusinya.Tapi, apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Apa
menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang taaruf dan
peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan.
Prosesi yang melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan
untuk saling mengenal agar lebiherat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling
hidup bersama.
Harapan kami, pembahasan tentang taaruf dan peminangan ini semoga menjadi
titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat
ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah
Rasulullah ini,yaitu pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud ta’aruf ?
2. Bagaimana dasar hukum ta’aruf ?
3. Apa yang dimaksud khitbah?
4. Bagaimana dasar hukum khitbah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari ta’aruf..
2. Untuk mengetahui batasan ta’aruf
3. Untuk mengetahui maksud dari khitbah.
4. Untuk memahami dasar hukum khitbah.
.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ta’aruf
1. Pengertian Ta’aruf

Secara bahasa, Ta’aruf bermakna “berkenalan” atau “saling mengenal”. Berasal dari
kata bahasa arab “ta’aarafa” artinya menjadi tahu, yang akarnya a-ro-fa yang berarti
mengenal-perkenalan.1 Mengenal ini bukanhanya terbatas pada mengenal nama saja.
Dalam islam, Ta’aruf adalah sebuah proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik
teman atau sahabat. Dalam konteks pernikahan, ta’aruf adalah upaya untuk mengenali
pasangan hidup sebelum menikah.

2. Dasar Hukum Ta’aruf


Mengenai makna dasar ta’aruf diperkuat dengan penjelasan Al-Qur’an surah Al-
Hujurah ayat 13 :2

َّ ‫ِهَّللاِ أَتْقَا ُك ْم ۚ إِ َّن‬


ٌ ِ‫ِهَّللاَ َِع ِلي ٌم َخب‬
‫ير‬ َّ َ‫ارفُوا ۚ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِِع ْنَد‬ ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنث َ ٰى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبا َوقَبَائِ َل ِلتَ َع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal

Dalam penjelasan tafsir Imam Syafi’i bahwa turunnya ayat tersebut Nabi
memberikan tanda bagi orang-orang yang hijrah, seperti halnya tanda bagi kaum Aus
dan bagi kaum Khazraj. Pada tahun pembebasan Mekah, nabi memberikan bendera
kepada masing-masing kabilah, hingga setiap kabilah memiliki benderanya masing-
masing agar mereka saling mengenal, di dalam atau di luar peperangan. Hal tersebut
dilakukan agar beban berat menjadi ringan, jika mereka bersatu.3

Interpretasi ta’aruf secara bahasa dalam Al-Qur’an adalah perkenalan namun


makna tersebut mengalami pergeseran maksud bahwa selain terciptanya manusia
berbangsa dan bersuku, juga terdiri dari kaum adam dan Hawa yang mana dianjurkan
untuk saling mengenal diantara mereka. Jika dikonteksakan dengan ta’aruf tujuannya

1
Eliyyil akbar, Ta’aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi’i dan Ja’fari, (Musawa, Vol. 14 No. 1, Januari 2015 ), 56.
2
Al-Qur’an, Al-Hujurah-13
3
Ibid., 56.

2
sebelum mereka ditakdirkan untuk berjodoh dapat menerima segala kekurangan dan
meleburkan beban berat yang diterima pasangan tersebut.4

Dengan ta’aruf, kedua keluarga pasangan yang sudah saling kenal dapat melihat
seperti apa orang yang nantinya akan bergabung menjadi keluarga besar mereka. Sebab,
ikatan pernikahan dalam pandangan islamitu bukanlah antara dua orang, melainkan
antara dua keluarga.5 Dalam membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara
cermat dan tepat. Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan
keluarga shalih dan ketaatan pada agama.

3. Batasan Ta’aruf
Perkembangan ta’aruf mengalami pergeseran cara pandang dan aktualisasinya
yang mana laki-laki hendak menikahi seorang wanita, maka laki-laki tersebut dianjurkan
melihat wanita tersebut dengan tujuan penyatuan insan yang mempunyai latar belakang
yang mungkin berbeda serta penciptaan keluarga yang diidamkan. Begitu juga wanita
yang dikenal oleh lelaki dianjurkan untuk memperlihatkan atau bersikap sesuai norma.
Dalam penjabaran ini mengacu pada pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’fari.
Kedua Imam tersebut mempunyai dasar sendiri mengenai batasan ta’aruf yang
diartikan sebagai ritual pranikah mempunyai bentuk atau cara untukmencapai suatu
kesepakatan, yaitu:
a. Menjaga atau menahan pandangan. Meksudnya adalah menjaga pandangan agar
tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehimgga dapat menelan perempuan atau
laki-laki yang beraksi. Pandangan yang diperbolehkan hanya pandangan pertama
sedangkan pandangan yang kedua haram hukumnya, artinya pandangan yang boleh
yaitu terpandang dan tidak disengaja.
Konsep imam syafi’i dalam memandang, laki-laki diperbolehkan melihat perempuan
selain muka dan kedua telapak tangan karena selain kedua tersebut adalah aurat.
Memandang dalam konteks munakahat bisa diartikan sebagai melihat kepada calon
pasangan dengan tujuan mengenali dari kedua pihak agar tidak menimbulkan
penyesalan antara keduanya apabilapernikahan sudah dilangsungkan.6
b. Menjaga hijab atau perhiasan. Dari sudut terminologis hijab yaitu sebagai
penghalang atau penutup.7 Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-
Nur ayat 31 yang memerintahkan kepada kaum wanita untuk menutup auratnya dan
tidak memperlihatkan perhiasan kecuali yang biasa nampak padanya.
Dalam konteks ta’aruf, wanita yang dipinang dianjurkan untuk tidak
menampakkan anggota tubuhnya, melainkan dengan menutupinya dengan pakaian

4
Ibid., 57.
5
Moh Athian Ali , Keluarga Sakinah cet.III, (Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada, 2004), 269.
6
Eliyyil akbar, Ta’arufdalam khitbah perspektif Syafi’i dan Ja’fari, (Musawa, Vol. 14 No. 1, Januari 2015 ), 56.
7
Ibid., 60.

3
yang tidak berlebihan, artinya mengenakan pakaian yang menutup aurat. Menurut
Imam Syafi’i, tidak diperbolehkan wanita bersolek dengan baju yang memang
dimaksudkan untuk berhias.Maksudnya pakaian yang dilarang adalah semua baju
yang merupakan baju untuk berhias yang bertujuan untuk menakjubkan manusia.8
Imam Ja’far berpandangan mengenai perhiasan atau pakaian bahwa
menggunakan perhiasan yang dimiliki karena menggunakan nikmat yang dimiliki
ialah tidak apa-apa.9
Dari pendapat Imam Syafi’i dan Ja’fari dapat disimpulkan bahwa hijab atau
pakaian yang sebaiknya digunakan wanita tidak ada ketentuan namun subtansi dari
keduanya adalah memakai pakaian yang digunakan masyarakat pada umumnya.
Perpaduan dari kedua pendapat yang mana Syafi’i menganjurkan untuk tidak
bersolek dengan baju dengan tujuan atau niat berhias dan baju yang dipakai
merupakan baju yang menutup aurat wanita.
c. Menjaga diri dari berkhalwat (berduaan) yang merupakan aksi menyendiri,
mengasingkan diri dan memecilkan diri.10 Khalwat dalam konteks ta’aruf tidak
diperbolehkan dengan perempuan lain yaitu bukan istri, bukan salah satu kerabat
yang haram dikawini untuk selamanya seperti ibu, saudara, bibi, dan sebagainya.
Khalwat yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menyepinya dua orang di
suatu tempat yang sunyi. Namun Imam Ja’far memaknai menyendiri tersebut
tergantung kepada masing-masing pribadi,situasi, zaman, dan tempat.11
d. Dalam ta’aruf tidak diperbolehkan melakukan zina, karena zina merupakan dosa
yang sangat besar. Dalam ta’aruf dianjurkan untuk menghindari perkara yang akan
menarik ke perbuatan zina.
Zina merupakan tindakan melihat lawan jenis yang disertai dengan syahwat.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa zina adalah dosa besar yang bala’ akibatnya
mengenai semesta keluarganya, tetagganya, keturunannya, hingga tikus di rumahnya
dan semut diliangnya karena zina seringkali datang dari cinta dan cinta selalu
membuat kita iba dan syaitan datang untuk membuat kita lebih mengasihi manusia
daripada mencintai-Nya.12

Dari proses diatas memperjelas bahwa proses perkenalan dalam islam tidak
boleh melenceng dari empat hal tersebut. Sehingga, proses perkenalan pasangan
yang diakui dalam islam adalah proses yang tetap menjaga aturan yang ada.

8
Eliyyil akbar, Ta’aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi’i dan Ja’fari, (Musawa, Vol. 14 No. 1, Januari 2015 ), 61.
9
Ibid., 61
10
M.Abdul Mujib, Ensiklopedia Tasawwuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: PT.Mizan Publika,2009), 239.
11
Eliyyil akbar, Ta’aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi’i dan Ja’fari, (Musawa, Vol. 14 No. 1, Januari 2015 ), 63.
12
Ibid., 63.

4
B. Khitbah
1. Pengertian Khitbah
Khitbah menurut bahasa berasal dari akar kata “khathaba-yakhtubu-khatban wa
khitaban” artinya adalah pinangan.13 Atau secara Istilah Khitbah ialah permintaan
seorang laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah.14 Sedangkan
menurut istilah syara’ Khitbah adalah tuntutan (permintaan) seorang laki-laki kepada
seorang perempuan tertentu agar bersedia kawin dengannya, dan laki-laki itu datang
kepada perempuan yang bersangkutan atau kepada keluarganya menjelaskan
keadaannya, serta berbincang-bincang tentang akad yang akan dilangsungkan
dengan segala kebutuhan akad dan kebutuhan masing-masing.15
2. Dasar Hukum Khitbah
a. Ayat Al-Qur’an
‫ستَذْ ُك ُرو َن ُه َّن َو ٰلَ ِك ْن ََل‬
َ ‫ِهَّللاُ أَنَّ ُك ْم‬
َّ ‫اء أَ ْو أَ ْكنَ ْنت ُ ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َِع ِل َم‬ِ ‫س‬ ْ ‫ضت ُ ْم بِ ِه ِم ْن ِخ‬
َ ِ‫طبَ ِة الن‬ ْ ‫َو ََل ُجنَا َح َِعلَ ْي ُك ْم فِي َما َِع َّر‬
َّ ‫َاح َحت َّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْال ِكتَابُ أَ َجلَهُ ۚ َوا ِْعلَ ُموا أ َ َّن‬
‫ِهَّللاَ يَ ْعلَ ُم‬ ِ ‫ِع ْقَدَة َ النِك‬ ُ ‫ت ُ َوا ِِعَد ُوه َُّن ِس ًّرا إِ ََّل أ َ ْن تَقُولُوا قَ ْوَل َم ْع ُروفا ۚ َو ََل ت َ ْع ِز ُموا‬
16
‫ور َح ِلي ٌم‬ َّ ‫َما فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم فَاحْ ذَ ُروهُ ۚ َوا ِْعلَ ُموا أ َ َّن‬
ٌ ُ‫ِهَّللاَ َغف‬

Artinya:
Tidak dosa bagimu meminang wanita dengan sindiran atau menyembunyikan
(keinginan mengetahui mereka) dalam hatimu, Allah SWT mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka, dari pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka
perkataan ma’ruf (sindiran) Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah: 235)

Dalam ayat ini, Allah Swt menjelaskan ketentuan khitbah kepada perempuan-
perempuan yang menjalani masa iddah setelah suami mereka wafat. Yakni
memperbolehkan meminang perempuan dalam ‘iddah dengan cara menggunakan
bahasa sindiran. Seperti ucapan: Kamu perempuan yang cantik, kamu sholihah,
engkau dermawan dan sebagainya, yang diucapkan di hadapannya. Serta melarang
seorang pria dalam mengukuhkan niat untuk mengadakan akad nikah sebelum masa
‘iddah berakhir.17

13
Ismail, Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam, (Al-Hurriyah, Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2009), 64.
14
Tim Pembukuan Anfa’ 2015, Menyingkap Sejuta Permasalahan Dalam Fath Al-Qarib (Kediri: Lirboyo
Press, 2015), 495.
15
Ismail, Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam, (Al-Hurriyah, Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2009), 64.
16
Al-Qur’an, Al-Baqarah-235.
17
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Jilid 1, (Depok: Keira, 2016), 374 dan 376.

5
b. Hadist
Dalam kitab al-muwatta’ yangdiriwayatkan dari Malik bin Anas dan
Nafi’ dari Ibnu Umar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
18
)‫ َليخطب احَدكم خطبة اخيه (رواه مالك في المطا‬:‫ ان رسول هللا صلى هللا ِعليه وسلم قل‬:‫ِعن ابي هرييرة‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAWA pernah bersabda:


salah seorang dari kamu tidak boleh melamar yang telah dilamar oleh
saudaranya”.(H.R. Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta’)

Hadist ini menunjukkan diharamkannya melamar wanita muslimah yang telah


dilamar oleh saudaranya sesama seorang muslim, sehingga ia meninggalkan wanita
yang dilamar itu.

Tirmizi yang meriwayatkan dari Syafi’i tentang makna hadist tersebut yaitu”
Bila mana perempuan yang dipinang sudah ridha dan senang, maka tidak seorang
pun boleh meminangnya lagi. Tetapi kalau belom tahu ridha dan senangnya, maka
tidaklah dosa meminangnya.19

Terkait meminang perempuan, ada tiga hukum, yaitu:20

a. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang-terangan dan dengan sindiran, yaitu
perempuan yang masih sendirian dan bukan dalam masa ‘iddah, sebab manakala dia
boleh dinikahi, tentu juga boleh dipinang.
b. Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang-teranganmaupun dengan
cara sindiran. Yaitu: Perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang
perempuan dalam keadaan demikian, berarti merusak hubungan suami istri dan
hukumnya haram. Begitu juga perempuan yang ditalak raj’i yang masih dalam masa
‘iddah. Dia ini dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c. Perempuan yang boleh dipinang dengan cara sindiran, tidak boleh dengan terang-
terangan. Yaitu: Perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah,
seperti yang diisyaratkan al- Qur’an: “Dan tidak ada dosa kamu kamu meminang
perempuan itu dengan sindiran”. Termasuk perempuan yang ditalak tiga.

Dalil bagi terlarangnya peminangan ini adalah apa yang dikatakan Imam Syafi’i:
“Dikhususkan dengan tidak berdosa peminangan sindiran itu, menunujukkan bahwa

18
Imam Malik, Al-Muwatta’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 330.
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009), 42.
20
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Jilid 1, (Depok: Keira, 2016), 378.

6
peminangan dengan terang-terangan adalah sebaliknya”. Pertanyaan ini merupakan
bentuk dari mafhum mukhalafah.21

Peminangan merupakan pra perkawaninan , hal ini dilakukan untuk mengetahui


pribadi dari masing-masing calon, apakah mereka masih dalam ikatan, baik itu
tunangan atau perkawinan dengan orang lain. Bagi wanita yang sudah terbebas dari
ikatan tersebut sudah ada yang meminang dan sudah bertunangan, haram hukumnya
bagi laki-laki lain untuk meminangnya menurut meminangnya menurut golongan
Syafi’iyah dan Hanafiyah, demikian juga pendapat dari Imam Malik bahwa wanita
yang telah resmi bertunangan sampai peminang sebelumnya meninggalkannya atau
memberi izin kepada peminang kedua untuk meminang wanita tersebut maka laki-
laki tidak diperbolehkan melamarnya.22

21
Ibid
22
M Arfan, Pendapat Imam Malik tentang hukum meminang, bab 3, Artikel.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ta’aruf adalah sebuah proses untuk mengenal seseorang secara dekat, baik teman
atau sahabat. Dalam konteks pernikahan, ta’aruf adalah upaya untuk mengenali
pasangan hidup sebelum menikah. Jika laki-laki hendak menikahi seorang wanita, maka
dalam islam, laki-laki tersebut dianjurkan melihat wanita yang akan dilamar dengan
tujuan penyatuan insan yang mempunyai latar belakang yang mungkin berbeda serta
penciptaan keluarga yang diidamkan. Hal ini dilakukan tentunya dengan adanya
batasan-batasan yang diatur dalam islam, seperti menjaga pandangan, tidak boleh
berkhlawat, tidak boleh berzina, serta menjaga hijab atau perhiasan bagi wanita.
Khitbah adalah tuntutan (permintaan) dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan atau keluarganya, untuk menikah dengannya. Salah satu ketentuan hukum
yang berlaku dalam khitbah sesuai dengan hadist nabi adalah, dilarangnya meminang
pinangan orang lain serta secara terang terangan meminang seorang wanita yang masih
dalam masa ‘iddah kecuali dengan bahasa sindiran.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kesalahan serta
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sarankan agar pembaca tidak hanya
mencukupkan pengetahuan dari materi yang terlampir dalam makalah kami, namun juga
menambah wawasan dengan menggunakan refrensi yang lain. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi semua dan mohon maaf dari kami, apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan. Semoga ini menjadi perbaikan untuk kedepannya, aamiin.

8
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Eliyyil. 2015. Ta’aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi’i dan Ja’fari. STAIN Gajah putih:
Journal.

Athian Ali, Moh. 2004. Keluarga Sakinah cet.III. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Abdul Mujib, M. 2009. Ensiklopedia Tasawwuf Imam Al-Ghazali. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Ismail. 2009. Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam : Al-Hurriyah

Tim Pembukuan Anfa’. 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan Dalam Fath Al-Qarib. Kediri:
Lirboyo Press.

Malik, Imam. 1989. Al-Muwatta’. Beirut: Dar al-Fikr.

Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 2016. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Jilid 1. Depok: Keira.

Sabiq, Sayyid. 2009. Fikih Sunnah. Jakarta: PT. Pena Pundi.

Arfan, M. Pendapat Imam Malik tentang hukum meminang. bab 3: Artikel.

Anda mungkin juga menyukai