Anda di halaman 1dari 10

Tugas Mata Kuliah Sosiologi dan Politik

Dampak Thin Chapitalization terhadap


Perpajakan di Indonesia

Disusun oleh:
Alfan Azizi (16/393206/EK/20750)

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

Page 1 of 10
2018
BAB I
Pendahuluan
Mohamad Hatta mengatakan bahwa apabila perekonomian nasional belum dapat
berjalan secara mandiri, maka sebaiknya dilaksanakan dengan bantuan kapital pinjaman luar
negeri.1 Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu diberi kesempatan kepada pengusaha asing
menanamkan modalnya di Indonenesia dengan syarat yang ditentukan pemerintah. Hal inilah
yang kemudian menjadi alasan mulai dibukanya pintu penanaman modal atau investasi di
indonesia, baik yang bersifat domestik maupun asing.
Perkembangan ekonomi serta perdagangan internasional yang sangat cepat di era
globalisasi ini memungkinkan individu ataupun perusahaan dapat menanamkan modalnya di
berbagai negara. Dalam bidang ekonomi, globalisasi ditandai dengan semakin banyaknya
perpindahan modal dan tenaga kerja antarnegara, perpindahaan lokasi usaha dari negara yang
high cost ke negara yang low cost, dan terjadinya kesepakatan perdagangan bebas antarnegara.2
Arus perubahan ini memberikan dampak yang signifkan terhadap perubahan struktur modal
dan manejemen Multi National Company (MNCs). Perusahaan multinasional mulai
mengembangkan startegi global yang mengarah untuk memaksimalkan keuntungan dan
meinimalkan biaya, termasuk biaya pajak yang harus dibayar.
Gagasan bahwa globalisasi dapat mengikis penerimaan pajak-khususnya negara
berkembang- didukung oleh Cobham (2005). Berkaitan dengan perpajakan di negara-negara
berkembang, globalisasi menghasilkan kesenjangan melalui tiga saluran kebocoran3, yaitu:
pendapatan yang hilang karena kompetisi pajak, pendapatan atau aset yang di letakkan di luar
negeri, dan pergeseran laba. Semua itu terjadi karena tidak adanya keterpaduan antara aturan
pajak domestik dan aturan pajak internasional yang akhirnya dimanfaatan oleh MNCs untuk
menghindari pembayaran pajak dengan memanfaaatkan celah-celah dalam aturan perpajakan.
Globalisasi ekonomi telah membawa dampak pada peningkatan investasi asing antar
negara, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Menurut Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) PMA yang masuk ke Indonesia menunjukan trend peningkatan dari tahun ke
tahun. Pada semester pertama tahun 2017 PMA yang masuk sebesar Rp 206,9 triliun, naik
5,8% dibanding periode sama pada tahun sebelumnya4. Walaupun terdapat kenaikan investasi
hal ini tidak serta merta meningkatkan penerimaan perpajakan. Banyak perusahaan yang tidak
melaporkan Surat Pemeberitahuan Pajak (SPT) secara benar karena SPT-nya selalu
menunjukan kerugian terus menerus walaupun ia masih tetap beroperasi. Direktorat Jendral

Page 2 of 10
Pajak Kementrian Keuangan menyatakan bahwa hingga saat ini sekitar 28% dari 18.223 MNCs
yang beroperasi di Indonesia melaporkan masih mengalami kerugian.5 Kerugian tersebut
bervariasi, mulai dari 1-2 tahun berturut-turut, hingga 3-5 tahun berturut-turut. Sebagai dampak
dari kerugian itu, sekitar 5.068 PMA itu belum membayarkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Pasal 25 dan 29 kepada negara. Padahal sebagian sudah beroperasi cukup lama dengan
menggunakan sumber daya dan fasilitas yang disediakan negara. Kemudian muncul
pertanyaan, startegi apa yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut sehigga
masih bisa melanjutkan kegiatan operasionalnya bahkan melakukan ekspansi sedangkan dalam
laporan keuanganya menunjukkan kerugian?

Page 3 of 10
BAB II
Analisis dan Pembahasan
Mekanisme thin capitalisation

Secara umum penerapan thin capitalisation rules memiliki dua metode, yaitu:

1. Menentukan batas maksimal jumlah utang dalam struktur modal yang dapat digunakan
oleh perusahaan untuk memperoleh instrumen pengurang jumlah pajak yang wajib
dibayarkan (bunga merupakan instrumen yang tax deductibile). Dengan metode ini,
pembebanan bunga melebihi batasan utang yang telah ditetapkan tidak akan
diperhitungkan untuk penentuan jumlah pajak yang terutang (for tax purposes).
Indonesia menggunakan metode ini dalam menerapkan thin capitalisation rules
2. Menentukan batas maksimum bunga yang dapat dikurangkan dari laba sebelum pajak
dan bunga. Penentuan batas maksimum bunga dapat merujuk pada rasio bunga yang
dibayarkan terhadap variabel tertentu.
Indonesia menggunakan metode pertama dalam menerapkan thin capitalisation rules. Metode
pertama memiliki dua pendekatan dalam penerapannya, yaitu pendekatan arm’s length dan
pendekatan rasio. Pendekatan arm’s length menentukan batas maksimal utang berdasarkan
jumlah utang yang mungkin/dapat diterima perusahaan dari pemberi pinjaman independen.
Pendekatan selanjutnya, yaitu pendekatan rasio. Pendekatan tersebut menggunakan
serangkaian rasio—debt-to-asset ratio, debt-to-equity ratio, etc.—dalam menetapkan batas
maksimum penggunaan utang dalam struktur modal. Keunggulan dari pendekatan rasio adalah
memberikan kepastian yang lebih jelas dalam menggambarkan penerapan thin capitalisation
rules. Selain itu, pendekatan rasio juga dapat mengurangi compliance cost—cost dalam
menerapkan peraturan tersebut—baik bagi fiskus maupun wajib pajak. Hal ini disebabkan
pendekatan rasio relatif lebih mudah dalam pengimplementasiannya.

Lebih spesifik lagi, Indonesia menggunakan pendekatan rasio dalam penerapannya.


Penerapan thin capitalisation rules di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang
dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Dalam peraturan
tersebut, Indonesia menggunakan debt-to-equity ratio (DER) dalam menetapkan penggunaan
utang yang dinilai wajar dan tidak terindikasi adanya niatan untuk mengurangi pembayaran
pajak. Dalam PMK no.169 maksimal DER yang diperbolehkan sebesar 4:1. Artinya, setiap
perusahaan di Indonesia yang merupakan wajib pajak, hanya diperkenankan memiliki empat

Page 4 of 10
kali utang lebih banyak dari ekuitas yang dimilikinya. Dengan kata lain, struktur modal dari
setiap perusahaan di Indonesia maksimal terdiri dari 80% utang dan 20% ekuitas. Bunga yang
berasal dari utang melebihi batasan yang telah ditetapkan tidak akan diperhitungkan dalam
menentukan besaran pajak penghasilan. Penetapan rasio tersebut mulai berlaku secara efektif
pada tanggal 9 September 2015.

Hal-hal lain yang diperhitungkan dalam penetapan thin capitalisation rules di


Indonesia, selain jumlah utang dan ekuitas adalah (1) bunga dari pinjaman tersebut, (2)
discount atau premium dari pinjamant tersebut, (3) Tambahan biaya untuk memperoleh
pinjaman tersebut, (4) finances charge dalam transaksi financial leas, hingga (5) perbedaan
kurs yang menyebabkan perbedaan biaya bunga saat utang dengan mata uang asing
dikonversikan ke rupiah.

Keuntungan penetapan thin capitalization rules di Indonesia

Pada tahun 2014, International Monetary Fund (IMF) mengeluarkan salah satu working paper
yang menganalisis dampak penerapan thin cap rules terhadap kondisi perpajakan sebuah
negara. Dalam working paper tersebut, IMF menemukan bahwa sebuah negara yang
menerapan thin capitalization rules dapat mengurangi total leverage hingga 4,6%. Total
leverage merupakan sebuah rasio yang menjadi indikator seberapa banyak aset perusahaan
yang didanai menggunakan utang—juga indikator untuk menilai penggunaan utang. Formula
yang umumnya digunakan adalah jumlah utang dibagi aset (debt-to-asset ratio). Menurunnya
total utang yang digunakan perusahaan mengindikasikan semakin kecilnya potensi
berkurangnya pembayaran pajak dengan memanfaatkan penggunaan utang. Hal ini dapat
mendorong penerimaan pajak di Indonesia.

Selain itu, penerapan thin capitalization rules dapat mendorong peningkatan pada rasio pajak
sebuah negara. Argumen yang menyatakan bahwa penggunaan thin capitalization rules dapat
meningkatkan tax ratio pada sebuah negara semakin diperkuat dengan hasil penelitian dari
IMF. Dalam sebuah model regresi, ditemukan bahwa semakin ketat sebuah negara menerapkan
thin capitalization rules, maka semakin besar kemungkinan adanya peningkatan pada tax ratio.
Hingga saat ini, rasio pajak Indonesia masih cukup rendah, yaitu sekitar 10,8%. Rasio pajak
tersebut dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung
dalam ASEAN. Di sisi lain, IMF menyarankan rasio pajak sebesar 12,75% untuk dapat
mendukung terjadinya pembangunan berkelanjutan (sustainable developements). Penerapan
thin capitalization rules dapat membantu Indonesia untuk mencapai hal tersebut.

Page 5 of 10
Kelemahan thin capitalization

Dalam penerapannya Pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan aspek rasionalitas


seorang investor atau wajib pajak itu sendiri. Berdasarkan berbagai hasil studi cukup jelas
ditemukan bahwa penerapan thin capitalization rules akan meningkatkan beban pajak.
Peningkatan pajak akan mengurangi minat investor untuk melakukan investasi di
Indonesia.Secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Sebagaimana hasil penelitian dari Montreal Economic Institute yang
menemukan bahwa peningkatan pajak penghasilan perusahaan sebesar $1 miliar, berdampak
pada penurunan GDP riil sebesar $0,89 miliar dalam jangka panjang (jurnal). Oleh karena itu,
dalam penerapan kebijakan terkait, perlu diperhatikan sepuluh prinsip yang dipaparkan
AICPA.

Jika diamati lebih lanjut, salah satu kelemahan dari pendekatan rasio yang digunakan Indonesia
adalah kemampuannya dalam mengubah tingkah laku (behaviour) dari setiap entitas bisnis
yang beroperasi. Mengapa demikian? Karena pendekatan rasio tidak memperhitungkan kondisi
pasar maupun industri dari masing-masing bisnis tersebut. Hal ini melukai beberapa prinsip
penetapan kebijakan berdasarkan AICPA, antara lain:

● Equity and Fairness


Prinsip ini menekankan pada sebuah ide, bahwa setiap wajib pajak yang mengalami
situasi tertentu, harus dikenakan pajak sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Kebijakan thin capitalization rules berdasarkan pendekatan rasio tidak sesuai dengan
prinsip ini. Hal ini dikarenakan adanya pemberlakuan yang sama pada setiap
perusahaan yang menghadapi situasi yang berbeda. Pemerintah Indonesia
memperlakukan penetapan DER sebesar 4:1 pada setiap level bisnis, baik small and
medium enterprises (SMEs), maupun multinational enterprises (MNEs). Padahal,
kondisi struktur modal pada kedua jenis perusahaan tersebut jelas akan sangat berbeda.
MNEs merupakan perusahaan yang umumnya memiliki struktur afiliasi yang kompleks
akan berbeda dengan SMEs yang berdiri sendiri. Pernyataan ini selaras dengan apa
yang diungkapkan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD)
dalam paper-nya , bahwa kelemahan dari pendekatan rasio adalah perlakuan yang
inkonsisten pada perusahaan yang berada pada level yang berbeda—SMEs dan MNEs.

Page 6 of 10
● Neutrality
Prinsip netralitas mengungkapkan bahwa sewajarnya, kebijakan perpajakan tidak
mendorong wajib pajak untuk menjalankan atau melepaskan aktivitas tertentu. Hal ini
dikarenakan tujuan dari kebijakan perpajakan semata-mata untuk meningkatkan
penerimaan pajak. Pemberlakuan thin capitalization rules akan menghilangkan prinsip
netralitas. Masing-masing wajib pajak akan mengambil tindakan untuk menghindari
penggunaan utang karena sanksi yang dikenakan apabila melampaui batas (threshold)
tertentu.
● Economic Growth and Efficiency
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, pembebanan pajak yang lebih besar
melalui penerapan thin capitalization rules akan mendorong investor untuk
menghindari penanaman modal di Indonesia. Hal ini pada akhirnya akan menghambat
pertumbuhan ekonomi
● Simplicity
Kebijakan pajak diharuskan sederhana, agar wajib pajak dapat comply dengan
peraturan tersebut. Penerapan thin capitalization rules tentunya akan mempersulit
wajib pajak pengusaha. Sistem penilaian perpajakan di Indonesia merupakan self-
assesment system. Penerapan thin cap rules mengharuskan masing-masing wajib pajak-
-khususnya perusahaan dengan struktur modal yang kompleks (complex capital
structure)—menyesuaikan pembayaran pajaknya apabila utang yang dimiliki meleihi
batas yang telah ditetapkan. Hal ini mempersulit wajib pajak untuk comply dengan
peraturan tersebut.

Hingga sekarang, sekitar 58% negara-negara di Eropa telah menerapkan thin capitalization
rules dan jumlahnya akan terus meningkat hingga 70% (jurnal). Indonesia pun telah
menerapkan kebijakan serupa dengan menetapkan PMK no. 169. Cepat atau lambat, negara-
negara yang tergabung dalam OECD dan G-20 juga akan ikut menerapkan kebijakan tersebut.
Hal ini disebabkan penetapan thin capitalization rules merupakan bagian dari salah satu BEPS
action plan, yaitu action plan ke-4.

Page 7 of 10
BAB IV
Kesimpulan
Tujuan utama dari thin capitalization rules pada dasarnya adalah mencegah
penghindaran pajak dengan memanfaatkan utang sebagai komponen yang dapat mengurangi
pajak (tax deductible). Beberapa studi menemukan bahwa kebijakan tersebut dapat
meningkatkan penerimaan pajak bagi sebuah negara. Penyebab utamanya adalah penerapan
thin capitalization rules akan mendorong perusahaan mengurangi total leverage-nya. Dalam
jangka panjang, kondisi seperti ini akan mendongkrak tax ratio di Indonesia—meskipun juga
diperlukan bantuan beberapa instrumen perpajakan lainnya. Namun, beberapa keuntungan
yang dapat diperoleh dari kebijakan tersebut apakah sepadan dengan potensi kerugian yang
ditanggung oleh negara. Penetapan peraturan pajak yang bersifat kompleks akan mendorong
wajib pajak untuk menghindari pembayaran pajak—mengingat pembayaran pajak di Indonesia
berdasarkan self-assesment system. Selain itu, konsekuensi logis dari penetapan thin
capitalization rules akan ada beberapa perusahaan yang bergerak dalam industri tertentu
terbebani dengan beban pajak yang relatif lebih besar. Permasalahan semacam ini akan
membuat industri bersangkutan terlihat tidak menarik untuk dimasuki oleh investor, baik
investor asing maupun domestik. Penurunan tingkat investasi tentunya akan mendorong
penurunan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana hasil temuan dari Montreal Economic
Institute, bahwa peningkatan pajak penghasilan pada korporasi sebesar $1 miliar, akan
melemahkan pertumbuhan ekonomi senilai $0,89 miliar. Karenanya, Pemerintah Indonesia
diharapkan untuk dapat lebih mempertimbangkan aspek-aspek selain jumlah pajak yang
diterima dalam pengesahan thin capitalization rules.

Page 8 of 10
Daftar Pustaka
Arifin, Nanang Zaenal. “BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada
Indonesia.” 2015: 1-7.

BKPM. Realisasi Penanaman Modal PMA-PMDN. Triwulan 2, Jakarta: Badan Koordinasi Penanaman
Modal, 2017.

Cobham, Alex. “Tax evasion, tax avoidance and development finance.” (Queen Elizabeth Working
Paper) 2005: 8-11.

Gilarso, T. “Pengantar Ilmu Ekonomi Makro.” 134. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

IAI. IAI Global. 2005. http://iaiglobal.or.id/v03/berita-kegiatan/detailarsip-847 (diakses Juni 1, 2018).

International Tax Review. 15 Desember 2015.


http://www.internationaltaxreview.com/Article/3514495/Inside-observations-on-the-BEPS-
Project.html (diakses Mei 25, 2018).

Kristiaji, B. Bawono. “Incentives and Disincentives of Profit Shifting in Developing Countries.”


Incentives and Disincentives of Profit Shifting in Developing Countries. Tilburg University, Juni
2015.

Mihir A. Desai, C. Fritz Foley, James R. Hines, Jr. “A Multinational Perspective on Capital Structure
Choice and Internal Capital Markets.” 2003: 5-6.

OECD. “Comments Received on Public Discussion Draft: BEPS ACTION 4: INTERES DEDUCTION AND
OTHER FINANCIAL PAYMENTS.” 2014.

Publishing, OECD. “OECD Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting.” 2013.

Runkel, Andreas Haufler and Marco. “Firms’ financial choices and thin capitalization rules under
corporate tax competition.” 2011.

Thiess Buettner, Michael Overesch, Ulrich Schreiber, and Georg Wamser. “The Impact of Thin-
Capitalization Rules on Multinationals’ Financing and Investment Decisions.” 2007.

Tim Edgar, Jonathan Farrar, and Amin Mawani. “Foreign Direct Investment, Thin Capitalization, and
the Interest Expense Deduction: A Policy Analysis).” 2008, t.thn.

Page 9 of 10
Page 10 of 10

Anda mungkin juga menyukai