Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium


tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah
berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian
juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi
Borobudur.1

Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta kasus baru TB dengan
49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam periode 1984 – 1991 tercatat peningkatan jumlah
kasus TB diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990 diperkirakan 7,5 juta
kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.2

Annual Risk Infection ditahun 1980 – 1985 dinegara-negara Asia Tenggara


diperkirakan sekitar 2% yang berarti terdapat insidensi 100 kasus BTA (+) per 100.000
penduduk.3 Tahun 1987 di Singapura terdapat 62 kasus per 100.000 penduduk, dengan rata-
rata penurunan tahunan 5,7% sejak tahun 1959. Brunei Darussalam dengan angka kematian
8,5 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden BTA (+) 84 kasus per 226.000 penduduk.
Sedangkan Filipina ditahun 1981 – 1983 memperkirakan prevalensi BTA (+), 0,95%. 4
Berdasarkan data dari SEAMIC Health Statistic tahun 1990, penyakit tuberkulosis penyebab
kematian no. 10 di Thailand tahun 1989 dan menduduki urutan ke 4 di Filipina pada tahun
1987.5 Menurut Global TB – WHO, 1998 saat ini pusat dari epidemi TB berada di Asia
dengan terdapat 4,5 juta dari 8 juta kasus yang diperkirakan terdapat di dunia atau 50%
kasusnya di 6 negara yaitu India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina.
Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai penyumbang kasus terbesar di dunia setelah India
dan Cina.6

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan


RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan nomor 2
sesudah penyakit sistem sirkulasi.
1
Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh
kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.4
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat
dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak
mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding
hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum
berupa kelelahan dan panas.7

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum
lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem
pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah
membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering
digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin dan etambutol.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di


dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.9

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti
sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika
yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB


setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.9

Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

3
Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia10

B. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.10

C. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,


tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan
panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam
mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan

4
fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam–alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen


lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat
diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal
purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa
yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB.
Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang
disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan
oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl


Neelsen

D. PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
5
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara
fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe
yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
6
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi


dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial
pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
7
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk
menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara
ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.

8
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi


TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer.12

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan


Perjalanan Penyembuhannya9

9
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis11

E. KLASIFIKASI
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis positif.

10
Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.


Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini
berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.

11
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak
ada perubahan gambaran radiologic.9

2. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.

1. Gejala

a. Gejala klinik
12
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

o Gejala respiratorik

1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu


2) batuk darah
3) sesak napas
4) nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.

b. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.

c. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari


organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada

13
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas


bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah


bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abscess”

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):


a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
14
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm
atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.Spesimen
dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat
pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui
jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak.

15
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan


pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala


IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) :

Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut


negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah


kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
(3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :

16
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

d. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan


metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa,
Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,


dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.

4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
17
3. Schwarte atau penebalan pleura

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

18
G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


19
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji
resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

b. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase


intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih,
sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila
diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan


menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif),
seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2
tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES,
untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

20
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak
aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik
aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.
Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II
diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II
maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik
dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur
resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini
2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
21
3. Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan Maksimum
(mg/kgBB/Hari)
Harian Intermitten
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
22
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobata Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

23
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah/
Pengobata Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali menelan
n @ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

24
Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobata Pengobata Isoniasid Rifampisi Pirazinami Etambutol hari/kali
n n @ 300 n d @ 250 mg menelan obat
mg @ 450 mg @ 500 mg
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
H. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus
2. Rifampisin

25
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa


berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

26
5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan


dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-


tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus
barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam
sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100
rasa terbakar di kaki mg/hari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu
seni diberi apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
keseimbangan ganti etambutol
(vertigo dan
27
nistagmus)
Ikterik/Hepatitis Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Imbas Obat sampai ikterik menghilang
(penyebab lain dan boleh diberikan
disingkirkan) hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug- lakukan uji fungsi hati
induced pre-icteric
hepatitis)
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol
penglihtatan
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya
disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian
dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan
perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias
dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan
nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis
karena thiacetazon
4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

I. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila


keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

28
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis Tb
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat

J. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek


samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

29
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
4. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya
dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.

30
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.

K. KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum


pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.


Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA
1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and
in Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.

32
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum
An International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta
1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis
Paru Bandung, 57-63.
9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
2002.
10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

33

Anda mungkin juga menyukai