Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Akhir-akhir ini, pendidikan akhlak mulia (moral) menjadi perhatian utama masyarakat
karena dari hari ke hari terlihat gejala kemerosotan moral. Setiap hari kita disuguhi berita-berita
dan informasi, baik dari media elektronik maupun media cetak yang menunjukkan rendahnya
moral dan akhlak sebagian anggota masyarakat kita seperti penyimpangan seksual, perampasan
hak milih orang lain dengan paksa, pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya. Bahkan yag
lebih meprihatinkan seorang bapak yang tega menodai kesucian putrinya yang merupakan darah
dagingnya sendiri. Di kalangan remaja, penyimpangan tersebut berupa pemerkosaan,
pemerasan dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Bahkan hal tersebut sudah banyak
dilakukan oleh anak-anak usia SD dan SMP.
Dari hari ke hari masyarakat semakin merasakan degradasi moral. Berawal dari hasrat
mementingkan diri sendiri dan keserakahan, kemudian berubah menjadi keegoisan,
kesombongan, kesinisan, kekerasan, kebrutalan dan teror. Telah tumbuh di masyarakat bahwa
untuk bisa maju, mereka harus mencurangi dan mengalahkan yang lainnya. Hal tersebut terjadi
tidak hanya secara individu, melainkan kelompok.
Dimasyarakat yang sudah penuh dengan kekejian dan moral Islam telah ditinggalkan.
Karena itu, masalah akhlak dan moral merupakan masalah yang semakin penting dikaji dan
dipikirkan. Terlebih jika ditambah kenyataan yang menunjukkan bahwa kemajuan IPTEK telah
membawa dampak positif maupun negatif.
Islam mengajarkan agar manusia memiliki martabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik
budi, beriman, dewasa dan membina perdamaian. Tugas mulia manusia adalah menjalankan
prinsip-prinsip mulia yang telah diajarkan oleh al-Qur’an.
Kecenderungan seseorang berbuat baik atau buruk, menurut Umary(1988 : 22) dapat
diukur sejauh mana seseorang mengetahui dan mengerti pendidikan akhlak, karena pendidikan
akhlak dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi baik dan terbiasa berlaku baik, mulia,
terpuji, serta menghindari yang buruk, hina dan tercela.
Moral secara umum dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang dikaitkan dengan prinsip-
prinsip atau standard kebenaran dan ketidakbenaran dalam perilaku. Perilaku yang tidak sesuai
dengan standard kebenaran dan ketidakbenaran dikatakan kemerosotan moral. Kemerosotan
moral ini oleh Wahab (2003) diibaratkan sebagai benang kusut. Membangun kembali kemuliaan
moral sama artinya dengan menegakkan kembali benang kusut.
Beberapa kasus kemerosotan moral telah terjadi di berbagai aspek kehidupan; ideologi,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan dan keamanan. Di bidang ideologi, kita mengenal lima
prinsip (Pancasila) yang harus dipegang teguh oleh bangsa Indonesia. Orang yang percaya
kepada Tuhan mestinya hidup sesuai dengan aturan Tuhan. Akan tetapi di sana-sini pelanggaran
terhadap hukum Tuhan tidak semakin mengecil, melainkan semakin membengkak. Penyekutuan
terhadap Tuhan semakin meraja lela, penyembahan berhala dalam berbagai manifestasinya
tidak hilang, penyalahgunaan nama Tuhan untuk kepentingan pribadi atau golongan,
pembunuhan semakin meningkat, pelacuran tidak dapat dikurangi, pencurian semakin terang-
terangan, kebohongan semakin meminta pembenara dan penghormatan kepada orang tua
semakin menurun. Bangsa yang berperikemanusiaan akan menjalakan prinsip Thomas Aquinas
homo sacra rest homini, bukan prinsip Hobes homo homini lupus. Persatuan bangsa semakin
sulit dipertahankan. Musyawarah dan mufakat tidak lagi mewarnai pengambilan keputusan
melainkan kekuatan uang dan politik. Akibatnya, keadilan sosial pun sulit diwujudkan.
Di bidang politik, perlu dikemukakan pertanyaan : Apakah politisi kita berpegang teguh
pada prinsip dan standard perilaku politik yang baik dan sehat ? Tampaknya Machiavellisme
mendominasi cara mereka bercipta, berkarya dan berasa dalam politik. Means justifies the ends
(tujuan menghasilkan cara) dipraktekkan oleh pelaku-pelaku politik kita, baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Russell (1996 : 494) mengutip Machiavelli mengemukanan sebagai berikut :

The Princes is very explicit in repudiating receivedmorality where the conduct of the
rules in concerned. A ruler will perish if he is always good; he must be as cunning as a fox and
as fierce as a lion... Therefore, he must on occasion be faithless.

Secara sederhana, kutipan di atas dapat dipahami bahwa seorang penguasa akan binasa
dan akan jatuh jika ia selalu baik. Untuk itu, ia boleh berlaku licik dan kejam. Penguasa boleh
licik seperti serigala dan kejam seperti singa, si raja hutan.
Kebohongan demi kebohongan semakin dirasakan oleh rakyat. Di saat pemilu, mereka
berkampanye mengobral sejumlah janji untuk menarik simpatik rakyat. Setelah mereka naik ke
anggung kekuasaan, janji-janji selama pemilu tinggallah janji. Jika seorang telah mahir
berbohong, ia tahu benar siapa, dimana, dan kapan dia harus melakukan lagi kebohongan itu
dengan korban yang semakin meningkat dalam kuantitas maupun kualitas.
Hebatnya, kebohongan itu tidak terbatas hanya keada manusia. Kepada Tuhan pun
kebohongan itu dilakukan. Persis seperti yang dinasehatkan Machiavelli “the ruless should seem
religious” (penguasa harus terlihat agamis). Agar penguasa terlihat taat beragama, mereka
beramai-ramai mengenakan atribut agama; pergi haji, buka puasa bersama, tarawih dan
istighasah di istana masing-masing. Ikhlas atau tidak hanya Tuhan dan para pelaku itu yang tahu.
Kemerosotan akkhlak mulia, juga terjadi di bidang kehidupan ekonomi, tampaknya para
pelaku ekonomi kita tidak meihat pentingnya keseimbangan antara “action an rewards”. Mereka
terlalu didominasi oleh sifat malas; ingin kerja sedikit tapi hasil banyak (human always wants to
work less and wants to get more). Para pelajar senangnya bermain-main, tapi ingin niai bagus;
pemuda maunya konsumtif, tidak mempersiapkan diri untuk masa depan yang produktif. Sifat
ingin bekerja sedikit (atau tidak bekerja sama sekali) dan ingin hasil yang banyak tampak sekali
dalam beberapa kasus bencana ekonomi nasional seperti kasus PT.Q-SAR, Yayasan Amalillah,
Pohon Mas, Gold Quest, International Investing Club (IIC), Seven Wonder Gold dan lain-lain.
Melihat kasus-kasus diatas, perlu kiranya ditingkatkan pendidikan akhlak mulia sejak dini di
sekolah-sekolah agar generasi bangsa ini tidak mewatisi kemerosotan akhlak seperti sekarang
ini. Akhlak mulia harus diajarkan melalui pembiasaan dan keteladanan. Dalam hal ini, guru dan
orang tua memegang peranan penting dalam menumbuhkankembangkan akhlak mulia pada
pribadi anak. Dari orang tua dan keluarga yang berakhlak serta bimbingan dan teladan guru di
sekolah akan lahir generasi yang berakhlak mulia.
Disamping itu, perlu juga ditingkatkan pendidikan ibadah agar generasi mendatang menjadi
generasi yang taat beribadah sehingga terbentuk masyarakat danb angsa yang berakhlak mulia
dan taat beribadah. Jika itu terjadi, maka impian masyarakat adil dan makmur “baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur” akan terwujud. Hanya masyarakat yang dekat dengan Tuhan
dengan taat beribadah yang mempu menghindari diri dari bencana-bencana moral, politik,
ekonomi dan lain sebagainya.
Pendidikan akhlak sebenarnya sudah banyak diberikan di lembaga-lembaga pendidikan baik
dari tingakt dasar sampai dengan tingkat tinggi. Pada kenyataanya. Pendidikan akhlak tersebut
tidak banyak memberikan dampak positif bagi mereka, bahkan ada kecenderungan untuk terus
meningkat dari waktu ke waktu. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Uang Maha Esa, berbudi pekerti luhur.... (TAP. MPR. RI No. II/MPR. 1988).
Dari sini, jelas bahwa tujuan pendidika nasional adalah untuk memebentuk bangsa
Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam artian tertanam nilai-nilai moral
dalam jiwanya yang akan tercermin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Disamping
itu, tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti
luhur.
Anak adalah sebagai generasi penerus bangsa. Untuk itu, pendidikan akhlak sangat penting
ditanamkan pada anak, karena ia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena suatu bangsa atau negara akan jaya apabila warganya terdiri
dari orang-orang yang berakhlak luhur (Hasan, 1983 : 8).
Karena anak merupakan penerus, maka jelaslah apabila anak yang memiliki akhlak mulia
akan menjadi generasi-generasi yang dapat membangun negara serta rakyatnya yang baik.
Disamping itu, anak akan hidup tentram dan aman, mereka akan dapat menjalin hubungan dan
mau hidup saling tolong-menolong dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka dapat mencintai
orang lain sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri serta tidak mau mengganggu
sesamanya, sehingga orang-orang disekitarnya merasa aman dari segala tingkah lakunya. Hal ini
tercermin dalam Pancasila, sila kemanusiaan yang adil dan beradap, butir kedua yang berbunyi
“saling mencintai sesama manusia” (BP-7, 1988 : 13).
Disekolah sekolah sejak SD sampai Perguruan Tinggi (terutama Perguruan Tinggi Islam UIN,
IAIN, STAIN) diwajibkan mengikuti pendidikan akhlak dan pendidikan ibadah. Lalu bagaimana
hubungan pendidikan akhlak mulia dengan pelaksanaan ibadah shalat ? Hal inilah yang menarik
perhatian penulis untuk meneliti sejauh mana hubungan anatara pendidikan akhlak mulia
dengan pelaksanaan ibadah shalat. Penelitian ini dilaksanakan di SMU Muhammadiyah I
Yogyakarta selama satu semester, yakni semester genap tahun pelajaran 2003/2004.

B. Fokus penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapatlah dikemukakan bahwa masalah pokok
dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh pendidikan akhlah mulia terhadap
pelaksanaan ibadah shalat di sekolah. Masalah pokok tersebut kemudian dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pendidikan akhlak mulia di SMU Muhammadiyah I Yogyakarta ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan ibadah shalat siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta ?
3. Bagaimanakah pengaruh pendidikan akhlak mulia terhadap pelaksanaan SMU
Muhammadiyah I Yogyakarta ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendiskripkan pendidikan akhlak SMU Muhammadiyah I Yogyakarta
2. Mendiskripsikan pelaksanaan ibadah shalat siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta.
3. Mengetahui pengaruh antara pendidikan akhlak mulia dan pelaknaan ibadah shalat pada
siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta ?

D. Manfaat Penelitian
Panelitian ini memiliki dua manfaat, yakni menfaat akademis dan menfaat praktis. Secara
akademis, hasil penelitian ini diharapkan meperluas pengetahuan kita tentang pendidikan
akhlak mulia, ibadah shalat dan pengaruh pendidikan akhlak mulia terhadap pelaksanaan
ibadah shalat. Juga diharapkan menambah khasanah literatur pendidikan akhlak mulia.
Secara praktis, hasil penelitan ini diharapkan menjadi masukan bagi guru, khususnya guru
studi Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu pertimbangan untuk mengajarkan pendidikan
akhlak mulia sedini mungkin sengan disertai pelaksanaan ibadah secara terprogram di sekolah.
Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi pihak yang berkompeten, dalam hal
ini Departemen Agama (Depag) dan Departemen Pendidikan (Depdikbud) untuk menjadi salah
satu pertimbangan untuk mengambil kebijakan pendidikan agama dalam rangka mencetak siswa
yang handal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi namun juga memiliki akhlak mulia dan
taat beribadah. Bagi orang tua siswa, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk
membina dan mengontrol akhlak dan ibadah anaknya. Juga bagi peneliti, hasil penelitian ini
diharapkan menjadi masukan untuk melakukan penelitain yang lebih mendalam dan dengan
metode yang lebih handal. Peneliti diharapkan mengadakan penelitian sejenis, misalnya
pengaruh ibadah terhadap pembinaan moral sisiwa dan sebagainya dengan sampel yang lebih
banyak dan dalam waktu yang lebih lama.

E. Landasan Teori
1. Akhlak
Dalam pengertian sehari-hari akhlak umumnya disamakan dengan budi pekerti, watak,
tabiat kesusilaan dan sopan santun. Secara etimologis, akhlak berasal dari bahasa Arab
jama’ dari khuluq yang artinya perangai.
Secara epistemologis, Dirroz (dalam Tatapangarsa, 1984 : 16) mendefinisikan akhalak
adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal
akhlak baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak jahat)
Umary (1988 : 1) menyatakan akhlak adalah sebagai penentuan batas antara baik dan
buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataaan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Sedangkan Amin (dalam Tatapangarsa, 1984 : 15) menyebutkan bahwa akhlak adalah
kehendak yang dibiasakan. Kehendak adalah ketentuan dari beberapa keinginan manusi
setelah bimbang, sedang kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah
untuk dilakukan. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini memiliki kekuatan dan
dari dua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar dan kekuatan yang lebih
besar inilah yang dinamakan akhlak.
Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai “keadaan jiwa yang mendorong
kepada melakukan perbuatan tanpa pemikiran dan pertimbangan”. Senada dengan
Maskawaih, Al-Ghazali mendefinisikan akhlak adalah sbagai berikut :
Akhlak adalah seuatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari sifat itu timbul
perbuatan-perbuatan yang mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih
dahulu).
Dari beberapa defini di atas, dapatlah disimpulkan bahwa akhlak merupakan tingkah
laku yang melekat pada diri seseorang yang mana tingkah laku itu telak dilakukan berulang-
ulang dan terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan dan perbuatan itu dilakukan
karena dorongan jiwa bukan paksaan dari luar. Jadi akhlak bagi manusia dijadikan dasar
dalam menentukan gerak-gerik maupun tingkah laku dalam kehidupan serta perbuatan
sehari-hari.

a. Tujuan Pedidikan Akhlak


Setiap usaha pendidikan memiliki tujuan, tak terkecuali pendidikan akhlak.
Menurut Al-Abrasy (1970 : 104) tujuan pendidikan moral dan akhlak ialah untuk
membentuk orang-orang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan
perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai bersifat bijaksana, sempurna, sopan
dan beradap, ikhlas, jujur dan suci.
Umary (1988 : 2) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah supaya
terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji, serta menghindari yang buruk,
jelek, hina, tercela. Jadi, pendidikan akhlak betujuan untuk membentuk pribadi muslim
yang berakhlak terpuji
Sedangkan menurut Hasan (1983 : 11) tujuan pendidikan akhlak adalah agar
setiap orang berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku (tabiat), berperangai atau
beradat –istiadat yang baik, yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang berbudi pekerti luhur baik lahir
maupun bathin serta menghindari perbuatan hina dan tercela guna memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

b. Materi Pendidikan Akhlak


Secara garis besar akhlak dapat dibagi menjadi dua, yakni akhlak mahmudah
(terpuji) dan akhlak mazdmumah (tercela). Akhlak mehmudah merupakan akhlak yang
baik yang berupa semua akhlak-akhlak yang baik-baik yang harus dianut dan dimiliki
oleh setiap orang. Sedangkan akhlak madmumah adalah akhlak yang buruk yang harus
dihindari dan dijauhi oleh setiap orang (Tatapangarsa, 1984 : 147)
Seseorang apabila memiliki akhlak mehmudah, maka ia akan dapat hidup tentram
dalam masyarakat, ia akan dimuliakan oleh orang lain, karena mereka yakin bahwa
berteman dengan akhlak mulia pasti aman dan tidak dirugikan. Dengan akhlak
mahmudah seseorang dapat menegakkan martabat dan kehormatannya di hadapan
Allah, Rasulullah, sesama manusia dan dihadapan mahluk lainnya. Yang termasuk
akhlak mahmudah ini banyak sekali, diantaranya sabar, jujur, pemaaf, menepati janji
dan sebagainya.
Sebaliknya, seseorang apabila memiliki akhlak mazdmumah akan selau berbuat
kerusakan. Akhlak mazdmumah dapat merusak iman seseorang dan emnjatuhkan
martabatnya dihadapan Allah, Rasulullah serta sesama manusia. Yang termasuk akhlak
mazdmumah ini adalah berdusta, dengki, takabbur dan lain sebagainya.
Sebagai ilmu, akhlak memiliki ruang lingkup pembahasan yang luas. Pokok-pokok
bahasan dalam ilmu akhlak meliputi : (1) pengertian tentang baik dan buruk, (2) nilai
perbedaan antara baik dan buruk (3) dengan apa mengetahui baik dan buruk dan (4)
hak dan kewajiban (Hadikusuman, 1980 : 6).
Akhlak terdiri dari beberapa macam, yaitu akhlak terhadap khaliq dan akhlak
terhadap sesama makhluk. Zaini (1983 : 48) menyebutkan bahwa akhlak terdiri atas (1)
akhlak manusia terhadap khaliq (Allah) dan (2) akhlak manusia terhadap mahkluk yang
meliputi (a) makhluk non-manusia (flora dan fauna) dan (b) mahluk manusia, baik itu
diri pribadi, keluarga, antar tetangga, masyarakat luas dan lain-lain.

2. Ibadah Shalat
Ibadah berasal dari kata ‘abada yang berati mengabdi, menyembah atau menghamba.
Secara istilah ibadah berati segala sesuatu yang dilakukan untuk mendekatkan diri dengan
Allah SWT dan untuk mendapatkan ridha-Nya.
Shalat merupakan tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat sungguh telah
menegakkan agama dan barang siapa meninggalkannya, sungguh telah merobohkan
agama. Bahkan shalat tidak hanya diwajibkan kepada manusia melaikna diwajibkan pula
kepada makhluk-makhluk lainnya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah : “masing-
masing telah mengetahui (cara) shalat dan bertasbihnya” (QS. An-Nur : 41).
Secara etimologis shalat berarti do’a. Secara epistimologis, shalat berarti suatu ibadah
yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan ketentuan-
ketentuan tertentu. Ibadah shalat merupakan rukun Islam yang kedua. Ibadah shalat
diwajibkan kepada umat Islam lima waktu sehari, yakni Isya’, Shubuh, Dhuhur, Ashar dan
Maghrib.

F. Metode Penelitian
Penelitian Pengaruh Pendidikan Akhlak Muia Terhadap Pelaksanaan Ibadah Shalat Siswa :
Studi Kasus di SMU Muhammadiyah I Yogyakarta ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif
karena bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan ibadah shalat siswa, serta mencari
hubungan antara pendidikan akhlak mulia dengan pelaksanaan ibadah shalat siswa.
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II SMU Muhammadiyah I Yogyakarta
tahun pelajaran 2003/2004. Mengingat jumlah populasi penelitian cukup besar, yakni 10 kelas,
maka sampel penelitian ini dibatasi hanya 1 kelas saja. Yakni kelas II 1 (40 siswa). Pengambilan
sampel ini ditentukan dengan teknik bertujuan (purposive sampling), yakni teknik pengambilan
sampel dengan cara menentukan sampel tertentu karena didasarkan atas tujuan tertentu.
Data penelitian ini adalah jawaban kepala sekolah dan guru agama terhadap wawancara
dan jawaban siswa terhadap tes dan angket yang diberikan kepada mereka. Untuk
mempermudah anaisis data, kedua data tersebut dikonversikan ke dalam data angka. Hal ini
dilakukan karena penelitian ini bertujuan mencari hubungan (korelasi). Untuk mengumpulkan
data penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik, yakni observasi, interview dan
dokumentasi.
Setelah data terkumpul, peneliti memulai melakukan analisis data. Analisis data penelitian
ini dilakukan dengan menghitung jawaban yang diberikan dalam angket yang diangkakan sesuai
dengan angka yang tertera pada masing-masing jawaban. Penghitungan juga dilakukan terhadap
data frekuensi pelaksanaan ibadah shalat siswa. Setelah kedua data yang diangkakan tersebut
diketahui, peneliti membandingkan antara kedua data tersebut untuk mengetahui tingkat
signifikasi korelasi antara kedua data tersebut yang merupakan representasi dari pendidikan
akhlak mulia dan pelaksanaan ibadah shalat.

G. Penegasan Istilah
Untuk menyamakan persepsi guna memudahkan dalam memahami poko persoalan yang
dikaji dalam penelitian ini, penulis memberikan definisi istilah sebagai berikut :
1. Pendidikan akhlak mulia adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan terprogram
yang berupa bimbingan dan pengarahan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
yang berbudi pekerti luhur baik lahir maupun batin serta menghindari perbuatan hina dan
tercela guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Akhlak adalah sustu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari sifat itu timbul perbuatan-
perbuatan yang mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu).
3. Ibadah adalah segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam rangka mendekatkan diri
dengan Allah dan mendapatkan ridha-Nya.
4. Shalat adalah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.

H. Sistematika Pembahsan
Untuk memudahkan pembahasan, tesis ini dibagi kedalam lima bab. Lima bab tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut : latar belakang
masalah, Fokus Penelitin, tuuan penelitin, manfaat penelitian, landasan teori, metode
penelitian, penegasan istilah dan sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam bab ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut : (1) akhlak mulia
yang meliputi pengertian dan pembagian akhlak, pendidikan akhlak mulia yang meliputi
pengertian dan epmbagian akhlak, pendidikan akhlak mulia yang meliputi tujuan, materi dan
metode pendidikan akhlak dan (2) ibadah shalat yang meliputi pegertian, kedudukan shalat
dalam Islam, amalan-amalan dalam shalat dan hikmah shalat.
BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini dijelaskan hal-hal sebagai berikut : pendekatan
penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data. Teknik pengumpulan data dan teknik
analisis data.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini dijelaskan hal-hal sebagai
berikut : pelaksanaan pendidikan akhlak mulia di SMU Muhammadiyah I Yogyakarta,
pelaksanaan ibadah shalat siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta dan pengaruh pendidikan
akhlak mulia terhadap pelaksanaan ibadah shalat siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta.
BAB V PENUTUP. Dalam bab ini dijelaskan kesimpulan penelitian dan saran-saran.
I.

Anda mungkin juga menyukai