Anda di halaman 1dari 9

Kisah ini pernah terjadi di zaman Bani Israil dahulu kala.

Nabi n menceritakannya kepada


umatnya agar menjadi pelajaran berharga dan teladan dalam kebaikan.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri,
Sa’id bin Malik bin Sinan c, bahwa Nabi n bersabda:

ََ‫ل َر ُجلَ َقبلَ ُكمَ كَانََ فِي َمنَ كَان‬ ََ َ ‫ل نَفسا َوتِس ِعينََ تِسعَةَ َقت‬ ََ َ ‫سأ‬َ ‫ل أَعلَ َِم َعنَ َف‬ َِ ‫ض أَه‬ َ ِ ‫علَى فَدُلَ اْلَر‬ َ َ‫ل َفأَت َاَهُ َراهِب‬ ََ ‫ل إِن َهُ َف َقا‬ ََ َ ‫تِسعَةَ َقت‬
َ
ََ‫ل تَوبَة؟ ِمنَ ل َهُ فَ َهلَ نَفسا َوتِس ِعين‬ ََ ‫فَقَا‬: َ‫ل‬ َ
َ . ُ‫ل فَقَتَل َه‬ ََ ‫ل ثمَ ِمائ َةَ بِ َِه فَكَم‬ ُ َ
ََ ‫سأ‬ َ
َ َ‫ل أعل َِم َعن‬ َ َ
َِ ‫ض أه‬ َ
َ ِ ‫على فَدُلَ اْلر‬ َ َ َ‫ل َعا ِلمَ َر ُجل‬ ََ َ‫قَت‬
ََ ‫ل إِن َهُ فَقَا‬
َ‫ل تَوبَة؟ ِمنَ لَ َهُ فَ َهلَ نَفسَ ِمائَ َة‬ ََ ‫فَقَا‬: َ‫نَعَم‬، َ‫ل َو َمن‬ َُ ‫التوبَ َِة َو َبينََ بَينَ َهُ يَ ُحو‬، َ‫ط ِلق‬ َ ‫ض ِإلَى ان‬ َ ُ
َ ِ ‫للا يَعبُدُونََ أنَاسا بِ َها فَإِنَ َو َكذَا َكذَا أر‬ ََ
‫للا فَاعبُ َِد‬ََ َ‫لَ َم َع ُهم‬ َ ‫ضكََ ِإلَى تَر ِجعَ َو‬ ِ ‫ض فَإِن َها أَر‬ َُ ‫سوءَ أَر‬ َ . ََ‫طلَق‬ َ ‫ف ِإذَا َحتى فَان‬ ََ ‫ص‬َ َ‫ص َمتَ ال َموتَُ أَت َاَهُ الط ِريقََ ن‬ َ َ‫َمالَئِ َك َةُ فِي َِه فَاخت‬
‫ب َو َمالَ ِئ َك َةُ الرح َم َِة‬َِ ‫الرح َم َِة َمالَ ِئ َك َةُ فَقَالَتَ ال َعذَا‬: ‫للاَِ ِإلَى ِبقَل ِب َِه ُمق ِبالَ تَا ِئبا َجا ََء‬. َ‫ب َمالَ ِئ َك َةُ َوقَالَت‬ َِ ‫ال َعذَا‬: ُ‫قَطَ خَيرا َيع َملَ لَمَ ِإن َه‬.
َ‫ورةَِ فِي َملَكَ فَأَتَاهُم‬ َ ‫ص‬ ُ َ‫ل بَي َن ُهمَ فَ َجعَلُوَهُ آ َد ِمي‬ ََ ‫فَقَا‬: ‫سوا‬ ُ ‫ن َبينََ َما قِي‬ َِ ‫ضي‬ َ ‫لَ َهُ فَ ُه ََو أَدنَى كَانََ أَيتِ ِه َما فَإِلَى اْلَر‬. ُ‫سوَه‬ ُ ‫أَدنَى فَ َو َجدُوَهُ فَقَا‬
‫ض إِلَى‬َ ِ ‫ضت َهُ أ َ َرا ََد التِي اْلَر‬َ َ‫الرح َم َِة َمالَئِ َك َةُ فَقَب‬. ‫ل‬ ََ ‫قَت َا َدَة ُ قَا‬: ‫ل‬ََ ‫سنَُ فَقَا‬ َ ‫ال َح‬: ‫صد ِرَِه نَأَى ال َموتَُ أَت َاَهُ لَما أَن َهُ لَنَا ذُ ِك ََر‬ َ ِ‫ب‬
Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh
99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika itu, lalu
ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah). Maka dia pun
mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 99
jiwa, apakah ada taubat baginya?

Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun
menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia menanyakan
apakah ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya
tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan bahwa sesungguhnya dia telah
membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang
menghalangi dia dari taubatnya? Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena sesungguhnya di
sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu
kepada Allah bersama mereka. Dan jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu
adalah negeri yang buruk/jahat.” Maka dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah
perjalanan datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah
malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia.
Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap
kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”
Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu
amalan kebaikan sama sekali.”
Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai
hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara
(dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka
dialah yang berhak membawanya.”
Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat
kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.
Kata rawi: Kata Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa ketika
kematian datang menjemputnya, dia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan).”

Hadits ini menceritakan kepada kita tentang orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu dia
menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu yang ada ketika itu. Kemudian
ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Ternyata ahli ibadah itu hanyalah ahli ibadah,
tidak mempunyai ilmu. Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan:
“Tidak ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli ibadah
tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa. Kemudian dia tanyakan lagi tentang ahli
ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu dia
bertanya, apakah ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu
menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka
lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang
yang beribadah kepada Allah l, dan jangan pulang ke kampungmu, karena negerimu adalah
negeri yang buruk.”
Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung
halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta menyesali perbuatan dan
dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang dia lakukan,
memperbaiki diri, mengisi hari esok dengan amalan yang shalih sebagai ganti kezaliman dan
kemaksiatan yang selama ini digeluti. Di tengah perjalanan menuju kampung yang baik,
dengan membawa segudang asa memperbaiki diri, Allah metakdirkan dia harus mati.
Takdir dan kehendak Allah l jua yang berlaku. Itulah rahasia dari sekian rahasia Allah
Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin ditanya mengapa Dia berbuat begini atau begitu.
Tetapi makhluk-Nya lah yang akan ditanya, mengapa mereka berbuat begini dan begitu.
Allah l Maha melakukan apa saja yang Dia inginkan. Semua yang ada di alam semesta, baik
yang terlihat maupun tidak terlihat adalah milik Allah k, ciptaan-Nya dan di bawah
pengawasan serta pengaturan-Nya. Dia Yang menentukan setiap perbuatan seorang hamba,
50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Dia yang memberikan perangkat
kepada seorang hamba untuk melakukan sesuatu. Dia pula yang memberi taufiq kepada
hamba tersebut ke arah apa yang telah ditakdirkan-Nya.
Pembunuh 100 jiwa itu, adalah salah satu dari makhluk ciptaan Allah l. Dia ada di
bawah kehendak dan kendali Allah l. Ketentuan dan takdir Allah l sudah pasti berlaku pula
atasnya. Perbuatan zalim yang dikerjakannya adalah takdir Allah l. Taubat dan penyesalan
yang dia rasakan dan dia inginkan adalah takdir dari Allah l. Alangkah beruntungnya dia. Tapi
kalau begitu, zalimkah Allah l? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya? Jawabnya sudah pasti,
tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang zalim.

Apakah kezaliman itu? Kezaliman adalah berbuat sesuatu pada hal-hal yang bukan miliknya.
Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Siapakah Allah ? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?
Kita milik Allah . Dia-lah Yang telah menciptakan dan mengatur kita. Dia Maha Tahu yang
tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha Bijaksana, Dia meletakkan segala sesuatu sesuai pada
tempatnya. Dia Maha Tahu apa yang diciptakan-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi
ciptaan-Nya. Allahu Akbar.
Lelaki itu meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal shalih’ sekali
pun. Dia hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat dari semua kesalahan. Hal itu
terwujud dari keinginannya bertanya kepada mereka yang dianggap berilmu: Apakah ada
taubat baginya? Semua itu tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa lalu yang kelam,
menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan. Alangkah besar karunia Allah kepada dirinya.
Alangkah besar rahmat Allah kepada para hamba-Nya. Tetapi alangkah banyak manusia
yang tidak mengetahui bahkan tidak mensyukuri nikmat tersebut.
Sungguh, andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam ini harus
diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, niscaya tidak akan ada lagi satu pun makhluk
yang melata di atas muka bumi ini. Sungguh, seandainya kemurkaan Allah l yang lebih
dahulu daripada rahmat-Nya, niscaya tidak akan pernah ada rasul yang diutus, tidak ada
Kitab Suci yang diturunkan. Tidak ada ulama dan orang shalih serta berilmu yang memberi
nasihat, peringatan, dan bimbingan. Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata
di muka bumi ini.
Allah berfirman:
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah
menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
(Fathir: 45)
Kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan tidak lain
adalah akibat ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang diberikan kepada mereka
membuat mereka lupa, bahkan semakin menambah kedurhakaan mereka. Ingatlah firman
Allah l:
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan
perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke
arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada
mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (Al-Qalam: 44-45)
Maka jelas pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak
suka tuhan yang kejam.”
Andaikata yang dia maksud adalah Allah l, maka hanya ada dua kemungkinan pada diri
orang seperti ini, kafir (murtad) atau kurang akalnya (idiot). Apabila sudah dia terima bukti
dan keterangan tapi masih menolak dan mengingkari, maka dikhawatirkan dia telah keluar
dari Islam.
Betapa luas nikmat Allah l kepada hamba-Nya. Siang malam Dia memerhatikan serta
mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tetapi mereka justru
menampakkan kebencian kepada Allah l dengan senantiasa mengerjakan maksiat sepanjang
siang dan malam.
Maka dari itu:

“Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu?” (An-Najm: 55)
Di antara rahmat Allah l juga adalah seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dari Anas
bin Malik z:
َ َ َ‫احلَتِ َِه َعلَى كَانََ أَ َح ِد ُكمَ ِمنَ إِلَي َِه يَتُوبَُ ِحينََ َعب ِدَِه بِتَوبَ َِة فَ َرحا أَشَد‬
ُ‫لَل‬ َ ِ ‫طعَا ُم َهُ َو َعلَي َها ِمن َهُ فَانفَلَتَتَ فَ َالةَ بِأَر‬
ِ ‫ض َر‬ َ ُ‫س َوش ََرابُ َه‬ََ ِ‫فَأَي‬
‫ش َج َرةَ فَأَتَى ِمن َها‬َ ‫ط َج ََع‬ َ ‫س قَدَ ِظ ِل َها فِي فَاض‬ ََ ِ‫احلَتِ َِه ِمنَ أَي‬
ِ ‫ام َها فَأ َ َخذََ ِعن َدَهُ قَائِ َمةَ بِ َها ه ََُو إِذَا َكذَ ِلكََ ه ََُو فَبَينَا َر‬
ِ ‫ط‬َ ‫ل ثُمَ بِ ِخ‬
ََ ‫ِمنَ قَا‬
َ َ
َ ‫الفَ َر‬: َ‫ربكََ َوأنَا َعبدِي أنتََ الل ُهم‬.
َِ‫حِ ِشدة‬ َ
َ ‫طَأ‬ َ
َ ‫حِ ِشدةَِ ِمنَ أخ‬ َ ‫الفَ َر‬
“Benar-benar Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-
Nya daripada salah seorang kamu yang berada di atas kendaraannya di sebuah tanah
padang yang sunyi, lalu kendaraan itu lepas (lari) meninggalkannya, padahal di atasnya ada
makanan dan minumannya. Akhirnya dia putus asa mendapatkannya kembali. Maka dia pun
mendatangi sebatang pohon lalu berbaring di bawah naungannya, dalam keadaan putus asa
dari kendaraannya. Ketika dia dalam keadaan demikian, ternyata tiba-tiba kendaraan itu
berdiri di dekatnya. Lalu dia pun menggenggam tali kekangnya dan berkata saking
gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabbmu.’ Dia salah ucap karena saking
gembiranya.”
Inilah Hakikat Hijrah
Hijrah adalah salah satu kewajiban ajaran Islam, salah satu amalan shalih paling
utama, bahkan merupakan sebab keselamatan agama seseorang serta perlindungan bagi
imannya. Hijrah terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ialah hijrah meninggalkan
apa yang diharamkan Allah l dan Rasul-Nya n atas setiap mukallaf. Maka, orang yang
bertaubat dari kemaksiatan yang telah lalu berarti dia telah berhijrah meninggalkan apa
yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya.
Sedangkan seorang muslim, dibebankan kepadanya agar meninggalkan segala yang
diharamkan oleh Allah l.

Nabi n bersabda:

َ‫اج ََر إِن‬ َ ُ‫َعن َه‬


ِ ‫للاُ نَ َهى َما َه َج ََر َمنَ ال ُم َه‬

“Sesungguhnya, muhajir sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah.” (HR. Ahmad, no. 6912)

Sabda Nabi n ini sekaligus perintah, meliputi semua perbuatan haram baik dalam bentuk
ucapan maupun perbuatan.
Apa yang disabdakan Nabi n ini meliputi pula hijrah lahir dan hijrah batin. Hijrah lahir adalah
lari membawa tubuhnya menyelamatkan diri dari fitnah. Sedangkan hijrah batin adalah
meninggalkan apa saja yang menjadi ajakan hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan
kepada kejelekan dan apa-apa yang dijadikan indah oleh setan. Hijrah kedua ini merupakan
dasar bagi hijrah yang pertama.

Allah l berfirman:

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (An-Nisa’: 100)

Asy-Syaikh As-Sa’di t dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan:

Kemudian firman Allah l:

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”,
maksudnya yang sengaja menuju Rabbnya, mengharap ridha-Nya, karena cinta kepada
Rasul-Nya, dan demi membela agama Allah l, serta bukan karena tujuan lain,

“Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju)”, karena


terbunuh atau sebab lainnya,

“Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” Yakni, pahala muhajir yang mencapai
tujuannya dengan jaminan dari Allah l telah dia terima. Hal itu karena dia telah berniat dan
bertekad; dia telah memulai kemudian segera mulai mengerjakannya. Maka termasuk
rahmat Allah l atasnya dan orang-orang seperti dia adalah Allah l memberinya pahala
sempurna. Meskipun mereka belum mengerjakan amalan mereka secara tuntas, serta
mengampuni mereka dengan kekurangan yang ada pada hijrah atau amalan tersebut.

Sebab itulah, Allah l akhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia dalam firman-Nya:

“Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Dia memberi ampunan bagi
kaum mukminin yang mengerjakan dosa terutama mereka yang bertaubat kepada Rabb
mereka. Dia Maha penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Penyayang kepada kaum
mukminin dengan memberi mereka taufiq agar beriman, mengajari mereka ilmu yang
menambah keyakinan mereka, memudahkan mereka sebab-sebab menuju kebahagiaan dan
kemenangan.

Beberapa Faedah

1. Seorang pembunuh, bisa diterima taubatnya. Dalilnya adalah firman Allah l:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)

Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas c bahwa tidak ada taubat bagi
seorang pembunuh karena Allah l berfirman:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)

Mungkin bisa dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan dengan
korban yang terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak sekaligus: hak Allah l,
hak korban yang dibunuhnya, dan hak ahli waris korban (walinya).

Adapun hak Allah l, tidak disangsikan lagi bahwa Allah l akan mengampuninya dengan
adanya taubat dari pelaku maksiat tersebut, sebagaimana firman Allah l:

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-
Zumar: 53)

Juga firman Allah l:

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal
dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan
mengerjakan amal shalih. Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat
yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)

Adapun hak korban yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah berguna dan jelas
belum tertunaikan hak korbannya, karena korban itu sudah mati. Tidak mungkin pula
sampai pada tingkat dia minta penghalalan atau lepas dari tuntutan darahnya. Jadi, inilah
yang masih tersisa serta menjadi beban tuntutan di pundak si pembunuh, meskipun dia
sudah bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah l akan memutuskan perkara di
antara mereka.

Sedangkan hak ahli waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga tidak sah hingga dia
menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui perbuatannya, dan menyerahkan kepada
mereka, apakah dia harus dihukum mati (qishash), membayar diyat (tebusan), atau mereka
memaafkannya.

2. Dalam hadits kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa besar. Mungkin,
ketika Allah l menerima taubat seorang pembunuh, Dia menjamin keridhaan lawan
(korban)nya, dan Dia kembalikan kezalimannya. Inilah salah satu rahmat dan keadilan Allah
l.

3. Kisah ini melarang kita membuat orang lain putus asa dari dosa besar yang dikerjakannya.
Allah l sendiri telah menerangkan bahwa Dia tidak akan menjadikan kekal di neraka orang
yang mati dalam keadaan bertauhid, sebagaimana dalam hadits Anas z yang diriwayatkan
At-Tirmidzi t:

َُ‫س ِمعت‬ َ ‫ل‬ََ ‫سو‬


ُ ‫ِِ َللاَ َر‬n ‫ل‬ َُ ‫يَقُو‬: ‫ل‬ََ ‫للاُ قَا‬
َ ََ‫ارك‬ َ َ‫وتَعَالَى تَب‬:
َ ‫آ َد ََم ابنََ يَا‬، ََ‫ل فِيكََ كَانََ َما َعلَى َلكََ َغفَرتَُ َو َر َجوتَنِي َد َعوتَنِي َما إِنك‬ ََ ‫َو‬
ُ
‫أبَا ِلي‬، ‫اء َعنَانََ ذُنُوبُكََ بَلَغَتَ لَوَ آ ََد ََم ابنََ يَا‬ ُ
َِ ‫ل لَكََ َغفَرتَُ استَغفَرتَنِي ثمَ الس َم‬ ُ َ
ََ ‫أبَا ِلي َو‬، ‫ب أتَيتَنِي لَوَ ِإنكََ آ َد ََم ابنََ يَا‬
َِ ‫بِقُ َرا‬
َ
َ ِ ‫طايَا اْلر‬
‫ض‬ ُ
َ ‫ل لَ ِقيتَنِي ثمَ َخ‬ َ
ََ َُ‫َمغ ِف َرةَ بِقُ َرابِ َها َْلت َيتُكََ شَيئا بِي تُش ِرك‬

Saya mendengar Rasulullah n bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai Bani
Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku, mengharapkan-Ku, niscaya Aku beri
ampun kepadamu atas apa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam,
seandainya dosa-dosamu mencapai langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya
Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, sungguh, seandainya
engkau datang kepada-Ku membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu
dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku datang
kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh itu juga.”

Namun, bisa jadi pula dia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali, atau diazab
sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang bertauhid lalu dikeluarkan
menuju ke dalam jannah. Maka janganlah berputus asa dari rahmat Allah l dan jangan pula
membuat orang lain berputus asa darinya. Allah l berfirman tentang Khalil-Nya, Ibrahim q:

“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-
orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)

4. Di dalam kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang di sana seseorang
bermaksiat, apakah karena adanya teman dan fasilitas yang mendukung atau hal-hal
lainnya.

5. Dari kisah ini pula jelaslah betapa seseorang tidak mungkin selamat dan lolos dari azab
kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya meski hanya sebesar biji sawi. Maka
dari itu, sudah semestinyalah orang yang bertaubat memperbanyak amal kebaikannya.

6. Termasuk tugas seorang yang bertaubat –kalau dia bukan orang yang berilmu–
hendaknya dia pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa yang akan datang dan apa
yang haram dikerjakannya.

7. Perlu pula diingat dalam kisah ini, bahwasanya lingkungan yang baik, bergaul dengan
orang shalih akan menambah iman seseorang. Sedangkan segala kerusakan, petaka dan
penyimpangan, tumbuhnya tidak lain karena adanya dukungan para setan dan bala
tentaranya, termasuk dari kalangan manusia yang senantiasa membuka pintu kelalaian dan
syahwat serta tidak mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.

Sungguh indah peringatan Rasulullah n dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari z:

َ‫يس َمثَ ُل‬


َ ِ ‫حِ ال َج ِل‬
َ ‫ل َوالسو َِء الصا ِل‬ ِ ‫ك َك َح‬
َِ ‫ام‬ َِ ‫خِ ال ِمس‬َ ِ‫ال ِكي َِر َونَاف‬، ‫ل‬ ِ ‫ك فَ َح‬
َُ ‫ام‬ َِ ‫ع أَنَ َوإِما يُح ِذيَكََ أَنَ إِما ال ِمس‬
ََ ‫ِمن َه ُ ت َِج ََد أَنَ َوإِما ِمن َهُ ت َبت َا‬
‫طيِبَةَ ِريحا‬ َ ،‫خ‬ َُ ِ‫َخبِيثَةَ ِريحا ت َِج ََد أَنَ َوإِما ثِيَابَكََ يُح ِرقََ أَنَ إِما ال ِكي َِر َونَاف‬

“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti
pembawa misik dan pandai besi. Adapun si pembawa misik (minyak wangi), mungkin dia
akan memberimu, atau kamu membeli darinya, atau kamu dapatkan bau harum darinya.
Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau kamu dapatkan bau
tidak sedap darinya.”

8. Satu hal yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat ikhlas si pembunuh, itulah yang
mengantarnya kepada rahmat Allah l yang teramat luas. Meski belum mengisi lembaran
hidup barunya dengan kebaikan, tetapi tekad dan niat ikhlas ini sangat bernilai di sisi Allah l.
Inilah salah satu buah dan keutamaan tauhid yang murni.

Anda mungkin juga menyukai