ABSTRACT
One of the abiotic factors that affects the growth and the survival of mud crabs is temperature. The
optimum temperature media will result in increasing of growth rate and survival rate on mud crabs
Scylla serrata because it is related to the metabolism process. This study aimed to examine the effect
of temperature on the survival rate (SR) and spesific growth rate (SGR) of mud crab through the
reaction of physiological condition. This study consisted of the treatments with the temperature of 25
°C (A), the temperature of 27 °C (B), the temperature of 29 °C (C), dan the temperature of 31 °C (D).
Based on the research result obtained 29 °C is the best temperature for the maintenance of mud crab
with recirculation system, this can be seen from the result of feed conversion ratio, specific growth
and survival of mud crab that have the best than other treatments.
ABSTRAK
Salah satu faktor abiotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting
bakau adalah suhu. Media suhu yang optimum memberikan dampak pertumbuhan yang maksimum
pada kepiting bakau Scylla serrata karena berkaitan dengan proses metabolisme. Penelitian ini
bertujuan untuk menguji pengaruh suhu terhadap kelangsungan hidup (SR) dan laju pertumbuhan
bobot harian (SGR) kepiting bakau melalui reaksi kondisi fisiologisnya. Penelitian ini terdiri dari
perlakuan media bersuhu 25 °C (A), media bersuhu 27 °C (B), media bersuhu 29 °C (C), dan media
bersuhu 31 °C (D). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh suhu 29 °C merupakan suhu terbaik
untuk pemeliharaan kepiting bakau dengan sistem resirkulasi, hal ini dapat dilihat dari hasil rasio
konversi pakan, pertumbuhan spesifik dan kelangsungan hidup kepiting bakau yang memiliki nilai
terbaik dibandingkan perlakuan lainnya.
Kata kunci : suhu, kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, kepiting bakau
I. PENDAHULUAN
makanan favorit masyarakat karena bernilai
Kepiting bakau merupakan salah satu gizi tinggi yakni mengandung berbagai
komoditas perikanan penting di Indonesia nutrien penting (Suprapto et al., 2014).
sejak awal tahun 1980‒an. Salah satu Kepiting termasuk dalam famili Portunidae,
sumberdaya hayati perairan laut bernilai merupakan salah satu komoditas perikanan
ekonomis tinggi dan potensial untuk yang telah umum dibudidayakan dan
dibudidayakan adalah kepiting bakau Scylla diperdagangkan. Famili Portunidae
serrata. Jenis kepiting bakau termasuk dalam mencakup kepiting bakau Scylla serrata dan
Department of Marine Science and Technology FPIK-IPB, ISOI, and HAPPI 311
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
rajungan seperti Portunus, Charybdis, dan exploitation) dan atau karena degradasi
Talamita, tetapi kepiting bakau S. serrata ekosistem bakau, yang merupakan habitat
lebih sering dibudidayakan dan ditemukan di alami utama kepiting bakau. Oleh karena itu,
pasaran. Kepiting bakau dipilih untuk untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dibudidayakan karena mempunyai nilai domestik dan kebutuhan ekspor yang terus
ekonomis tinggi dan merupakan salah satu meningkat tanpa harus mengandalkan
jenis golongan krustasea yang mengandung penangkapan dari alam, maka diperlukan
protein hewani cukup tinggi yaitu sebesar peningkatan kegiatan budidaya. Proses
65,72% dan 0,88% lemak, sedangkan telur budidaya saat ini mulai terkendala dengan
kepiting mengandung 88,5% protein dan kondisi perairan yang mulai menurun
8,16% lemak (Sulaeman dan Hanafi, 1992). kualitasnya. Salah satu teknologi yang dapat
Oleh karena itu, permintaan pasar akan digunakan untuk mempertahankan kualitas
komoditas tersebut terus meningkat setiap air budidaya adalah dengan sistem
tahunnya. resirkulasi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Resirkulasi merupakan salah satu
telah merencanakan program untuk sistem budidaya dalam proses produksi biota
meningkatkan produksi perikanan budidaya, budidaya dengan sistem lingkungan dan
salah satunya yaitu kepiting bakau. Program keamanan yang terkontrol (Hastuti et al.,
KKP menunjukkan bahwa jumlah produksi 2017). Telah banyak dikembangkan sistem
Crustacea dunia sebesar 7,9 juta ton pada pemeliharaan kepiting bakau dengan cara
tahun 2016 (FAO, 2018). Sampai saat ini, indoor (dalam ruangan) dengan meng-
kepiting bakau di Indonesia lebih banyak gunakan sistem resirkulasi sebagai kontrol
diperoleh dari penangkapan stok alam di lingkungan. Habitat yang sesuai untuk
perairan pesisir, khususnya di area bakau budidaya kepiting memiliki standar kualitas
atau estuaria dan dari hasil budidaya di lingkungan diantaranya adalah suhu 25-35
tambak air payau skala terbatas. Akhir‒akhir °C, pH 7,0-9,0, DO lebih dari 5 mg/L, dan
ini, dengan semakin meningkatnya per- kadar garam berkisar 10-30 g/L (FAO,
mintaan kepiting, penangkapan kepiting 2011). Salah satu upaya peningkatan
bakau juga semakin meningkat. Namun produksi budidaya dengan lingkungan
bersamaan dengan itu, rata‒rata pertumbuhan terkontrol dengan sistem resirkulasi telah
produksi kepiting bakau di beberapa provinsi diterapkan di beberapa negara lainnya yaitu
penghasil utama kepiting bakau justru agak Singapura, Vietnam dan China. Sistem
lambat dan cenderung menurun (Wijaya et resirkulasi ini pada dasarnya merupakan
al., 2010). proses filtrasi yang melewatkan air melalui
Kepiting bakau merupakan salah satu media berpori (Dewi dan Masithoh, 2013).
produk krustasea yang biasa diekspor ke Sistem resirkulasi dapat digunakan sebagai
beberapa negara diantaranya ke Vietnam, salah satu sistem yang mendukung pengem-
Cina, dan Amerika. Berbanding terbalik bangan akuakultur. Pada sistem resirkulasi
dengan permintaannya, kenaikan ekspor ini melibatkan beberapa komponen filter
kepiting tidak diimbangi dengan peningkatan yaitu filter fisik, filter kimia, dan filter
populasi kepiting bakau tersebut. Hal ini biologi. Batu zeolit berperan dalam
disebabkan kebutuhan ekspor kepiting bakau penyerapan zat beracun seperti amonia dan
selama ini hanya mengandalkan hasil nitrit (Supriyono et al., 2007). Zeolit
penangkapan dari alam sehingga eksploitasi- merupakan mineral alumunia silikat terhidrat
nya semakin intensif dan tidak terkendali. yang memiliki rongga berisi molekul air dan
Menurut Siahainenia (2009), penurunan kation-kation bebas yang dapat dipertukarkan
produksi kepiting bakau diduga terjadi dan mampu berperan sebagai filter. Aplikasi
karena eksploitasi berlebihan (over- penggunaan zeolit sebagai bahan filter telah
312 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hastuti et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 11, No. 2, August 2019 313
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
pompa air, talang air, selang resirkulasi, saat penyifonan dan pergantian air yaitu 25%
heater, keran air, dan aerasi untuk menjaga dengan salinitas 25 g/L. Pengukuran suhu,
kestabilan oksigen terlarut dalam media pH, oksigen terlarut (DO), dan salinitas
pemeliharaan. dilakukan setiap hari, sedangkan untuk
Selama pemeliharaan, air dialirkan pengukuran alkalinitas, kekeruhan, dan total
dari tandon menuju wadah pemeliharaan. Di ammonia nitrogen (TAN) dilakukan di awal,
bak tandon dilengkapi dengan beberapa tengah, dan akhir pemeliharaan.
bahan filter (pasir malang, batu karang, dan
batu zeolit). Air yang telah melewati filter 2.4. Metode Pemberian Pakan
kemudian dipompa dan dialirkan kembali Pakan yang digunakan berupa ikan
menuju wadah pemeliharaan. Air yang telah rucah yaitu ikan selar. Ikan rucah tersebut
melewati filter pada tandon, kemudian didapatkan dari tempat pelelangan ikan (TPI)
dipompa dan dialirkan kembali menuju Muara Angke. Pemberian pakan dilakukan
wadah pemeliharaan. Suhu pada media uji dua kali sehari, yaitu pukul 08.00 dan 16.00
berbeda‒beda sesuai perlakuan, yaitu 25 °C, WIB sebanyak 5% dari biomassa.
27 °C, 29 °C, dan 31 °C yang dapat dicapai
dengan menggunakan automatic water 2.5. Pengukuran Kinerja Produksi dan
heater dan pengaturan suhu ruangan. Respon Fisiologis Kepiting Bakau
Air sebagai media pemeliharaan yang Analisis respon fisiologis dilakukan
digunakan pada penelitian berupa air laut dan dengan melakukan pengukuran terhadap
air tawar. Air laut berasal dari kawasan kondisi Total Hemocyte Count/ THC (Wang
Ancol, DKI Jakarta dan air tawar dari air and Chen, 2006), pengukuran tingkat
tandon Fakultas Perikanan dan Ilmu konsumsi oksigen/ TKO (NRC, 1977),
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Air yang pengukuran beban osmotik dengan meng-
akan dipakai terlebih dahulu disterilisasi dan gunakan osmometer (SOP OSMOMAT 30)
diaerasi selama 2×24 jam. dan pengukuran glukosa darah (Nasichah et
Hewan uji yang digunakan pada al., 2016; Barham, 1972). Pengukuran
penelitian ini adalah benih kepiting bakau S. terhadap parameter uji kinerja produksi
serrata memiliki bobot 80‒90 g/ekor dan terdiri dari pengukuran kelangsungan
lebar karapas sekitar 9±0,5 cm/ekor sebanyak hidup/survival rate (%), laju pertumbuhan
96 ekor. Jumlah kepiting bakau yang spesifik/ specific growth rate (%/hari) dan
digunakan tiap perlakuan yaitu 24 ekor rasio konversi pakan menurut Zonneveld et
dengan kepadatan 8 ekor setiap wadah. al. (1991). Pengukuran data produksi
Sebelum dilakukan penebaran, benih dilakukan pada akhir pemeliharaan, sedang-
kepiting bakau terlebih dahulu diaklimatisasi kan data respon fisiologis diukur pada awal
dengan salinitas 25 g/L dan pH 7 (Hastuti et dan akhir pemeliharaan.
al., 2015; Hastuti et al., 2016). Selanjutnya
juga dilakukan adaptasi suhu secara gradual 2.6. Pengukuran Kualitas Air
sesuai perlakuan selama tujuh hari. Lingkungan Budidaya
Pengambilan sampel untuk uji
2.3. Pengelolaan Kualitas Air kualitas air dilakukan setiap minggu selama
Kualitas air pada media pemeliharaan 28 hari pemeliharaan. Parameter fisika kimia
perlu diperhatikan agar tetap dalam rentang perairan yang terdiri dari suhu, pH, dissolved
toleransi. Pengelolaan kualitas air dilakukan oxygen (DO), salinitas, alkalinitas, total
dengan cara penyifonan sisa pakan dan feses, amonia dan kekeruhan diukur berdasarkan
serta pergantian 25% dari volume air pada APHA (2005), sedangkan parameter biologi
media pemeliharaan setiap tiga hari sekali. yaitu kelimpahan bakteri penghasil senyawa
Air yang diganti sebanyak air yang terbuang nitrit diukur dan dianalisis berdasarkan
314 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hastuti et al.
Cappucino and Sherman (2005) dan kan perlakuan lain dengan suhu 31°C hanya
Greenberg et al. (1992). memiliki laju pertumbuhan 0,856% dan 25°C
hanya sebesar 0,582%.
2.7. Analisis data
Data yang telah dihasilkan dari
penelitian ini ditabulasikan di Microsoft
Excel, diolah dan disajikan secara deskriptif
maupun kuantitatif. Analisis deskriptif
dilakukan untuk mengevaluasi data yang
dihasilkan dari setiap parameter antar
perlakuan. Analisis kuantitatif dilakukan
untuk mengevaluasi deviasi data antar
perlakuan.
Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan spesifik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN kepiting bakau selama peme-
liharaan.
3.1. Hasil
3.1.1. Kinerja Produksi Gambar 3 menunjukkan hasil
Tingkat kelangsungan hidup kepiting perhitungan rasio konversi pakan/ feed
bakau Scylla serrata antar perlakuan convertion ratio (FCR) kepiting bakau selama
menunjukkan hasil yang bervariatif (Gambar pemeliharaan sangat bervariasi antar
1). Perlakuan dengan aplikasi suhu 29 °C perlakuan. Perlakuan dengan suhu 29 °C
menunjukkan hasil kelangsungan hidup menghasilkan nilai konversi rasio paling baik
kepiting bakau yang paling tinggi yaitu diantara perlakuan lainnya yaitu sebesar 3.75.
83,33%. Diantara perlakuan lainnya dan Perlakuan yang lain yaitu dengan suhu 25 °C,
kontrol, perlakuan dengan suhu 29 °C 27 °C dan 31 °C memiliki FCR berturut 8.74,
menghasilkan nilai survival yang paling baik. 11 16 dan 9.04.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 11, No. 2, August 2019 315
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
kepiting bakau. Semua perlakuan menunjuk- sedangkan nilai THC terendah di akhir
kan nilai kadar glukosa awal dan akhir perlakuan yaitu pada perlakuan suhu 31 °C
perlakuan dan perlakuan 29 °C memiliki nilai dengan nilai THC 3,48±0,38.
persentase penurunan yang paling tinggi Berdasarkan nilai beban osmotik
dibandingkan perlakuan lainnya. sebagai respon fisiologis kepiting bakau
Selain kadar glukosa darah, nilai total lainnya, menunjukkan adanya nilai yang
haemocyte count (THC) juga diukur untuk berbeda beda diakhir setiap perlakuan.
mendapatkan nilai kestabilan total hemosit Hampir semua perlakuan mengalami
antar dari setiap perlakuan (Gambar 6). peningkatan beban osmotik. Perlakuan 29 °C
Berdasarkan penelitian, setiap perlakuan memiliki nilai beban osmotik yang lebih
memiliki nilai THC yang berbeda beda. Nilai rendah di bandingkan dengan yang lain yaitu
THC paling tinggi diakhir perlakuan terdapat 0,09±0,10 di akhir perlakuan (Gambar 6).
di suhu 29 °C yaitu mencapai 6,35±0,08
Perlakuan
Perlakuan
316 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hastuti et al.
Perlakuan
Tabel 2. Fisika - kimia air pada media pemeliharaan kepiting bakau dalam sistem resirkulasi.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 11, No. 2, August 2019 317
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
aplikasi variasi sistem teknologi perlu terus hewan (Ma et al., 2013). Nilai total
dikembangkan untuk dapat memenuhi haemocyte count (THC) merupakan salah
kebutuhan pangan manusia dengan cara satu respons stres sekunder. Perlakuan suhu
memaksimalkan automatisasi produksi, salah dapat memengaruhi THC pada kepiting.
satunya adalah dengan produksi kepiting THC yang diamati sangat penting untuk
bakau dalam ruangan. Sistem resirkulasi mengetahui peranannya dalam sistem imun
telah lama dikembangkan untuk mendukung kepiting dan tingkat resistensi kepiting
produksi kepiting bakau di beberapa negara terhadap serangan penyakit serta sebagai
dengan menggunakan vertical compartment salah satu parameter respons stres. Hal ini
(box bertingkat). Aplikasi sistem resirkulasi sesuai dengan Porchase et al. (2009) yang
dalam ruangan untuk peningkatan produksi menyatakan stres merupakan suatu adaptasi
kepiting bakau perlu dikaji kebutuhan terhadap perubahan fisiologis yang
parameter kualitas air lingkungan yang dihasilkan dari berbagai stres lingkungan.
terbaik salah satunya adalah parameter suhu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
Karim (2007) menjelaskan bahwa secara perlakuan suhu memberi pengaruh terhadap
fisiologis, pertumbuhan hanya dapat terjadi total hemosit kepiting bakau (Gambar 4).
apabila terdapat kelebihan energi, setelah Berdasarkan hasil pengamatan total hemosit
energi melalui pakan yang dikonsumsi kepiting bakau pada penelitian ini
dikurangi dengan kebutuhan energi untuk menunjukkan bahwa perlakuan suhu 29 °C
berbagai aktivitas. Terjadinya perubahan memiliki nilai THC yang lebih tinggi
kondisi suhu lingkungan dapat berpengaruh dibandingkan dengan perlakuan suhu yang
terhadap jumlah energi yang digunakan lain. Hal ini menunjukkan terjadi
untuk keperluan metabolisme. pembentukan sel fagosit yang lebih tinggi di
Suhu merupakan suatu parameter perlakuan suhu 29 °C. Terbentuknya sel‒sel
fisika perairan yang dapat berpengaruh fagositik memiliki peluang lebih tinggi
terhadap parameter fisika dan kimia air dalam pengendalian dari serangan patogen,
lainnya. Kepiting bakau termasuk dalam baik bakteri maupun virus dan mampu
hewan yang bersifat poikilotermal, yaitu meningkatkan sistem imun (Cook et al.,
mempunyai suhu tubuh yang sama dengan 2003). Hal ini berarti bahwa pada perlakuan
suhu lingkungannya. Oleh karena itu, suhu suhu 29 °C merupakan suhu yang lebih baik
air merupakan parameter lingkungan yang dari perlakuan suhu lainnya karena pada
sangat berpengaruh terhadap kehidupan perlakuan tersebut memiliki nilai THC yang
kepiting bakau tersebut. Zacharia dan Kakati lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu
(2004) menyatakan suhu merupakan salah lainnya.
satu faktor abiotik penting yang me- Selain THC, salah satu parameter
mengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi terukur lainnya dari respon fisiologis adalah
oksigen, dan laju metabolisme. Hal ini glukosa darah. Nilai glukosa hemolim
kemudian akan berpengaruh terhadap tingkat berperan sebagai salah satu sumber energi
kelangsungan hidup serta pertumbuhan yang digunakan untuk metabolisme dan
kepiting bakau. Kepiting bakau memiliki pengaturan glukosa, merupakan mekanisme
rentang suhu 24-35 °C (FAO, 2011), namun fisiologis penting yang dipengaruhi oleh
dari rentang tersebut suhu lingkungan yang variasi lingkungan seperti suhu. Kadar
terbaik dapat memberikan respon fisiologis glukosa hemolim pada kepiting bakau
yang baik. menggambarkan tingkat stres pada kepiting
Stres sebagai salah satu bentuk respon tersebut, yaitu semakin tinggi kadar glukosa
fisiologis biota merupakan suatu kondisi hemolim maka tingkat stres semakin tinggi,
tidak nyaman yang dapat menurunkan begitu juga sebaliknya. Tang et al. (2018)
imunitas dan dapat menyebabakan kematian menyatakan bahwa tidak stabilnya suhu
318 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hastuti et al.
berpengaruh terhadap stres yang ditandai kisaran suhu 25‒35 °C; pH 7,0‒9,0; salinitas
kenaikan kadar glukosa darah pada ikan 10‒30 g/L, DO optimum >5 mg/L, alkalinitas
catfish. Berdasarkan hasil pengamatan kadar >80 mg/L CaCO3, dan TAN <3 mg/L. Selain
glukosa hemolim pada kepiting bakau itu, menurut Hastuti et al. (2016), pH
menunjukkan bahwa suhu 29°C memiliki optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau
kadar glukosa hemolim yang paling rendah, dalam wadah budidaya adalah 7 dan salinitas
hal ini menunjukkan tingkat stres yang juga yang dapat menunjang pertumbuhan kepiting
relatif rendah sehingga pada perlakuan suhu bakau adalah 25 g/L Hastuti et al. (2015).
29°C memiliki respon yang lebih baik dari Selain parameter fisika dan kimia air,
perlakuan suhu lainnya. parameter biologi air juga penting untuk di
Aktivitas osmoregulasi erat kaitannya analisis. Semua mikroorganisme dan ke-
dengan efisiensi penggunaan energi yang ragamannya yang terbentuk dalam ekosistem
dikeluarkan untuk homeostasis tubuh. budidaya kepiting bakau pada sistem
Aktivitas homeostasis yang rendah akan resirkulasi merupakan mikroorganisme
berpengaruh terhadap penggunaan budged indigenous yang tumbuh berdasarkan kondisi
energi yang semakin rendah pula, sehingga lingkungan yang tersedia. Bakteri nitrifikasi
diharapkan budged energi untuk per- indigenous yang mampu tumbuh di sistem
tumbuhan menjadi lebih banyak (Watkins et lingkungan pemeliharaan dengan suhu 29 °C
al., 2008). Berdasarkan hasil pengamatan adalah sekitar 6.7 X 104 CFU/ ml (Tabel 3).
beban osmotik kepiting bakau pada Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat
penelitian ini, menunjukkan bahwa perlakuan analisis pengambilan sampel untuk
suhu tidak memberi pengaruh yang perhitungan kelimpahan bakteri dilakukan
signifikan terhadap beban osmotik kepiting pada umur minggu ke dua pemeliharaan,
bakau (Gambar 6). diduga pada minggu ke dua pemeliharaan
Pertumbuhan biota budidaya pada kelimpahan bakteri nitrifikasi belum
prinsipnya dipengaruhi oleh faktor internal mencapai fase stasioner dalam kurva
dan eksternal (Sartje, 2010). Faktor internal pertumbuhan. Semakin tinggi kelimpahan
terdiri atas daya tahan terhadap penyakit dan bakteri nitrifikasi yang terukur maka semakin
genetik. Faktor eksternal meliputi faktor tinggi bahan nitrogen anorganik yang
yang berkaitan dengan lingkungan tempat termanfaatkan dan semakin tercapai
hidup serta ketersediaan makanan. Parameter kestabilan lingkungan budidaya.
lingkungan yang optimal dapat memberikan Total amonia di lingkungan budidaya
pengaruh secara langsung maupun tidak kepiting bakau merupakan senyawa produk
langsung terhadap respon fisiologis kepiting utama dari limbah nitrogen dalam perairan
bakau, yang nantinya dapat berpengaruh yang berasal dari organisme akuatik. Total
terhadap nilai rasio konversi pakan (RKP) amonia terdiri atas amonium dan amonia.
dan tingkat stabilitasnya dari serangan Peningkatan total amonia dalam air dapat
penyakit. Semakin rendah nilai RKP maka menyebabkan penurunan ekskresi biota
semakin efisien pula penyerapan pakan yang budidaya, pH darah meningkat dan
kemudian diubah menjadi daging atau berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis
biomassa (Li et al., 2007). Berdasarkan enzim dan stabilitas membran. Total amonia
pengukuran kualitas air media pemeliharaan tinggi di dalam air dapat meningkatkan
kepiting pada sistem resirkulasi selama konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak
penelitian, nilai kualitas air masih dalam insang, dan mengurangi kemampuan darah
kisaran yang layak untuk mendukung untuk mengangkut oksigen. Tidak
kehidupan kepiting bakau (Tabel 2). FAO optimalnya suhu lingkungan dapat
(2011) menetapkan standar kualitas air untuk mengganggu tingkat stres atau respon
memelihara kepiting bakau, yaitu pada fisiologis dan secara tidak langsung
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 11, No. 2, August 2019 319
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
320 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt
Hastuti et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 11, No. 2, August 2019 321
Suhu Terbaik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan . . .
322 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt