Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELUARGA Tn. S DENGAN DIAGNOSA MEDIS


HIPERTENSI

NAMA: ABDURROCHMAN S

NIM : 20172046011058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

1|Page
BAB I
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

1.1 Pengertian Keluarga


Keluarga adalah unit terkecil dari masayarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan
saling ketergantungan (Setiadi, 2009).
Keluarga adalah sekumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain
(Harmoko, 2012).
Keluarga adalah suatu system sosial yang berisi dua atau lebih orang yang hidup bersama
yang mempunyai hubungan darah, perkawinan atau adopsi, tingga bersama dan saling
menguntungkan, empunyai tujuan bersama, mempunyai generasi peneus, saling pengertian dan
saling menyayangi. (Murray & Zentner, 1997) dikutip dari (Achjar, 2010)

Dari tiga difinisi diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa keluarga adalah :
a. Unit terkecil dari masyarakat.
b. Terdiri atas dua orang atau lebih.
c. Adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah.
d. Hidup dalam satu rumah tangga.
e. Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga.
f. Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga.
g. Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing.
h. Menciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan.
1.2 Tipe Keluarga
Dalam (Sri Setyowati, 2009) tipe keluarga dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Tipe Keluarga Tradisional
1) Keluarga Inti ( Nuclear Family ) , adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak.
2) Keluarga Besar ( Exstended Family ), adalah keluarga inti di tambah dengan sanak
saudara, misalnya nenek, keponakan, saudara sepupu,paman, bibi dan sebagainya.
3) Keluarga “Dyad” yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri tanpa anak.

2|Page
4) “Single Parent” yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ibu)
dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapatdisebabkan oleh perceraian atau
kematian.
5) “Single Adult” yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (misalnya
seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah).
b. Tipe Keluarga Non Tradisional
1) The Unmarriedteenege mather, adalah keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu)
dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
2) The Stepparent Family adalah keluarga dengan orang tua tiri.
3) Commune Family adalah beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada
hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama,
pengalaman yang sama : sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok atau
membesarkan anak bersama.
4) The Non Marital Heterosexual Conhibitang Family adalah keluarga yang hidup bersama
dan berganti – ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.
5) Gay And Lesbian Family adalah seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup
bersama sebagaimana suami – istri (marital partners).
6) Cohibiting Couple adalah orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan
karena beberapa alasan tertentu.
7) Group-Marriage Family adalah beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah
tangga bersama yang saling merasa sudah menikah, berbagi sesuatu termasuk sexual dan
membesarkan anaknya.
8) Group Network Family adalah keluarga inti yang dibatasi aturan atau nilai-nilai, hidup
bersama atau berdekatan satu sama lainnya dan saling menggunakan barang-barang
rumah tangga bersama, pelayanan dan tanggung jawab membesarkan anaknya.
9) Foster Family adalah keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau
saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan
bantuan untuk menyatukan kembali keluargayang aslinya.
10) Homeless Family adalah keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan
yang permanent karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan
atau problem kesehatan mental.
11) Gang adalah sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang- orang muda yang
mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang
dalam kekerasan dan criminal dalam kehidupannya.

3|Page
1.3 Struktur Keluarga
Dalam (Setiadi, 2009), struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam, diantarannya adalah :
a. Patrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa
generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
b. Matrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa
generasi di mana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
c. Matrilokal : adalah sepasang suami istri yang tingga bersama keluarga sedarah istri.
d. Patrilokal : adalah sepasang suami istri yang tingga bersama keluarga sedarah suami.
e. Keluarga kawinan : adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembina keluarga, dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami
atau istri.
1.4 Fungsi keluarga
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis
kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial.
Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari
seluruh anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang positif.
Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi dan hubungan dalam
keluarga. Dengan demikian, keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh
anggota keluarga dapat mengembangkan konsep diri positif. Komponen yang perlu dipenuhi
oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah :
1) Saling mengasuh : cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung antar
anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari anggota yang lain. Maka
kemampuannya untuk memberikan kasih sayang akan meningkat, yang pada akhirnya
tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung. Hubbungan intim didalam keluarga
merupakan modal dasar dalam memeberikan hubungan dengan orang lain diluar keluarga/
masyarakat.
2) Saling menghargai. Bila anggota keluarga saling menghargai dan mengakui keberadaan dan
hak setiap anggota keluarga serta selalu mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi
afektif akan tercapai.
3) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup baru.
Ikatan antar anggota keluarga dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian
pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua harus mengembangkan proses
identifikasi yang positif sehingga anak-anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari

4|Page
kedua orang tuanya. Fungsi afektif merupakan “sumber energi” yang menentukan
kebahagiaan keluarga. Keretakan keluarga, kenakalan anak atau masalah keluarga, timbul
karena fungsi afektif di dalam keluarga tidak dapat terpenuhi.
b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu, yang
menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi dimulai
sejak manusia lahir. Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya
anak yang baru lahir dia akan menatap ayah, ibu, dan orang-orang yang ada di sekitarnya
Kemudian beranjak balita dia mulai belajar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun
demikian keluarga tetap berperan penting dalam bersosialisasi. Keberhasilan perkembangan
individu dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang
diwujudkan dalam sosialisasi.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya manusia. Maka
dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi kebutuhan biologis pada
pasangan tujuan untuk membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
d. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak
pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan yang tidak seimbang antara suami dan istri,
hal ini menjadikan permasalahan yang berujung pada perceraian.
e. Fungsi Perawatan Kesehatan
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan, yaitu
untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit.
Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan
keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas
kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakana tugas kesehatan
berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.
1.5 Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Menurut Freedman (1981) dikutip dari (Harmoko, 2012) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang
kesehatan yang harus dilakukan, yaitu :
1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

5|Page
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi
perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu
segera dicatat kapan erjadinya, perubahan apa yang terjadi dan beberapa besar perubahannya.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai
dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan
tindakan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga
mempunyai keterbatasan seyogyanya meminta bantuan orang lain dilingkungan sekitar
keluarga.
3. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya
sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
Perawatan ini dapat dilakukan tindakan dirumah apabila keluarga memiliki kemampuan
melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan kesehatan untuk
memperoleh tindakan lanjjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
4. Memodifikasi lingkungan
Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan
kepribadian anggota keluarga.
5. Mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan lembaga kesehatan
(pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada)
1.6 Peran Keluarga
Dalam (Setiadi, 2009), peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku
interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
a. Peranan ayah : ayah sebagai suami dan istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah,
pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari
kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungan.
b. Peranan ibu : sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai
salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam
keluarga.
c. Peranan anak : anak- anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spriritual.

6|Page
1.7 Tahap Perkembangan Keluarga
Menurut Duval (1985) dalam Setiadi (2009), membagi keluarga dalam 8 tahap perkembangan,
yaitu :
f. Keluarga Baru (Berganning Family)
Pasangan baru menikah yang belum mempunyai anak. Tugas perkembangan keluarga tahap
ini antara lain adalah :
1) Membina hubungan intim yang memuaskan.
2) Menetapkan tujuan bersama.
3) Membina hubungan dengan keluarga lain, teman dan kelompok social.
4) Mendiskusikan rencana memiliki anak atau KB.
5) Persiapan menjadi orang tua.
6) Memehami prenatal care (pengertisn kehamilan, persalinan dan menjadi orang tua).
g. Keluarga dengan anak pertama < 30 bulan (Child Bearing).
Masa ini merupakan transisi menjadi orang tua yang akan menimbulkan krisis keluarga. Studi
klasik Le Master (1957) dari 46 orang tua dinyatakan 17 % tidak bermasalah selebihnya
bermasalah dalam hal :
1) Suami merasa diabaikan.
2) Peningkatan perselisihan dan argument.
3) Interupsi dalam jadwal kontinu.
4) Kehidupan seksusl dan social terganggu dan menurun.
Tugas perkembangan keluarga tahap ini antara lain adalah :
1) Adaptasi perubahan anggota keluarga (peran, interaksi, seksual dan kegiatan).
2) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
3) Membagi peran dan tanggung jawab (bagaimana peran orang tua terhadap bayi dengan
memberi sentuhan dan kehangatan).
4) Bimbingan orang tua tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.
5) Konseling KB post partum 6 minggu.
6) Menata ruang untuk anak.
7) Biaya / dana Child Bearing.
8) Memfasilitasi role learning angggota keluarga.
9) Mengadakan kebiasaan keagamaan secara rutin.
h. Keluarga dengan Anak Pra Sekolah

7|Page
Tugas perkembangannya adalah menyesuaikan pada kebutuhan pada anak pra sekolah (sesuai
dengan tumbuh kembang, proses belajar dan kotak sosial) dan merencanakan kelahiran
berikutnya. Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Pemenuhan kebutuhan anggota keluarga.
2) Membantu anak bersosialisasi.
3) Beradaptasi dengan anak baru lahir, anakl yang lain juga terpenuhi.
4) Mempertahankan hubungan di dalam maupun di luar keluarga.
5) Pembagian waktu, individu, pasangan dan anak.
6) Merencanakan kegiatan dan waktu stimulasi tumbuh dan kembang anak.
i. Keluarga dengan Anak Usia Sekolah (6 – 13 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Membantu sosialisasi anak terhadap lingkungan luar rumah, sekolah dan lingkungan lebih
luas.
2) Mendoprong anak untuk mencapai pengembangan daya intelektual.
3) Menyediakan aktivitas untuk anak.
4) Menyesuaikan pada aktivitas komuniti dengan mengikut sertakan anak.
5) Memenuhi kebutuhan yang meningkat termasuk biaya kehidupan dan kesehatan anggota
keluarga.
j. Keluarga dengan Anak Remaja (13-20 tahun).
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Pengembangan terhadap remaja (memberikan kebebasan yang seimbang dan brertanggung
jawab mengingat remaja adalah seorang yang dewasa muda dan mulai memiliki otonomi).
2) Memelihara komunikasi terbuka antara anak dan orange tua.hindari perdebatan, kecurigaan
dan permusuhan.
3) Memelihara hubungan intim dalam keluarga.
4) Mempersiapkan perubahan system peran dan peraturan anggota keluarga untuk memenuhi
kebutuhan tumbuh kembang anggota keluarga.
k. Keluarga dengan Anak Dewasa (anak 1 meninggalkan rumah).
Tugas perkembangan keluarga mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerim,a
kepergian anaknya, menata kembali fasilitas dan sumber yang ada dalam keluarga, berperan
sebagai suami istri, kakek dan nenek. Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalh :
1) Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar.
2) Mempertahankan keintiman.
3) Menbantu anak untuk mandiri sebagai keluarga baru di masyarakat.

8|Page
4) Mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerima kepergian anaknya.
5) Menata kembali fasilitas dan sumber yang ada pada keluarga.
6) Berperan suami – istri kakek dan nenek.
7) Menciptakan lingkungan rumah yang dapat menjadi contoh bagi anak – anaknya.
l. Keluarga Usia Pertengahan (Midle Age Family).
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Mempunyai lebih banyak waktu dan kebebasan dalam mengolah minat social dan waktu
santai.
2) Memuluhkan hubungan antara generasi muda tua.
3) Keakrapan dengan pasangan.
4) Memelihara hubungan/kontak dengan anak dan keluarga.
5) Persiapan masa tua/ pension.
m. Keluarga Lanjut Usia.
Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah :
1) Penyesuaian tahap masa pension dengan cara merubah cara hidup.
2) Menerima kematian pasangan, kawan dan mempersiapkan kematian.
3) Mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat.
4) Melakukan life review masa lalu.
1.8 Peran Perawat dalam Asuhan Keperawatan Keluarga
Setiadi (2009) mengatakan dalam pemberian asuhan keperawatan kesehatan keluarga, ada
beberapa peranan yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain adalah
1. Pengenal kesehatan (health monitor)
Perawat membantu keluarga untuk mengenal penyimpangan dari keadaan normal tentang
kesehatannya dengan menganalisa data secara objektif serta membuat keluarga sadar akan
akibat masalah dalam perkembangan keluarga.
2. Pemberian pelayanan pada anggota keluarga yang sakit, dengan memberikan asuhan
keperawatan kepada anggota keluarga yang sakit
3. Koordinator pelayanan kesehatan dan keperawatan kesehatan keluarga, yaitu berperan dalam
mengkoordinir pelayanan kesehatan keluaraga baik secara berkelompok maupun individu.
4. Fasilitator, yaitu dengan cara menjadikan pelayanan kesehatan itu mudah dijangkau oleh
keluarga dan membantu mencarikan jalan pemecahannya.
5. Pendidik kesehatan, yaitu merubah perilaku keluarga dan perilaku tidak sehat menjadi perilaku
sehat.

9|Page
6. Penyuluh dan konsultan, yang berperan dalam memberikan petunjuk tentang asuhan
keperawatan dasar dalam keluarga.
Dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap keluarga perawat tidak dapat bekerja
sendiri, melainkan bekerja sama secara tim dan bekerja sama dengan profesi lain untuk
mencapai asuhan keperawatan keluarga dengan baik.
1.9 Prinsip Perawatan Kesehatan Keluarga
Setiadi (2009) mengatakan ada beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam
memberikan Asuhan Keperawatan keluarga yaitu :
n. Keluarga sebagai unit atau satu kesatuan dalam pelayanan kesehatan.
o. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan Kesehatan keluarga sehat sebagai tujuan utama.
p. Asuhan keperawatan yang diberikan sebagai sarana dalam mencapai peningkatan kesehatan
keluarga.
q. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan keluarga, perawat melibatkan peran aktif seluruh
keluarga dalam merumuskan masalah dan ebutuhan keluarga dalam mengatasi masalah
kesehatannya.
r. Lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bersifat proinotif dan preventif dengan tidak
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
s. Dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga, keluarga memanfaatkan
sumber daya keluarga semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan keluarga.
t. Sasaran Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah keluarga secara keseluruhan.
u. Pendekatan yang dipergunakan dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga
adalah pendekatan pemecahan masalah dengan menggunakan proses keperawatan.
v. Kegiatan utama dalam memberikan Asuhan Keperawatan kesehatan keluarga adalah
penyuluhan kesehatan dan Asuhan Keperawatan kesehatan dasar atau perawatan dirumah.
w. Diutamakan terhadap keluarga yang termasuk resiko tinggi.

Keluarga-keluarga yang tergolong resiko tinggi dalam bidang kesehatan antara lain
adalah :
1) Keluarga dengan anggota keluarga dalam masa usia subur dengan masalah :
a. Tingkat sosial ekonomi yang rendah.
b. Keluarga kurang tahu atau tidak mampu mengatasi masalah kesehatan sendiri.
c. Keluarga dengan keturunan yang kurang baik atau keluarga dengan penyakit keturunan.
2) Keluarga dengan Ibu dengan resiko tinggi kebidanan yaitu :
a. Umur Ibu (16 tahun/lebih dari 35 tahun).

10 | P a g e
b. Menderita kekurangan gizi (anemia).
c. Menderita hipertensi.
d. Primipara dan Multipara.
e. Riwayat persalinan atau komplikasi
3) Keluarga dalam anak menjadi resiko tinggi karena :
a. Lahir prematur (BBLR).
b. Berat badan sukar naik.
c. Lahir dengan cacat bawaan.
d. ASI Ibu kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi.
e. Ibu menderita penyakit menular yang dapat mengancam bayi dan anaknya.
4) Keluarga mempunyai masalah hubungan antara anggota keluarga
a. Anak yang tidak pernah dikehendaki pernah mencoba untuk digugurkan.
b. Tidak ada kesesuaian pendapat antara anggota keluarga dan sering timbul cekcok dan
ketegangan.
c. Ada anggota keluarga yang sering sakit
d. Salah satu anggota (suami atau istri) meninggal, cerai, lari meninggalkan rumah.

11 | P a g e
BAB II
KONSEP TEORI PENYAKIT HIPERTENSI

2.1 Pengertian Hipertensi


Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding-dinding arteri ketika darah
tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah
pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai pembuluh darah terkait dan denyut
jantung. Tekanan darah pada arteri besar bervariasi menurut denyutan jantung. Tekanan ini
paling tinggi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel
berelaksasi (tekanan diastolik) (Williams & Wilkins, 1998) Ketika jantung memompa darah
melewati arteri, darah menekan dinding pembuluh darah. Mereka yang menderita hipertensi
mempunyai tinggi tekanan darah yang tidak normal. Penyempitan pembuluh nadi atau
aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada hipertensi. Karena arteri-arteri
terhalang lempengan kolesterol dalam aterosklerosis, sirkulasi darah melewati pembuluh darah
menjadi sulit. Ketika arteri-arteri mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis, darah memaksa
melewati jalam yang sempit itu, sebagai hasilnya tekanan darah menjadi tinggi. (Wirakusumah-S
Emma, 2002).
Tekanan darah digolongkan normal jika tekanan darah sistolik tidak melampaui 140
mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melampaui 90 mmHg dalam keadaan istirahat,
sedangkan hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal. Tekanan darah normal
bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis hipertensi harus bersifat spesifik usia. Secara
umum, seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (ditulis 140/90).(Corwin dkk 2001) dihasilkan oleh
kekuatan jantung ketika memompa darah sehingga hipertensi ini berkaitan dengan kenaikan
tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Standar hipertensi adalah sistolik ≥ 140 mmHg dan
diastolik ≥ 90 mmHg.(Gunawan, 2001)
Tekanan darah tinggi adalah tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 150-180
mmHg. Tekanan diastolik biasanya juga akan meningkat dan tekanan diastolik yang tinggi
misalnya 90-120 mmHg atau lebih, akan berbahaya karena merupakan beban jantung.( Williams
& Wilkins, 1998) Menurut WHO yang dikutip oleh Slamet Suyono (2001:253) batas tekanan
darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau
lebih dari 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Secara umum seseorang dikatakan
menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolik 140/90 mmHg (normalnya 120/80
mmHg).(Suyono, 2001)

12 | P a g e
Menurut Jan A. Staessen, et.al., Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah
sistolik (TDS) ≥140 mmHg atau tekanan darah diatolik (TDD) ≥ 90 mmHg. Beberapa tahun lalu
WHO memberi batasan TDS 130 – 139 mmHg atau TDD 85 – 89 mmHg sebagai batasan
normal tinggi. Dengan makin banyaknya penelitian tentang komplikasi hipertensi terhadap
Kardiovaskuler dan Ginjal, maka ditetapkan batasan tekanan darah untuk hipertensi semakin
rendah. Vasum et.al. dalam penelitiannya bahwa tekanan darah normal tinggi (prehipertensi) yaitu
sistolik 130 s/d 139 mmHg, distolik 85 s/d 89 mmHg mempunyai risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskuler dibandingkan dengan kelompok tekanan darah optimal sistolik < 120 mmHg dan
distolik < 80 mmHg. Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah
sistolik/diastolik 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg).(Suyono, 2001).
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat
seperti Stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), Penyakit Jantung
Koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri / bilik
kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit tersebut dapat pula menyebabkan Gagal Ginjal,
Penyakit Pembuluh lain, Diabetes Mellitus dan lain-lain.( Mosterd Arend, 2006)
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama strok, dimana stroke merupakan penyakit
yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap kelangsungan hidup
penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke.
Dikemukakan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua
kali lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80
mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga kali terserang
stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada
penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali daripada normotensi (Yundini, 2006).
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan
ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi
akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya
dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi
asupan garam. Olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai
sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.(Bustan dkk, 1997)

13 | P a g e
2.2 Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah
Dari International Society of Hypertension (ISH) For Recently Updated WHO tahun
2003.

Menurut Linda Brookes, The update WHO/ISH hypertension guideline, yang merupakan
divisi dari National Institute of Health di AS secara berkala mengeluarkan laporan yang disebut Joint
National Committee on Prevention, Detectioan, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Laporan
terakhir diterbitkan pada bulan Mei 2003, memberikan resensi pembaharuan kepada WHO/ISH
tentang kriteria hipertensi yang dibagi dalam empat kategori yaitu optimal, normal dan normal
tinggi / prahipertensi, kemudian hipertensi derajat I, hipertensi derajat II dan hipertensi derajad
III.( Brookes-Linda, 2004)
Prahipertensi, jika angka sistolik antara 130 sampai 139 mmHg atau angka diastolik
antara 85 sampai 89 mmHg. Jika orang menderita prahipertensi maka risiko untuk terkena
hipertensi lebih besar. Misalnya orang yang masuk kategori prahipertensi dengan tekanan darah
130/85 mmHg – 139/89 mmHg mempunyai kemungkinan dua kali lipat untuk mendapat
hipertensi dibandingkan dengan yang mempunyai tekanan darah lebih rendah. Jika tekanan darah
Anda masuk dalam kategori prahipertensi, maka dianjurkan melakukan penyesuaian pola hidup
yang dirancang untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal.(Bustan, 1997)
Hipertensi derajat I. Sebagian besar penderita hipertensi termasuk dalam kelompok ini.
Jika kita termasuk dalam kelompok ini maka perubahan pola hidup merupakan pilihan pertama
untuk penanganannya. Selain itu juga dibutuhkan pengobatan untuk mengendalikan tekanan
darah. (Sutedjo, 2000) Hipertensi derajat II dan deraja t III. Mereka dalam kelompok ini
mempunyai risiko terbesar untuk terkena serangan jantung, stroke atau masalah lain yang
berhubungan dengan hipertensi. Pengobatan untuk setiap orang dalam kelompok ini dianjurkan
kombinasi dari dua jenis obat tertentu dibarengi dengan perubahan pola hidup. (Sutedjo, 2000).

14 | P a g e
2.3 Etiologi Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi
primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai
faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui
yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain.
Adapun penyebab paling umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak
terobati. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. (Sharma S, 2008).

2.4 Faktor Risiko Hipertensi


Faktor pemicu hipertensi dibedakan atas:
a. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a) Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko
terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi
(5,8,37) Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan
kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun (Nurkhalida, 2003). Arteri kehilangan
elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia,
kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan
enampuluhan (Staessen A Jan, 2003)
Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun
hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang
berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat
dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor
lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi (Staessen A Jan, 2003)
b) Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup
bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0%
untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan
17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan
14,6% pria dan 13,7% wanita (Yudini, 2006) Ahli lain mengatakan pria lebih banyak
menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk

15 | P a g e
peningkatan darah sistolik (Nurkhalidah, 2003) Sedangkan menurut Arif Mansjoer,
dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya
Hipertensi (Mansjoer-Arif, dkk. 2001) Menurut MN. Bustan bahwa wanita lebih
banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena
terdapatnya hormon estrogen pada wanita (Bustan 1997).
c) Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi
lebih sering menderita hipertensi (Nurkhalidah, 2003 )Riwayat keluarga dekat yang
menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi
terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit
jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat (Chunfang Qiu, 2003). Dari data
statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi (WHO, 2005)
Menurut Sheps, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang
dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25%
kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi,
kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%. (Sheps, 2005)
d) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya
kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur)
daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan
dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala(Chunfang Qiu,2003)
b. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a) Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan
peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan(Suyono-Slamet, 2001)
Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang
dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih
rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Zatzat kimia beracun, seperti
nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran
darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan
proses aterosklerosis dan hipertensi (. Nurkhalida, 2003)

16 | P a g e
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara
setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap
oleh pembuluhpembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran
darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi
terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah
dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.
Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan
meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit
setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang,
tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat
tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari.
b) Konsumsi Makanan Asin/Garam
Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan
hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume
plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan
ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem
pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial mekanisme ini terganggu, di
samping ada faktor lain yang berpengaruh (Radecki Thomas E. J.D, 2000).
Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat
maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa
batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada.
Padakelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga
memicu terjadinya hipertensi. (Sheps, 2005)
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi
hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah (Gunawan-Lany, 2005) Garam menyebabkan penumpukan cairan
dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam

17 | P a g e
3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan
garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400
mg/hari (Radecki Thomas E. J.D, 2000)
Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium
dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat
menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.(Hull-Alison,
1996)
c) Penggunaan Jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk
menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan
dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan
lainlain. Meskipun beragam, secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh
berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak
jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam
lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang
menyebabkan berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar
45,5% ALJ yang didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi
asam lemak oleat sering juga disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80% ALJ
dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir
90% komposisinya adalah ALTJ.( Khomsan-Ali, 2003) Penggunaan minyak goreng
sebagai media penggorengan bisa menjadi rusak karena minyak goreng tidak tahan
terhadap panas. Minyak goreng yang tinggi kandungan ALTJ-nya pun memiliki nilai
tambah hanya pada gorengan pertama saja, selebihnya minyak tersebut menjadi rusak.
Bahan makanan kaya omega-3 yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol
darah, akan tidak berkasiat bila dipanaskan dan diberi kesempatan untuk dingin
kemudian dipakai untuk menggoreng kembali, karena komposisi ikatan rangkapnya
telah rusak. ( Mosterd Arend, 2006)
Minyak goreng terutama yang dipakai oleh pedagang goreng-gorengan pinggir jalan,
dipakai berulang kali, tidak peduli apakah warnanya sudah berubah menjadi coklat tua
sampai kehitaman. Alasan yang dikemukakan cukup sederhana yaitu demi mengirit
biaya produksi. Dianjurkan oleh Ali Komsan, bagi mereka yang tidak menginginkan
menderita hiperkolesterolemi dianjurkan untuk membatasi penggunaan minyak
goreng terutama jelantah karena akan meningkatkan pembentukan kolesterol yang

18 | P a g e
berlebihan yang dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal ini dapat memicu
terjadinya penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan lain-lain
(Khomsan-Ali, 2003)
d) Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung
hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti.(
Suyono-Slamet, 2001) Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang
terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak
minum atau minum sedikit.( Hull-Alison, 1996)Menurut Ali Khomsan konsumsi
alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi
berkaitan dengan konsumsi alkohol. (Khomsan-Ali, 2003)
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun
diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah (Nurkhalida, 1996)
Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-20% dari
semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol per
hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali. Bagaimana dan
mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum diketahui dengan jelas. Namun
sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang, minum-minuman beralkohol
berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ lain.(Sheps, 2005)
e) Obesitas
Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks massa tubuh > 25
(berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)) juga merupakan salah satu faktor
risiko terhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita
hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang
obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas
tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi
dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olah raga ternyata juga dihubungkan
dengan pengobatan terhadap hipertensi. Melalui olah raga yang isotonik dan teratur
(aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer
yang akan menurunkan tekanan darah. Selain itu dengan kurangnya olah raga maka
risiko timbulnya obesitas akan bertambah, dan apabila asupan garam bertambah
maka risiko timbulnya hipertensi juga akan bertambah.( Suyono-Slamet, 2001)
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang

19 | P a g e
mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan
untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan
lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan
tubuh menahan natrium dan air (Yundini, 2006)
Menurut Alison Hull dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara
berat badan dan hipertensi, bila berat badan meningkat diatas berat badan ideal maka
risiko hipertensi juga meningkat. Penyelidikan epidemiologi juga membuktikan bahwa
obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi.
Dibuktikan juga bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan timbulnya
hipertensi dikemudian hari.( Hull-Alison, 1996) Pada penelitian lain dibuktikan bahwa
curah jantung dan volume darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih
tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal dengan
tekanan darah yang setara.(Suyono-Selamet, 2001) Obesitas mempunyai korelasi
positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung
mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi). Ada dugaan bahwa meningkatnya berat
badan normal relatif sebesar 10 % mengakibatkan kenaikan tekanan darah 7 mmHg.
Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi kalori bagi orang-orang
yang obes bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah terjadinya hipertensi.(
Khomsan- Ali, 2003)Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi
langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-
30 % memiliki berat badan lebih.( Nurkhalida, 2003)
f) Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga
isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.
Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas
dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi.
(Sheps, 2003) Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi
karena men hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang

20 | P a g e
yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih
tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang
dibebankan pada arteri. (Sheps, 2003)
g) Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara
pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan pemaparan
tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi. Menurut
Sarafindo (1990) yang dikutip oleh Bart Smet, stres adalah suatu kondisi disebabkan
oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak
antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang(Smet Bart, 1994)
Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan tak mudah
diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk mengatasinya dengan efektif.
Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah pengaruh-pengaruh yang datang dari
luar itu. Stres adalah respon kita terhadap pengaruh-pengaruh dari luar itu. (Sheps,
2005) Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-
debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta
lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup
lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau
perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag
( Gunawan-Lany, 2005) Menurut Slamet Suyono stres juga memiliki hubungan
dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan
tekanan darah secara intermiten.
Apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap(Suyono-Selamet, 2001) tres dapat meningkatkan tekanan darah untuk
sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali.
Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun
akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat
dipastikan.( Nurkhalida, 2003)

21 | P a g e
h) Penggunaan Estrogen
Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi belum ada data
apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena estrogen dari dalam
tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal estrogen.12MN Bustan
menyatakan bahwa dengan lamanya pemakaian kontrasepsi estrogen 12 tahun
berturut-turut), akan meningkatkan tekanan darah perempuan.(Bustan, 1997 ) Oleh
karena hipertensi timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor sehingga dari
seluruh faktor yang telah disebutkan diatas, faktor mana yang lebih berperan terhadap
timbulnya hipertensi tidak dapat diketahui dengan pasti. Oleh karena itu maka
pencegahan hipertensi yang antara lain dapat dilakukan dengan menjalankan gaya
hidup sehat menjadi sangat penting.
2.4 Patofisiologi hipertensi
Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling berhubungan terlibat
dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi esensial.Namun, pada sejumlah kecil
pasien penyakit ginjal atau korteks adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab utama
peningkatan tekanan darah (hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang
jelas pada pasien penderita hipertensi esensial.Beberapa mekanisme fisiologi turut berperan aktif
pada tekanan darah normal dan yang terganggu.Hal ini mungkin berperan penting pada
perkembangan penyakit hipertensi esensial.Terdapat banyak faktor yang saling berhubungan
terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi (Crea, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen.Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Crea, 2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.

22 | P a g e
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah.Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin.Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural dan fungsional
pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Rohaendi, 2008).
2.5 Gejala Hipertensi
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus.
Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara lain yaitu :
a. Gejala ringan seperti pusing
b. Sakit kepala
c. Sering gelisah
d. Wajah merah
e. Tengkuk terasa pegal
f. Mudah marah
g. Telinga berdengung
h. Sukar tidur
i. Sesak napas
j. Rasa berat ditengkuk
k. Mudah lelah
l. Mata berkunang-kunang
m. Mimisan (keluar darah dari hidung).

Menurut Crea (2008) gejala hipertensi adalah:


a. sakit kepala bagian belakang

23 | P a g e
b. kaku kuduk
c. sulit tidur
d. gelisah atau cemas dan kepala
e. pusing
f. dada berdebar-debar
g. lemas
h. sesak nafas
i. berkeringat
j. pusing.
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus diambil tindakan pencegahan yang
baik (stop High Blood Pressure), antara lain menurut (Crea, 2008), dengan cara sebagai berikut:
a. Mengurangi konsumsi garam. Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan,
maksimal 2 g garam dapur untuk diet setiap hari.
b. Menghindari kegemukan (obesitas). Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan
menjaga berat badan (b.b) normal atau tidak berlebihan.Batasan kegemukan adalah
jika berat badan lebih 10% dari berat badan normal.
c. Membatasi konsumsi lemak. Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar
kolesterol darah tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Lama
kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan
menggangu peredaran darah. Dengan demikian, akan memperberat kerja jantung dan
secara tidak langsung memperparah hipertensi.
d. Olahraga teratur. Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat meyerap atau
menghilangkan endapan kolesterol dan pembuluh nadi.Olahraga yang dimaksud
adalah latihan menggerakkan semua sendi dan otot tubuh (latihan isotonik atau
dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda.Tidak dianjurkan melakukan
olahraga yang menegangkan seperti tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang
berat bahkan dapat menimbulkan hipertensi.
e. Makan banyak buah dan sayuran segar. Buah dan sayuran segar mengandung banyak
vitamin dan mineral. Buah yang banyak mengandung mineral kalium dapat
membantu menurunkan tekanan darah.
f. Tidak merokok dan minum alkohol.
g. Latihan relaksasi atau meditasi. Relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi
stress atau ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan

24 | P a g e
mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai, indah, dan
menyenangkan.Relaksasi dapat pula dilakukan dengan mendengarkan musik, atau
bernyanyi.

25 | P a g e
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk
mengukur keadaan klien (keluarga) dengan menangani norma-norma kesehatan keluarga
maupun sosial, yang merupakan system terintegrasi dan kesanggupan keluarga untuk
mengatasinya. (Effendy, 2009).
Pengumpulan data dalam pengkajian dilakukan dengan wawancara, observasi, dan
pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi. Pengkajian asuhan keperawatan keluarga menurut
teori/model Family Centre Nursing Friedman (1988), meliputi 7 komponen pengkajian yaitu :
1. Data Umum
a) Identitas kepala keluarga
b) Komposisi anggota keluarga
c) Genogram
d) Tipe keluarga
e) Suku bangsa
f) Agama
g) Status sosial ekonomi keluarga
2. Aktifitas rekreasi keluarga
a) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
b) Tahap perkembangan keluarga saat ini
c) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
d) Riwayat keluarga inti
e) Riwayat keluarga sebelumnya
3. Lingkungan
a) Karakteristik rumah
b) Karakteristik tetangga dan komunitas tempat tinggal
c) Mobilitas geografis keluarga
d) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
e) System pendukung keluarga
4. Struktur keluarga
a) Pola komunikasi keluarga
b) Struktur kekuatan keluarga

26 | P a g e
c) Struktur peran (formal dan informal)
d) Nilai dan norma keluarga
5. Fungsi keluarga
a) Fungsi afektif
b) Fungsi sosialisasi
c) Fungsi perawatan kesehatan
6. Stress dan koping keluarga
a) Stressor jangka panjang dan stressor jangka pendek serta kekuatan keluarga.
b) Respon keluarga terhadap stress
c) Strategi koping yang digunakan
d) Strategi adaptasi yang disfungsional
7. Pemeriksaan fisik
a) Tanggal pemeriksaan fisik dilakukan
b) Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada seluruh anggota keluarga
c) Kesimpulan dari hasil pemeriksaan fisik
8. Harapan keluarga
a) Terhadap masalah kesehatan keluarga
b) Terhadap petugas kesehatan yang ada
Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan saat pengkajian menurut Supraji (2011),
yaitu:
1. Membina hubungan baik
Dalam membina hubungan yang baik, hal yang perlu dilakukan antara lain, perawat
memperkenalkan diri dengan sopan dan ramah tamah, menjelaskan tujuan kunjungan,
meyakinkan keluarga bahwa kehadiran perawat adalah menyelesaikan masalah
kesehatan yang ada di keluarga, menjelaskan luas kesanggupan bantuan perawat
yang dapat dilakukan, menjelaskan kepada keluarga siapa tim kesehatan lain yang ada
di keluarga.
2. Pengkajian awal
Pengkajian ini terfokus sesuai data yang diperoleh dari unit pelayanan kesehatan yang
dilakukan.
3. Pengkajian lanjutan (tahap kedua)
Pengkajian lanjutan adalah tahap pengkajian untuk memperoleh data yang lebih
lengkap sesuai masalah kesehatan keluarga yang berorientasi pada pengkajian awal.

27 | P a g e
Disini perawat perlu mengungkapkan keadaan keluarga hingga penyebab dari
masalah kesehatan yang penting dan paling dasar.
9. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggunakan dan menggambarkan respons
manusia. Dimana keadaan sehat atau perubahan pola interaksi potensial/actual dari
individu atau kelompok dimana perawat dapat menyusun intervensi-intervensi definitive
untuk mempertahankan status kesehatan atau untuk mencegah perubahan (Carpenito,
2010).
Untuk menegakkan diagnosa dilakukan 2 hal, yaitu :
3.1 Anallisa data
Mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan dengan standar
normal sehingga didapatkan masalah keperawatan.
a. Perumusan diagnosa keperawatan
Komponen rumusan diagnosa keperawatan meliputi :
a) Manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota keluarga.
b) Penyebab (etiologi) adalah kumpulan data subjektif dan objektif.
c) Perawat dari keluarga secara langsung atau tidak langsung atau tidak yang
mendukung masalah dan penyebab. Dalam penyusunan masalah kesehatan dalam
perawatan keluarga mengacu pada tipologi diagnosis keperawatan keluarga yang
dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Diagnosa sehat/Wellness/potensial
Yaitu keadaan sejahtera dari keluarga ketika telah mampu memenuhi
kebutuhan kesehatannya dan mempunyai sumber penunjang kesehatan yang
memungkinkan dapat digunakan. Perumusan diagnosa potensial ini hanya
terdiri dari komponen Problem (P) saja dan sign /symptom (S) tanpa etiologi (E).
2. Diagnosa ancaman/risiko
Yaitu masalah keperawatan yang belum terjadi. Diagnosa ini dapat menjadi masalah
actual bila tidak segera ditanggulangi. Perumusan diagnosa risiko ini terdiri
dari komponen problem (P), etiologi (E), sign/symptom (S).
3. Diagnosa nyata/actual/gangguan
Yaitu masalah keperawatan yang sedang dijalani oleh keluarga dan
memerlukn bantuan dengan cepat. Perumusan diagnosa actual terdiri dari problem
(P), etiologi (E), dan sign/symptom (S). Perumusan problem (P) merupakan

28 | P a g e
respons terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan etiologi
mengacu pada 5 tugas keluarga.
3.2 Perencanaan
Perencanaan adalah sekumpulan tindakan yang ditentukan perawat untuk dilaporkan
dalam memecahkan masalah kesehatan dan keperawatan yang telah diidentifikasi
(Efendy, 2009).
Penyusunan rencana perawatan dilakukan dalam 2 tahap yaitu pemenuhan skala prioritas
dan rencana perawatan (Suprajitmo, 2010).
3.3 Skala prioritas
Prioritas didasarkan pada diagnosis keperawatan yang mempunyai skor tinggi dan
disusun berurutan sampai yang mempunyai skor terendah. Dalam menyusun prioritas
masalah kesehatan dan keperawatan keluarga harus didasarkan beberapa criteria
sebagai berikut :
1) Sifat masalah (actual, risiko, potensial)
2) Kemungkinan masalah dapat diubah.
3) Potensi masalah untuk dicegah.
4) Menonjolnya masalah.
Skoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosa keperawatan telah dari satu
proses skoring menggunakan skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglay
(1978) dalam Effendy (2009).
a. Kriteria : Bobot dan Skor
b. Sifat masalah : Aktual = 3, Risiko = 2, Potensial = 1
c. Kemungkinan masalah untuk dipecahkan : Mudah = 2, Sebagian = 1, Tidak dapat =
0
d. Potensi masalah untuk dicegah : Tinggi = 3, Cukup = 2, Rendah = 1
e. Menonjolnya masalah : Segera diatasi = 2, Tidak segera diatasi = 1, Tidak dirasakan
adanya masalah = 0
Proses scoring dilakukan untuk setiap diagnosa keperawatan :
a. Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang dibuat perawat
b. Skor dibagi dengan angka tertinggi dan dikaitkan dengan bobot
c. Jumlahkan skor untuk semua criteria
d. Skor tertinggi berarti prioritas (skor tertinggi 5)

29 | P a g e
3.4 Rencana
Langkah pertama yang dilakukan adalah merumuskan tujuan keperawatan. Tujuan
dirumuskan untuk mengetahui atau mengatasi serta meminimalkan stressor dan intervensi
dirancang berdasarkan tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat garis
pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk memperkuat garis pertahanan sekunder,
dan pencegahan tersier untuk memperkuat garis pertahanan tersier (Anderson & Fallune,
2009).
Tujuan terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka
panjang mengacu pada bagaimana mengatasi problem/masalah (P) di keluarga. Sedangkan
penetapan tujuan jangka pendek mengacu pada bagaimana mengatasi etiologi yang
berorientasi pada lima tugas keluarga. Adapun bentuk tindakan yang akan dilakukan dalam
intervensi nantinya adalah sebagai berikut :
a) Menggali tingkat pengetahuan atau pemahaman keluarga mengenai masalah.
b) Mendiskusikan dengan keluarga mengenai hal-hal yang belum diketahui dan meluruskan
mengenai intervensi/interpretasi yang salah.
c) Memberikan penyuluhan atau menjelaskan dengan keluarga tentang faktor-faktor
penyebab, tanda dan gejala, cara menangani, cara perawatan, cara mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pentingnya pengobatan secara teratur.
d) Memotivasi keluarga untuk melakukan hal-hal positif untuk kesehatan.
e) Memberikan pujian dan penguatan kepada keluarga atas apa yang telah diketahui dan apa
yang telah dilaksanakan.
f) Pelaksanaan, pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan pada rencana yang telah disusun. Hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap keluarga
yaitu:
1) Sumber daya keluarga.
2) Tingkat pendidikan keluarga.
3) Adat istiadat yang berlaku.
4) Respon dan penerimaan keluarga.
5) Sarana dan prasarana yang ada pada keluarga
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan
criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Kerangka kerja
valuasi sudah terkandung dalam rencana perawatan jika secara jelas telah
digambarkan tujuan perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi sebagai

30 | P a g e
criteria evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai. Evaluasi disusun mnggunakan
SOAP dimana :
a. S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.
b. O : keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang obyektif.
c. A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif.
d. P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

31 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, K.A. (2010). Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta : Sagung Seto
Allender, JA & Spradley, B. W. (2008). Community as Partner, Theory and Practice
Nursing. Philadelpia : Lippincott
Anderson.E.T & Mc.Farlane.J.M. (2014). Community Health and Nursing, Concept and
Practice. Lippincott : California,
Effendy,N. (2009). Dasar-dasar keperawatan Kesehatan Masyarakat.Jakarta : EGC
Friedman,M.M. (2009). Family Nursing Research Theory and Practice,4th
Edition.Connecticut : Aplenton
Harmoko. (2012 ). Asuhan Keperawatan Keluarga. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkurtural. Jakarta :
EGC
Suprajitno. (2011). Asuhan Keprawatan Keluarga Aplikasi dalam Praktek.Jakarta :EGC
Susanto, T. (2012). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Aplikasi Teori Pada Praktik asuhan
keperawatan Keluarga. Jakarta: Trans Info Media.
Sidabutar, R. P., Wiguno P. Hipertensi Essensial. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI; 1999. p: 210.
Herir J.O. Sigarlaki. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi di Desa Bocor,
Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah [internet]. 2006 Dec
[cited 2011 Oct 7]: 10(2):78-88. Available from: Makara, Kesehatan.
Tjokronegoro dan H. Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam II. In: Susalit, E.J. Kapojos, dan
H.R. Lubis ed. Hipertensi Primer. Jakarta: Gaya Baru; 2001. p: 453-56
WHO, A global brief on Hypertension, Silent killer, global public health crisis. 2013 Riset
Kesehatan Dasar 2013
WHO dalam Soenarta Ann Arieska, Konsensus PengobatanHipertensi. Jakarta: Perhimpunan
Hipertensi Indonesia (Perhi), 2005;5
Kaplan M. Norman, Hypertension in The Population at large In Clinical Hypertension: Seventh
Edition . Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkins, 1998; 1-17.
Wirakusumah-S Emma, 2002, Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara; 25.
Corwin, Elizabeth J., Buku Saku PatofisiologI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001;
356.
Gunawan, Hipertensi, Jakarta: PT Gramedia, 2001; 10.

32 | P a g e
Suyono-Slamet, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI, Jakarta: Balai Pustaka, 2001; 253, 454-
459,463-464.
Mosterd Arend, D’ Agostino Ralph B, Silbershatz Halit, et.al. Trends in the Prevalens of
Hypertension, Antihypertensive terapy, and left Ventricular Hypertrophy from 1950
to 1989. 1999; 1221-1222. nejm.org December 18, 2006.
Yundini, Faktor Risiko Hipertensi . Jakarta: Warta Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2006;
Tue, 29 Aug 2006 10:27:42-0700.
Bustan, M.N., Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta, 1997; 29-38.
Brookes-Linda, The Update WHO/ISH Hypertension Guidline. Brazil: J Hypertens, 2004; 151-
183.
Sutedjo, Profil Hipertensi pada Populasi Monica . Hasil Penelitian MONICA-Jakarta III” Tahun
2000, Jakarta: Filed Under Riset Epidemiologi . 2002, May 22nd, 2006 at 10: 22
Nurkhalida, Warta Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI., 2003; 19-21.
Staessen A Jan, Jiguang Wang, Giuseppe Bianchi, Willem H Birkenhager, Essential
Hyppertension . The Lancet, 2003; 1629-1635.
Mansjoer-Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2001;
520
Chunfang Qiu, Michelle A. Williams, Wendy M. Leisenring, at. al., Family History of
Hypertension. North Seattle: American Heart Association, Inc. 2003;41:408.
WHO dalam Soenarta Ann Arieska, Konsensus Pengobatan Hipertensi. Jakarta: Perhimpunan
Hipertensi Indonesia (Perhi), 2005 Sheps, Sheldon G, Mayo Clinic Hipertensi,
Mengatasi Tekanan Darah Tinggi . Jakarta: PT Intisari Mediatama, 2005; 26,158.
Chunfang Qiu, Michelle A. Williams, Wendy M. Leisenring, at. al., Family History of
Hypertension. North Seattle: American Heart Association, Inc. 2003;41:408.
Suyono-Slamet, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. FKUI, Jakarta: Balai Pustaka, 2001; 253, 454-
459,463-464.
Radecki Thomas E. J.D. Hypertension: Salt is a Major Risk Factor. USA: J Cardiovasc, Feb;7(1):
2000; 5-8.
Hull-Alison, Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara, 1996; 18,29.
Khomsan-Ali, Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003;
88,96. Smet Bart, Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia, 1994;

33 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai