Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUTORIAL

MODUL I
LUKA/TRAUMA
SISTEM KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

Tutor : dr. Andi Fahirah Arsal, M.Kes


Kelompok : 3

Anggreany Ashari 11020140004


Mirnawati Yalida 11020140018
Rahmat Arbiansyah Hasan 11020140034
Ghiyas Rahmat Al Islami 11020140052
Eka Zuriaty Rahma Puteri 11020140060
Niswatun Hasanah Sukardi 11020140074
Nur Azizah Alfiyah 11020140094
A. We Tenri Suli 11020140105
Nanchita Dwitawira 11020140125
Sesariah Fatimah Nur. B 11020140143

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
LUKA/TRAUMA
Skenario 1.3
Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke UGD RS diantar oleh temannya.
Berdasarkan keterangan teman pasien, pasien merupakan korban dari aksi
pembegalan sekitar setengah jam yang lalu.

Kata kunci
 Laki-laki berusia 21 tahun.
 Masuk UGD RS diantar oleh temannya.
 Korban aksi pembegalan sekitar setengah jam yang lalu.

Pertanyaan

1. Bagaimana deskripsi luka/trauma yang ditemukan pada pasien ?

2. Bagaimana patomekanisme terjadinya luka/trauma pada pasien ?


3. Apakah penyebab luka/trauma (Cause of Damage) yang paling mungkin
pada kasus ini ?

4. Bagaimana karakteristik kemungkinsan agen penyebab luka/trauma ?

5. Bagaimana derajat keparahan luka sesuai dengan hukum yang berlaku ?

6. Apa diagnosis dari kasus tersebut (kategorisasi luka) ?

7. Bagaimana perspektif Islam sesuai kasus tersebut ?


Jawaban :

1. Deskripsi luka :1
a. Jumlah luka : 1 buah luka
b. Lokalisasi : terdapat satu buah luka pada bagian dada kiri atas
1. Letak axis : tidak bisa dihitung karena pada foto tidak terlihat garis
tengah tubuh
2. Letak ordinat : tidak bisa dihitung karena pada foto tidak terlihat garis
tengah tubuh
3. Regio : Hemithoraks sinistra superior
c. Ukuran luka : 10 mm
d. Jenis luka : luka tusuk
e. Bentuk luka : luka tembus berbentuk lonjong seperti celah, dan jika tautkan
rapat merupakan garis lurus yang arahnya mendatar
f.. Karakteristik luka :
1. Warna : merah
2. Tepi luka : regular
3. Batas luka : tegas
4. Ujung luka : salah satu ujung runcing
5. Jembatan jaringan : tidak ada
6. Dasar luka : tidak terlihat dari pemeriksaan luar
7. Tebing luka : tidak terlihat dari pemeriksaan luar

2. Patomekanisme luka/trauma pada pasien :

A. Anatomi2

Thorax
Thorax adalah sebuah rongga (= cavitas thoracis ) yang berisikan
viscera thoracis, merupakan bagian dari sistema cardiovascular dan
sistema respirasi. Selain itu cavitas thoracis dilalui oleh struktur-struktur
masuk dan keluar dari cavitas ini. Apertura choracis superior merupakan
lubang yang terbuka, sedangkan apertura thoracis inferior ditempati oleh
diaphragma thoracis. Dinding cavias thoracis mempunyai peranan yang
penting, yaitu sebagai pelindung viscera thoracis, alat respirasi dan pada
facies externanya terdapat mamma.
Lapisan otot pada dinding thorax dibagi menjadi tiga lapisan, sebagai
berikut :
1. lapisan superficial, meliputi otot-otot yang selain melekat dan
melindungi dinding thorax juga berperan pada gerakan extremitas
superior, serta merupakan bagian dari dinding ventral abdomen, seperti :
m.pectoralis major, m.pectoralis minor, m.rectus abdominis, m.obliquus
externus abdominis, m.serratus anterior, m.latissimus dorsi, m.trapezius,
m.rhomboideus major, m.rhomboideus minor, m.levator scapulae,
m.serratus posterior
2. lapisan intermedia terdiri atas dua lapisan otot, yaitu m.intercostalis
externus dan m.intercostalis internus
3. lapisan profundus dibentuk oleh m.subcostalis dan m.transversus
thoracis.
Vascularisasi dari thorax yaitu Arteria mammaria dan Arteria
intercostalis posterior. Vena intercostalis bearmuara kedalam vena
azygos dan vena hemi azygos. Sedangkan thorax diinnervasi oleh nervus
intercostalis
Mediastinum
Di dalam cavitas thoracis terdapat pulmo, pleura dan mediastinum.
Mediastinum sendiri adalah struktur yang terletak di bagian tengah
cavitas thoracis, berada di antara pleura parietalis sinister dan pleura
parietalis dexter (pleura mediastinalissinister et dexter). Meluas dari
sternum di bagian ventral sampai columna vertebralis di bagian dorsal.
Di sebelah cranial dibatasi oleh apertura thoracis superior, dan di bagian
caudal dibatasi oleh apertura thoracis inferior. Di dalam mediastinum
terdapat : pericardum + cor, pembuluh darah besar, seperti aorta, arteri
dan vena, trachea, oesophagus, nevus vagus, nervus phrenicus, ductus
thoracicus, kelenjar thymus, lymphonodus paratrachealis, jaringan ikat,
yang membuat mediastinum memjadi “ mobil “ dan dapat bergerak
mengikuti irama gerakan pulmo dan cor, serta mengikuti gerakan
oesophagus sewaktu menelan.
Oleh suatu bidang horizontal, yang melalui angulus sternalis Louisi
dan tepi caudal corpus vertebrae thoracalis IV, mediastinum dibagi
menjadi dua bagian, yaitu mediastinum superius dan mediastinum
inferius. Mediastinum inferius dibagi menjadi mediastinum anterius yang
berada di sebelah ventral pericardium, mediastinum medius yang
ditempati oleh pericardium dan mediastinum posterius yang terletak di
sebelah posterior pericardium.

B. Histologi3

Integumen atau kulit merupakan jaringan yang menutupi permukaan tubuh,


yang terdiri atas 2 lapisan :

1. Epitel yang disebut epidermis


2. Jaringan pengikat yang disebut dermis atau corium
Epidermis berasal dari ectoderm dan dermis berasal dari mesoderm.
Dibawah kulit terdapat lapisan jaringan pengikat yang lebih longgar disebut
hypodermis yang pada beberapa tempat banyak mengandung jaringan
lemak.
Epidermis
Dalam epidermis terdapat dua sistem :
1. Sistem malpighi, bagian epidermis yang sel–selnya akan mengalami
keratinisasi.
2. Sistem pigmentasi, yang berasal dari crista neuralis dan akan
memberikan melanosit untuk sintesa melanin.
Disamping sel – sel yang termasuk dua sistem tersebut terdapat sel
lain, yaitu sel Langerhans dan sel Markel yang belum jelas fungsinya.
Pada epidermis dapat dibedakan 5 stratum, yaitu:
1. Stratum basale
Lapisan ini disebut pula sebagai stratum pigmentosum atau strarum
germinativum karena paling banyak tampak adanya mitosis sel – sel. Sel – sel
lapisan ini berbatasan dengan jaringan pengikat corium dan berbentuk silindris
atau kuboid. Di dalam sitoplasmanya terdapat butir – butir pigmen.
2. Stratum spinosum
Lapisan ini bersama dengan stratum basale disebut pula stratum malpighi
atau stratum germinativum karena sel – selnya menunjukkan adanya mitosis
sel.
3. Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri atas 2-4 sel yang tebalnya di atas stratum spinosum.
Bentuk sel seperti belah ketupat yang memanjang sejajar permukaan. Sel yang
terdalam berbentuk seperti sel pada strarum spinosum hanya didalamnya
mengandung butir – butir.
Butir – butir yang terdapat sitoplasma lebih terwarna dengan hematoxylin
(butir – butir keratohialin) yang dapat dikelirukan dengan pigmen. Adanya
butir – butir keratohyalin semula diduga berhubungan dengan proses
keratinisasi, tetapi tidak selalu dijumpai dalam proses tersebut, misalnya pada
kuku.
Makin ke arah permukaan butir – butir keratin makin bertambah disertai
inti sel pecah atau larut sama sekali, sehingga sel – sel pada stratum
granulosum sudah dalam keadaan mati.
4. Stratum lucidum
Tampak sebagai garis bergelombang yang jernih antara stratum
granulosum dan stratum corneum. Terdiri atas beberapa lapisan sel yang telah
gepeng tersusun sangat padat.
5. Stratum Corneum
Pada vola manus dan planta pedis, lapisan ini sangat tebal yang terdiri atas
banyak sekali lapisan sel – sel gepeng yang telah mengalami kornifikasi atau
keratinisasi. Hubungan antara sel sebagai duri – duri pada stratum spinosum
sudah tidak tampak lagi. Pada permukaan, lapisan tersebut akan mengelupas
(desquamatio) kadang – kadang disebut sebagai stratum disjunctivum.
Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
1. Stratum papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis yang
membentuk papilla corii. Jaringan tersebut terdiri atas sel – sel yang terdapat
pada jaringan pengikat longgar dengan serabut kolagen halus.
2. Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut –
serabut kolagen kasar yang jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar dengan
permukaan. Di dalamnya selain terdapat sel – sel jaringan pengikat terdapat
pula sel khromatofor yang di dalamnya mangandung butir – butir pigmen. Di
bawah stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung glandula
sudorifera yang akan bermuara pada epidermis.

c. Fisiologi4

Fungsi pernapasan meliputi :


 Ventilasi : menyangkut volume udara yang bergerak masuk dan keluar
dari hidung atau mulut pada proses bernapas.
 Difusi : secara umum difusi diartikan sebagai peristiwa perpindahan
molekul dari suatu daerah yang konsentrasi molekulnya tinggi ke
daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Peristiwa difusi yang terjadi
di dalam paru adalah perpindahan molekul oksigen dari rongga alveoli
melintasi membrana kapiler alveolar, kemudian melintasi plasma darah,
selanjutnya menembus dinding sel darah merah, selanjutnya masuk ke
inferior sel darah merah sampai berikatan dengan hemoglobin.
 Distribusi : udara yang telah memasuki saluran napas didistriusikan ke
seluruh paru ; kemudian masuk ke dalam alveoli. Disrtibusi juga
berlangsung di pembuluh darah yang mana darah yang telah
mengandung oksigen akan didistribusikan ke jaringan dan sebaliknya
darah yang mengandung karbondioksida didistrubusikan kembali ke
paru.
 Perfusi : diartikan sebagai sikulasi darah di pembuluh kapiler.

d. Patomekanisme luka5

a. Apabila luka karena benda tajam mengenai dada kiri dan sampai ke jantung
akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Perdarahan ini apabila terjadi
terus-menerus dalam waktu yang lama akan menimbulkan suatu keadaan yang
disebut syok hipovolemik. Yaitu suatu keadaan dimana terganggunya sistem
sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang.
Perdarahan yang terjadi akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah
rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang
menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah
normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ,
yaitu Ketika curah jantung turun tahanan vaskuler sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup
bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain. Kebutuhan energi untuk
pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangata tinggi tetapi kedua sel
organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya
sangat bergantung pada ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentang
bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan
toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-ratan (mean arterial
presure / MAP) jatuh hingga < 60mmHg maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel disemua organ akan terganggu. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi maka akan menimbulkan suatu yang disebt “gagal sirkulasi”
dan akan menimbulkan kematian. Seperti yang kita ketahui di rongga toraks
terdapat 2 organ vital yang sangat penting yaitu jantung dan paru-paru. Apabila
luka tusuk mengenai daerah dada (toraks) maka apabila mengenai jantung
maka akan menimbulkan kegagalan sirkulasi yang dapat mengancam jiwa
seseorang.
b. Pada kasus yang didapatkan lokasi luka tusuk terdapat didada kiri bagian atas,
maka organ yang dapat mengenai lokasi tersebut kemungkinan mengenai paru-
paru. Jika terkena paru-paru , maka akan menghambat sistem pernafasan. Hal
ini dapat terjadi apabila setelah terjadi luka, kemungkinan terjadi perdarahan
dan darah akan terakumulasi di paru-paru yang dapat menimbulkan
haemotorax. Dimana haemotorax ini dapat mengganggu pengembangan dari
paru yang akhirnya secara tidak langsung akan mengganggu pengambilan O2
sehingga terjadi gagal nafas dimana system pernapasan tidak mampu untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-
sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. dan akhirnya
menyebabkan hypoxia dan apabila terjadi dalam waktu yang cukup lama dapat
mengakibatkan terjadinya iskemia pada berbagai organ dan berujung pada
kematian.

3. Penyebab luka/trauma yang paling mungkin pada skenario dengan menggunakan


pendekatan proximus morbus (PMA) pada kejadian yaitu:5
COD1
A1: Kegagalan sirkulasi
A2 : Syok hipovolemi
A3: Perdarahan masif
A4 : Luka tusuk

COD2
A1 : Hemothoraks
A2 : Pendarahan masif
A3: Penetrasi menembus kulit, jaringan otot hingga paru-paru
A4 : Luka tusuk

4. Agen penyebab luka:6

5. Derajat luka sesuai hukum yang berlaku :7


Penentuan Derajat Luka
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR
perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka.Dari aspek hukum, VeR
dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat
memenuhi delik rumusan dalam KUHP.Penentuan derajat luka sangat
tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman,
keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikankedokteran berkelanjutan dan
sebagainya.
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek,
ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan
penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus
dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari
tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan
(pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun
8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5
tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan,
dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal
tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan
menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang
bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam
pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakitatau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
ataupencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada
seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan
penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam
kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana
diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.
Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat
kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka
berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika
perbuatan mengakibatkanluka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidanapenjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur
dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang
korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90
KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.
Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :
 jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
 tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
 kehilangan salah satu panca indera;
 mendapat cacat berat;
 menderita sakit lumpuh;
 terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
 gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak
menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara
konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu dan dua.
Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka tidak akan
menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak hukum dalam
proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan
dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat
dua akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu.
Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan
mempertimbangkan jenis pekerjaan korban, namun pada umumnya para dokter
cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan hal tersebut di masa
mendatang. Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak
adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih
dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis.
Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio
anatomis yang terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena
trauma, walaupun kecil akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan
untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena
pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri
karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah wajah
dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut
meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan
nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun
pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi
inflamasi sistemik (systemic inflamatory responsesyndrome), respons
neurologik, fisiologik, dan metabolik belum mendapatkan perhatian khusus
dalam menentukan kualifikasi luka.
Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan
luka ringan yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan”
sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352 KUHP. Contoh luka ringan atatu
luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan berukuran kecil atau
memar yang berukuran kecil. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu
diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu
mungkin menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang
terlihat pada kulit.
Luka lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja
diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau keadaan cedera yang
terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap sebagai luka
sedang.
Pada kasus ini, pada korban ditemukan 1 buah luka tusuk oleh benda tajam
yang dapat membawa maut sehingga luka pada pasien dapat dikategorikan
dalam luka berat sesuai KUHP Pasal 90.

6. Diagnosis kasus (kategorisasi luka) :1


Berdasarkan deskripsi luka yang telah dibahas sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa diagnosa dari pasien tersebut adalah Luka Tusuk akibat
benda tajam bermata 1. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat bentuk
luka yang tampak berbentuk lonjong seperti celah, dan jika tautkan rapat
merupakan garis lurus yang arahnya mendatar dan salah satu ujung luka
runcing.

7. Perspektif Islam
Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 58

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat


tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
DAFTAR PUSTAKA

1. Gani, M.Husni, dr. DSF. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas : Padang
2. Snell, R. S. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC.
3. Eroschenko, victor P. Atlas Histologi Difiore edisi 11. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta. 2008. Halaman 31, 124-129
4. Guyton AC, Hall J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
5. Amir, A., 2008. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Ketiga. Medan: FK
USU.
6. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity
score (TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks medikolegal. J I Bedah
Indonesia. 33(2):37-43
7.

Anda mungkin juga menyukai