Anda di halaman 1dari 65

BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Kajian rinci kondisi geologi Daerah Sinarbakti dan sekitarnya, Kecamatan

Cijati, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dilakukan setelah melakukan

pemetaan geologi rinci (detail geologycal mapping). Interpretasi kondisi geologi

daerah penelitian meliputi berbagai aspek yaitu aspek geomorfologi, aspek

stratigrafi gunung api, aspek struktur geologi, aspek sejarah geologi dan juga

aspek geologi tata lingkungan yang berkembang pada daerah penelitian. Hasil dari

kajian ini merupakan interpretasi komprehensif dari berbagai parameter

identifikasi yang dilakukan selama proses pemetaan rinci di lapangan dan juga

didukung oleh analisis laboratorium maupun analisis studio.

4.1. Interpretasi Awal Indikasi Tubuh Gunung Api

Indikasi adanya tubuh gunung api baik yang masih aktif, mati maupun

gunung api purba dapat dikenali dari berbagai macam pendekatan, yaitu

pendekatan analisis pengindraan jauh (indraja) dan geomorfologi, pendekatan

analisis peta geologi, pendekatan analisis stratigrafi maupun litofasies gunung api,

sedimentologi, struktur geologi, petrologi dan geokimia.

4.1.1. Pendekatan Indraja dan Geomorfologi Gunung Api

Pendekatan ini merupakan langkah awal dalam mengidentifikasi adanya

tubuh gunung api. Pada daerah penelitian indikasi adanya beberapa tubuh gunung

api purba yakni relief paling kasar daripada daerah sampingnya. Relief kasar

tersebut berbentuk sebaran lateral yang relatif melingkar (Gambar 4.1). Dari data
Alfian Trisna Adi. S
410014130 72
tersebut sehingga dapat diintrepetasikan terdapat empat khuluk gunung api yaitu

Khuluk Padaasih, Khuluk Cikarang, Khuluk Bojongkasih dan Khuluk Sirnasari.

Dengan pendekatan indraja dengan analisis citra DEMNAS (Anonim 2018),

selain berguna mengetahui morfologi gunung api juga untuk mengetahui

penyebaran tiap satuan batuan.

Gambar 4.1 Analisis dari citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
DEMNAS (Anonim, 2018) yang menunjukkan adanya suatu pola
melingkar pada daerah penelitian.

Berdasarkan hasil identifikasi DEMNAS terhadap kondisi roman muka

bumi disekitar daerah penelitian, didapati beberapa indikasi keberadaan tubuh

gunung api masa lampau, yaitu berupa pola perbukitan berbentuk sirkular yang

diintepretasikan sebagai sisa tubuh gunung api yang telah tererosi tingkat lanjut

dan kemungkinan strata batuan yang tertindih oleh strata lain diatasnya pada

kenampakan 3D DEMNAS daerah penelitian(Gambar 4.2 & 4.3).


Alfian Trisna Adi. S
410014130 73
Gambar 4.2 Bentukan 3D arah utara dari citra DEMNAS (Anonim, 2018) daerah
penelitian.

Gambar 4.3 Bentukan 3D arah timurlaut dari citra DEMNAS (Anonim, 2000)
daerah penelitian.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 74
4.1.2. Pendekatan Fasies Gunung Api

Dari analisa data yang didapatkan pada survei awal, diperoleh adanya lava

yang mencirikan fasies pusat suatu gunung api purba. Selain itu dijumpai pula

litologi berupa tuf jatuhan, breksi piroklastika dan lava yang mencirikan sebagai

fasies proksimal. Kehadiran lava disini sebagai kunci adanya pusat erupsi gunung

api karena dengan kehadiran lava pasti ada daerah dimana asal lava itu

dikeluarkan (pusat erupsi). Pusat erupsi dari lava andesit tersebut diinterpretasikan

tidak jauh dan masih berada pada daerah penelitian karena sifat lava andesit

dengan viskositas menengah dan fluiditas menengah, berbeda dengan lava basal

yang mengalir jauh kemana-mana sebagai akibat dari viskositas rendah dan

fluiditas tinggi. Beberapa fasies tersebut bisa saja saling tumpang tindih akibat

proses vulkanisme bisa saling berkaitan dan berjalan secara berlanjut sehingga

aktivitas vulkanisme yang berumur relatif lebih muda bisa menerobos batuan

vulkanik yang lebih tua dimana membuat awalnya termasuk fasies proksimal

maupun medial menjadi fasies sentral akibat aktivitas vulkanisme yang lebih

muda.

4.2. Geomorfologi

Intepretasi geomorfologi yang berkembang di lokasi penelitian meliputi

pembagian satuan geomorfologi, pola pengaliran, stadia sungai dan stadia daerah

penelitian. Aspek morfometri yang bersifat kuantitatif pada peta sayatan lereng

(Lampiran 2, hal. 185), dilakukan perhitungan yang kemudian didapatkan hasil

perhitungan kemiringan lereng & beda tinggi (Lampiran 3, hal. 186), yang

Alfian Trisna Adi. S


410014130 75
mengacu pada klasifikasi van Zuidam dan van Zuidam - Cancelado (1979). Aspek

morfogenesa yang bersifat kualitatif didapatkan dari observasi langsung di lokasi

penelitian, dikorelasikan dengan hasil analisa kondisi roman muka bumi melalui

peta topografi serta citra satelit, berdasarkan proses geologi baik endogen maupun

eksogen, pola pengaliran, stadia sungai dan stadia daerah penelitian sehingga

interpretasi dan penamaannya berdasarkan deskriptif eksplanatoris (genetis),

bukan secara empiris atau parametris, misalnya dari kriteria persen lereng saja,

sehingga pembagian satuan morfogenesa pada daerah penelitian didasarkan atas

klasifikasi Brahmantyo & Bandono (2006) yaitu meliputi bentang alam vulkanik

dan bentang alam sungai.

4.2.1. Satuan Geomorfologi

Berdasarkan hasil analisis parameter di atas dan pengamatan secara

langsung di lapangan, serta memperhatikan aspek morfogenesa yang mengontrol

morfologi pada daerah penelitian, maka satuan geomorfologi pada daerah

penelitian didasarkan atas klasifikasi (Brahmantyo dan Bandono, 2006) dapat

dibagi menjadi beberapa satuan Geomorfologi yaitu : Satuan Geomorfologi

Perbukitan Sisa Gunung Api Padaasih ; Satuan Geomorfologi Perbukitan

Punggungan Aliran Lava Padasenang ; Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat

Punggungan Aliran Piroklastika Padasenang ; Satuan Geomorfologi

Bergelombang Lemah Dataran Kaki Gunung Api Padasenang ; Satuan

Bergelombang Lemah Dataran Antar Gunung Api ; Satuan Perbukitan Sisa

Gunung Api Neglasari ; Satuan Bergelombang Kuat - Perbukitan Sisa Gunung

Api Sirnasari ; Satuan Bergelombang Lemah Dataran Banjir.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 76
4.2.1.1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sisa Gunung Api Padaasih

Satuan ini menempati sekitar 14,8 % dari luas daerah penelitian, meliputi

desa Padaasih, desa Cidadap, desa Sinarbakti, desa Padasenang dan desa

Sukamaju. Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses

vulkanik yang berlangsung pada daerah penelitian, dari Proses vulkanik tersebut

menghasilkan morfologi perbukitan sisa gunung api (Brahmantyo dan Bandono,

2006) (Gambar 4.4), akibat adanya proses keluarnya magma kepermukaan bumi

yang menghasilkan lava dari Gumuk Padasenang.

Gambar 4.4 Kenampakan Satuan Geomorfologi Perbukitan Sisa Gunung Api


Padaasih (foto diambil di LP 114 pada koordinat 07ᵒ 18’ 21,4” & E
106ᵒ 58’ 04,8”).

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 50,7 Meter dan kelerengan 32,02 %, ketinggian

daerah antara 125 - 250 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 186),

termasuk kedalam relief topogafi perbukitan (van Zuidam, 1979). Tersusun oleh
Alfian Trisna Adi. S
410014130 77
litologi lava andesit dan breksi andesit dengan tingkat pelapukan batuan rendah -

tinggi. Tata guna lahan sebagai perkebunan karet Cikasintu, pertanian dan

pemukiman. Pola pengaliran satuan ini dendritik dengan stadia sungai dewasa.

4.2.1.2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Punggungan Aliran Lava


Padasenang

Satuan ini menempati sekitar 1,83 % dari luas daerah penelitian. Meliputi

desa Padasenang. Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat

proses vulkanik yang berlangsung pada daerah penelitian, dari Proses vulkanik

tersebut menghasilkan morfologi Punggungan Aliran Lava (Brahmantyo dan

Bandono, 2006) (Gambar 4.5), akibat adanya proses keluarnya magma

kepermukaan bumi yang menghasilkan lava.

Gambar 4.5 Kenampakan Satuan Bergelombang Kuat Punggungan Aliran


Piroklastik Padasenang (foto diambil di LP 42 pada koordinat S 07ᵒ
16’ 24,3” & E 106ᵒ 57’ 14,4”).

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 45,83 Meter dan kelerengan 20,98%, ketinggian
Alfian Trisna Adi. S
410014130 78
daerah antara 187,5 – 275 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 179).

termasuk kedalam relief topogafi perbukitan (van Zuidam, 1979). Tersusun oleh

litologi lava andesit dengan tingkat pelapukan sedang. Tata guna lahan daerah ini

sebagai perkebunan karet Cikasintu. Pola pengaliran satuan ini adalah dendritik.

4.2.1.3 Satuan Bergelombang Kuat Punggungan Aliran Piroklastik


Padasenang

Satuan ini menempati sekitar 14,57 % dari luas daerah penelitian, meliputi

desa Padasenang, desa Cidadap dan desa Banjarsari. Morfologi pada satuan ini

secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung pada

daerah penelitian, dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi

Punggungan Aliran Piroklastik (Brahmantyo dan Bandono, 2006) (Gambar 4.6),

akibat adanya proses keluarnya produk gunung api kepermukaan bumi yang

menghasilkan breksi piroklastik.

Gambar 4.6 Kenampakan Satuan Bergelombang Kuat Punggungan Aliran


Piroklastik Padasenang (foto diambil di LP 42 pada koordinat S 07ᵒ
16’ 24,3” & E 106ᵒ 57’ 14,4”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 79
Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 41,67 Meter dan kelerengan 19,4%, ketinggian

daerah antara 150 - 200 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 187).

Termasuk kedalam relief topogafi bergelombang kuat-perbukitan (van Zuidam

dan van Zuidam-Cancelado,1979). Tersusun oleh litologi breksi andesit dengan

tingkat pelapukan sedang - tinggi. Tata guna lahan sebagai perkebunan karet

Cikasintu, pertanian, pemukiman penduduk, tambang rakyat. Pola pengaliran

sungai dendritik dengan stadia sungai dewasa.

4.2.1.4. Satuan Bergelombang Lemah Dataran Kaki Gunung Api Padasenang

Satuan ini menempati sekitar 9,5 % dari luas daerah penelitian. Meliputi

desa Padasenang, desa Banjarsari, desa Sukakerta dan desa Mekartanjung. Secara

morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung pada daerah

penelitian, Dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi tinggian dan

rendahan, dimana rendahan tersebut terbentuk morfologi Dataran Kaki Gunung

Api (Brahmantyo dan Bandono, 2006) (Gambar 4.7), akibat adanya proses

keluarnya produk gunung api kepermukaan bumi yang menghasilkan tuf jatuhan.

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 28,12 m dan kelerengan 13,7%, ketinggian daerah

antara 100 - 150 m diatas permukaan laut. Termasuk kedalam relief topogafi

bergelombang lemah (van Zuidam, 1979). Tersusun oleh litologi breksi andesit

dan tuf, tingkat pelapukan batuan sedang - tinggi. Tata guna lahan pada satuan ini

adalah perkebunan, pertanian, pemukiman penduduk. Pola pengaliran pada satuan

ini adalah dendritik dan pararel dengan stadia sungai dewasa.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 80
Gambar 4.7 Kenampakan Satuan Bergelombang Lemah Dataran Kaki Gunung
Api Padasenang (foto diambil di LP 37 pada koordinat S 07ᵒ 15’
00,4” & E 106ᵒ 57’ 30,1”).

4.2.1.5 Satuan Bergelombang Lemah Dataran Antar Gunung Api

Satuan ini menempati sekitar 15,2 % dari luas daerah penelitian. Meliputi

desa Sukakerta, desa Bojonglarang, desa Sinarbakti dan desa Neglasari. Morfologi

pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanisme dan

sedimentasi yang berlangsung pada daerah penelitian, Dari Proses tersebut

menghasilkan morfologi rendahan, dimana rendahan tersebut terbentuk morfologi

Dataran Antar Gunung Api (Brahmantyo dan Bandono, 2006) (Gambar 4.8).

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 30 m dan kelerengan 10,779 %, ketinggian daerah

antara 100 - 175 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 188). Termasuk

kedalam relief topogafi bergelombang lemah (van Zuidam, 1979). Tersusun oleh

litologi batulempung dan produk jatuhan tuf dari Gumuk Neglasari dengan tingkat

Alfian Trisna Adi. S


410014130 81
pelapukan batuan sedang. Tata guna lahan pada satuan ini adalah perkebunan,

pertanian, pemukiman penduduk. Pola pengaliran pada satuan ini adalah dendritik

dan pararel dengan stadia sungai dewasa.

Gambar 4.8 Kenampakan Satuan Bergelombang Lemah Dataran Antar Gunung


Api (foto diambil di LP 54 pada koordinat S 07ᵒ 15’ 5” & E 106ᵒ 59’
54,5”).

4.2.1.6. Satuan Perbukitan Sisa Gunung Api Neglasari

Satuan ini menempati sekitar 8,1 % dari luas daerah penelitian. Meliputi

desa Sukakerta, desa Sukaraharja dan desa Neglasari. Morfologi pada satuan ini

secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik yang berlangsung pada

daerah penelitian, dari Proses vulkanik tersebut menghasilkan morfologi tinggian

dan rendahan, dimana tinggian tersebut terbentuk morfologi Perbukitan Sisa

Gunung Api (Brahmantyo dan Bandono, 2006) (Gambar 4.9), akibat adanya

proses keluarnya produk gunung api ke permukaan bumi yang menghasilkan

material piroklastik tuf jatuhan.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 82
Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 31,8 m dan kelerengan 38,3%, ketinggian daerah

antara 187,5 - 300 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 188).

termasuk kedalam relief topogafi perbukitan - tersayat kuat (van Zuidam, 1979).

Tersusun oleh litologi produk jatuhan tuf dari Gumuk Neglasari dengan tingkat

pelapukan batuan sedang - kuat. Tata guna lahan pada satuan ini adalah

perkebunan, pertanian, pemukiman penduduk, tambang rakyat. Pola pengaliran

pada satuan ini adalah pararel dengan stadia sungai dewasa.

Gambar 4.9 Kenampakan Satuan Perbukitan Sisa Gunung Api Neglasari (foto
diambil di LP 3 pada koordinat S 07ᵒ 15’ 33,4” & E 106ᵒ 59’ 20,5”).

4.2.1.7 Satuan Bergelombang Kuat -Perbukitan Sisa Gunung Api Sirnasari

Satuan ini menempati sekitar 34,53 % dari luas daerah penelitian.

Meliputi desa Sirnasari, desa Sukaluyu, desa Sukamaju dan desa Sukajaya.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 83
Morfologi pada satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses vulkanik

yang berlangsung pada daerah penelitian, dari Proses vulkanik tersebut

menghasilkan morfologi Perbukitan Sisa Gunung Api (Brahmantyo dan Bandono,

2006) (Gambar 4.10), akibat adanya proses keluarnya produk gunung api

kepermukaan bumi yang menghasilkan tuf jatuhan.

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 33,87 m dan kelerengan 19,56 %, ketinggian daerah

antara 125 - 450 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 189). termasuk

kedalam relief topogafi bergelombang kuat - perbukitan (van Zuidam, 1979).

Tersusun oleh litologi produk jatuhan tuf dari Gumuk Sirnasari dengan tingkat

pelapukan batuan sedang. Tata guna lahan pada satuan ini adalah perkebunan,

pertanian, pemukiman penduduk, tambang rakyat. Pola pengaliran pada satuan

ini adalah dendritik dan rectangular dengan stadia sungai dewasa.

Gambar 4.10 Satuan Bergelombang Kuat - Perbukitan Sisa Gunung Api Sirnasari
(foto diambil di LP 65 pada koordinat S 07ᵒ 16’ 18,7” & E 106ᵒ 59’
24,2”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 84
4.2.1.8 Satuan Bergelombang Lemah Dataran Banjir

Satuan ini menempati sekitar 0,9 % dari wilayah penelitian yaitu Desa

Bojonglarang, Sukakerta dan Bunisari. Terletak pada tepian sungai Ci Buni.

Secara morfogenesa satuan morfologi ini terbentuk akibat suplai batuan produk

gunung api yang lepas dan terbawa arus sungai, ukuran endapan bervariasi dari

pasiran hingga kerakal, dari proses tersebut menghasilkan morfologi Dataran

Banjir (Brahmantyo dan Bandono, 2006) (Gambar 4.11).

Gambar 4.11 Satuan Bergelombang Lemah Dataran Banjir (foto diambil di LP


114 pada koordinat S 07ᵒ 18’ 21,4” & E 106ᵒ 58’ 04,8”).

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, memiliki beda

tinggi rata-rata 17,5 Meter dan kelerengan 10,8%, ketinggian daerah antara 62,5 –

87,5 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 3, hal. 190). Termasuk kedalam

relief topogafi bergelombang lemah (van Zuidam, 1979). Pola pengaliran satuan

ini dendritik dengan stadia sungai dewasa - tua.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 85
4.2.2 Pola Pengaliran

Penentuan pola pengaliran sungai yang terdapat pada daerah penelitian

ditentukan berdasarkan klasifikasi Howard (1967). Penjelasan pola pengaliran

pada daerah penelitian secara rinci sebagai berikut (Gambar 4.12) :

Gambar 4.12. Pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian.

4.2.2.1 Pola Pengaliran Pararel

Pola pengaliran paralel merupakan pola aliran sungai yang mempunyai arah

relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai

curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 86
Pola ini memiliki kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.

Contohnya pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin (Howard, 1967).

Pola pengaliran ini menempati 38 % dari total luas keseluruhan daerah

penelitian yang berkembang pada sungai-sungai utama, seperti sungai Ci Buni

dan sungai Ci Balapulang.

4.2.2.1 Pola Pengaliran Denditik

Pola pengaliran dendritik memiliki bentuk serupa cabang-cabang pohon

(pohon oak), dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai

induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan

yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur, contoh pada

batuan beku atau lapisan horisontal. Luas pola pengaliran ini meliputi 49 % dari

daerah penelitian. Sungai-sungai yang termasuk ke pola pengaliran ini adalah

Sungai Ci Buni

4.2.2.2 Pola Pengaliran Rectangular

Pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang

membentak sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar kekar yang

saling berpotongan dan juga sesar.

Luas pola pengaliran ini meliputi 13 % dari daerah penelitian. Pola aliran

ini berkembang pada Satuan Geomorfologi Perbukitan Sisa Gunung Api Sirnasari.

4.2.3 Proses Geomorfologi

Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan

bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses - proses geologi (proses
Alfian Trisna Adi. S
410014130 87
endogenik dan eksogenik) yang mengontrolnya (Thornbury, 1969). Proses -

proses endogenik (asal dalam) tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan tektonik

serta proses eksogenik (asal luar) seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi. Media

geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut

material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi tetapi masih

dalam lingkungan atmosfir disebut sebagai proses eksogen, jika media berasal

dari dalam bumi disebut sebagai proses endogen.

Bentuk lahan dari proses geomorfologi dapat berupa tahap membangun

(constructional landform) dan tahap merusak (destructional landform). Aktivitas

vulkanisme dan tektonik bersifat constructive (membangun) pada daerah

penelitian. Aktivitas vulkanisme terjadi mulai dari periode Tersier hingga Kuarter.

Proses ini mempengaruhi morfologi daerah penelitian, diantaranya menyebabkan

terbentuknya morfologi yang khas pada daerah penelitian, sebagai contoh yaitu

terdapat morfologi perbukitan gunung api Padaasih yang diakibatkan bentuk lahan

yang masuk tahapan destruktif, akibat adanya proses eksogenik maka bentuk

tubuh Khuluk Padaasih tersebut sudah tidak lagi sempurna akibat tahapan

merusak menyisakan bentukan sisa gunung api berupa pola melingkar pada citra

DEMNAS (Anonim, 2018).

Tahap selanjutnya yaitu tahap merusak (destructional) yang disebabkan

dengan adanya proses eksogenik seperti; pelapukan, erosi dan transportasi, yang

berlangsung intensif hingga saat ini. Proses destruksional ini secara keseluruhan

terjadi pada daerah penelitian secara menerus yaitu berupa pelapukan intensif

maupun erosional. Hal ini dapat terlihat dari keterdapatan soil yang tebal ± 2,5

meter.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 88
4.2.4 Stadia Sungai

Stadia sungai di daerah penelitian memperlihatkan kenampakan stadia

sungai dewasa. Stadia sungai Dewasa terdapat pada sebagian besar daerah

penelitian meliputi sungai Ci Buni dan Ci Balapulang. Stadia ini dicirikan dengan

erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah berbentuk U, aliran sungai

berkelok-kelok, terdapat meander, bentuk sungai relatif lurus seperti yang terdapat

pada Sungai Ci Buni di daerah Desa Padaasih dan mulai berkelok di Daerah

Sinarbakti dikarenakan batuan yang kurang resisten di sepanjang jalur sungai.

Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran yang mulai berkurang, gradien

sungai sedang, dataran banjir mulai terbentuk, erosi secara lateral berimbang

dengan dengan erosi secara vertikal. Sungai Ci Buni (Gambar 4.13) memiliki arah

aliran sungai N 275ᵒ E pada lokasi pengamatan 6 dan Sungai Ci Balapulang

(Gambar 4.14) memiliki arah aliran sungai yaitu N 260ᵒ E.

Gambar 4.13 Sungai Ci Buni memiliki bentuk lembah U stadia dewasa (foto
diambil pada koordinat S 07ᵒ 17’ 22,9” & E 106ᵒ 58’ 5,8”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 89
Gambar 4.14 Sungai Ci Balapulang memiliki bentuk lembah U, menunjukkan
stadia dewasa (foto diambil pada koordinat S 07ᵒ 15’ 06,2” & E
106ᵒ 57’ 40,9’’).

4.2.5 Stadia Daerah

Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh

morfologi suatu daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan

daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam

dan kondisi sungai yang terdapat pada daerah tersebut. Stadia daerah penelitian

dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan morfologi baik proses endogenik

maupun proses eksogenik. Berdasarkan analisis citra SRTM, sebagian daerah

penelitian merupakan bentang alam asal gunung api yang telah mengalami

erosional sehingga tidak berbentuk kerucut lagi dan mengalami proses pendataran

sehingga bentukan gunung api sudah tidak begitu jelas. Sungai yang ada di daerah

penelitian memiliki stadia dewasa menuju ke tua, sedangkan dari struktur geologi

Alfian Trisna Adi. S


410014130 90
juga mempengaruhi sehingga menghasilkan kekar gerus pada batuan tuf jatuhan

Sirnasari, sebagian produk vulkanik dari Khuluk Padaasih ditutupi oleh tuf

jatuhan dari Gumuk Sirnasari, produk vulkanik jatuhan dari Gumuk Sirnasari

umumnya ditutupi oleh tanah penutup yang cukup tebal. Keadaan geomorfologi

gunung api yang terdapat pada daerah penelitian, proses endogen dan eksogen

yang berkembang serta stadia sungai, apabila bandingkan dengan model bentang

alam gunung api menurut Hartono (2000) secara umum stadia daerah penelitian

termasuk dalam gunung api tererosi tingkat dewasa.

Berdasarkan tahapan perkembangan bentang alam gunung api (van

Zuidam dan Cancelado, 1985), bentang alam vulkanik mengalami sejumlah

tahapan selama mengalami proses erosional. Hasil analisis daerah penelitian

termasuk kedalam tahapan pendataran gunung api, terutama gunung api yang

berumur Tersier Awal - Akhir yang meliputi Khuluk Cikarang, Gumuk

Padasenang dantahapan sisa gunung api yang meliputi Khuluk Padaasih, Khuluk

Bojongkasih dan Khuluk Sirnasari.

Penggolongan stadia daerah penelitian dijadikan sebagai data pendukung

yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menginterpretasi lebih jauh

terhadap aspek-aspek geologi yang terdapat pada daerah penelitian, hal ini

dikarenakan masing-masing tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-

proses geologi yang beragam.

4.3 Stratigrafi

Berdasarkan hasil analisis citra SRTM DEMNAS (Anonim, 2000) pada

daerah penelitian, terdapat tubuh gunung api. Proses penamaan satuan batuan

Alfian Trisna Adi. S


410014130 91
mengacu pada Martodjojo dan Djuhaeni (1996) berdasarkan vulkanostratigrafi

yang tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia pada Bab III pasal 26 dan pasal

27 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) dengan menggunakan satuan dasar khuluk

dan gumuk. Khuluk gunung api. Dimaksudkan untuk menata batuan atau endapan

gunung api berdasarkan urutan kejadian agar evolusi pembentukan gunung api

mudah dipelajari dan dimengerti. Pembagian batuan atau endapan secara

bersistem berdasarkan sumber, deskripsi, genesa dan fasies.

Penentuan umur relatif masih mengacu dari data sekunder berdasarkan

peneliti terdahulu Sukamto, dkk (1975) yang membagi daerah penelitian terdiri

dari Formasi Jampang berumur Tersier (Miosen Awal) yang dapat disetarakan

dengan Khuluk Padaasih, kemudian Formasi Beser (Miosen Akhir) yang dapat

disetarakan dengan Khuluk Cikarang, Gumuk Padasenang dan Gumuk Neglasari,

kemudian Lapisan Lempung Kadupandak daripada Formasi Bentang (Miosen

Akhir) yang disetarakan dengan Satuan Batulempung, kemudian Bagian Bawah

Formasi Bentang (Miosen Akhir), Bagian Atas Formasi Bentang (Miosen Akhir-

Pliosen) yang dapat disetarakan dengan Khuluk Sirnasari dan paling muda

endapan aluvium (Holosen) hadir sebagai endapan pasir dan kerikil. Secara

regional, tataan stratigrafi di daerah penelitian berumur Tersier Awal – Holosen.

4.3.1 Khuluk Padaasih (PA)

Khuluk Padaasih merupakan gunung api tertua yang terdapat di daerah

penelitian. Khuluk ini tersusun oleh Satuan Aliran Lava Padaasih (PAl1) dan

Satuan Aliran Piroklastika Padaasih (PAa2), Berdasarkan analisis citra SRTM

DEMNAS, sumber erupsi Khuluk ini diperkirakan berada di Desa Padaasih,

Alfian Trisna Adi. S


410014130 92
diperkirakan sebagian produk batuan dari gunung api ini tertutup oleh produk

batuan yang umurnya lebih muda.

Berdasarkan analisis yang telah disebutkan diatas dan digabungkan dengan

data pengamatan batuan dilapangan daerah penelitian dapat dibagi menjadi

satuan-satuan vulkanostratigrafi. Satuan-satuan tersebut akan dijelaskan pada

subbab selanjutnya.

4.3.1.1 Satuan Aliran Lava Padaasih (PAl1)

Satuan ini tersusun oleh aliran lava yang merupakan produk erupsi fase

konstruktif paling pertama dari keterbentukan khuluk Padaasih pada kala Miosen

Awal.

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 3,2 % dari total luas daerah penelitian,

meliputi Desa Padaasih, Desa Sinarbakti dan Desa Cidadap. Ketebalan singkapan

yang dijumpai di lapangan berkisar antara 1 hingga 5 meter (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Kolom stratigrafi Satuan Aliran Lava Padaasih

Alfian Trisna Adi. S


410014130 93
b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi lava andesit (Gambar

4.15). Ciri litologi meliputi warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat

sedikit kemerahan, struktur masif, ciri khas berupa kekar tiang/kolom (Columnar

joint), tekstur porfiro afanitik, komposisi plagioklas, kuarsa, gelas.

Gambar 4.15 Kenampakan Aliran Lava Andesit dengan struktur columnar joint
dengan arah foto N 20 ᵒ E (foto diambil di LP 71 koordinat S 07ᵒ
17’ 30,1” & E 106ᵒ 58’ 49,9”).

Secara mikroskopis dalam nikol sejajar sampel berwarna putih keabu-

abuan, pada pengamatan nikol silang sampel berwana hitam abu-abu gelap dan

putih. bertektur porfiro-afanitik dan tektur khas trakhitik dimana mineral fenokris

Alfian Trisna Adi. S


410014130 94
dan masa dasar pada sayatan menunjukkan pola kesejajaran, komposisi

hipokristalin, memiliki bentuk kristal euhedral - subhedral, inequigranular

tertanam pada massa dasar kristal yang lebih halus. Komposisi fenokris

((Plagioklas(Andesin 43) (33,64%), sanidin (14,54%), piroksen (7,27%), kuarsa

(2,7%), magnetit (2,7%), hornblenda (3,63%)), masa dasar gelas (5,45%) dan

mikrokristal plagioklas (30%)., masa dasar gelas (6,36%) dan mikrokristal

plagioklas (18,18%) (Lampiran 4, hal. 191). Secara petrografi disebut Andesit

piroksen (Streckeisen, 1976).

c. Penentuan Umur

Pada satuan aliran lava Padaasih tidak ditemui kandungan mikrofosil, penentuan

umur diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto

(1975), yaitu Formasi Jampang berumur Miosen Awal.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan aliran lava Padaasih berada di paling bawah dari strata batuan yang ada di

daerah penelitian atau disebut sebagai batuan alas. Secara fasies gunung api,

satuan ini termasuk kedalam fasies pusat (Vessel dan Davies , 1981) Khuluk

Padaasih.

4.3.1.2 Satuan Aliran Piroklastika Padaasih (PAa2)

Satuan ini tersusun oleh aliran breksi piroklastika yang merupakan produk

dari erupsi kedua dari keterbentukan khuluk Padaasih.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 95
a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 11,6 % dari total luas daerah penelitian,

meliputi meliputi Desa Padaasih, Desa Sinarbakti dan, Desa Sukamaju Desa

Cidadap. Ketebalan singkapan yang dijumpai di lapangan 1 hingga 12 meter

(Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Kolom stratigrafi Satuan Aliran Piroklastika Padaasih.

b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi breksi andesit piroklastik

(Gambar 4.16). Ciri fisik litologi di lapangan meliputi fragmen batuan dengan

warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kemerahan, struktur masif-

vesikuler, tekstur porfiro afanitik, fragmen meruncing-menyudut tanggung, terdiri

dari plagioklas, kuarsa, gelas. Matriks berupa tuf, warna segar putih keabuan,

ukuran butir kasar >2 mm, sortasi buruk, kemas terbuka, komposisi litik dan

gelas.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 96
Gambar 4.16 Kenampakan Breksi Andesit dengan arah foto foto N 80 ᵒ E (foto
diambil di LP 86 koordinat S 07ᵒ 17’ 28,4’’ E & 106ᵒ 58’ 04,3”).

Pada sampel fragmen, secara mikroskopis dalam pengamatan nikol sejajar

sampel berwarna putih keabu-abuan, pada pengamatan mikroskop (XPL) nikol

silang sampel berwana hitam abu-abu gelap dan putih. bertektur porfiroafanitik

dan tektur khas trakhitik dimana mineral fenokris dan masa dasar pada sayatan

menunjukkan pola kesejajaran, komposisi hipokristalin, memiliki bentuk kristal

euhedral - subhedral, inequigranular tertanam pada massa dasar kristal yang lebih

halus. Komposisi berupa fenokris (Plagioklas(Andesin 44) (28,18%), sanidin

(14,54%), piroksen (5,45%), kuarsa (6,36%), magnetit (0,9%), hornblenda

(3,63%)), masa dasar berupa gelas (13,63%) dan mikrokristal plagioklas (38,18%)

(Lampiran 4, hal. 194). Secara petrografi disebut Andesit piroksen (Streckeisen,

1976).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 97
Pada sampel matriks, secara mikroskopis dalam nikol sejajar sampel berwarna

putih keabu-abuan, pada pengamatan nikol silang sampel berwana hitam abu-abu

gelap dan putih. Komposisi antara lain litik (47,27%), gelas (20,9%), piroksen

(8,18%), mineral opak (5,45%) dan, kuarsa(3,6%) (Lampiran 4, hal. 197). Secara

petrografi disebut Lithic Tuff (Schmid, 1981).

c. Penentuan Umur

Pada satuan ini tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera, penentuan umur

diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto (1975),

yaitu Formasi Jampang berumur Miosen Awal.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan batuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan menindih secara selaras di atas satuan aliran lava Padaasih yang

merupakan batuan tertua di daerah penelitian. Secara fasies gunung api, satuan ini

termasuk ke dalam fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981) dari Khuluk

Padaasih.

4.3.2 Khuluk Cikarang

Khuluk Cikarang terletak di barat luar daerah penelitian. Satuan khuluk ini

dibagi menjadi satu satuan gumuk, yaitu Gumuk Padasenang.

4.3.2.1 Gumuk Padasenang (PD)

Gumuk Padasenang tersusun atas tiga satuan batuan yaitu Satuan Aliran

Lava Padasenang (PDl1) dan Satuan Aliran Piroklastik Padasenang (PDa2) dan
Alfian Trisna Adi. S
410014130 98
Satuan Jatuhan Piroklastika Padasenang (PDj3). Berdasarkan analisis citra SRTM,

sumber erupsi dari Gumuk Padasenang diperkirakan berada di Desa Padasenang.

4.3.2.1.1 Satuan Aliran Lava Padasenang (PDl1)

Satuan ini tersusun oleh aliran lava yang merupakan produk pertama dari

keterbentukan Gumuk Padasenang.

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 1,83 % dari total luas daerah penelitian,

meliputi meliputi Desa Padasenang. Ketebalan singkapan yang dijumpai di

lapangan 1 hingga 1,5 meter (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Kolom stratigrafi Satuan Aliran Lava Andesit Padasenang.

b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi lava andesit (Gambar

4.17). Ciri litologi meliputi warna segar abu-abu gelap agak cerah, lapuk coklat

sedikit kemerahan, struktur masif, tekstur porfiro afanitik, komposisi, plagioklas,

kuarsa, gelas.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 99
Gambar 4.17 Kenampakan Lavai Andesit Gumuk Padasenang dengan arah foto N
223ᵒ E (foto diambil di LP 42 koordinat S 07ᵒ 16’ 24,3” & E 106ᵒ
57’ 14,4”).

Pada sampel fragmen, secara mikroskopis dalam Dalam pengamatan nikol

sejajar sampel berwarna putih keabu-abuan dan abu-abu gelap. Pada pengamatan

nikol silang (XPL) sampel berwana hitam sampai abu-abu gelap sampai cokelat

dan putih.. Secara mikroskopis memiliki tekstur khusus pilotasitik, hipokristalin,

bentuk kristal euhedral - anhedral, inequigranular. Komposisi fenokris (Plagioklas

(Andesin 36) (46,36%), sanidin (13,63%), piroksen (9,09%), kuarsa (6,36%)),

masa dasar gelas (6,36%) dan mikrokristal plagioklas (18,18%) (Lampiran 4, hal.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 100
199). Nama batuan Andesit Secara petrografi disebut Andesit piroksen

(Streckeisen, 1976).

c. Penentuan Umur

Pada satuan aliran lava Padasenang tidak ditemui kandungan mikrofosil

foraminifera, penentuan umur diketahui dengan kesebandingan umur secara

regional menurut Sukamto (1992), yaitu Formasi Beser berumur Miosen Akhir,

kemungkinan tidak selaras dengan Formasi Jampang.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan aliran lava Padasenang berumur Miosen Akhir menindih secara tidak

selaras di atas satuan aliran piroklastika Padaasih yang berumur Miosen Akhir.

Secara fasies gunung api, satuan ini termasuk ke dalam fasies pusat (Vessel dan

Davies , 1981) dari Gumuk Padasenang.

4.3.2.1.2 Satuan Aliran Piroklastika Padasenang (PDa2)

Satuan ini tersusun oleh aliran lava yang merupakan produk kedua dari

keterbentukan Gumuk Padasenang.

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 14,57 % dari total luas daerah penelitian,

meliputi meliputi Desa Padasenang, Desa Cidadap dan Desa Banjarsari.

Ketebalan singkapan batuan yang dijumpai di lapangan 1 hingga 25 meter (Tabel

4.4).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 101
Tabel 4.4. Kolom stratigrafi Satuan Aliran Piroklastika Padasenang.

b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi breksi andesit piroklastik

(Gambar 4.18). Litologi satuan ini terdiri dari fragmen dan matriks. Ciri litologi

meliputi fragmen batuan dengan warna segar abu-abu agak gelap, warna lapuk

coklat kekuningan, struktur masif, tekstur porfiro afanitik, fragmen meruncing-

menyudut tanggung, terdiri dari plagioklas, kuarsa, gelas. Kondisi di beberapa

lokasi lapuk sedang – kuat. Matriks berupa tuf, warna segar putih keabuan, warna

lapuk coklat sedikit kekuningan, ukuran butir halus <2 mm, sortasi sedang, kemas

tertutup, porositas sedang, komposisi yang dapat diamati secara megaskopis

antara lain gelas vulkanik dan litik.

Pada sampel fragmen, secara mikroskopis dalam pengamatan nikol sejajar

(PPL) sampel berwarna putih keabu-abuan dan abu-abu gelap. Pada pengamatan

mikroskop nikol silang (XPL) sampel sayatan berwana hitam sampai abu-abu

gelap sampai cokelat dan putih. Karakteristik sampel batuan bertektur


Alfian Trisna Adi. S
410014130 102
porfiroafanitik dan tektur pilotasitik, hipokristalin, bentuk kristal subhedral -

anhedral, inequigranular tertanam pada massa dasar kristal yang lebih halus

Komposisi berupa fenokris (Plagioklas(Andesin32)(46,36%), sanidin (13,63%),

piroksen (9,09%), kuarsa (6,36%), magnetit (2,73%)), masa dasar gelas (6,36%)

dan mikrokristal plagioklas (18,18%) yang tersebar hampir merata pada sayatan

(Lampiran 4, hal. 202). Secara petrografi disebut Andesit piroksen (Streckeisen,

1976).

Gambar 4.18 Kenampakan Breksi Andesit Piroklastik dengan arah foto N 40 ᵒE


(foto diambil di LP 34 koordinat S 07ᵒ 17’ 22,0” & E 106ᵒ
57’04,5”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 103
Pada sampel matriks, secara mikroskopis dalam nikol sejajar sampel berwarna

putih keabu-abuan, pada pengamatan nikol silang sampel berwana hitam abu-abu

gelap dan putih. Secara mikroskopis memiliki ciri-ciri tekstur piroklastika, sortasi

baik, derajat kristalinitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral, relasi

inequigranular vitrovirik, dengan komposisi berupa litik (54,55%), piroksen

(8,18%), dan mineral opak (7,27%), kuarsa (2,72%), dan gelas vulkanik (8,18 %)

(Lampiran 4, hal. 204). Secara petrografi disebut Lithic Tuff (Schmid, 1981).

c. Penentuan Umur

Pada satuan ini tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera, penentuan umur

diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto (1992),

yaitu Formasi Beser berumur Miosen Akhir.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil berupa foraminifera bentonik pada sampel satuan batuan

ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan aliran piroklastika Padasenang menindih secara selaras di atas Satuan

aliran lava Padasenang yang berumur Miosen Akhir. Secara fasies gunung api,

satuan ini termasuk ke dalam fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981) dari

Gumuk Padasenang.

4.3.2.1.3 Satuan Jatuhan Piroklastika Padasenang (PDj3)

Satuan ini tersusun oleh aliran lava yang merupakan produk ketiga dari

keterbentukan Gumuk Padasenang.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 104
a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 9,5 % dari total luas daerah penelitian, meliputi

Desa Padasenang, Desa Banjarsari, Desa Mekartanjung dan Desa Sukakerta.

Ketebalan singkapan yang dijumpai di lapangan 1 hingga 2 meter (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Kolom stratigrafi Satuan Jatuhan Piroklastika Padasenang.

b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi tuf jatuhan (Gambar

4.19). Ciri litologi Tuf memiliki ciri fisik warna segar putih keabuan agak

kekuningan, warna lapuk coklat kekuningan, tekstur piroklastika, ukuran butir

halus <2 mm, struktur masif, sortasi baik, kemas tertutup, komposisi litik, gelas

vulkanik. Kondisi di beberapa lokasi lapuk sedang – kuat.

Secara mikroskopis dalam pengamatan nikol sejajar berwarna putih keabu-

abuan – coklat kehitaman dan dalam pengamatan nikol silang sampel berwana

abu - bau sampai abu-abu gelap sampai cokelat dan kuning. memiliki ciri-ciri

sortasi baik, derajat kristalinitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral, relasi

Alfian Trisna Adi. S


410014130 105
inequigranular vitrovirik, komposisi berupa litik (52,72%), gelas vulkanik

(30,9%), piroksen (13,63%), dan mineral opak (2,72%) (Lampiran 4, hal. 206).

Secara petrografi disebut Lithic Tuff (Schmid, 1981).

Gambar 4.19 Kenampakan Tuf Jatuhan Gumuk Padasenang dengan arah foto N
170 ᵒE (foto diambil di LP 39 koordinat S 07ᵒ 14’ 47,1’’ E 106ᵒ
57’ 10,8”).

c. Penentuan Umur

Satuan ini tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera, penentuan umur

diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto (1992),

yaitu Formasi Beser berumur Miosen Akhir.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 106
d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan aliran piroklastika Padasenang menindih secara selaras di atas Satuan

aliran piroklastika Padasenang yang berumur Miosen Akhir. Secara fasies gunung

api, satuan ini termasuk ke dalam fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981) dari

Gumuk Padasenang.

4.3.3 Satuan Batulempung

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 15,2 % dari total luas daerah penelitian, meliputi

meliputi Desa Sukakerta, Desa Sinarbakti dan Bojonglarang dan Desa

Sukaraharja. Ketebalan singkapan yang dijumpai di lapangan 1 hingga 2,5 meter

(Tabel 4.6).

Tabel 4.6. Kolom stratigrafi Satuan Batulempung.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 107
b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi batulempung (Gambar 4.20).

Memiliki ciri fisik warna segar abu-abu gelap kehijauan, lapuk coklat

kekuningan, struktur masif, tekstur klastika, ukuran butir clay (<1/256) mm,

bentuk butir rounded, sortasi baik, porositas buruk, kemas tertutup, komposisi

mineral lempung, non karbonatan. Beberapa tempat dijumpai sisipan lignit

dengan komposisi karbon.

Gambar 4.20 Kenampakan Satuan Batulempung kontak dengan Satuan Tuf


Jatuhan Sirnasari dengan arah foto N 5 ᵒE (foto diambil di LP 67
koordinat S 07ᵒ 16’ 47,1’’ E 106ᵒ 58’ 58,2”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 108
Secara mikroskopis dalam pengamatan nikol sejajar sampel berwarna coklat muda

dan di pengamatan nikol silang sampel berwana coklat sampai abu-abu gelap.

Secara mikroskopis memiliki mineral berukuran lempung (<0,01mm), dengan

komposisi berupa mineral lempung (89,09%), kuarsa (1,82%), mineral opak

(1,82%) dan pori (7,27%) (Lampiran 4, hal. 208). Secara petrografi disebut

Claystone (Gilbert, 1954).

c. Penentuan Umur

Satuan ini tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera, penentuan umur

diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto (1992),

yaitu Formasi Bentang Bawah berumur Miosen Akhir.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

Setempat terdapat lapisan tipis karbon (Gambar 4.21) pada batulempung,

sehingga pembentukan satuan ini pada lingkungan darat.

Gambar 4.21 Kenampakan Lapisan tipis karbon dengan arah foto N 43 ᵒE (foto
diambil di LP 65 koordinat S 07ᵒ 16’ 18,7” & E 106ᵒ 59’ 24,2”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 109
e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan batulempung menindih secara selaras di atas Satuan jatuhan piroklastika

Padasenang yang berumur Miosen Akhir. Secara fasies gunung api, satuan ini

termasuk ke dalam fasies distal (Vessel dan Davies , 1981) dari Gumuk

Padasenang.

4.3.4 Khuluk Bojongkasih

Khuluk Cikarang terletak di bagian timurlaut daerah penelitian. Satuan

Khuluk ini dibagi menjadi satu satuan gumuk, yaitu Gumuk Neglasari yang

menghasilkan produk berupa tuf jatuhan.

4.3.4.1 Gumuk Neglasari

Gumuk Neglasari merupakan gumuk yang terdapat di daerah luar

penelitian. Gumuk ini terletak pada bagian timurlaut dari daerah penelitian dan

merupakan bagian dari Khuluk Bojongkasih. Gumuk Neglasari tersusun satu (1)

periode letusan yaitu Satuan Jatuhan Piroklastika Neglasari (NEj).

4.3.4.1.1 Satuan Jatuhan Piroklastika Neglasari (NEj)

Satuan ini tersusun oleh tuf jatuhan yang merupakan produk dari keterbentukan

Gumuk Neglasari.

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 8,1 % dari dan Desa Sukaraharja, Desa

Sukakerta dan Desa Neglasari. Ketebalan singkapan yang dijumpai di lapangan 1

hingga 2,5 meter (Tabel 4.7), di beberapa tempat dijumpai kontak dengan satuan

batulempung.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 110
Tabel 4.7. Kolom stratigrafi Satuan Jatuhan Piroklastika Neglasari.

b. Litologi Penyusun

Secara megaskopis satuan ini terdiri dari litologi berupa tuf jatuhan

(Gambar 4.22). memiliki ciri fisik warna segar putih keabuan, warna lapuk coklat

kekuningan, tekstur piroklastika, ukuran butir halus <2 mm , ukuran butir, struktur

masif, sortasi baik, kemas tertutup, komposisi litik dan gelas, di di beberapa

tempat dijumpai kontak dengan satuan batulempung.

Secara mikroskopis dalam pengamatan nikol sejajar sampel berwarna putih

dan di pengamatan nikol silang sampel berwana coklat sampai abu-abu gelap,

memiliki ciri-ciri pada sayatan dengan tekstur piroklastika, sortasi buruk,

kristalinitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral, relasi inequigranular

vitrovirik, dengan komposisi plagioklas feldspar (31,82%), hornblenda (9,09%),

mineral opak (2,72%), piroksen (8,18%), kuarsa (6,36%), litik (21,8%), masa

dasar gelas (20%) (Lampiran 4, hal. 210). Nama batuan secara petrografi disebut

Crystal Tuff (Schmid, 1981).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 111
Gambar 4.22 Kenampakan Satuan Tuf Neglasari dengan arah foto N 178 ᵒE (foto
diambil di LP 36 koordinat S 07ᵒ 14’ 39,5” E 106ᵒ 59’ 23,8”).

c. Penentuan Umur

Pada batulempung Formasi Bentang Bawah tidak ditemui kandungan mikrofosil

foraminifera, penentuan umur dengan kesebandingan umur secara regional

menurut Sukamto (1992), yaitu Formasi Bentang Bawah berumur Miosen Akhir.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan jatuhan piroklastika Neglasari menindih secara selaras di atas satuan

betulempung yang berumur Miosen Akhir. Secara fasies gunung api, satuan ini

termasuk ke dalam fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981).


Alfian Trisna Adi. S
410014130 112
4.3.5 Khuluk Sirnasari

Khuluk Sirnasari merupakan Khuluk yang terdapat di posisi tenggara

daerah penelitian. Khuluk Sirnasari pada daerah penelitian tersusun oleh dua

satuan litologi yaitu Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 1 (SIj1) dan Satuan

Jatuhan Piroklastika Sirnasari 2 (SIj2).

4.3.5.1 Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 1 (SIj1)

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 21,03 % antara lain Daerah Desa Sinarbakti,

Desa Bojonglarang, Desa Padaasih, Desa Sukaluyu, Desa Sukajaya, Desa

Bunisari, Desa Cidadap dan Desa Sukamaju. Ketebalan singkapan batuan

piroklastik jatuhan yang dijumpai di lapangan berkisar antara 1 hingga 12 meter

(Tabel 4.8).

Tabel 4.8. Kolom stratigrafi Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 1.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 113
b. Litologi Penyusun

Satuan ini terdiri dari tuf (Gambar 4.23). Tuf memiliki litologi yaitu warna

segar putih keabuan, lapuk coklat kekuningan, tekstur piroklastika, ukuran butir

halus <2 mm, struktur masif, komposisi gelas vulkanik dan kuarsa.

Secara mikroskopis memiliki ciri-ciri tekstur piroklastika, sortasi baik,

derajat kristalinitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral, relasi inequigranular

vitrovirik, dengan komposisi berupa plagioklas feldspar (33,63%), litik (10%),

mineral opak (4,54%), piroksen (13,63%), kuarsa (3,63%), hornblenda (6,36%),

masa dasar gelas (28,18%) (Lampiran 4, hal. 212). Secara petrografi nama batuan

Crystal Tuff (Schmid, 1981).

Gambar 4.23 Kenampakan Tuf Jatuhan Sirnasari 1 dengan arah foto N 95 ᵒ E


(foto diambil di LP 88 koordinat S 07ᵒ 16’ 53,3” E 106 59’
36,1”).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 114
c. Penentuan Umur

Satuan ini tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera, kesebandingan umur

secara regional menurut Sukamto (1992), termasuk kedalam Formasi Bentang

Bawah (Tmbl) berumur Miosen Akhir.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan jatuhan piroklastika Sirnasari 1 (SIj1) menindih secara selaras di atas

satuan betulempung. Secara fasies gunung api, satuan ini termasuk ke dalam

fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981) dari Khuluk Sirnasari.

4.3.5.2 Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 2 (SIj2)

a. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini meliputi ± 21,03 % daerah penelitian, yaitu Desa Sirnasari dan

Sukajaya. Ketebalan singkapan di lapangan 2 - 125 meter (Tabel 4.9).

Tabel 4.9. Kolom stratigrafi Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 2

Alfian Trisna Adi. S


410014130 115
b. Litologi Penyusun

Satuan ini secara ciri litologi tersusun oleh tuf jatuhan (Gambar 4.24). Tuf

memiliki ciri fisik warna segar putih keabuan agak gelap, warna lapuk coklat

kekuningan, tekstur piroklastika, ukuran butir abu halus <2 mm struktur berlapis -

masif, sortasi sedang, kemas tertutup, komposisi litik dan gelas vulkanik. Di

beberapa tempat dijumpai makrofosil berupa cangkang moluska pelecypoda pada

batuan.

Gambar 4.24 Kenampakan Tuf Jatuhan Sirnasari 2 dengan arah foto N 293 ᵒ E
(foto diambil di LP 94 koordinat S 07ᵒ 18’ 27,4” & E 106ᵒ 59’
44,6’’).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 116
Secara mikroskopis memiliki pada sayatan ciri-ciri tekstur piroklastika,

sortasi sedang, derajat kristalinitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral, relasi

inequigranular vitrovirik, dengan komposisi berupa litik (54,6%), plagioklas

feldspar (5,45%), mineral opak (1,8%), piroksen (5,45%), kuarsa (2,7%), masa

dasar berupa gelas vulkanik (30%) (Lampiran 4, hal. 214 ). Nama batuan secara

petrografi adalah Lithic Tuff (Schmid, 1981).

c. Penentuan Umur

Pada Satuan Jatuhan Piroklastika Sirnasari 1 (SIj1) tidak ditemui kandungan

mikrofosil foraminifera plangtonik pada sampel batuan, pada penentuan umur

dapat diketahui dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto

(1975), yaitu dengan Formasi Bentang Atas (Tmbu) yang berumur Miosen Akhir-

Pliosen.

d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini. Dijumpainya

setempat-setempat berupa fosil cangkang moluska pada batuan tuf, berupa Nucula

sp. yang menandai lingkungan hidupnya di sekitar permukaan pantai (Berry,

1929)

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan jatuhan piroklastika Sirnasari 2 (SIj1) berumur Miosen Akhir - Pliosen

menindih secara selaras di atas Satuan jatuhan piroklastika Sirnasari 1 (SIj1) yang

berumur Miosen Akhir. Secara fasies gunung api, satuan ini termasuk ke dalam

fasies proksimal (Vessel dan Davies , 1981) dari Khuluk Sirnasari.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 117
4.3.6 Satuan Endapan Pasir – Kerikil (EnPK)

Satuan ini merupakan yang termuda di daerah penelitian dan proses

pembentukannya berlangsung hingga sekarang

a. Penyebaran dan ketebalan

Penyebaran satuan ini meliputi ± 0,9 % yaitu Daerah Desa Cidadap dan Desa

Bunisari. Ketebalan singkapan yang dijumpai di lapangan 1 hingga 1,5 meter

(Tabel 4.9).

Tabel 4.9. Kolom stratigrafi Satuan Endapan Pasir – Kerikil.

b. Litologi Penyusun

Satuan Endapan Pasir Kerikil (Gambar 4.25), satuan ini berupa material lepas

dengan ukuran yang bervariasi, dari butiran berukuran pasir dengan warna coklat

kekuningan, hingga kerikil bervariasi andesit-basal.

c. Penentuan Umur

Pada endapan pasir - kerikil tidak ditemui kandungan mikrofosil foraminifera,

penentuan umur dengan kesebandingan umur secara regional menurut Sukamto

(1975), yaitu Satuan Aluvium & Endapan Pantai (Qha) berumur Kuarter Holosen.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 118
d. Penentuan Lingkungan Pegendapan

Penentuan lingkungan pengendapan tidak bisa dilakukan karena tidak ditemui

kandungan mikrofosil foraminifera bentonik pada satuan ini.

Gambar 4.25 Kenampakan Satuan Endapan Pasir – kerikil dengan arah foto N
315 (foto diambil di LP 114 koordinat S 07ᵒ 18’ 21,4” E 106ᵒ 58’
04,8”).

e. Hubungan Stratigrafi dan Fasies Gunung Api

Satuan Endapan Pasir - Kerikil menindih secara tidak selaras di atas Satuan

jatuhan piroklastika Sirnasari 1 (SIj1) yang berumur Miosen Akhir. Secara fasies

gunung api, satuan ini termasuk ke dalam fasies gunung api distal (Vessel dan

Davies , 1981).

4.3.7 Korelasi Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi Daerah Penelitian

Dari hasil analisis secara keseluruhan pada satuan batuan yang terdapat di

daerah penelitian, maka dapat dikorelasikan antara stratigrafi daerah penelitian

Alfian Trisna Adi. S


410014130 119
dengan stratigrafi regional peneliti terdahulu (Peta Geologi Regional Lembar

Jampang dan Balekambang (Sukamto, 1975)). Penulis menampilkan hubungan

antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional dalam bentuk kolom

kesebandingan.

Alasan digunakan kolom kesebandingan dikarenakan pada penulisan

naskah TA 2 ini tidak menggunakan analisis fosil maupun dating untuk penentuan

umur. Kolom kesebandingan dibuat dengan membandingkan kesamaan fisik

antara yang diperoleh dari hasil pemetaan di lapangan dengan ciri fisik setiap

satuan stratigrafi yang disampaikan oleh Sukamto, dkk (1975).

Berdasarkan stratigrafi gunung api daerah penelitian, Khuluk Padaasih

sebanding dengan Formasi Jampang (Tmjv) yang berumur Kala Miosen Awal,

kemudian vulkanisme mengalami penurunan pada Miosen Tengah, sedangkan

Khuluk Cikarang dan Gumuk Padasenang setara dengan Formasi Beser (Tmbv)

yang berumur Miosen Akhir, Satuan Batulempung setara dengan Lapisan

Lempung Kadupandak daripada Formasi Bentang (Tmbk) yang berumur Miosen

Akhir, Khuluk Bojongkasih dan Gumuk Neglasari setara Formasi Beser yang

berumur Miosen Akhir, Khuluk Sirnasari setara dengan Formasi Bentang bagian

bawah (Tmbl) dan Formasi Bentang bagian atas (Tmbu) yang berumur Miosen

Akhir – Pliosen, yang terakhir endapan dan paling muda di daerah penelitian yaitu

satuan pasir – kerikil yang setara dengan Satuan Aluvium dan endapan pantai

(Qha) yang diketahui berumur Kuarter Holosen. Dengan demikian stratigrafi

daerah penelitian termasuk dalam 6 (enam) satuan stratigrafi pada Peta Geologi

Lembar Jampang dan Balekambang (Sukamto, 1975), disajikan dalam (Tabel

4.10).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 120
Tabel 4.11. Kolom korelasi stratigrafi regional dengan stratigrafi gunung api
daerah penelitian.

4.4. Struktur Geologi

Identifikasi struktur geologi dilakukan melalui peta SRTM DEMNAS,

peta topografi & data bukti keberadaan struktur geologi yang ditemui pada saat

tahapan pemetaan awal & rinci. Berikut dijelaskan satu persatu :

4.4.1. Analisis Peta DEMNAS

Berdasarkan hasil dari analisis data struktur geologi terhadap citra SRTM

DEMNAS (Gambar 4.26) di daerah penelitian, maka peneliti mendapatkan hasil

analisis yaitu terdapatnya beberapa kelurusan-kelurusan dimana arahnya relatif

terlihat pola kelurusan berarah timurlaut-baratdaya dan pola yang lebih dominan

yakni berarah baratlaut-tenggara. Berdasarkan hal tersebut, apabila benar pola


Alfian Trisna Adi. S
410014130 121
kelurusan yang peneliti anggap pola vulkanik, maka peneliti merasa perlunya

ditinjau lebih lanjut pada pemetaan rinci nantinya apakah pola kelurusan itu

disebabkan oleh vulkanisme ataukah pola tersebut dipengaruhi oleh proses

lainnya.

Gambar 4.26 Pola melingkar dan kelurusan daerah penelitian berdasarkan citra
DEMNAS (Anonim, 2018).

4.4.2. Analisis Peta Topografi

Berdasarkan hasil analisis peta topografi (Gambar 4.27), peneliti

menemukan beberapa kelurusan di dalam peta topografi, dimana kelurusan

tersebut relatif serupa dengan kelurusan hasil analisis pada peta SRTM

DEMNAS. Hasil analisis peta topografi menunjukkan adanya beberapa pola

kelurusan dengan arah relatif timur laut – barat daya (NE-SW) dan barat laut –

tenggara (NW-SE). Kelurusan tersebut dapat berupa kelurusan punggungan

Alfian Trisna Adi. S


410014130 122
maupun kelurusan lembah. Selain adanya pola kelurusan juga adanya beberapa

pola melingkar yang diintrepetasi sebagai bentukan produk gunung api.

Gambar 4.27. Kelurusan Peta Topografi

Alfian Trisna Adi. S


410014130 123
4.4.3. Struktur Kekar

Kekar adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum mengalami

pergeseran. Kekar bisa diakibatkan oleh proses tektonik maupun proses

vulkanisme. Pada batuan sedimen, kekar bisa terbentuk mulai pada saat

pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan beku bisa

terbentuk akibat proses pendinginan. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi

pada saat mendekati proses akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur

lain seperti sesar atau lipatan. Selain itu kekar bisa terbentuk sebagai struktur

penyerta dari struktur sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh tektonik.

Daersh penelitian terdapat kekar primer yang terbentuk bersamaan dengan

proses pembekuan batuan beku dengan didominasi oleh struktur Columnar joint

yang berada pada litologi berupa lava andesit Khuluk Padaasih (Gambar 4.28).

Gambar 4.28 Struktur kekar columnar joint pada litologi lava andesit Padaasih
akibat proses pendinginan batuan (Foto diambil dari LP.135
koordinat 07ᵒ 17’ 22,9” E 106ᵒ 58’ 28,5” lensa menghadap timur).
Alfian Trisna Adi. S
410014130 124
4.4.4. Struktur Sesar

4.4.4.1. Sesar Naik Sukamaju

Data lapangan yang dijumpai berupa kekar gerus dan kekar tarik yang

terdapat pada permukaan tuf halus Sirnasari (Gambar 4.29), namun kondisi batuan

yang ada di daerah penelitian yang relatif mengalami pelapukan sehingga data

kekar cukup sulit didapatkan dan diukur. Hasil analisis data kekar gerus yang ada

dan dihubungkan dengan kelurusan berarah timurlaut-baratdaya.

Gambar 4.29. Release joint (merah) dan kekar gerus (hitam) yang merupakan data
lapangan dari indikasi awal keberadaan sesar naik Sukamaju (Foto
diambil dari LP.97 koordinat 07ᵒ 18’ 37,5” & E 106ᵒ 59’ 29,0”
lensa menghadap ke barat)

Dari hasil analisis stereografi yang dilakukan berdasarkan data kekar gerus

yang diukur di lapangan, dari bidang sesar, shear fracture dan gash fracture

sehingga pergerakan sesar dapat diidentifikasi langsung dilapangan dengan

melihat keterkaitan atara bidang sesar dan gash fracturenya. Dimana bidang sesar

Didapatkan data bidang sesar : N 49 ᵒ E / 63 ᵒ , shear joint 2 N 05 ᵒ E / 11 ᵒ, shear

Alfian Trisna Adi. S


410014130 125
joint 1 : N 257ᵒ E / 25 ᵒ, Tension joint N 4ᵒ E / 89ᵒ, Rake 11ᵒ dan Net Slip 9ᵒ, N

53ᵒ E menunjukkan hasil ploting sesar naik yaitu Reverse left Slip fault (Rickard,

1973).

Berdasarkan hasil analisis struktur geologi di daerah penelitian, diketahui

batuan termuda yang terkena struktur geologi pada daerah penelitian adalah

satuan Piroklastika jatuhan Sirnasari 2 dimana bidang sesar membentuk

perbukitan memanjang (Gambar 4.30) di daerah Sukamaju dengan arah kelurusan

baratdaya – timurlaut, sehingga interpretasi waktu pembentukan struktur-struktur

geologi daerah penelitian berkisar antara kala Miosen Akhir - Pliosen.

Gambar 4.30. Kenampakan kelurusan lereng sesar naik Sukamaju yang memiliki
kelurusan memanjang timurlaut – baratdaya.

4.5 Geologi Lingkungan

Geologi lingkungan merupakan salah satu ilmu terapan geologi yang

berhubungan dengan perencanaan fisik, pengembangan wilayah dan usaha

pengendalian lingkungan hidup yang didasarkan pada aspek aspek geologi yang
Alfian Trisna Adi. S
410014130 126
ada di suatu daerah. Lingkungan dikontrol oleh beberapa aspek geologi yang

mencakup sifat keteknikan, tanah dan batuan terhadap kemantapan lereng, letak

dan potensi batuan untuk bahan galian, letak endapan potensial dan potensi

bencana alam akibat pengaruh kondisi geologinya.

Perencanaan dengan tinjauan geologi lingkungan akan membantu dalam

pemanfaatan lingkungan dan akan membantu mengurangi dan mencegah

semaksimal mungkin pengaruh negatif dari pemanfaatan lingkungan. Pemahaman

mengenai perencanaan lingkungan diharapkan dapat menciptakan keseimbangan

hidup antar manusia dan alam serta mencegah akumulasi masalah yang dapat

menimbulkan akibat kesalahan dalam perencanaan pemanfaatan lahan.

4.5.1. Sesumber

Potensi sesumber yang ditemui didaerah penelitian meliputi sumber daya

air permukaan dan sumber daya tanah dan sumber daya bahan galian. Keberadaan

potensi sesumber yang ada tersebut ditemui hanya di beberapa titik lokasi

pengamatan saja atau setempat-setempat. Berikut penjelasan masing-masing

potensi dan keberadaannya di lokasi penelitian:

a. Sumber Daya Tanah

Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian sebagian besar

digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan pemukiman, lahan

pertanian dan lahan perkebunan. Lahan perkebunan tersebut sebagian

besar dimanfaatkan untuk perkebunan karet yaitu perusahaan karet

Cikasintu dan lahan pertanian sebagian besar digunakan untuk bercocok

tanam padi maupun tanaman palawija (Gambar 4.31).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 127
Gambar 4.31 Pengelolaan sumber daya lahan sebagai perkebunan karet Cikasintu
daerah Cidadap (kiri) dan pengelolaan lahan untuk pertanian padi
di lokasi penelitian (kanan).

b. Sumber Daya Air

Air merupakan sumber kehidupan dan komponen yang penting

bagi semua makhluk hidup. Sumber daya air dijumpai pada daerah

penelitian berupa air tanah dangkal yang berasal dari sumur gali warga

untuk pertanian dan sungai utama yaitu sungai Ci Buni yang dimanfaatkan

warga sebagai pertanian dan keperluan penting lain (Gambar 4.30).

Gambar 4.32 Sumber daya air sungai Ci Buni daerah penelitian sebagai mata air
dan irigasi (kiri) dan sumur gali dangkal di lokasi penelitian di
sekitar lahan pertanian (kanan).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 128
c. Sumber Daya Bahan Galian

Bahan galian yang terdapat di daerah penelitian termasuk dalam

bahan galian golongan C yang berupa batuan beku, tuf, dan endapan pasir

sungai. Sumber daya bahan galian ini terdapat di Desa Padaasih berupa

pengambilan batuan beku lava andesit (Gambar 4.33) yang diambil oleh

masyarakat secara tradisional dan digunakan sebagai bahan pondasi

bangunan maupun jalan, kemudian tambang rakyat breksi andesit (Gambar

4.34) di desa Cidadap yang hasilnya digunakan sebagai pegeras jalan dan

bahan bangunan bangunan, kemudian di Desa Sukaraharja dimanfaatkan

oleh masyarakat berupa batuan tuf (Gambar 4.35) digunakan untuk diolah

sebagai bahan pembuat utama batu - bata

Gambar 4.33 Pemanfaatan sumber daya bahan galian daerah penelitian berupa
lava andesit di daerah Padaasih (foto diambil di LP 71 koordinat S
07ᵒ 17’ 30,1” & E 106ᵒ 58’ 49,9”).

Alfian Trisna Adi. S


410014130 129
Gambar 4.34 Pemanfaatan sumber daya bahan galian daerah penelitian berupa
breksi andesit di daerah Cidadap (foto diambil di LP 34 koordinat S
07ᵒ 17’ 22,0” & E 106ᵒ 57’04,5”).

Gambar 4.35 Pemanfaatan sumber daya bahan galian daerah penelitian berupa tuf
jatuhan di daerah Sukakerta (foto diambil di LP 36 koordinat S 07ᵒ
14’ 39,5” E 106ᵒ 59’ 23,8”).

4.5.2 Bencana Alam

Bencana alam merupakan suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam

dan manusia (Sampoerna, 1979). Bencana alam dapat menimbulkan suatu

kerugian bagi makhluk hidup di alam tersebut terutama bagi manusia. Bencana

alam pada umumnya dapat berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung

api, dan banjir.


Alfian Trisna Adi. S
410014130 130
Bencana alam yang dapat diamati pada daerah penelitian berupa gerakan

tanah tipe longsoran (slide) dan banjir oleh sungai. Gerakan tanah ini terjadi pada

batuan tuf yang diakibatkan oleh faktor kejenuhan air dan tingkat pelapukan yang

tinggi dari batuan. Sedangkan banjir dapat terjadi jika musim penghujan tiba

akibat luapan air sungai Ci Buni, akibatnya banjir tersebut merusak struktur

jembatan di sekitar sungai (Gambar 4.36).

Gambar 4.36. Sesumber kebencanaan yang ada di daerah penelitian berupa


pergerakan tanah tipe rayapan (foto diambil di LP 35 dan 83).

4.6. Geologi Sejarah

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisa terhadap data hasil pemetaan

detail yang dikaitkan dengan data geologi regional dari peneliti terdahulu, dalam

hal ini Sukamto, dkk (1975). Peneliti mengurutkan peristiwa keterbentukan

gunung api di daerah penelitian menjadi beberapa periode sebagai berikut :

Alfian Trisna Adi. S


410014130 131
4.6.1. Periode Pertama

Merupakan fase pertama di daerah penelitian terjadi pada Miosen Awal

dimana pada masa ini aktivitas vulkanisme meningkat di Zona Pegunungan

Selatan Jawa Barat, periode ini merupakan fase konstruktif pertama dari

keterbentukan khuluk Padaasih, ditandai oleh aliran lava yang keluar menuju

permukaan melalui zona-zona rekahan (Gambar 4.37).

Gambar 4.37 Model sejarah geologi periode pertama daerah penelitian pada kala
Miosen Awal, terbentuk Khuluk Padaasih.

Lava yang keluar yang keluar ke permukaan bersifat andesit dan di

beberapa tempat memiliki struktur columnar joint, kemudian fase kedua dari

pembentukan khuluk Padaasih dimana terjadi peristiwa erupsi yang menghasilkan

produk berupa breksi piroklastika andesit. Pada fase ini mulai terbentuk

Alfian Trisna Adi. S


410014130 132
stratovulcano atau gunung api yang secara fisik terdiri dari strata perselingan

antara lava dan material piroklastika hasil dari beberapa periode erupsi

sebelumnya, kemudian pada akhir kala Miosen Awal menuju Miosen Tengah

aktivitas vulkanisme mengalami penurunan, sehingga tidak diketahui fase

setelahnya.

4.6.2 Periode Kedua

Pada periode ini daerah penelitian mengalami fase hiatus dari kala Miosen

Awal menuju Miosen tengah, karena berkurangnya aktivitas vulkanisme masa

tersebut, kemudian pada Miosen Akhir aktivitas vulkanisme di Zona Pegunungan

Selatan Jawa Barat kembali mengalami kenaikan sehingga terbentuk Khuluk

Cikarang yang dimulai Kala Miosen Akhir pada daerah penelitian (Gambar 4.38).

Gambar 4.38 Model sejarah geologi periode kedua daerah penelitian pada kala
Miosen Akhir, terbentuk Khuluk Cikarang.
Alfian Trisna Adi. S
410014130 133
Periode ini dimulai dengan munculnya gunung api baru yaitu Gumuk Padasenang

yang merupakan bagian dari Khuluk Cikarang, membentuk satuan aliran lava

Padasenang dan breksi andesit Padasenang, pada akhir fase erupsinya, terjadi fase

erupsi eksplosif yang besar menyebabkan terbentuknya menghasilkan produk

erupsi piroklastika jatuhan Padasenang.

Kenampakan dari Khuluk ini berupa sisa depresiasi setengah lingkaran

yang dapat dienterpretasi pada citra DEMNAS SRTM bagian barat daerah

penelitian. Pada periode ini diikuti oleh produk sedimen batulempung yang

tertransport menuju ke lokasi penelitian dari arah barat laut menuju tenggara yang

berumur Miosen Akhir.

4.6.3 Periode Ketiga

Pada periode ketiga terjadi pada kala Miosen Akhir, setelah terbentuknya

Khuluk Cikarang (Gambar 4.39) kemudian pada masa ini terbentuk Khuluk

Bojongkasih yang merupakan periode paska-kaldera yang berlangsung pada Kala

Miosen Akhir. Periode ini dimulai dengan munculnya gunung api membentuk

sebuah kaldera akibat menurunnya tubuh gunung api yang sekarang terlihat di

citra SRTM membentuk lembah lingkaran penuh.

Kemudian didalam kaldera terbentuk Gumuk Neglasari terjadi fase erupsi

eksplosif besar yang merupakan fase destruktif dari gunung api ini, menyebabkan

terbentuknya produk erupsi gunung api yaitu satuan piroklastika jatuhan Neglasari

berupa tuf. Pada akhir fase erupsinya, kenampakan dari Khuluk ini berupa sisa

depresiasi lingkaran yang dapat dienterpretasi pada citra DEMNAS SRTM bagian

timur laut.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 134
Gambar 4.39 Model sejarah geologi periode ketiga daerah penelitian pada kala
Miosen Akhir, terbentuk Khuluk Bojongkasih.

4.6.4 Peride Keempat

Pada periode ini terbentuk pada Kala Miosen Akhir – Pliosen, Merupakan

fase Destruktif pembentukan khuluk Sirnasari, dimana terjadi peristiwa lontaran

dan hujan material piroklastika jatuhan di sekitar zona lemah dan menutupi

produk gunung api di sekitarnya maupun khuluk yang lebih tua yaitu Padaasih

(Gambar 4.40). terjadi fase erupsi eksplosif yang sangat besar menyebabkan

terbentuknya Satuan Piroklastika jatuhan Sirnasari 1 dan 2 berupa tuf. Oleh

karena itu, tubuh gunung api ini membentuk sebuah kaldera yang terlihat

membentuk lingkaran, pada periode ini dimungkinkan pada daerah selatan

penelitian terjadi fase naiknya air laut ditunjukkan oleh adanya temuan berupa

cangkang makrofosil di beberapa tempat. Kenampakan dari khuluk ini


Alfian Trisna Adi. S
410014130 135
membentuk tinggian lereng melingkar yang berada pada tenggara daerah

penelitian.

Kemudian pada umur Holosen dilanjutkan fase sedimentasi berumur

Kuarter yang berupa endapan pasir-kerikil yang berasal dari material rombakan

gunung api sebelumnya yang mengalir dari utara ke selatan lokasi penelitian,

mengalir melalui sungai Ci Buni.

Gambar 4.40. Model sejarah geologi periode keempat daerah penelitian pada kala
Miosen Akhir - Pliosen, terbentuk Khuluk Sirnasari.

Alfian Trisna Adi. S


410014130 136

Anda mungkin juga menyukai