I. Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) sebagai salah satu penyakit degeneratif, yang dulu dianggap tidak
berbahaya, kini justru merupakan salah satu penyakit yang menyita banyak perhatian karena
peningkatan jumlah penderita dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Diabetes melitus
ini sesungguhnya merupakan penyakit yang menyangkut berbagai gangguan heterogen
dengan penyebab yang kompleks, serta perkembangannya tidak lepas dari pengaruh genetik
dan lingkungan. Pada diabetes melitus terjadi kondisi hiperglikemi yang merupakan
konsekuensi relatif ataupun absolut terhadap defisiensi insulin dan relatif maupun absolut
terhadap kelebihan glukagon. Menurut laporan terakhir dari International Diabetes
Federation, WHO, jumlah pasien DM di dunia meningkat secara alamiah yang akan
diikuti peningkatan biaya pengelolaanya menjadi tiga kali lipat.1-3
Penyakit DM merupakan penyakit kronik yang rumit dan banyak komplikasinya
sehingga harus benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu, pola penyakit DM harus ditelusuri
supaya setiap komplikasi dan kelainan yang mungkin timbul dapat diatasi lebih dini. Dalam
perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis. Komplikasi kronik
merupakan komplikasi yang sukar ditangani karena berjalan pelan tetapi pasti dan karenanya
akan memakan biaya yang sangat tinggi, yaitu makroangiopati (pembuluh darah jantung,
pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikroangiopati (pembuluh darah kapiler
retina mata dan pembuluh darah kapiler ginjal), dan neuropati.4-6
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan
penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian
lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan
komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes
mellitus. Komplikasi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi
ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan
fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan penyakit ginjal
progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda awal nefropati
diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas dari glomerulopati
diabetik dan dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya nefropati yang
progresif. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal
yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. DKD menduduki urutan ketiga
(16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%), sebagai
penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah. Perkembangan
penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang terlibat, antara lain : faktor genetik, diet, dan kondisi medis yang lain seperti hipertensi
serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol.7,8,9
Manajemen nefropati diabetik sangat tergantung pada presentasi klinik yang ada,
yaitu stadium insipien, overt, atau stadium terminal. Semakin berat presentasi klinik yang ada
maka penatalaksanaannya pun lebih melibatkan banyak hal dan tenaga ahli.9-11
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan
sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction
dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang
dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah
glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,
aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH) yang merupakan
tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol
menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor.
Gambar 2.2 Mekanisme AGE-pathway5
Aliran /
Glukosa Protein Hormon-hormon vasoaktif tekanan
Kinase C (misal angiotensin II,
Endotelin)
Sitokin (TGF
Advanced VEGF)
glycation
Penimbunan Proteinuria
ECM
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan
proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan
akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya ND.
1. Tahap I.
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai
pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya
normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis
DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya
kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan struktur ginjal
berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.
Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.
Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage).
3. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy), saat
mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM
tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus.
LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah
dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering
meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 –
20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti
retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian
glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.
5. Tahap V
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga pasien
menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu
terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.
Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak pasien yang mengalami
mikro dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun
sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati
diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati
nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara
individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20 % pada mereka yang
berlanjut menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan
antara DM tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe II lebih tua, maka
banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien tak
sampai mencapai PGTA. Akan tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik,
maka banyak pula pasien DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal
ginjal.
1. Edukasi.
Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang
penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit
DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus
yang dihadapi, dll.11,18,19,20,22
2. Perencanaan makan.
Perencanaan makan pada pasien DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik
disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet
rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada
pasien DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD)
sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung
protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada
pasien dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka
pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk
memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan
dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada
pasien DM tipe II telah pula ditunjukkan menurunkan eksresi albumin dalam urin
sebanyak 46 % dengan juga disertai penurunan total kolesterol, LDL kolesterol dan
apo-lipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenus (tak jenuh) pada
kedua jenis bahan makanan yang berbeda. Pemberian diet rendah protein ini harus
diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24
jam. Pasien DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini
perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin
dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada pasien DM dan < 70 mg/dl bila
sudah ada kelainan kardiovaskuler.17,19,22,26-28
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi
tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh
latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang.
Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).15,17
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :
1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan
pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan
mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada
DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini
dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah
pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga
mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan
darah juga perlu diperhatikan.9,10,13,15,17,26-28
III. Kasus
Seorang laki-laki, 58 tahun, Hindu, Bali datang ke rumah sakit dikeluhkan tidak sadar sejak
30 menit sebelumnya. Saat diwawancara, pasien mengatakan tidak ingat mengapa dia dibawa
ke rumah sakit tetapi hanya mengingat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit tubuhnya
gemetar, keluar keringat dingin dan jantung berdebar kemudian merasa pusing dan gelisah.
Pasien sempat mengatakan minum obat diabetes yang didapat dari dokter umum pagi dan
sore. Sesak napas yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, seperti sulit
mengeluarkan napas. Dirasakan makin lama makin memberat, namun masih mampu
beraktivitas. Memberat mendadak saat di UGD setelah sadar dari pingsannya. Penglihatan
kabur yang dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, pasien tidak mampu melihat jelas wajah orang
di sekitarnya. Hal ini dirasakan semakin memberat sejak keluhan ini pertama dirasakan. Berat
badan dikatakan menurun. Sekitar 15 tahun yang lalu pasien pernah memiliki berat badan 80
kg, namun kini berat badan hanya 58 kg walaupun makan dan minumnya biasa saja. Makan
3x sehari, satu piring tiap kali makan. Frekuensi berkemihnya agak menurun, dulu dikatakan
5-6 kali sehari, dengan volume berkemih 1-2 gelas per kali. Sejak sebulan yang lalu
berkurang menjadi 2-3 x/hari, dengan volume 1/2 gelas kali. Urine berwarna agak keruh,
berbuih, tidak berbau. Badan lemas dikatakan dirasakan sejak setahun yang lalu, memberat
sejak sebulan. Lemas di seluruh badan, hampir sepanjang hari, bertambah berat bila
digunakan beraktivitas dan sedikit membaik jika beristirahat.
Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan DM, rutin berobat ke dokter umum dan
diberikan obat Glibenklamid. Pasien menderita DM sejak tahun 1987, kontrol ke dokter
hanya bila muncul keluhan. Sejak Mei 2008 mulai mengkonsumsi obat diabetes. Saat itu
datang ke dokter karena merasa kedua tangannya kesemutan. Hipertensi diketahui sejak saat
itu, namun tidak rutin berobat. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, batu.
Adik laki-laki menderita DM, diketahui di dokter setelah melakukan pemeriksaan gula darah.
Penderita dahulu seorang perokok namun sudah berhenti sejak sakit DM. Kebiasaan minum
alkohol maupun mengkonsumsi jamu-jamuan tidak ada.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 18 Desember 2009
didapatkan penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah
170/90 mmHg. Nadi 84 kali per menit, reguler, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit (teratur,
tipe thorakal). Temperatur aksila 36,70 C. Tinggi badan 165 cm, berat badan 58 kilogram,
IMT 21,3 kg/m2.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kedua mata tampak anemia ringan. Tidak
tampak ikterus, refleks pupil positif pada kedua mata. Telinga Hidung Tenggorokan dalam
batas normal. Pada leher tidak didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP).
Pemeriksaan thorak didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis,
namun ekspansi dada menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua
sisi basal, perkusi redup pada kedua sisi paru dari ICS V, auskultasi didapatkan suara nafas
vesikuler menurun dari ICS V, tanpa ronkhi maupun wheezing pada kedua sisi paru.
Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba pada
MCL kiri ICS V, tidak kuat angkat, pada perkusi didapatkan batas atas pada ICS II, batas
kanan PSL kanan ICS IV, batas kiri pada MCL kiri ICS V, auskultasi didapatkan S1S2
tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak tampak ada distensi, auskultasi bising usus
normal, palpasi hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballotement negatif, perkusi
perut didapatkan suara timpani. Hangat pada keempat ektremitas dan tidak ditemukan adanya
edema pada kedua kaki penderita.
Hasil gula darah saat MRS 29 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Desember
2008 didapatkan WBC 15,5 K/uL, RBC 3,34 106/mm3, HgB 9,5 gr/dL, HCT 28,7 %, PLT 271
K/uL, MCV 86,1 fl, MCH 28,3 pg, MCHC 32,9 gr/dl, albumin 2,2 g/dl, AST 45 IU/L, ALT
41 IU/L, BUN 64,1 mg/dL, SC 9,92 mg/dL, Glukosa sewaktu 97 mg/dL, Na 137,1 mmol/L,
K 6,79 mmol/L. Pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH 7,32, pCO2 39 mmHg, pO2 126
mmHg, Na+ 135 mmol/L, K+ 7,1 mmol/L, HCO3- 20,1 mmol/L, BE (B) -5,5, SO2 99 %.
Pemeriksaan cairan pleura didapatkan Cell 2/mm3, mono 100%, Rivalta test negatif,
makroskopis tampak warna kuning pucat, tidak ada darah, tidak ada bekuan, mikroskopis ada
eritrosit 2-3, bentuk utuh bikonkaf.
Pemeriksaan tanggal 17/12/08 didapatkan HbA1c 6,0%. Tanggal 22/12/08 didapatkan
glukosa darah sewaktu 208, puasa 141, glukosa darah 2 jam post prandial 160. Pemeriksaan
urine lengkap didapatkan PH 8, leukosit 25, nitrit +, protein 150, eritrosit 25, warna kuning,
sedimen leukosit 4-5, eritrosit 1-2 (dismorfik).
Pemeriksaan EKG tanggal 16 Desember 2008 didapatkan irama sinus, 100 kali per
menit, axis normal. Perubahan segmen ST-T tidak ada.
Pemeriksaan rontgen thorax AP tanggal 16-12-2008 didapatkan CTR 54%, tampak
pinggang jantung, tidak tampak infiltrat, corakan bronkovaskular normal, tampak
perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan
setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Pada pemeriksaan BOF tanggal 16-12-2008 tidak
didapatkan gambaran batu radioopaque.
Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes
mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia
ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40
% 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr
protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine
GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg IV, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito.
Untuk perencanaan mendiagnosis pasien ini direncanakan dilakukan USG Abdomen,
lipid profile, A1C. Konsul mata, neuro dan gizi, SI, TIBC dengan pemantauan vital sign dan
keluhan pasien. Prognosis pada pasien ini dubius ad malam.
IV. Pembahasan
Hipoglikemia pada pasien diabetes ditegakkan bila kadar glukosa plasma ≤ 63% (3,5
mmol/L). Hal ini disebabkan karena respon regulasi non pankreas dimulai pada kadar
glukosa darah 63-65%(3,5-3,6 mmol/L). Pada diabetes, hipoglikemia sering didefinisikan
sesuai gambaran klinisnya. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala triad Whipple yang
meliputi : 1. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, 2.
Kadar glukosa rendah (≤3 mmol/L) dan hilangnya keluhan tersebut secara cepat dengan
koreksi.
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut
Ringan Simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan
aktivitas sehari-hari yang nyata
Sedang Simptomatik, dapat diatasi dengan nyata, menimbulkan
aktivitas sehari-hari yang nyata
Berat Sering tidak simptomatik, terdapat gangguan kognitif
sehingga tidak dapat diatasi sendiri.
1. Membutuhkan pihak ketiga, tetapi belum
memerlukan terapi parenteral
2. Terapi parenteral (glukagon IM atau glukosa IV)
3. Disertai koma atau kejang
Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes adalah
Otonomik Neuroglikopenik Malaise
Berkeringat Bingung, mengantuk Mual
Jantung berdebar Sulit berbicara Sakit kepala
Tremor Inkoordinasi
Lapar Perubahan perilaku
Gangguan visual
Parestesi
Penyebab dari hipoglikemia pada pasien diabetes timbul akibat peningkatan kadar
insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan ataupun obat yang
meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea.
Pada pasien ditemukan gejala hipoglikemia seperti berkeringat, bingung, jantung
berdebar dan penurunan kesadaran, ditemukan kadar glukosa plasma rendah 29 mg/dl, dan
segera merespon dengan pemberian glukosa intravena, sehingga dapat digolongkan menjadi
hipoglikemia berat atau koma hipoglikemia. Hipoglikemia yang terjadi pada pasien ini
akibat glibenklamide, suatu kelompok obat hipoglikemik oral yang bekerja meningkatkan
sekresi insulin yang dikonsumsi dua kali pagi dan sore oleh pasien.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO,
American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak
dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja.
Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal.
Pada pasien diagnosis ditegakkan dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien telah
dikatakan menderita DM sejak tahun 1987, didapatkan penurunan berat badan serta dari
pemeriksaan gula darah sewaktu 208 mg/dl serta gula darah puasa 141 mg/dl (22/12/09). Dari
hasil pemeriksaan HbA1C ditemukan hasil 6,0 mg/dl. Dari kriteria pengendalian DM, hal ini
masuk ke dalam pengendalian baik. Namun hal ini bukanlah satu-satunya kriteria yang
digunakan karena HbA1C hanya menggambarkan pengendalian dalam waktu 3 bulan
terakhir. Pemeriksaan lipid profile diperlukan untuk mengetahui indikator lain dari
keberhasilan terapi.
Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria, yaitu :
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau
tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik
atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus, yaitu stadium yang
lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang lebih rendah, berdasarkan ada
atau tidaknya penyakit ginjal.
72 x kreatinin plasma
Pasien ini didiagnosis dengan PGK stadium V ec. susp. DKD dd PNC. Berdasarkan
rumus Cockroft Gault, LFG pasien saat ini adalah 6,65. Hal ini berarti sesuai dengan kriteria
dan klasifikasi yaitu PGK stadium V atau gagal ginjal.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam atau >200µg/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Dasar dari diagnosis penyakit
ginjal diabetik adalah adanya riwayat diabetes mellitus yang lama disertai dengan
ditemukannya protein atau albumin dalam urin. Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen
dibagi menjadi 5 tahap yaitu :
Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini adalah suatu penyakit ginjal diabetik. Hal ini
didukung dari anamnesis bahwa pasien telah mengidap diabetes lama sejak 22 tahun (1987)
dengan kontrol yang tidak teratur. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat digolongkan
nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan
menurunnya kadar albumin darah(Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta
hipertensi.
Hiperglikemia pada tahap awal dapat menyebabkan peningkatan LFG (hiperfiltrasi),
hal ini diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan ukuran ginjal yang terjadi baik karena
hipertropi ginjal maupun peningkatan proliferasi tubulointerstisial. Perubahan yang terlihat
setelahnya adalah mikroalbuminuria persisten (ekskresi albumin 30-300 mg/hari), yang jika
tidak tertangani dapat berkembang menjadi proteinuria (ekskresi albumin >300 mg/hari.
Proteinuria ini menandakan kerusakan glomerulus yang parah, sampai akhirnya ginjal tidak
mampu menjalankan fungsi ekskresi, yang ditandai dengan LFG yang rendah (<10 ml/menit)
dan menumpuknya bahan uremik. Mekanisme hiperglikemia menyebabkan nefropati diabetik
adalah melalui beberapa hal : efek langsung glukosa melalui protein kinase C, efek produk
akhir glikasi (AGE) dan efek dari sorbitol (poliol pathway)
Pasien ini juga didiagnosa anemia ringan normokromik normositer ec. PGK. Secara
laboratorik anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit
di bawah normal. Sesuai dengan umur pasien maka kadar RBC 3,34 juta/mm3, HgB 9,5
gr/dL, HCT 28,7 % berada dibawah normal. Derajat anemia pada pasien ini adalah anemia
ringan, sesuai dengan klasifikasi derajat anemia ringan yaitu HgB 8-9,9 g/dl. Klasifikasi
anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik dan etiopatogenesis yaitu anemia
normokromik normositer ec. PGK karena nilai MCV 86,1 fl (80-94), MCH 28,3 pg (27-32)
masih dalam batas normal serta penyebab anemia pada pasien ini oleh karena PGK. Penyebab
utama terjadinya anemia pada PGK adalah penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan
tetapi banyak faktor non renal yang ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa
hidup eritrosit yang memendek, dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi
sumsum tulang seperti defesiensi besi, asam folat, toksisitas aluminium dan
hiperparatiroidism.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 170/90 mmHg. Sesuai dengan
klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 maka pasien ini diklasifikasi dalam hipertensi stadium
II.
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII
Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stadium I 140-159 atau 90-99
Hipertensi stadium II > 160 atau > 100
Seperti diketahui bahwa hipertensi dan diabetik nefropati merupakan dua hal yang
memiliki hubungan timbal balik, di mana hipertensi dapat menyebabkan nefropati diabetik
dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Hipertensi pada
nefropati diabetik disebabkan karena keterlibatan sistem renin angiotensin. Mekanisme
patologi yang menyebabkan angiotensin II menyebabkan nefropati diabetik tidak terlalu jelas.
Sebagai tambahan efek hemodinamik yaitu dengan meningkatkan tekanan darah sistemik dan
glomerulus, menyebabkan proteinuria, dan vasokonstriksi ginjal, angiotensin II juga
merangsang proliferasi sel, hipertropi, ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGFß.
Pada pasien ini hipertensi diketahui baru sejak Mei 2008, setelah pasien menderita
DM hampir selama 20 tahun. Jadi kemungkinan hipertensi terjadi setelah terjadinya nefropati
diabetik atau kerusakan ginjal. Hipertensi memiliki berbagai macam komplikasi berupa
kerusakan target organ seperti jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark myokard,
gagal jantung), otak (stroke dan Transient Ischemic Attack), penyakit ginjal kronis, penyakit
arteri perifer, dan retinopati. Pada pasien ini pada pemeriksaan toraks, tidak ditemukan tanda
hipertensi yang lama seperti pembesaran jantung (CTR 54%).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui mikroangiopati
adalah pemeriksaan optalmologi dengan funduskopi. Pada pemeriksaan dapat dicari suatu
retinopati diabetik atau retinopati hipertensif. Namun hal ini sulit dicari pada pasien karena
dari konsul mata yang dilakukan didapatkan katarak di kedua mata.
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah perifer,
di mana jika salah satu atau keduanya meningkat maka akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Pada PGK kedua faktor tersebut mengalami peningkatan yang disebabkan
karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama hipertensi pada PGK adalah
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan natrium dan air. Hal ini akan menyebabkan air yang
berada di ekstraseluler akan berpindah ke pembuluh darah untuk menyesuaikan osmolaritas
darah, sehingga volume darah akan bertambah dan menyebabkan peningkatan curah jantung.
Peningkatan resistensi vaskular pada PGK dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada PGK
terjadi disregulasi sistem renin angiotensin yang disebabkan oleh iskemia pada aparatus
jukstaglomerolus. Iskemia tersebut mengakibatkan ketidakadekuatan pengaktifan renin
terhadap rangsangan natrium. Pada PGK juga terjadi aktivitas berlebihan dari sistem saraf
simpatis yang terjadi akibat peningkatan sensitifitas kemoreseptor ginjal terhadap toksin
uremic dan afferent limb yang akan mengaktifkan sistem saraf simpatik sentral. Pada PGK
juga terjadi peningkatan vasopresor (Endothelin I dan Thromboxane) dan penurunan
vasodilator (Nitric Oxide). Hiperparatiod sekunder yang diakibatkan oleh hiperfosfatemia
juga mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular melalui peningkatan kalsium intraseluler,
efek langsung terhadap sekresi renin, dan sensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap
vasopresor.
Pada pemeriksaan klinis di UGD ditemukan pasien tampak sesak. Pemeriksaan toraks
didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis, namun ekspansi dada
menurun. Pada palpasi didapatkan fremitus vokal menurun pada kedua sisi basal, perkusi
redup pada kedua sisi paru dari ICS V. Hal ini ditunjang dengan hasil foto toraks tampak
perselubungan homogen di kedua lapangan paru setinggi ICS V di hemithoraks kiri dan
setinggi ICS V di hemithoraks kanan. Hal ini mendukung adanya suatu efusi pleura bilateral.
Penatalaksanaan untuk memastikan pasien dengan efusi pleura adalah dengan dilakukan
punksi pleura. Pada pasien ini punksi dilakukan untuk kepentingan diagnostik dan terapi.
Dari pemeriksaan cairan pleura ditemukan bahwa cairan efusi merupakan cairan eksudat dan
bilateral, hal ini mendukung efusi yang disebabkan karena kelainan sistemik dalam kasus ini
adalah hipoalbuminemia (2,2). Hipoalbuminemia yang terjadi diakibatkan karena
peningkatan ekskresi albumin melalui ginjal.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40 % 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS
8 tts/mnt, diet 35 kkal+0,8 gr protein/kgBB/hr, asam folat 2xII tab, CaCO3 3x1 tab, captopril
2x25 mg tab, nifedipine GITS 1x30 mg, ca glukonas 1 amp IV, D50% + 20 unit insulin,
kalitake 3x1 sachet, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip, punksi
efusi dan HD cito.
Pemberian glukosa intravena sesuai dengan penatalaksanaan hipoglikemia akut berat.
Penatalaksanaan lainnya yang dapat dilakukan adalah pemberian glukagon intramuskular.
Untuk cairan pada pasien ini diberikan IVFD NaCl 0,9 % 8 tetes/menit. Jumlah cairan yang
masuk dan keluar harus dimonitoring karena adanya fungsi ginjal yang menurun serta untuk
mencegah terjadinya kelebihan cairan yang masuk. Pasien tidak disarankan untuk minum
banyak karena dapat menyebabkan kelebihan cairan dalam tubuh sehingga dapat
memperberat beban ginjal, memperparah terjadinya peningkatan tekanan darah, ascites, dan
edema ekstrimitas.
Rekomendasi dari K-DOQI untuk mempertahankan keadaan klinik stabil pada pasien
gagal ginjal sebelum dilakukan HD reguler adalah 0,8 gram protein/kgBB/hr, di mana 50 %
protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi. Energi yang dibutuhkan adalah 35
Kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menurunkan hasil katabolisme protein dan asam
amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya yang tidak dapat diekskresikan oleh
ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh
dan merangsang pengeluaran insulin. Selain itu pada pasien ini juga dilakukan diet rendah
garam karena adanya hipertensi dan edema.
Untuk mencegah osteodistrofi tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder, kadar
fosfat serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfat (terutama daging dan susu).
Apabila LFG < 30 ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat
atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pada penderita ini juga diberikan CaCO 3
3x500 mg untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, sehingga hipokalsemia dan
hiperparatiroidisme dapat dicegah.
Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan asam folat 3 x I. Pemberian asam folat
dimaksudkan untuk mengatasi keadaan hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar
homosistein dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu asam
folat juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK yang disebabkan oleh
defisiensi asam folat.
Pasien ini didiagnosa dengan hipertensi derajat II, sehingga modalitas terapi yang
digunakan adalah kombinasi dua atau lebih macam obat antihipertensi. Pada pasien ini
diberikan captopril 2 x 25 mg Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu mekanisme
terjadinya hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin angiotensin. Oleh
sebabkan itu terapi lini pertama adalah anti hipertensi golongan ACE Inhibitor. Suatu
penelitian membuktikan bahwa pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan proteinuria dan
memperbaiki perubahan glomerulus berkaitan dengan penurunan tekanan hidrostatik
glomerulus. Penelitian juga menunjukkan bahwa ACE inhibitor juga menurunkan cedera
tubulointerstitial pada percobaan Diabetes. Suatu penelitian pada manusia juga menunjukkan
ACE inhibitor menghambat progresi mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 dan 2. Kombinasi
yang disukai untuk hipertensi pada DM adalah ACE inhibitor dan Angiotensin Reseptor
Blocker (ARB) karena efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik. Penggunaan
Dihydropiridine Calsium Channel Blocker pada hipertensi dengan DM dan PGD masih
merupakan kontroversi, karena penggunaan tunggal dapat meningkatkan proteinuria dan
angka kejadian kardiovaskuler. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan
DCCB apabila dikombinasikan dengan ACE inhibitor tidak terbukti meningkatkan risiko
kardiovaskuler. Target terapi pada pasien hipertensi dengan PGK adalah < 130/80.
Terapi untuk hiperkalemia pada pasien ini adalah hemodialisis cito. Indikasi
hemodialisis adalah:
1. Indikasi cito
Pericarditis/efusi perikardium
Ensefalopati/neuropati azotemik
Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik.
Hiperkalemia (> 6,5)
2. Indikasi elektif
Sindrom uremia
Hipertensi sulit terkontrol
Overload cairan
Persiapan preoperasi
Oliguria-anuria (3-5 hari)
BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit.
Namun karena pasien menolak dilakukan hemodialisis cito, maka yang dapat
dilakukan adalah dengan pemberian ca glukonas 1 amp IV yang berperan untuk mencegah
efek kalium pada otot jantung yaitu terjadinya aritmia, D50% + 20 unit insulin yang
berfungsi untuk memasukkan kalium ke intrasel, kalitake 3x5 g untuk meningkatkan
penyerapan kalium di usus, Natrium bikarbonat 50 meq bolus dilanjutkan 50 meq/jam drip
yang berfungsi untuk mengatasi asidosis metabolik. Kemudian dilakukan pemantauan Na-K
setiap hari dan direncanakan dilakukan konsultasi gizi, mata dan neuro yang dilakukan
sebagai penalaksanaan diabetes terpadu.
Prognosis pasien ini dubius ad malam baik tanda-tanda vital maupun fungsi tubuh
secara keseluruhan. Pasien sudah masuk dalam tahap gagal ginjal kronik dan sampai saat ini
terapi definitif untuk gagal ginjal kronik adalah terapi pengganti baik itu transplantasi,
hemodialisis, maupun peritonial dialisis. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki
berbagai macam komplikasi oleh karena hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, maupun uremic
toksin yang juga bisa memperburuk prognosis pada pasien ini.
V. Ringkasan
Penyakit ginjal diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit DM.
Patogenesis yang menyebabkan keadaan hiperglikemi menyebabkan penyakit ginjal diabetik
melalui alur metabolik yang melibatkan produk akhir glikasi (AGE), protein kinase C dan
polyol, serta alur hemodinamik yang terutama melibatkan sistem angiotensin II.
Pada pasien ini penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena penyakit
diabetes yang diderita pasien selama > 20 tahun. Pasien ini dapat digolongkan nefropati
diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi yang ditandai dengan
menurunnya kadar albumin darah (Alb : 2,2), LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,65), serta
hipertensi.
Pasien ini didiagnosa dengan koma hipoglikemia ec obat (Glibenkelamide), diabetes
mellitus, efusi pleura bilateral ec hipoalbumin, CKD stg V ec susp DKD dd PNC, anemia
ringan N-N on CKD, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan D40
% 2 fl, D10 % 20 tts/menit, IVFD NS 8 tts/mnt, D50% + 20 unit insulin, diet 35 kkal+0,8 gr
protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500 mg, captopril 2x25 mg tab, nifedipine
GITS 1x30 mg, ca glukonas 100 mg, kalitake 3x5 g, punksi efusi dan HD cito.
DAFTAR PUSTAKA
1. Foster, D.W., Unger, R.H., (1998), DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th
ed, WB Saunders, Philadelphia, Pg 973-1039.
2. Waspadji, S., (1996), Komplikasi Kronik DM: Pengenalan dan Penanganannya.
dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ketiga, Gaya Baru, Jakarta, hal. 597-
614.
3. Sundoyo, Ari W, dkk. (Juni 2006), Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FKUI, Jakarta, Hal. 545-547.
4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni; 2006.
5. Bethesda.”Kidney Disease of Diabetes” Available at: http: // www. kidney. niddk. nih.
gov / kudiseases / pubs / kdd / index.htm. Accessed December l8, 2006.
6. Sukandar, E., (2006). Nefropati Diabetik Pada DM Tidak Tergantung Insulin
(DMTTI), dalam: Nefrologi Klinik Edisi III. FK UNPAD/RS Hasan Sadikin,
Bandung.
7. Bieke F. Schrijvers, An S. De Vriese, Allan Flyvbjerg. From Hyperglicemia to
Diabetic Kidney Disease: The Role of Metabolic, Hemodynamic, Intracellular Factor
and Growth Factor/Cytokines. The Endocrine Society. Endocrine reviews 25: 971-
1010, 2004.
8. “Diabetic Nephropathy”, (2006, August 30-last update), Available at:
http://www.diabetes.org.uk/ (Accessed: 2008 December 17).
9. Joshua, A.,”Diabetic Nephropathy”, Available at: http: // www. Cleveland
clinicmeded. com / disease management/ nephrology.htm. (Accessed: at December l8,
2008) .
10. DeFronzo RA, (1996), Diabetic Nephropathy. In: Ellendberg & Rifkin’s DM, 5th ed.
Connecticut: Appleton Lange. pp: 971-1008.
11. Goldman Ausiello. Cecil Essential of Medicine. “Diabetes and The Kidney”. WB
Saunders Company, USA, l997.
12. Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 2008, December l8).
13. “Diabetic Nephropathy”. Available at:http://en.wikipedia.org/wiki/
Diabeticnephropathy . (Accessed 2006, December l8).
14. Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 2008, December l8).
15. Rudd and Osterberg. (2002), Hypertension: context, patophysiologi and management.
In: Text of cardiovascular medicine. 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins.
16. Feldman EL, et all. Diabetic neuropathy. In: Principles and practice of endocrinology
and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2001: 1391-
1402.
17. Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam .
3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365
18. Sutjahjo A. Neuropati diabetik: “Dasar-dasar Diagnosis, Patogenesis, dan
Penatalaksanaan Ditinjau Dari Sudut Pandang Diabetelogis. In: Naskah lengkap
simposium pengelolaan dan penanganan penyakit endokrin dan metabolik. Medan:
Perkumpulan Endokrinologi Cabang medan. 1995: 95-110.
19. “Diabetic Nephropathy” (2006, July 25 – last update). Available at:
http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html
(Accessed 2008, December 18).
20. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing Dialysis
and Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003
21. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With
Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008
22. “Diabetes and Cardiovascular Disease Review”, Available at: http: // www. diabetes.
org / uedocuments / ADA cardioreview_2pdf. (Accessed 2008, December l8)
23. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB Perkeni.
24. Gale EAM & Anderson JV., (2002), DM And Other Dissorder Of Metabolism. In:
Kumar & Clark clinical medicine. London: WB Saunders.
25. Loekman JS. (2003), Beberapa Hal Baru Dalam Penatalaksanaan Hipertensi, dalam:
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. 11th ed. Denpasar: Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/ RS Sanglah.pp. 1-7.
26. Kevin J. Hardy, Niall J. Furlong, Shirley A Hulme. Delivering Improved Management
and Outcomes in Diabetic Kidney Disease in Routine Clinical Care. The British
Journal Diabetes and Vascular Disease.
27. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine. 15 th
ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.
28. Powers AC. DM. In: Harrison’s of internal medicine. 15 th ed. India: Mc Graw-Hill.
2003; 2: 2109-2137