Anda di halaman 1dari 7

Seorang gadis menatap sendu titik-titik lampu dari atas atap rumah besarnya.

Dahulu,
sepuluh tahun yang lalu, keadaan kota tidak seperti ini. Sepuluh tahun lalu keadaan kota
hancur total. Sepuluh tahun lalu semua orang kehilangan semuanya. Tapi sepuluh tahun lalu
ia bertemu dengannya. Sebuah kenangan tiba-tiba terlintas di kepalanya
Dan sejak saat itu, dunianya berubah seutuhnya

1
Pagi ini, di hari Sabtu yang cerah, Tisha hanya duduk di teras depan rumahnya. Sejak satu
jam yang lalu, dia sudah berputar-putar mengelilingi komplek perumahan
“Tisha, ibu berangkat” Ibu gadis itu sudah berdiri di sampingnya, merapikan kembali kemeja
biru yang sudah lama tak dipakai
“Tan, nanti aku akan pergi” ucap Tisha pelan, masih mengatur napasnya yang tersengal. Ibu
menghela napas sebentar “Kau akan pergi dengan temanmu lagi?” tanya ibunya menyelidik
Tisha hanya mengangkat bahunya. Ibu mengusap wajahnya yang di baluri bedak tipis. “Apa
sepenting itu hingga kamu harus pergi?” tanya ibu lagi
“Tidak, hanya rencana kecil di hari Sabtu saja” jawab Tisha sambil menendang-nendang
kakinya ke rumput hijau
“Apa kau tidak ada kerjaan lain?”
Diam, gadis itu diam karena tidak mengerti dengan ucapan ibunya. “Kamu sudah kelas
sebelas Tisha, banyak yang harus kamu lakukan. Siapkan dirimu untuk menghadapi ulangan”
sambung ibu
Tisha mengerti akhirnya. “Apa aku sebodoh itu hingga tante harus menuntut yang lebih
baik?” tanyanya lalu berdiri, berjalan mendekati wanita umur tiga puluhan itu
Ibu menghela napas lelah lalu pergi meninggalkan Tisha di temani keheningan pagi
***
Akhirnya setelah berpikir setidaknya satu jam lebih di teras rumah, Tisha memutuskan untuk
tetap pergi. Tisha menghela napas saat melihat meja makan yang kosong. Lagi
Setelah membersihkan dirinya, Tisha keluar. Kakinya berjalan ringan menuruni anak tangga
yang akan membawanya menuju stasiun kereta bawah tanah
Hanya butuh waktu Lima belas menit, Tisha harus menaiki anak tangga lagi menuju halte.
Menunggu bus rute 8, baru sampai di tujuannya
Sambil menunggu bus rute 8, Tisha mengeluarkan tablet setipis HVS dari tas punggungnya.
Tangannya lincah menari-nari di atas layar tipis itu. Ia tersenyum tipis saat apa yang ia cari
ketemu
Suara ban berdecit membuat gadis itu mengangkat kepalanya dan segera masuk. Ia duduk di
salah satu kursi kosong dan kembali menatap layar tipisnya
Bosan, ia mengembalikan barang itu ke tempatnya. Ia terkejut saat seorang nenek tua
berdiri susah payah menyeimbangkan tubuhnya yang terombang-ambing oleh Bus
Tisha menghampiri nenek itu. “Eum, nek. Mari, nenek duduk di tempatku”ucap Tisha sambil
membantu nenek itu berjalan
Nenek itu tersenyum lalu berjalan sambil dibantu Tisha. “Terima kasih, Nak. Kau sungguh
gadis yang baik. Semoga kau selalu diberi kebahagiaan” ucap nenek itu
Anggukan kepala serta senyuman ia berikan untuk nenek. Meski harapan seperti itu dinilai
kuno, Tisha tetap senang mendengarnya
Seorang laki-laki yang dari tadi memperhatikan Tsiha tersenyum saat melihat gadis itu juga
tersenyum. Ia selalu suka melihat lengkungan yang muncul di gadis itu
Sepertinya hari ini tuhan berbaik hati padanya

2
Tisha menempelkan punggung tangannya yang telah ditanam chips logam yang
membantunya seperti saat melakukan transaksi
Gadis itu terus berjalan hingga sampai di depan sebuah toko kue. Sebulan yang lalu, Tisha
menyelamatkan nenek Fae dari mobil yang tidak terkendali. Sejak saat itu, Tisha sudah
dianggap seperti cucunya sendiri
Suara lonceng kecil yang dipasang di atas pintu terdengar memenuhi isi toko. Rupanya toko
itu ramai. Maklum, hari Sabtu
Tisha terus berjalan hingga ia menemukan pintu dengan tulisan KHUSUS PEGAWAI.
Mendorong pelan pintu, dan menemukan sesosok wanita tua yang sibuk dengan adonan
kue di depannya
Tas ia letakkan di atas meja dan mendekati wanita itu. “Mau Tisha bantu?” tanya Tisha lalu
mengambil alih sebagian adonan dan ikut membentuk cookie
Wanita itu sedikit kaget lalu sempat memeluk Tisha sebentar. “Ayolah, nek. Aku tidak suka
dipeluk” ucap Tisha risih
“Sepertinya toko nenek ramai hari ini” ucap Tisha di sela-sela menabur coklat sebelum
dimasukkan ke dalam oven. Nenek Fae tersenyum puas “Kau mau bertemu cucu nenek? Dia
sepertinya seumuran dengan kau”
“Oh, ya? Aku harap dia satu sekolah denganku” ucap Tisha semangat
Jam dinding beranjak menunjukkan pukul dua belas siang. Toko semakin sepi, karena
sekarang adalah jam makan siang.
Pelayanan mulai dikontrol oleh Kane, dan Tisha bisa leluasa bercerita pada nenek.
“Bagaimana kabar ibu tirimu?” tanya nenek Fae. Sebelum memulai percakapan, nenek Fae
memberikan sepiring pasta dan secangkir coklat hangat
“Tante Rea? Sepertinya ia bertambah sibuk” jawab Tisha asal, padahal ia tidak tahu
bagaimana kabar ibu tirinya
Nenek Fae mengelus rambut sebahu Tisha. “Kau tahu. Andai hari itu nenek tua ini tidak kau
tolong, mungkin sekarang kau tidak akan sejauh ini untuk sarapan” ucap nenek Fae
bercanda
Tisha mengambil tangan nenek Fae dan mengelusnya “Nenek tahu. Andai hari itu nenek
tidak ku tolong, mungkin sekarang aku tidak makan pasta seenak ini” balas Tisha mengikuti
gaya bicara nenek Fae
Nenek Fae tertawa sejenak lalu diam. Matanya menyipit saat melihat siluet seseorang yang
ia kenal. Tisha bingung saat nenek Fae tiba-tiba berdiri menghampiri meja di sudut toko
Tisha kembali menyuapkan pasta ke dalam mulutnya. “Tisha, ini cucu nenek yang ingin
nenek kenalkan padamu. Coba lihat, serasi bukan. Yang satu cantik dan yang satu lagi
tampan”
“Uhuk” pasta terasa mengganjal di tenggorokannya. Apalagi saat melihat siapa yang
dimaksud nenek. Leo, orang yang selalu menjadi musuhnya di sekolah
“Kalian pasti satu sekolah bukan? Tisha, ini Leo. Leo, ini Tisha. Gadis ini yang sudah
menolong dan membantu nenek di toko sejak satu bulan yang lalu” celoteh nenek Fae
“Kami satu sekolah, nek. Terima kasih sudah menolong nenekku” ucap Leo kalem lalu duduk
di kursi kosong samping neneknya
Tisha mengangguk pelan setelah menyesap coklat hangatnya. “Tak masalah. Sudah ku
anggap seperti nenek sendiri” jawab gadis itu pelan lalu kembali menghabiskan pasta
Meja tiba-tiba lengang. Tidak ada percakapan yang keluar. Tisha menatap langit yang cerah
dari jendela kafe “Bukankah cuaca hari ini cerah?” tanya Tisha lalu tersadar dengan
pertanyaan bodohnya itu
Nenek Fae menggeleng pelan “Tidak semua yang terlihat baik kenyataannya baik. Maka
tidak semua yang buruk kenyataannya juga buruk” ucapan Nenek Fae membuat bingung
dua anak sekolahan itu
Pasta di piring sudah tandas, menyisakan coklat yang sisa sedikit. Tisha permisi untuk
mencuci tangannya. “Leo” panggil Nenek Fae
Leo menolehkan kepalanya, sepertinya ketahuan menatap punggung Tisha yang hilang di
balik dinding toilet
Nenek Fae tersenyum, sungguh senyum yang sangat menenangkan. Namun siapa tahu kalau
itu senyum nenek untuk yang terakhir kalinya
Sebuah kotak coklat kecil yang kusam di sodorkan ke Leo “Simpan ini baik-baik”. Karena
penasaran, Leo membuka kotak kecil itu. Kalung emas putih dengan simbol ‘T’
Awalnya Leo mendelik tak percaya dengan kalung di depannya. Leo menatap neneknya
minta penjelasan tentang kalung itu
“Ayolah, jangan sesensitif itu. Itu kalung pemberian ibumu. Eh, maksudnya satu tahun
sebelum meninggal, ibumu sempat memberikan kalungitu ke nenek tua ini”
Nenek Fae tersenyum, seperti ada yang di senyumbikan dari senyumnya
“Melihat ekspresimu tadi, nenek sangat yakin. Berikan kalung itu untuk seseorang yang
sangat berharga dalam hidupmu. Tentu saja setelah ibu dan nenek tua ini bukan?” lanjut
nenek Fae
Leo menatap lamat-lamat kalung itu. “Tapi—tapi siapa, nek?” tanya Leo yang sudah
mengusap pelan simbol ‘T’ itu
“Bersabarlah, cucuku. Suatu saat nanti kau akan bertemu dengannya. Maka berikan kalung
itu dan nenek tua ini akan sangat bangga denganmu” jawab Nenek Fae
Helaan napas panjang keluar dari hidung Leo. Apa maksud penjelasan neneknya itu?
Mendengar ocehan panjang neneknya membuat kuping Leo terasa pengang
Tisha kembali lima menit setelahnya. Nenek Fae lagi-lagi tersenyum “Ah, ini dia” ucap Nenek
Fae pelan
Tisha menatap bingung Nenek Fae, lalu beralih menatap Leo yang sudah menyimpan kotak
kusam itu ke saku jaketnya
“Iya, Nek?” tanya Tisah pelan. Nenek Fae tergelak sebentar lalu berdehem. “Tisha, kau
tahu?” tanya Nenek Fae sambil mengelus punggung tangan Tisha
“Tahu apa, nek?” Tisha dengan polosnya balik tanya. Mengundang senyum untuk Leo,
namun sempat ia tahan sebelum terlihat
“Nenek sangat beruntung bisa bertemu dengan kau” ucap nenek setelah terdiam sepuluh
detik. Tisha kembali menautkan alisnya, menatap Leo meminta penjelasan
Leo lagi-lagi mengangkat bahunya, alisnya bertaut kesal solah berkata, mana aku tahu!
Entahlah. Sehebat itukah ucapan Nenek Fae?
Suara televisi yang dipasang di langit-langit atas kasir memenuhi kafe itu. “Bagaimana
penjelasan profesor mengenai bencana yang akan mendatang?” suara wartawan yang—
sepertinya—tiga puluhan itu tampak bersama seseorang yang lebih tua dengan wajah tak
bersahabat
Narasumber melambaikan tangannya tak peduli “Apa yang aku katakan kemarin mungkin
sudah cukup untuk menjawab penjelasanmu hari ini” ucap profesor itu tak peduli
Nenek Fae tersenyum “Hai, Tisha. Mau kau berjanji untuk nenek tua ini?” tanya Nenek Fae.
Mata hitamnya yang jernih manatap lurus mata coklat bening itu
Tisha tanpa perlu berpikir langsung mengangguk. “Mau kau berjanji untuk menjaga orang
yang paling nenek sayang?”
***
Pukul tiga sore. Tisha memutuskan untuk pulang. Setelah menaiki bus rute 8, Tisha harus
menuruni anak tangga untuk mencapai stasiun. Sepuluh menit lagi, kereta bawah tanah
akan sampai di stasiun tempatnya menunggu
“Hei” sapa seseorang
Tisha memutar kepalanya ke kiri dan menemukan Leo, lagi. “Bukankah kau tinggal bersama
nenekmu?” tanya Tisha heran, mengingat Leo seorang yatim-piatu
Leo mengangkat kedua bahunya “Harusnya. Tapi aku harus ke suatu tempat” ucapnya
sambil menatap beberapa kendaraan yang melintas
“Seorang Leo punya tujuan?” tanya Tisha tak percaya. Leo, teman sekelasnya yang dikenal
dengan sebutan ‘Si Tampan Tukang Onar’ atau semua siswa perempuan biasa menyoraki
Leo dengan STTO
“Merendahkan sekali kalimat anda” ucapnya, pura-pura tersinggung. Entahlah, mungkin
setelah berbincang sejenak di Kafe Nenek Fae tadi, tanpa mereka sadari dan tanpa mereka
ketahui, sebuah benang telah tersambung di antara mereka
Tisha terkekeh melihat wajah masam Leo. “Ayolah, aku bercanda. Kau tahu itu” ucapnya
sambil terkekeh
Pintu kereta listrik terbuka, beberapa orang yang akan masuk terpaksa mundur agar tidak
berhimpit
Tisha mengerutkan alis saat melihat Leo yang menempatkan tujuannya ke arah kompleks
perumahannya.
“Tisha?” Tisha yang baru saja akan mencari kursi kosong terkejut karena ada yang
memanggilnya. “Tante Rea?”
Rupanya Ibunya yang memanggil. Tisha melirik sekilas layar proyeksi yang menampilkan
berita-berita. Bukankah kantor pulang pukul lima nanti?, batin Tisha
Rea tersenyum sambil menepuk kursi yang kebetulan kosong di sebelahnya. Tisha terpaksa
duduk di sebelah Rea, dan mulai mendengarkan semua cerita Rea
“Selamat sore, tante” Leo menyapa Rea sopan sambil tersenyum lalu duduk di samping
Tisha yang juga kosong. Rea balas tersenyum “Ah, bukankah kau Leo? Ya, Leo. Tisha sering
mengucapkan nama itu. bilang ‘Dasar tukang cari perhatian!’, ‘Dasar cowok aneh!’. Dan
yang lain”
Leo tersenyum, mengangguk sopan “Ah, iya tante benar. Itu aku” balas Leo. Rea terkekeh
lalu menyentuh tangan Tisha “Hei, Tisha. Kau bilang kalau Leo itu tukang onar. Lihatlah, dia
sangat sopan bukan?” tanya Rea
Tisha mengeluarkan puh kecil, jika sudah seperti ini, kehadirannya dianggap nyamuk
Gerbong kereta tiba-tiba gelap, dan suara mendecit keras terdengar. Tisha bahkan
terpelanting hingga ujung gerbong, seseorang menimpa tubuhnya
Kereta benar-benar terhenti sempurna hingga keluar dari lintasan. Petugas dengan senter
yang selalu siaga di setiap gerbong berteriak kencang “SEMUANYA JANGAN PANIK! HARAP
TENANG!” teriaknya lantang
Terdengar protes dari beberapa orang lain. Petugas tidak peduli dan mencoba membuka
paksa pintu. Setelah ditendang beberapa kali, pintu akhirnya terbuka
Tisha dan beberapa yang selamat segera berjalan keluar dari gerbong. Ternyata seorang ibu-
ibu yang menimpa tubuhnya tadi. Entah di mana Leo dan Tante Rea
“Ibu, ayo kita harus segera keluar dari gerbong ini” ucap Tisha sambil menggengam erat
lengan tangan ibu itu. Ibu itu berontak keras “Tidak! Aku harus mencari anakku!” balasnya
teriak histeris lalu kembali ke tengah gerbong, mencari anaknya
Tisha dengan sigap menahan lengan ibu itu. “Tidak, Bu. Kita harus segera keluar dari sini”
balas Tisha masih tenang
Kejadian ini, entah kenapa terasa sangat Tisha kenali. Sekelebat memori berputar di
otaknya, namun masih buram. Entah siapa yang ada di dalamnya
“Apa kau tidak mendengarku?! Aku harus mencari anakku apapun situasinya!” ibu itu masih
berteriak jengkel
Leo mendekat, dari pelipisnya mengalir darah deras. “Leo, pelipismu” ucap Tisha pelan
melihatnya saja membuatnya merinding. Dia bersyukur tubuhnya tidak terluka, hanya kebas
tertimpa ibu itu
“Bu, kita harus segera keluar dari gerbong ini. Kemungkinan anak ibu tidak se—“
“Tidak! Anakku selamat!” ibu itu memotong ucapan Leo lalu mendorong Leo yang juga tidak
sengja mendorong Tisha hingga keluar dari gerbong
Punggung Tisha menghantam dinding terowongan. Leo menarik tangan Tisha, berlari
menghindar dari bebatuan yang jatuh
“Kita harus keluar dari terowongan ini” ucap Leo tegas melihat beberapa orang sudah
berlari mengikuti instruksi petugas
“TERUS BERLARI! DUA RATUS METER KE DEPAN ADA TANGGA DARURAT!” teriak lantang
petugas di tengah-tengah sengalan akibat berlari
Petugas yang ada di depan terus mengkoor agar terus berlari. Hingga tangga itu terlihat.
Pegangan besi yang tertanam di dinding yang hampir di tutupi lumut itulah tangga darurat
“ANAK-ANAK KELUAR LEBIH DAHULU!” teriak petugas namun tidak ada anak-anak di
gerombolan itu. Hanya tersisa Leo dan Tisha serta beberapa pegawai kantoran
“Kau, naik duluan! Saudara kau boleh ikut di belakangmu!” petugas menunjuk Leo. Leo
menggeleng, ia sendirian naik kereta tadi. Sudah siap lantas menaiki tangga tersebut,
membuka penutupnya dan langsung meloncat ke atas
“TISHA!” baru saja Tisha yang akan naik langsung tehenti. Rea tersengal akibat berlari.
Pelipis kanannya berdarah serta lututnya lecet “Naiklah, Nak! Cepat!” teriak Rea
Tisha mengangguk kemudian perlahan meniti satu per satu pegangan besi itu. Di bawahnya,
Rea ikut meniti besi tertanam itu
“Teruskan, Tisha” ucap Rea memberi semangat karena melihat Tisha yang ragu-ragu. Gempa
susulan terjadi lagi. Rea yang masih di bawah terjatuh karena dindingnya juga runtuh
Tisha menggigit bibirnya melihat Rea yang terjatuh “IBU!” teriak Tisha. “Tisha, ayo naik!”
teriak Leo dari atas sana
“Aku harus melihat ibuku” ucap Tisha tersendat. Leo menggeleng, menjulurkan tangannya
“Tidak, ayo naik! Atau sesuatu akan terjadi lagi” ucap Leo meyakinkan
“Tapi ibuku, Leo” ucap Tisha masih melihat ke bawah. Sudah gelap total di sana. Gemas, Leo
menyambar tangan Tisha lalu menariknya hingga ke permukaan
“Aku yakin ibumu tidak apa-apa di sana” ucap Leo.
Tisha menatap nanar Leo “Aku bukan anak kecil lagi, yang dengan begitu mudahnya kau
bujuk! Aku benar-benar tidak tahu harus apa lagi! Hanya dia satu-satunya keluargaku, Leo!
Selama ini aku bahkan tidak pernah memanggilnya ibu! Awalnya aku benci dia, dia yang
merenggut ibuku! Lalu aku sadar, aku sadar Leo”
Leo mendekap Tisha yang sudah menangis “Sudahlah, Tisha. Aku yakin tante Rea senang,
mendengar kau memanggilnya ibu di saat terakhirnya”
Tisha memberontak, memukul-mukul dada Leo “Tapi aku tetap menjadi anak yang tak
berguna! Bahkan aku tidak menangkap tangannya tadi”
Butuh waktu setengah jam baru Tisha tenang. Leo meyakinkan Tisha untuk naik ke mobil
ambulans yang akan membawa warga yang selamat
Selama perjalanan, Tisha hanya diam. Tatapan matanya kosong. Entah apa yang harus dia
lakukan setelah bencana ini
Tak lama, mobil ambulans berhenti tepat di rumah sakit yang kerusakannya tidak terlalu
parah. Leo teringat sesuatu “Aku harus ke toko nenek” gumamnya
“Tisha, kau mau ikut? Aku akan ke toko nenek, memastikan” ajak Leo. Tisha masih diam,
tidak mendengarkan. “Tisha, apa kau mau ikut? Aku mau memastikan keadaan nenek di
toko” ulang Leo
“Setidaknya masih ada nenek Fae yang menjadi bagian keluargamu. Bukankah satu kelas
sudah kau anggap seperti keluarga? Maka nenek Fae juga keluargamu” jelas Leo
Tisha mengangkat kepalanya, tersenyum lalu mengangguk. Mereka keluar dari rumah sakit
dan berjalan lima puluh meter ke arah barat
Toko itu setidaknya tidak mengalami kerusakan parah. Hanya bagian atap yang runtuh juga
tembok sisi kiri yang tinggal setengah
Leo dengan cepat langsung mengangkat reruntuhan atap juga batu. Mencari-cari tubuh
neneknya yang mungkin saja tertimpa
“Tolong” terdengar suara pelan nan lirih. Tisha yang pertama kali mendengarnya langsung
mendekat ke sudut ruangan. Nenek Fae ditemukan dengan keadaan kaki kirinya tertimpa
bebatuan
Leo sudah berdiri di samping Tisha, membantunya mengangkat reruntuhan. Untunglah, ada
petugas pemadam kebakaran yang memastikan keadaan di sekitar
Tisha mendekat dan memberitahukan keadaan membuat dua orang dari mereka
mengeluarkan tandu dan segera mengangkut nenek Fae. Lalu mereka bertiga, dibawa
menuju rumah sakit

Anda mungkin juga menyukai