Anda di halaman 1dari 26

BAB 186 KUSTA

Aspek Sejarah
Epidemiologi
Pada saat ini kusta merupakan penyakit primer yang terdapat pada negara yang sedang
berkembang. Kusta merupakan penyakit endemik yang terdapat di seluruh benua kecuali di
benua Antartika. Di benua Amerika, hanya Kanada dan Chile yang bukan merupakan daerah
endemik sedangkan daerah Texas dan Lousiana merupakan daerah fokus endemik di daerah
Amerika Serikat. Pada bagian selatan dari benua Eropa, terdapat angka kejadian yang rendah,
sedangkan pada banyak kepulauan di Pasifik, kusta merupakan penyakit endemik. India
merupakan negara yang memiliki persentase sebesar 2/3 dari seluruh kejadian penyakit kusta di
seluruh dunia.
Selama tahun 1990, angka kejadian dari kusta mengalami penurunan sebanyak 90%
karena terdapatnya pasien yang telah berhasil menyelesaikan pemberian terapi beberapa obat dan
setelah itu dinyatakan sembuh, namun angka kejadian dari penyakit ini, yang bervariasi antara
proporsi langsungnya dengan kasus temuan yang dilaporkan, belum mengalami penurunan yang
bermakna
Pada seluruh populasi penelitian yang dipelajari, penyakit kusta lebih sering terjadi pada
jenis kelamin pria dibandingkan dengan jenis kelamin wanita; yaitu dengan angka perbandingan
sebesar 2:1. Bila penyakit kusta merupakan penyakit yang tergolong sering terjadi dalam suatu
daerah, bentuk “tuberkuloid” merupakan bentuk yang paling dominan; namun bila penyakit
kusta jarang terjadi, bentuk “lepromatous” merupakan bentuk yang paling sering terjadi. Umur
rata-rata onset penyakit ini lebih kecil pada tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa,
namun pada kedua kelompok ini, penyakit kusta paling sering terjadi pada pasien dengan usia
muda, dengan rata-rata onset umur yaitu lebih kecil dari 35 tahun. Bagaimanapun juga, pada
individu yang sudah tua, tidak pasti memiliki proteksi terhadap penyakit ini. Waktu inkubasi
untuk penyakit kusta tipe tuberkuloid adalah lebih dari 5 tahun sedangkan untuk tipe lepromatosa
adalah sebesar 20 tahun atau lebih.

1
Kilas Pandang
 Definisi: infeksi granulomatosa kronis dengan gejala sisanya, yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae
 Keterlibatan: Keterlibatan utama terdapat pada organ kulit dan saraf, namun dapat juga mengenai
organ atau sistem lain, termasuk dengan mata, saluran pernafasan, nodus limfatikus, testis dan
persendian.
 Diagnosis: Membutuhkan pemeriksaan basil tahan asam pada jaringan atau terdapat karakteristik
berupa abnormalitas dari saraf perifer.
 Angka kejadian: Kurang lebih sekitar 500.000 kasus baru per tahun, penyakit ini terdapat di seluruh
dunia.
 Angka kesakitan jangka panjang: Kebalikan dari pengobatan dengan menggunakan antimikrobial,
seperempat sampai dengan sepertiga pasien akan mendapatkan kelemahan atau defisit neurologis
yang permanen
 Tantanagan klinis: Manifestasi yang beraneka ragam akibat adanya spektrum granulomatosa dan
meningkat dengan adanya reaksi pajanan, yaitu suatu keadaan reaksi.
 Kesempatan imunologis: Kusta merupakan model yang patuh dicontoh untuk dapat mengerti proses
mediasi sel imun dalam tubuh manusia.

Sejumlah besar opini mendukung pandangan tradisional yang menyatakan bahwa


Mycobacterium leprae ditularkan dari manusia ke manusia, namun M. leprae ini juga dapat
menyebabkan penyakit yang mirip seperti kusta pada binatang armadillo liar (binatang pemakan
serangga); suatu fakta menyatakan bahwa terdapatnya pajanan terhadap hewan tersebut
merupakan faktor resiko terhadap kejadian lepra pada manusia, dan adanya organisme yang
seperti M. leprae pada lumut sphagnum menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan pemicu
lepra bukan manusia dan hal ini merupakan suatu hal yang penting. Jalur terjadinya infeksi dari
penyakit ini masih belum jelas, namun fakta mengenai saluran pernafasan, fakta mengenai
transmisi kongenital dan melalui kulit, telah ditemukan walaupun jumlah kasusnya sangat jarang.
Pada daerah yang endemik penyakit kusta, infeksi sub klinis sangat mungkin untuk sering
terjadi; Hal ini dinilai berdasarkan penelitian serologis yang mengidentifikasi adanya antibodi
yang spesifik terhadap M. lepra, dibandingkan dengan respon imunologis yang jarang terdapat
pada masing-masing individu.

Etiologi dan Patogenesis

2
M. leprae, penyebab penyakit kusta, merupakan bakteri yang tidak dapat dibiakkan, merupakan
bakteri gram positif, bersifat obligat, intraseluler dan basil tahan asam. Genom dari M. leprae
(3,27 megabase) tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan genom pada M. tuberculosis
(4.41 megabase). Genom M. leprae hanya mengkodekan 1.600 gen sedangkan M. tuberculosis
mengkodekan sebanyak 4.000 gen. Kedua spesies ini memiliki sebanyak 1.439 gen yang sama.
Hanya satu setengah bagian M. leprae, mengkodekan genomnya; hal ini menunjukkan fakta
adanya delesi gen dan kerusakan enzim saluran pernafasan yang ditimbulkan M. leprae, yang
mana menyebabkan kegagalan untuk menanam organisme dan lingkungan obligat
intraselulernya.
Pada jaringan atau pewarnaan, M. Leprae dikuantifikasi dengan indeks biopsi, skala
logaritmik sesuai dengan jumlah basillus per lapangan pandang imersi (OIF); Indeks biopsi 6
menunjukkan 1000 atau lebih basilus/lapangan pandang. Indeks biopsi 5 menunjukkan 100
sampai 1000 basilus/lapangan pandang imersi; Indeks biopsi 4 menunjukkan 10 sampai 100
basilus/lapangan pandang imersi; Indeks biopsi 3 menunjukkan 1 sampai 10 basilus/lapangan
pandang imersi; Indeks biopsi 2 menunjukkan 1 basilus/1 sampai 10 lapangan pandang imersi;
Indeks biopsi 1 menunjukkan 1 basilus/10 sampai 100 lapangan pandang imersi; dan Indeks
biopsi 1 menunjukkan tidak ada basilus/100 lapangan pandang imersi. Karena indeks biopsi 6
menunjukkan adanya 109 basillus per gram granuloma, jaringan dengan indeks biopsi 0,
mungkin memiliki 103 organisme per gram.
Pasien disebut dengan tipe pausi basiler bila pada pewarnaan tidak ditemukan adanya
basil tahan asam pada jaringan dan disebut dengan multibasiler jika ditemukan 1 atau lebih basil
tahan asam.
M. leprae, sama sperti Treponema pallidum, bersifat tidak toksik, manifestasi klinis dari
penyakit kusta ditimbulkan oleh repon dari host terhadap M. Leprae atau dengan cara lain akibat
akumulasi dari sejumlah bakteri yang menunjukkan gambaran infiltrasi difuse.
Dinding sel dari M.leprae mengandung lipoprotein, ligand untuk reseptor seperti Toll 2/1
heterodimer, yang mungkin menginisiasi respon pertama dari host terhadap serangan dari M.
Leprae, disebut dengan respon imun innate/alami. Respon ini mungkin sangat penting dalam
menerapkan hasil dari interaksi antara host dan parasit. Phenolic glikolipid I merupakan spesies
spesfik utama dan unsur pokok imunogenik dari lapisan terluar basillus yang bersifat non polar.
Masuknya parasit ke dalam saraf di mediasi oleh ikatan spesifik dari trisakarida dan phenolic

3
glikolipid I dengan laminin-2 pada lamina basalis dari akson sel Schawn, menunjukkan
rasionalisasi mengapa hanya M. leprae dapat menginvasi sampai ke saraf perifer.
Penelitian yang sama telah membuktikan bahwa baik faktor genetik dan faktor
lingkungan sangat penting dalam menetapkan kecurigaan penyakit dan manifestasi penyakit.
Daerah pada kromosom 10p 13, termasuk dengan PARK2 dan PACRG merupakan lokus adanya
kecurigaan akan penyakit Parkinson, ditemukan memiliki faktor resiko terhadap kecurigaan
adanya penyakit lepra. Hal ini termasuk ditemukan beberapa bentuk tuberkuloid dan
lepromatosa dan tidak pada semua kelompok yang berbeda. Kompleks major histokompatibilitas
kelas II antigen mempengaruhi ekspresi dari tuberkuloid dengan lepromatosa, namun tidak
menunjukkan kecurigaan adanya penyakit tersebut.

PENEMUAN KLINIS
Anamnesis
Untuk dokter yang berpraktek di daerah non endemik, mempelajari bahwa suatu pasien memiliki
faktor resiko terhadap penyakit kusta, (dengan kata lain lahir dan tinggal di daerah endemik,
daerah yang berhubungan dengan penyakit kusta) akan dapat menegakkan diagnosis tepat dari
penyakit kusta.
Data riwayat atau gejala klinis yang dapat dicurigai kusta adalah keluhan utama yang
mengarah kepada neuropati perifer, sumbatan hidung menetep, gejala pada mata, orang muda
ditandai dengan penurunan libido dan infertilitas.

LESI KULIT DAN NEURAL PADA SPEKTRUM GRANULOMATOSA


SPEKTRUM GRANULOMATOSA
Deskripsi mendalam mengenai spektrum granulomatosa dari penyakit kusta telah
diterangkan oleh Ridley dkk, berdasarkan perubahan klinis dan gambaran histologis. Ridley
menyusun sebanyak 6 anggota spektrum, mulai dari resistensi tinggi sampai ke resistensi rendah
yaitu TT (tuberkuloid polar), BT (tuberkuloid borderline), BB (Borderline), BL (Borderline
Lepromatosa), LLs (Subpolar lepromatosa) dan yang terakhir LLp (Polar lepromatosa)

TT  bt < BB > BL > LLs LLp

4
Secara konsep, bentuk TT dan LLp secara klinis bersifat menetap namun diantara kedua
kutub, bentuk granulomatosa pada host dapat berubah, seperti yang diindikasikan dengan
gambaran tanda panah, tanda maju atau sebaliknya ke bagian yang memiliki resistensi lebih
tinggi, kadang disertai dengan inflamasi yang menghancurkan, atau menurun ke bentuk yang
lebih kurang resisten, biasanya bersifat sub klinis namun kadangkala disertai dengan peradangan.
Pasien dengan BT dapat berkembang menjadi TT, dengan demikian akan menjadi stabil, namun
pasien dengan LLs tidak dapat menurun ke LLp maupun pasien LLp naik ke LLs. (Ketika
penanamaan LL digunakan, nama ini termasuk dengan pasien LLs dan LLp). Patogenesis dari
spektrum granulomatosa yaitu berupa reaksi imunologis tipe IV, mediasi sel imun ataupun
hipersensitivitas tipe lambat.
Klasifikasi ini ditunjukkan oleh penemuan klinis dan perubahan histologis yang terjadi,
jumlah dari basiler merupakan pertimbangan kedua
Jika dibandingkan dengan terminologi sebelum Ridley, tuberkuloid berhubungan dengan
TT dan BT, borderline atau dimorfik berhubungan dengan BB dan BL, dan lepromatosa
berhubungan dengan LLs dan LLp. Pada hampir seluruh pasien TT, dan kebanyakan kasus BT,
tidak ditemukan basil tahan asam, sedangkan pada BB, BL, LLs dan LLp, dengan mudah
ditemukan basilus. Ridley menyusun klasifikasi pasien, khususnya berdasarkan imunitas.

PERUBAHAN SARAF PERIFER


Terdapat 5 macam abnormalitas dari saraf perifer yang terjadi pada penderita kusta:
1. Penebalan saraf (biasanya terjadi asimetris), khususnya terjadi pada saraf dekat dengan kulit,
seperti nervus aurikularis, ulnaris, kutaneous radialis, peroneus superficialis, sural dan tibialis
posterior
2. Kerusakan saraf sensorik pada lesi kulit
3. Kelumpuhan saraf tulang belakang baik disertai dengan gejala dan tanda inflamasi atau tanpa
manifestasi nyata, disebut dengan silent neuropati/neuropati tersembunyi, sering disertai
dengan kelemahan atau atrofi dari saraf sensoris dan motorik dan bila terjadi dalam waktu
lama akan terjadi kontraktur.
4. Terdapat kerusakan sensorik dengan pola kaus kaki dan sarung tangan (Stocking Glove
Pattern of Sensory Imparirment/S-GPSI), yang juga melibatkan sensasi rasa panas dan dingin
sebelum hilangnya sensasi nyeri dan sentuhan, dimulai pada daerah akral dan selanjutnya
akan meluas ke daerah sentral namun di bagian telapak tangan

5
5. Anhidrosis pada telapak tangan dan telapak kaki, menunjukkan adanya keterlibatan dari saraf
autonom.

Kusta Tuberkuloid Polar


Pada tipe TT, imunitas dari penderita kusta kuat, yang ditunjukkan dengan proses penyembuhan
spontan dan ketiadaan penurunan resistensi dari host. Lesi kulit primer dari TT berbentuk plak,
sering disertai dengan bentukan annular dengan propagasi pada bagian perifer dan penyembuhan
pada bagian sentral (Gambar 186-1). Batas daro plk atau tepi dari annulus berbatas tegas.
Khasnya lesi berbentuk indurasi, mengalami elevasi eritematous, memiliki sisik, kering, tidak
berambut dan hipopigmentasi -namun sering juga ditemukan variablitas (Lihat Gambar 186-1.1
dan 186-1.2 pada edisi on-line)
Saraf sensoris yang beredekata dapat mengalami pelebaran ataupun tidak, namun lesi itu
sendiri memiliki karakteristik hipestesi dan hidrotikm dengan batasan atasan diameter berukuran
10 cm. Lesi kulit biasanya bersifat soliter, khususnya pada pasien yang memiliki tipe TT,
kebalikan dari pasien dengan tipe TT dari BT, dimana terdapat lesi multipelyang jumlahnya tidak
lebih dari 3. Pada kedua kelompok, imunitas hanya cukup untuk penyembuhan namun
direkomendasikan penggunaan dari obat-obatan golongan antibitotik.
Secara histologis, lesi de novo merupakan tuberkelyang kecil dengan lapisan limfositik
yang besar. Lesi seterusnya akan menjadi banyak dan berbentuk sel giant Langhans dan
mengalami eksositosis ke dalam lapisa epidermis, sebagai tambahan dari lapisan limfositik.

KustaTuberkuloid Borderline
Pada penyakit kusta tipe BT, resistensi imunlogis yang dimiliki penderita cukup kuat untuk
megendalikan infeksi, oleh karena itu, penyakit ini terbatas dan terdapat retardasi dari
pertumbuhan basiler, namun respons dari host tidak dapat untuk mengadakan penyembuhan
sendiri (Lihat Gambar 186-1.3 sampai dengan 186-1.5 pada edisi on line). Pasien in terkadang
bersifat stabil-dapat terjadi peningkatan resitensi, menaik menjadi TT atau menurun menjadi tipe
BL.

6
Lesi kulit primer BT berbentuk plak dan papul. Sama seperti pada tipe TT, sering terdapat
bentuk konfigurasi annular dan kedua tepi memiliki batas yang tegas, namun lesi anular atau
plak dapat memiliki tepi yang berbentuk papul dengan satelit (Gambar 186-2). Hipopigmentasi
dapat terlihat jelas pada pasien yang memiliki kulit berwarna gelap. Kebalikan dari kusta tipe
YY, khasnya hanya sedikit atau bahkan tidak terdapat sisik, eritema lebih sedikit, indurasi kecil
dan elevasi kecil, namun lesi dapat berukuran besar (Lihat Gambar 186-3 pada edisi on line),
memiliki ukuran diameter 10 cm, terkadang terdapat lesi tunggal yang terdapat pada seluruh
ekstremitas sepanjang waktu. Pada tipe ini harus terdapat lesi multipel dan asimetris, namun
tidak jarang dijmpai lesi yang bersifat solitair. Harus terdapat sensasi yang salah pada lesi kulit
dan keterlibatan dari saraf tulang belakang, perlebaran, kelumpuhan, biasanya bersifat asimetris
dan sering mempengaruhi 2 atau lebih saraf. Abses yang terjadi pada saraf lebih sering dilihat
pada kelompok pria dengan kusta tipe BT (Lihat gambar 186-5 pada edisi on line)
Secara histologis, lapisan limfositik berkembang dengan baik, sel Langhan sering ditemui
atau kadang-kadang tidak ditemukan sama sekali, dan terdapat esositosis yang bersifat fokal.
Basil tahan asam dan sel plasma jarang ditemui pada histologis; bila ditemukan, maka akan
dicurigai terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lmbat.(Lihat Reaksi tipe Jopling: menaik,
kebalikan atau penurunan)

Kusta Tipe Borderline


Tipe BB merupakan titik tengah ataupun daerah tengah imunologi dari spektrum granulomatosa,
merupakan tipe yang tidak stabil, denga pasien yang akan menurun ke entuk granuomatosa yang
lebih stabil dengan atau tanpa reaksi secara klinis. Perubahan karakteristik dari kulit adalah lesi
anular dengan batas yang jelas pada bagian dalam dan luar, plak yang luas dengan bentukan kulit
normal seperti pulau, yang meberikan gambaran seperti swiss cheese atau gambaran klasik yang
dimorfik. Karena lesi ini bersifat tidak stabil, bentuk BB tidak bertahan dalam waktu lama, dan
pasien seperti ini sulit ditemukan; sebagai contoh, kami belum pernah menemukan pasien yang
tidak mengalami reaksi yang sesuai dengan kriteria klinis dan histologis.

Kusta tipe Borderline Lepromatous


Pada penyakit kusta tipe BL, resistensi yang terjadi terlalu rendah untuk proliferasi
basiler namun masih cukup untuk menginduksi terjadinya inflamasi jaringan destruktif,

7
khususnya pada saraf. Dengan demikian, pasien dengan tipe BL memiliki dunia yang paling
buruk
Kusta tipe BL ini memiliki variabilitas yang tinggi pada manifestasi klinis (Gambar 186-
3; lihat Gambar 186-3.1 sampai dengan Gambar 186-3.3 pada edisi on line). Walaupun hanya
dapat dilihat pada kira-kira sekitar sepertiga pasien BL, gambaran lesi klasik dimorfik (satu lesi
memiliki kedua morfologis) merupakan karakteristik yang paling sering terjadi, memiliki
bentukan annular dengan batas luar yang tidak jelas (seperti tipe lepromatous) namun memiliki
batas dalam yang jelas (seperti tuberkulois; Lihat Gambar 186-3). Batas yang jelas ataupun tidak
jelas, dengan gambaran batasan tepi berupa punched out atau swiss cheese, dengan tegas
membatasi kulit normal pada bagian bawah dari plak, juga merupakan karakteristik dari tipe ini.
Lesi anular yang memiliki batas luar dan dalam yang jelas sangat jarang dijumpai pada tipe ini.
Bila hal tersebut terjadi, tipe seperti lepromatous, papul dan nodul yang sulit diidentifikasi,
jumlahnya akan semakin banyak, namun biasanya disertai dengan lesi berbatas tegas lainya
(Gambar186-4)
Jumlh lesi bervariasi dari bentuk soliter (biasanya terjadi pertama, ujung dari iceberg)
sampai dengan banyak dan meluas. Pada umumnya, lesi plak dan anular besifat asimetris namun
nodul yang mrip dengn tipe lepromatous jmlahnya banyak dan simetris. Kelumpahan saraf
tulang belakang memiliki prealensi yang tinggi pada penderta tipe BL namun memiliki variasi
dalam jumlahnya, berkisar dari defisit yang tidak ada samapi dengan defisit serius, baik motorik
maupun sensorik, pada keempat ekstremitas. Keterlibatan dari saraf medialis maupun ulnaris
biasanya sering simetris dan merupakan gambaran yang khas. Bila terjadi perluasan penyakit,
pasien dengan tipe BL dapat memiliki S-GPSI.
Secara histologis, suatu respon yang klasik adalah infiltrat yang padat dari limfosit yang
membatasasi ruangan yang diisi oleh makrofag (Lihat Gambar 186-4.1 pada edisi on line).
Respon klasik lainnya adalah adanya laminasi perineurium dengan infiltrat dari limfosit. Pola
tersebut dapat merupakan inflamasi kronis. Makrofag dapat berbentuk berbusa dan sulit
diidentifikasi. Gambaran basiL tahan asam tidak sulit ditemukan

Kusta tipeLeprosi
Pada kusta tipe LL, kurangnya reaksi mediasi terhadap M. Leprae memberikn
kesempatan bagi repilaksi dari basiler yang terbats dab secara luas menyebar pada beberapa

8
organ tubuh. Infiltrasi kulit yang menyebar selalu ada secara subklinis dan LL tipe non-nodular
yang menyebar memiliki manifetasi berupa pembesaran dari lobus telingam perluasan akar
hidung dan pembengkakan dai jari0jari,yang akan menyerupai penyakit remati. Nodul yang sulit
ibedakan merupakan les yang paling sering tampak, biasanya berukuran dimetersebesar 2 cm dan
memiliki distribusi yang simetris (Gambar 186-5; Lihat Gambar 186-5. 1 pada edisi on line.
Kulit dapat membentuk suatu lipatan-lipatan, memberntuk gambaran muka facies leonina, sering
juga dengan lesi nodular. Lesi yang mirip dengan dermatofibroma, biasanya multipel, memiliki
atas yang jelas, papul dan nodul yang eritematosa dan kadang-kadang akan bersatu menjadi plak;
pertama kali ditemukan pada pasien dengan kusta “histoid” yang berulang, namun lesi tersebut
tidak selalu ada (Gambar 186-6; lihat Gambar 186-6.1pada edisi on line). Lesi kulit yang jarang
terdapat termasuk dengan potongan indurasi dengan eritema(Gambar 186-7), dimana, pada
pasien yang memiliki kulit berwarna terang; biasanya diikuti oleh hiperpigmentasi ringan;
sedangkan pada pasien yang memiliki warna kulit gelap, sering terdapat makula hipopigmentasi
multipel, dengan melanin yang menutupi eritema. Selain itu, infiltrasi kulit dapat menyerupai
potongan shagreen (Lihat Gambar 186-7.1 pada edisi on line).
Sering terjadi keguguran rambur pada alis mata, dimana dapat mengalami kemajuan baik
secara medial maupun lateral, atau hany setengah, namun hl ini juga mempengaruhi bulu mata
dan ekstremitas (Lihat Gambar 186-7.2 pada edisi on line). Jarang ditemukan keterlibatan dari
daerah scalp, karena tingginya temperatur. S-GPSi sering terjadi dan dapat menjadi parah dan
menyebabkan terjadinya kelemahan pada tangan aupun kaki.

Secara histologis, LLs dan LLp memiliki gambaran klinis sebagai berikut:
1. Lesi nodular dengan makrofag kulit yang berlimpah, berbusa atau sulit untuk dibedakan,
terdapat beberapa limfost dan lapisan epidermis yang tipis di atas daerah grenz
2. Secara klinis, kulit yang normal biasanya akan mengalami infiltrasi; bila tidak, akan
mengalami distribusi di sekitar pembuluh darah
3. Suatu bentuk padatan pseudofolikuler mengagregasi limfosit, mungkin sel B
4. Sel endotelal dan sl schawn basil tahan asam serin ditemuka
5. Sel plasma dan sel mast mengalami kenaikan secara berubah-ubah
6. Sel giant benda asing mungkin dapat ditemukan pada lesi yang sudah lam. Pada LLs
perineurium berlapis-lapis tapi tidak mengalami infilrasi. Pad LLp perineurium tidak
terdistribusi rata

9
Kusta Indeterminate.
Kusta indeterminate merupakan penamaan dengan arti yang mendekati dengan penggunaannya.
Kami lebih suka menggunakan definisi dari Khalnokar, suati lesi awal, timbul sebelum host
membuat imunitas alami untuk menyembuhan atau memberikan respon terhadap granulomatosa.
Secara klinis, lesi indeterminate merupakan makula atau potongan hipopigmentasi dengan atau
tanpa sefisit sensoris yang menyertainya,dan ditemukan basl tahan sama dalam jumlah yang
sangat kecil. Lesi seperti tersebut sangat jarang ditemukan dalam klinik kami. Penamaan ini
tidak cocok untuk mendeskripsikan lesi yang kaya akan basil namun memiliki tuberkuloid atau
lepromatosa yang khas pada gambaran histologisnya, biasanya tipe BL atau LL

PENEMUAN KLINIS YANG BERHUBUNGAN


Ketidaksensitifan dari kornea sering terjadi pada penyakit kusta tipe manapun. Pada tipe BL dan
LL, terjadi sejumlah besar perubahan pada kornea dan bilik mata anterior, sering juga ditemukan
infeksi pada iritis yang merupakan masalah serius dan hal ini terjadi berrsamaan dengan reaksi.
Pada LL juga ditemukan butiran pada saraf kornea dan sangat membantu dalam penegakkan
diagnosis.
Pada seluruh pasien tipe LL dan BL dengan perluasan, terjadi perluasan yang besar dari
infeksi. Pada saluran pernafasan atas, terdapat keteribatan mulai dari ujung hidung lalu kepada
pita suaa, yang akan bermanifestasi sebagai rhinitis, perforasi septum, kolaps nasal dan suara
serak akibat adanya nodul pada pita suara. Dengan terdapatnya peningkatan hormon yang
berfungsi dalam stimulasi folikel dan luteinizing hormon, ering terjadi keterlibatab testicular
pada laki-laki penderita kusta tipe LL dan sedikit tipe BL, dan hal tersebut bermanifestasi dengan
adanya keluhan berupa impotensi dan infertilitas. Keterlibatan dari hati, limpa dan nodus perifer
limfatikus serta sumsum tulang juga sering terjadi, namun agka kejadian klinisnya masih
terhitung jarang.

KEHAMILAN DAN POSTPARTUM


Kehamilan dikatakan sebagai faktor preipitasi terjadinya kusta pada 10 sampai dengan
25% pasien wanita, hal ini mungkin disebabkan karena perubahan sistem imun yang terjadi.
Pada saat hamil, pasien tipe LL dan BL memiliki predisposisi untuk terjadinya eritema nodosum

10
leprosum, diduga karena adanya penurunan sistem imun. Namun wanita post partum memiliki
predisposisi terhadap reaksi hipersensitivita tipe terlambat, diduga karenaan adanya pemulihn
dari sistem imun. Pasien yang sedang memberikanlaktasi tipe BL dan LL yang tidak
ditatalaksanai, akan memiliki basil yang viable pada susu yang dihasilkan, namun belum pernah
ditemukan basil yang dapat diceran oleh bayi. Dapson yang terdapat pada air susu ibu dapat
menyebabkan terjadinya hemolisis pada bayi

SINDROM IMUNODEFISIENSI YANG DIPEROLEH/AIDS.


Pada penderita Aids maupun HIV, Kusta bukan merupakan sebagai infeksi opportunistik.
Sebagai contoh, pada satu penelitian, virus AIDS atau HIV ini tidak tampak pada orang yang
mengekspresikan virus flu (tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa),tetapi berhubungan
dengan reaksih hipersensitivitas tipe lambat yang berulang (Lihat Gambar 187-6.3 pada edisi on
line. Bagaimanapun juga, laporan penelitian kusta akhir-akhir ini dilaporkan sebgai reaksi
hipersensitivitas tipe lambat pada keadaan terapi antivirus aktif dosis tinggi yang menyatakan
bahwa mungkin diperlukan pembaharuann pandangan.

KUSTA BERULANG
Pasien multibasiler yang tidak patuh pada pengobatan atau yang penyakitnya berkembang
menjadi resisten terhdap obat memiliki kecenderungan untuk terjadinya reaksi berulang. Pasien
seperti itu tampak dalam beberapa cara (1) REPRISE manifestasi awal mereka, (2) lesi seperti
florid dermatofita (lesi histoid), (3) keadaan reaksi, (4) keadaan peningkatan resistensi yang lebih
tinggi dari keadaan awal mereka, contohnya pasien LLs memiliki tipe BL bahkan BT

KEADAAN REAKSI
Secara generik, keadaan reaksi kusta terjadi secara khusus, pengrusakan jaringan, proses
peradangan, diduga dikendalikan oleh imunologis, yang meningkatkan angka kesakitan penyakit
kusta dan karena adanya pengalaman yang dibutuhkan untuk perawatan yang optimsl,
menunjukkan kusta menunjukkan manifestasi sub klinis. Ketika terjadi, keadaan reaksi
merupakan suatu lapisan dari granuloma yang mendasarinya, namun keadaan reaksi biasanya
mendominasi gambaran klinis. Ketika reaksi imun dari tubuh mengalami peningkatan, mungkin
dapat kerusakan jaringan. Pada banyak keadaan, keadaaan reaksi dinyatakan sebagai kesalahan

11
dalam penatalaksanaan, nammun mereka dapat terjadi sebelum penatalaksanaan dilakukan atau
setelah diselesaikan.

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT (REAKSI TIPE 1 JOPLING;


PENINGKATAN, PENUKARAN ATAU PENURUNAN.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat sering terjadi pada pasien BL, namun tidak jarang
juga terjadi pada pasien LLs, BB maupun BT. Pasien dapat meningkat menjadi bentuk
granulomatosa yang lebih resisten, tidak berubah maupun menurun menjadi bentuuk yang tidak
resisten.
Secara klinis, reaksi hipersensitivitas tipe lambat memiliki karakteristik berupa perubahan
yang terjadi secara tiba-tiba dari plak yang tumpul menjadi lesi tumid, dan dengan adanya lesi
tumid yang baru pada kulit yang normal dengan atau tanpa adanya onset neuritis. Warna lesi
yang keunguan merupakan hal yang khas, namun bisa saja telah menghilang (Gambar 186-8).
Iritis dan limfedema (elefantiasis graecorum) dapat terjadi secara bersamaan. Variasi morfologik
yang terjadi termasuk dengan bentuk anular, konsentris dan eksema (Gambar 186-7.3 dan
Gambar 186-8.1 samapi dengan 186-8/5 pada edisi on line. Pada kasus yang jarang, lesi yang
terjadi bersifat soliter, seperti yang terdapat pada tipe BT yang meningkat menjadi TT, dan sering
terjadi multipel atau kadangkala myriad, seperti peningkatan BL atau LLs ke BT. Dapat terjadi
neuritis yang bersifat ringan sampai dengan berat dan dapat merupakan bencana jika terdapat
keterlibatan dari beberapa saraf. ..............Diagnosis dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat
ditegakkan secara klinis, namun konfirmasi dengan pemeriksaan histologis jika tersedia, harus
dilakukan, dimana perubahan utama yang paling sering ditemukan adalah edema. Perubahan lain
termasuk dengan diferensiasi epiteloid dari makrofag, campuran sel Giant Langhan dan benda
asing dan penebalan dari lapisan epidermis

ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (REKASI JOPLING TIPE II)


Reaksi ini terjadi pada kebanyakan dari pasien LL, terjadi pada lebih dari 75% kasis
namun tidak jarang ditemukan juga pada pasien BL. Sangat penting untuk mengahargai bahwa
ENL bukan merupakan eritema nodosum yang terjadi pada pasien kusta; hal ini merupakan
respon penyakit kusta yang spesifik, yang memiliki bebrapa gejala yangg mirip dengan eritema
nodosum (Lihat Bab 68). Hal ini dapat terjadi pada waktu sebelum, selama dan setelah

12
pentalaksanaan dengan kemoterapi. Waktu rata-rata kejadian adalah hampir 1 tahun setelah
penatalaksanaan. Secara klinis, reaksi ini memiliki karakterisstik dengan nodul yang nyeri
berwarna merah muda terang, yang terdapat pada lapisan dermis dan subkutan pada kulit yang
normal dan berhubungan dengan keadaan demam, anoreksia dan nyeri otot (Gambar 186-9; lihat
Gambar 186-9/1 pada edisi on line). Lesi dapat bersifat sel target, vesikular, pustular, ulseratif
maupun nekrosis. Terdapat juga keterlibatab organ lainnya, artralgia dan arthritis lebih sering
terjadi pada eritema nodosum leprosum dibndingkan dengan neuritis, adenitis,
orchitis/epididimitis atau iritis, namun masing-masing tersebut dapat jarang sebagai manifestasi
klinis. Sering terdapat keterlibatan dari ekstremitas atas dan bawah, dan lesi fasial terjadi pada
sebagian pasien. Leukositosis neutrofilic sering terjadi, adakalanya berupa leukemoid. Beberapa
episode yang berat dapat berhubungan dengan penuruanan hematokrit, sampai dengan 5g/Dl,
biasanya salah dengan dapsone yang menginsduksi hematolisis. Perbaikan pada respon terhadap
talidomid merupakan hal nesar pada lebih dari 90% pasien, mungkin kualifikasi sebagai kriteria
diagnosis. Ketika ENL terjadi pada penyakit kusta, mungkin terdapat sedikit atau tidak adanya
stigmata dari penyakit muktibasiler yang mendasarinya. ENL dapat dipresipitasikan oleh
kehamilan dan infeksi pyogenik.
Walaupun episode dari ENL dapat terjadi kadang-kadang atau sporadis, pada beberapa
pasien yang lebiih berat, episode ini dapat merupakan sisa ataupun secara klinis tidak bersisa.
Kemudian akan timbul indurasi yang terdapat pada paha bagian anterior dan bagain samping dari
kengan yang khas untuk ENL, yang kemungkinan merupakan suatu fibrosis yang bersifat
reversibel. Pada kasus enl yang mengalami perpanjangan, syarat durasi penatalaksanaan anti
inflamasi adalah kurang lebih 5 tahun.
Diagnosis ENL, jika sudah dipikrkan, biasanya tidak sulit, dengan adanya gambaran
klinis dan histologis merupakan hal yang khas dan respon terhadap talidomid sering terjadi.
Secara histopatologis, sel penanda dari ENL adalah neutofil, yang mungkin dapat sangat
banyak, sedikit maupun tidak ada sama sekali, jika lesi yang sebelumnya digunakan sebagai
contoh (Lihat Gambar 186-9.6 samapi dengan Gambar 186-9.8 pada edisi on ine.Gambaran
lainnnya termasuk dengan peningkatan limfosit, penebalan dari epidermis dan panikulitis lobular.
Vaskulitis jarang terjadi. Gambaran histologis yng sering terjadi adlah infiltrat bottom heavy,
yang lebih sering pada lapisan kulit dalam dan subkutis.

13
FENOMENA LUCIO
Angka kejadian di Meksiko dan regio Caribbean, kebanyakan penderita terkait akan suatu
fenomena sehingga disebut dengan Latapi lepromatosisi (Kusta Leprosi) dimana terdapat
infiltrasi yang menyebar pada kulit, disertai dengan suffusion bewarna keunguan yang terdapat
pada tangan dan kaki, erupsi telangiektasis, perforasi septum nasal, alopesia totalis dari alis mata
dan bulu mata dan sering disertai dengan S-GPSI. Nodul subkutan dapat dipalpasi namun tidak
dapat dilihat. Penglihatan berkurang sering terjadi.
Penomena Lucio biasanya terdapat pada Latapi lepromatosa yang berkembang krena
tidak ditatalakasanai. Infark hemorragik atau infark septik(Gambar 186-10, Lihat Gambar 186-
10.1 dan 186-10.2 pada edisi on line. Lesinya bersifat nyeri namun tidak lembut saat dipalpasi.
Lesi biasanya berupa krusta dan dapat sembuh dengnjaringan parut berbentuk bintang. Sering
terdapat ulserasi, khusunya pada daerah bawah lutut. Lesi memiliki ukuran yang bervariasi dan
perluasan, mulai dari ukuran yang kecil dari beberapa lesiyang terdapat pada mata kaki sampai
kepada lesi yang banyak dengan resiko yang tinggi. Dengan pemberian dapson saja, lesi dapat
menjadi lebih buruk, namun pada pengalaman kami, dengan 1 pengecualian, lesi yang baru akan
tampak dalam waktu 1 bulan setelah penggunaan obat ripamfin. Perubahan mkkroskopik
termasuk dengan nekrosis iskemik dari lapisan epidermis, oklusi pembuluh darah bagian dalam
oleh proliferasi endotelial dan adanya parasitasi yang berat dari sel endotelial oleh basil tahan
asam(Lihat Gambar 186-10.3 pada edisi on line)

HISTPATOLOGI
UJI LABORATORIUM
Imunopatologi dan imunologi
Pemeriksaan immunologidaripenederita kusat menawarkan3 janji: (1)pengertian lebih lanjut
tetang penyakit itu sendiri; khusunya pada imunopatogenesis dari spektrum granulomatosadan
keadaan reaksi (2) Eradikasiatau kontroldari penyakit dengan menggunakan vaksinasi (3) probe
dari CMI pada manusia yang akan mempengaruhi proses penyakit

IMUNITAS SELULER
Perbedaan yang besar dari kusta ditunjukkan dengan membandingkan dua bentuk polar mereka.
Resistensi yang besar dari betuk TT memiliki karakteristik berupa lesi yang sedikit, organisme

14
yang jarang, granuloma sel epiteloid dan kecenderungan untuk sembu sendiri. Kusta TT tampak
sangat berbeda dibandingkan dengan bentuk LL yang kurang resisten, yang bermanifestasi
sebagai penyebarab luas, basil tahan asam yang banyak, makrofag berbusa dan jika tidak
ditatalaksana akan menunjukkan progresivits. Batas yang tegas dari plak merupakan anda dari
anti M.Leprae DTH pada kulit, kelumphan saraf tulang belakang dan dampaknya pada sayarf
perifer.
Pengamatan pada tes lepromin yang positif dari subyek yang tuberkuloid dan pasien usta
yag tidak memberin respon pengobatan merupakan tujuan utama dan fakta yang menyatakan
bahwa imunitas dari host merupaka suatu mekanismedari adanya perbedaan dari polar. Uji
Perubahan limfosit dapat menujukkan hubungan antara test kulit lepromin dengan fakta
substansial yang menyatakan bahwa adanya perbedaan mediasi polar yaitu yang melalui respon
imun seluler. Sebaliknya, antibodiyang berespon terhadap M leprae ditemukan lebih kuat pada
tipe LL, menunjukkan bahwa imunitas humoral tidak dapat mengakibatkan resistensi terhadap
penyakit tersebut.
Penelitian imunfenotipik menemukan perbedaan yang penting anra kelompok limfosit
yang menginfiltrasi kulit denganlesi pada pasien tuberkuloid dengan lepromatosa, dengan
pembentukkan dominan dari klompok CD4 (CD4:CD8=2:1), namun pada kelompok lepromatosa
memilikipembentukan dominan dari CD8 (CD4:CD8=1:2).Kecondongan dari kelompok sel T
pada lesi bersifat mandiri pada darah perifer, karena seluruh pasienmemiliki perbandingan
CD4:CD8 sebesar 2:1. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari respon imun pasien
pada tempa terjadinya penyakit, yaiu lesi kulit.
Studi tentang reverse transcripta polimerase dari RNAm pada jaringan polar dapat
memberikan pengertiang tentang fungsi klompok tersebut tentang imunopatologinya. Lesi
tuberkuloid memiliki lesi tipe 1 [t Helper 1 (Th1) atau Th_1 like] atau pro-inflamasi, khusunya
mRna yang mengodekaninterleukin-2(IL-2), Interferon=y(IFN-y)san IL12 namun rnaM yang
kurang mengkodekan IL4 atau IL10. Kebalikannya, jaringan lepromatosa memiliki antiinflamasi
tipe 2, khusunya RNAm IL4 yang banyak dan RNAm IL10, namun sedikit RNAm yang
mengkodekan sitokin tipe 1. Lebih lanjut lagi, sel t CD4+ pada lesi tuberkuloid ditunjukkan untuk
memprodksi IFN-γ, dimana sel T CD8 pada lesi lepromatosa berfungsi untuk menghitung
produksi dari IL4. Adanya sitokin tipe 1 menyebabkan aktivasi makrofag dan sel T, hasil dari
mediasi sel imun terhadap lokalisasiinfeksi. Disamping hal itu, sitoin tipe 2 ditemukan pada

15
leslepromatosa menyebabkan respon antibodi yang kuat, namun secara bersamaa juga
menghambatrespon darsel T dan makrofag yang menyebabka progresivitas dariinfksi yang
ada.Kepentingan dari paradigma imi menunjukkan pada pengalaman yang dirancang
untukmemperbesar respon imun sel pada pasien kusta lepromatosa.

Pentingnya paradigma digambarkan dalam pola percobaan untuk memperbesar CMI pada pasien
lepra, dimana pemberian rekombinan IFNγ intradermal pada pasien lepra menurunkan jumlah
basil yang menginfiltrasi jaringan.36 Keputusan pejamu untuk membentuk profil sitokin, tipe 1
dan 2, dapat berhenti seiring dengan respon system imun bawaan terhadap M. leprae. Sitokin
dihasilkan oleh system imun bawaan dapat sangat mempengaruhi respon adaptasi sel B atau T, 37
dan, khususnya, reseptor seperti Toll system imun dipicu oleh lipoprotein mycobakterial,
menyebabkna pengeluaran IL-12, kunci penginduksi respon sitokin tipe 1.15

IMUNITAS ANTIBODI ENL secara luas dianggap dimediasi oleh kompleks imun. Terdapat
sejumlah besar antibody anti M. leprae pada pasien LL dan BL, tetapi antibody ini tidak
memberikan perlindungan terhadap penyakit. Selain itu, darah pasien LL dan Bl mengandung
antigen yang berlimpah-limpah, termasuk basil utuh, sampai 105/ mL. Oleh karena itu, pasien BL
dan LL bermasalah dengan kerusakan jaringan yang dimediasi oleh kompleks imun. Dukungan
langsung yang terbaik terhadap hipotesis ENL dimediasi kompleks imun adalah adanya pecahan
produk complement di dalam serum, yang sesuai dengan aktivasi komplemen ekstravaskuler di
dalam jaringan.40 Bukti yang dapat disimpulkan adalah infiltrasi neutrofil, diperkirakan
fenomena Arthus, dan kelebihan glomerulonefritis pada pasien ENL. Selain itu, profil sitokin
pada ENL tipe 2, walaupun jumlah yang lebih besar pada subset CD4 +.39 Bagaimanapun, bukti
terhadap mediasi kompleks imun masih belum dipercaya – sulit untuk menghasilkannya, dan
dikacaukan oleh sejumlah penelitian, termasuk antigen kerangka kerja HLA-DR antigen human
leukosit dalam epidermis,41 peningkatan sel yang mengandung IFNγ seperti yang ditentukan oleh
penelitian hibridisasi,42 kelebihan sel-terwarnai-IL-2 dibandingkan dengan jaringan LL,43 dan
munculnya ENL oleh pemberian rekombinan IFNγ.44 Kemungkinan kompleks imun dan imunitas
seluler penting dalam patogenesis ENL.

16
Sedikit yang diketahui mengenai imunopatogenesi reaksi Lucio. Masih ada bukti yang
lebih menyukai mediasi kompleks imun.45 Sejumlah besar basil tahan asam pada sel endotel
dapat menjadi lokasi yang optimum sebagai presentasi antigen pada antibody. Mekanismenya
tampak berbeda dengan ENL, di dalamnya terdapat sedikit ekspresi epidermal antigen kerangka
kerja HLA-DR.41,45

Pemeriksaan Laboratorium Lain


Sebagian besar perubahan laboratorium pada penyalit LL atau BL yang luas. Hiperglobulinemia
adalah perubahan laboratoriumyang paling umum, menyebabkan peningkatan laju endap darah.
Biloogis pemeriksaan serologis positif palsu terhadap sifilis, anemia penyakit kronis, dan
limfopenia ringan juga sering terjadi. Antibodi anti-fosfolipid yang tidak bermakna secara klinis
tampak pada 50 persen pasien LL, dapat menimbulkan antikoagulan lupus atau aglutinasi
eritrosit sheep (faktor Rubino).46 Jika diperiksa, pulasan pengecatan buffy coat menunjukkan
basil mencapai 105/ml. Peningkatan lisosim serum dan nilai enzim pengkonversi angiotensi
menggabarkan akumulasi dan aktivasi yang luas makrofag yang mensintesis protease ini.
Proteinuria, jarang terjadi, berkaitan dengan glomerulonefritis lokal, sebagian besar tampak pada
pasien ENL. Testil terlibat pada sebagian besar pasien LL laki-laki tetapi sebagian kecil pada
pasien LL, yang bermanifestasi pada hormon stimulasi folikel serum yang tinggi dan hormon
luteinizing tetapi kadar testosteron yang rendah.

DIAGNOSIS BANDING
Sebagai penyakit yang polimorfik, pendekatan pada diagnosis bandingnya yaitu dengan
memperhatikan tipe lesi primer dan sekunder yang tampak pada lepra kemungkinan keadaan
meniru lepra atau ditiru oleh lepra.

Lesi Primer
 Makula dan patches. Hipopigmentasi pityriasis alba dan lepra yang tidak ditentukan saling
menyerupai. Sedikit indurasi plak BL mungkin menyerupai patches. Telangiekstasis mungkin
mengalami erupsi, tampak sebagi anyaman pada wajah dan punggung atas.
 Lesi papula dan nodula. Pada dermis, lepra mungkin meniru atau ditiru oleh dermatofita,
erupsi histiocytoma, limfoma, sarcoidosis, dan granuloma lain. Erupsi dan inflamsi ulangan

17
nodul subkutan mungkin merupakan ENL, eritema nodosum, eritema induratum, vaskulitis,
dll. Nodul subkutan yang tidak terlihat tetapi dapat dipalpasi pada lepramatosa Latapi
mungkin menyerupai lipoma.
 Plak. Plak eritematosa mungkin menyerupai fungoides. Plak tanpa perubahan pigmen
mungkin berpenampilan mirip-penonjolan, yang akan dibingunggkan dengan urtikaria. Plak
hipopigmentasi mungkin mirip erupsi papuloskuamosa. Pulau-pulau kulit normal di dalam
plak mungkin diperkirakan psoriasis.
 Erupsi vesikulobulosa polimorfik. Lesi menyerupai lepuh autoimun mungkin terjadi pada
ENL. Sampai 30 persen pasien LL memiliki antibodi terhadap desmoglein 1. imunoglobulin
M tidak umum terdapat pada membran basement epidermis pada LL.
 Lesi anular. Lepra mungkin menyerupai atau diserupai eritema anular, sarcoidosis, sifilis,
atau tinea.

Lesi Sekunder
 Infark. Lesi dan nekrosis fenomena Lucio ENL menyerupai infark sepsis.
 Ulkus. Ulkus terjadi pada fenomena Lucio, ulkus neutrofilik permukaan plantar, dan
ulkus tungkai yang terjadi sekunder terhadap insufisiensi vena, konsekuensi infeksi sel
endotel.

Kumpulan Klinis
 Perubahan yang menyrupai lupus eritematosa sistemik. Jari-jari fusiform, deformitas leher
angsa, biologis pemeriksan serologis untuk sifilis yang postif palsu, antibodi anti-fosfolipid,
antikoagulan lupus, dll.
 Vaskulitis. Vaskulitis yang sebenarnya mungkin terjadi pada ENL, fenomena Lucio, dan
lepromatosa Latapi. Secara klinis, lesi lepra granulomatosa mungkin menyerupai vaskulitis.

Kumpulan Mikroskopis
 Pola umum dan tidak umum. Respon granulomatosa adalah reaksi jaringan yang umum
terjadi pada lepra, disertai diferensiasi epiteloid makrofag dikarakteristikkan dengan TT,
BT, dan BB, dan tidak terdiferensiasi atau makrofag berbusa menjadi tanda BL, LLs, dan
LLp. Perubahan mikroskopis pada BB yaitu berisi diferensiasi epiteloid makrofag,

18
limfosit yang sangat sedikit, tidak terdapat sel giant, tetapi banyak sel basil. Pola tidak
umum dapat terjadi, kadang-kadang didominasi gambaran histologis, dan (1) inflamasi
kronik, khususnya pada BL dan penyakit yang tidak ditentukan; (2) pannikulitis lobuler
pada ENL; (3) vaskulitis pada ENL, fenomena Lucio, dan lepromatosa Latapi; dan (4)
kulit normal pada BL atau LL. Pada tingkat objektif kekuatan-rendah, kulit normal,
infiltrat tidak sempurna pada dermis papilaris dan retikuler, atau infiltrat aneh “berbentuk
sosis” (mengikuti bundel neurovaskuler) harus menunjukkan inklusi lepra dalam
diagnosis banding.

DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis
Diagnosis lepra yang kuat membutukan kesesuaian satu dari dua kriteria: abnormalitas nervus
perifer yang menetap atau adanya basil tahan asam pada jaringan. Pada daerah non-endemik,
diagnosis biasanya sulit, tetapi jika hanya karena kemungkinan lepra tidak akan dipertimbangkan
sebagai diagnosis. Tida ada pemeriksaan atau rangkaian pemeriksaaan yang akan membuktikan
bahwa pasien tidak menderita lepra.
Oleh karena M. Leprae tidak tumbuh dalam media sel-luar, gambaran mikrobakteria
dengan kemampuannya bertahan dalam asam digunakan pada sebagian besar sebagai diagnosis.
Basil tahan asam pada potongan jaringan paling baik ditunjukkan dengan menggunakan
pengecatan carbofuchsin, menggunakan modifikasi metode Ziehl-Neelsen, secara bersamaan
disebut dengan pengecatan Fite-Faraco. M. leprae menyerupai spesies Nocardia, hanya tahan
asam lemah. Pada pulasan, metode Ziehl-Neelsen atau pengecatan auramine-rhodamine dengan
mikroskop fluoresense cukup memuaskan. Oleh karena karakteristik klinis dan perubahan
histologis, spesifikasi terhadap M. leprae jarang diperoleh.
Perubahan karakteristik histologis sangat membantu dalam memperkirakan atu
menunjang diagnosis lepra, tetapi, kecuali adanya granuloma sel epiteloid di dalam nervus,
bukan merupakan diagnosis absolut.

Negatif Palsu
Positif Palsu
Metode Alternatif

19
Metode alternatif dalam menegakkan diagnosis telah dicar, tetapi nyatanya merupakan nilai yang
terbatas. Antibodi spesifik M. leprae lebih lazim pada kasus multibasiler, dimana diagnosis telah
dibuat berdasarkan kriteria klinis, dan pada daaerah yang endemik, kadar antibdoi yang tinggi
lebih lazim terjadi daripada penyakitnya, hal ini kemudian menutunkan penggunaan pemeriksaan
kadar antibodi.14 Kemunduran aksi rantai transcriptase-polymerase kemungkinan tidak ada pada
setengah pasien pausibasiler, memberikan sinyal positif nilai tetapi sinyal negatif jika tidak ada
dukungan lain. PCH seharusnya bermanfaat dalam mendiagnosis pasien yang memiliki lesi
dengan basil tahan asam tetapi tidak terdapat stigmata lepra dan biakan negatif. 47 Pemeriksaan
kulit lepromin tidak berguna sebagai diagnosis, oleh karena tingginya angka reaksi positif pada
orang dewasa yang tidak menderita lepra, tetapi dapat digunakan sebagai nilai dalam
mengklasifikasikan pasien. Semua TT dan sebagian besar BT (85 persen pada penelitian kami)
positif (indurasi 3 mm atau lebih dalam 21 hari) dan BB melalui LLp negatif (< 3 mm). Profil
ekspresi gen mungkin memberikan pemeriksaan baru dalam diagnosis dan/atau klasifikasi
lepra.22

KOMPLIKASI
Komplikasi lepra, berbeda dengan kerusakan yang berasal dari respon langsung pejamu terhadap
M. leprae, muncul dari kerusakan nervus periferal atau insufisiensi vena. Hampir seperempat
sampai sepertiga psien yang baru didiagnosis lepra mengalami akan segera mengalami disbilitas
sekunder kronik pada kerusakan saraf irreversibel, biasanya pada tanfan atau kaki, atau karena
keterlibatan mata. Kolaps hidung pada LL diakibatkan kontraktur jaringan skar, yang
menggantikan tulang dan kartilago.

Kecacatan Pada Okuler


Keratitis mungkin terjadi akibat berbagai faktor yaitu mata kering, non-sensitifitas, dan
lagofthalmus. Keratitis dan lesi bilik anterior, sebagian besar adalah iritis, dapat menyebabkan
kebutaan.

Kecatatan Tangan dan Kaki


Kelemahan inervasi otot sendiri yang menyebabkan kecatatan. Hilangnya sensasi perlindungan
tidak terlalu jelas, tetapi bukan tidak nyata. Jika benda tajam atau panas tidak dapat dirasakan,

20
terjadilah kerusakan. Karena infeksi mungkintidak memberikan tanda nyeri, bagian tersebut
tidak diistirahatkan sehingga infeksi semakin meluas sebelum diobati. Siklus luka dan infeksi
yang berulang, disebabkan hilangnya perlindungan sensasi nyeri, merupakan sumber kerusakan
jaringan berat pada lepra. Kontraktur yang terjadi sekunder terhadap kelemahan otot atau
pembentukan skar membentuk derfomitas lebih lanjut. Sendi Charcot merupakan sumber
deformitas juga. Kekeringan palmar dan plantar karena keterlibatan simpatis memperberat
masalah ini.
Insufisiensi vena, sekunder akibat keterlibatan endotel katup vena dalam, menyebabkan
dermatitis stasis dan ulkus tungkai.
Penatalaksanaan dan pencegahan masalah yang muncul akibat kerusakan nervus
membutuhkan kemampuan bedah orthopedi, ahli ofthalmologi, ahli fisio terapi, ahli ortopedi,
dan ahli terapi akupasional.

PROGNOSIS DAN KLINIS


Pada lepra yang tidak diobati, hanya TT yang akan sembuh sendiri, atau pasien BT yang
berkembang menjadi TT. Sebaliknya, penyakit akan progresif dengan morbiditas yang
disebabkan oleh kerusakan nervus dan status reaksi. BT, BB, BL, dan LLs dapat mengalami
perbaikan, BT, BB, dan BL dapat mengalami perburukan, dan BL, LLs dan LLp dapat
berkembang menjadi ENL.
Terapi dapat memberhentikan sebagian besar aktivitas penyakit, tetapi S-GPSI mungkin
progresif. Neuritis perifer atau onset baru dapat mengalami perbauikan dengan terapi
kortikosteroid. Sama dengan sindrom paska-polio, kerusakan sensori kadang-kadang tampak dan
sulit diketahui dan diterapi.

TERAPI
Penatalaksanaan medis adalah langsung pada infeksi tersebut, dan jika ada pada status reaksi
tersebut8 (Kotak 186-1 dan 186-2). Seperti yang disebutkan pada Etiologi dan Patogenesis,
pasien dinyatakan pausibasiler jika tidak ditemukan basil tahan asam pada jaringan atau pulasan
dan menjadi multibasiler jika ditemukan satu atau lebih basil tahan asam. Silahkan lihat Kotak
186-1 pada regimen yang berbeda yang direkomendasikan oleh World Health Organization
(WHO)48 dan U. S. Public Health Service (USPHS).49,50

21
Rasionalitas regimen tiga obat yang direkomendasikan adalah rifampisin (bakterisidal)
akan membunuh semua organisme tersangka, termasuk yang resisten terhadap dapsone
(bakteriostatik), dan dapsone akan segera menbgeliminasi semua organisme tersangka, termasuk
yang resisten terhadap rifampin. Clofazimine (bakterisidal mingguan, terutama bakteriostatik)
ditambahkan untuk menyingkirkan resiko resistensi dapsone primer. Tidak adanya follow-up
rutine pada rekomendasi WHO mungkin menggambarkan harapan akan rendahnya angka
kekambuhan, juga rendahnya angka reaksi paska terapi. Adanya kunjungan follow-up semi-
tahunan sampai 10 tahun pada rekomendasi USPHS mungkin menggambarkan opini yang
berbeda mengenai frekuensi ketidakpatuhan, kekambuhan bakteri, dan status reaksi paska-terapi.

Kotak 186-1 Rekomendasi Terapi Antibakterial Lepra


ORGANISASI YANG TIPE RIFAMPIN DAPSONE CLOFAZI- DURASI FOLLOW-UP
MEREKOMENDASI PENYAKIT MINE
World Health Organization PB 600mg/bln 100mg/hr - 6 bln Tidak ada
Kembali prn
MB 600mg/hr 100mg/hr 50mg/hr 1 thn Tidak ada
300mg/bln Kembali prn
U.S. Public Health Service PB 600mg/hr 100mg/hr - 1 thn Interval 6 bln dlm 5 thn
MB 600mg/hr 100mg/hr 50mg/hr 2 thn Intervl 6bln dlm 10 thn

AGEN MIKROBISIDAL DOSIS


LAIN
Clarithromycin 500 mg/hr
Minocycline 100 mg/hr
Levofloxacin 500 mg/hr

Angka kekambuhan setelah menyelesaikan regimen triple drug masih kontroversial. Sebagian
besar pengamat setuju dengan WHO51 bahwa kekambuhan jarang terjadi. Sebagian kecil
minoritas telah menunjukkan bukti yang menyatakan bahwa kekambuhan adalah masalah yang
besar, mendekati 20 persen 10 tahun setelah memberhentikan terapi pada pasien dengan 3 atau
lebih BI.52-55 Shetty dkk.55 telah melaporkan adanya kekambuhan, dan telah meninjau laporan
lain, dan telah memberikan alasan terhadap kontroversi. Satu kelompok melaporkan kekambuhan
dimulai 6 bulan setelah melengkapi 2 tahun terapi triple drug.54 Dua kelompok melaporkan

22
kekambuhan setelah didapatkan pulasan negatif.54,55 Selain itu, terapi 1 tahun memiliki angka
kekambuhan yang lebih tinggi daripada 2 tahun.53 Laporan kekambuhan diperkirakan bukanlah
infeksi ulangan. Berbagai pendapat mengenai cara mengatasi masalah ini. Rencana WHO
tergantung pada rujukan pasien itu sendiri. Rekomendasi USPHS akan memberikan penerusan
terapi berdasarkan evaluasi dokter. Pendekatan lain adalah dengan cara meneruskan dapsone saja
secara tidak terbatas, seteolah melengkapi terapi triple drug.
Sebagai tambahan rifampisin, sejumlah antibiotik memiliki aktivitas bakterisidal poten,
yaitu minocycline, clarithromycin, dan fluoroquinolone, ofloxacin dan levofloxacin. Pemberian
dosis tunggal tiga obat fluoraoquinolone, ofloxacin, dan minocycline, sedang dipelajari sebagai
terapi penyakit paucibasiler, tetapi angka kekambuhan belum ditentukan. 56 Oleh karena biaya,
penggunaan agen diatas perhari menjadi penghalang di daerah dimana lepra merupakan penyakit
yang umum dan kekurangan dana perawatan kesehatan. Selain itu, belum diketahui jika beberapa
kombinasi agen mikrobisidal poten ini, berdasarkan ide dari pertama dan analog dengan
tuberkulosis, akan memiliki keuntungan berdasarkan yang direkomendasikan oleh WHO dan
USPHS, tetapi ditoleransi dalam percobaan kecil.57
Karena insiden resisten dapson primer rendah pada populasi pasien multibasiler kami, 58
kami sering menggunakan kombinasi rifampisin, 600 mg per hari, dan dapsone, 100 mg per hari,
selama 2 sampai 3 tahun. Kemudian didiskusikan dengan pasien mengenai pilihan melanjutkan
dapsone secara tidak terbatas atau menghadapi angka kekambuhan yang belum pasti.

Kotak 186-2
Penatalaksanaan Medis Status Reaksi
THALIDOMIDE PREDNISON/ DURASI AGEN LAIN DG NILAI
PREDNISOLON BELUM TERBUKTI
Reaksi balik Tdk ada nilai 0.5-1.0 mg/kg. Biasanya Agen antiinflamasi non-
(reaksi tipe I) Rifampisin dapat membutuhkan steroid
meningkatkan 6bln-2thn.
katabolismenya. Mungkin lebih
Turunkan pelan2. lama atau
Terapi alternatif harian sebentar
mungkin ditoleransi.
Eritema nodosum Obat yg paling manjur Jika thalidomide tidak Durasi median Pentoxifylline
leprosum (reaksi tipe II) jika tersedia dan tdk tersedia, 0.5-1.0 terapi mendekati

23
kontraindikasi mg/kg/hr 5 th. Dapat
Awalnya 1 dosis 100- menetap 10 th
200mg qd hs
Dosis pelihara 50 setiap
selang hari sampai 500
mg harian
Fenomena Lucio Tidak ada nilai Mungkin berguna - Plasmafaresis mungkin
(berhenti dg penggunaan berguna pada pasien yang
agen mikrobisidal) tidak berhasil

Pada reaksi balik (lihat Kotak 186-2), karena resiko kerusakan nervus permanen,
disarankan pemberian terapi prednison (0.5 sampai 1.0 mg/kg/hr). Dosis prednison dititrasi
melawan nyeri, gejala pasien, dan evaluasi sensorius teliti pada tangan dan kaki, contohnya
dengan penilaian filamen Semmes-Weinstein. Terapi harus diturunkan perlahan-lahan dan
memberitahukan kepada pasien bahwa prednison kemungkinan akan diperlukan selama 6 bulan
atau lebih. Jika respon neuritis terhadap prednison tidak cepat, disarankan untuk beristirahat,
menguatkan dengan cara membidai ekstremitas yang terkena.
Pada ENL (lihat Kotak 186-2), thalidomide (lihat Bab. 236) efektif pada secara dramatis
efektif pada sebagian besar pasien jika tersedia dan tidak kontraindikasi dengan efek
teratogeniknya. Dosis yang dibutuhkan berkisar lebih dari satu kali pemberian besarnya. Kami
biasanya memulai dengan 100 sampai 200 mg pada malam hari dan, jika hanya efektif sebagian,
kami mungkin menambahkan prednison sekitar 0.5 samapi 1.0 mg/kg, penurunan prednison
setelah lebih dari 6 samapi 8 minggu. Alternatif lain, kami meningkatkan dosis thalidomide
sampai mencapai efek terapetik atau toksik, mencapai sebesar 600 mg pada saat tidur.
Thalidomide diturunkan perlahan-lahan berdasarkan penurunan gejala sistemik atau morbiditas
lesi kulit tetapi bukan hilangnya lesi kulit. Jika thalidomide tidak dapat digunakan, mungkin
kortikosterodi diperlukan. Seseorang telah menemukan kegunaan penatalaksanaan denagn agen
anti-inflamasi non-steroid, clofazimine, atau pentoxifylline, tetapi mengecewakan kami.

EFEK PERBURUKAN PENGGUNAAN OBAT PADA LEPRA

24
Reaksi perburukan dapsone (lihat Bab. 226) pada terminologi pendek meliputi sindrom dapsone,
yang jarang, keadaan seperti infeksi mononukleosis berpotensi fatal, terdapat tiga jenis anemia
hemolitik, hampir semua dikarenakan pengaruh membran secara langsung, tidak umum
dikarenakan defisiensi glucose-6-phospate, dan jarang dari respon idiosinkrasi. Pada penggunaan
jangka panjang, dapsone berkaitan dengan neuropati perifer, biasanya bersamaan dengan
komponen sensori, dan jarang, supresi sumsum tulang, khususnya agranulositosis.
Masalah serius pada penggunaan rifampisin adalah hepatotoksik. Urine berwarna merah
merupakan tanda tetapi biasa. Sebagi penginduksi P 450, rifampisin mungkin menurunkan
pengaruh obat lain, sebagai contoh kontrasepsi oral dan kortikosteroid. Penggunaan sekali
sebulan jarang menyebabkan hemolosis beratdan gagal ginjal akut.
Clofazimine menyebabkan penghitaman kulit yang disebabkan clofazimine itu sendiri
dan dari pigmentasi ceroid-lipofuscin jangka panjang (lihat Gbr. 186-10.22 pada edisi on-line).59
Pada dosis yang biasa 50 sampai 100 mg per hari, biasa terdapat intoleransi gastrointestinal, kulit
kering, dan ichthyosis dapatan. Pemberian jangka panjang dosis besar dapat menyebabkan
enteropati baru sekunder terhadap akumulasi obat pada mukosa dan limfonodus usus. Akumulasi
pada lien dapat mengawali terjadinya ruptur.
Thalidomide (lihat Bab. 236), terkenal karena teratogenik, dapat menyebabkan konstipasi
dan pusing. Neuritis, efek samping umum pasien lepra, tampaknya jarang pada pasien ENL.
Intoleransi idiosinkrasi tidak umum.
Penggunaan minocycline jangka panjang mungkin dibatasi oleh hiperpigmentasi, lebih
umum pada lepra dibandingkan akne, mungkin berkaitan dengan akumalasi makrofag yang
banyak pada lepra. Kami telah melihat hiperpigmentasi dan hiperpigmentasi yang hebat pada
lesi, biasanya pada tungkai atau kaki (lihat Gbr. 186-10.23 pada edisi on-line).
Kortikosteroid, sebagai tambahan pada efek sampingnya yang telah benar-benar
diketahui, juga dapat menimbulkan eksaserbasi lesi yang sudah ada, contohnya, tuberkulosis,
hepatitis B, dan beberapa kondisi parasit.

PENCEGAHAN
Protokol yang diusahakan untuk mengontrol lepra dengan menggunakan vaksinasi biasanya
mengandung basil Calmette-Guerin saja, basil Calmette-Guerin hidup yang dikombinasikan
dengan M. lepra yang mati, atau M. lepra yang mati saja.60 Sebagian besar penelitian

25
mendukung penurunan insiden lepra, secara kasar sepertiga kasus tuberkulosis, kemungkinan
lebih sedikit pada lepramatosa. Pengawasan terbaru bahwa antigen lipid dan lipoglycan
mempresentasikan sel T (CD4-, CD8-, CD3+) oleh sel CD1+ membuka akan seluruhnya protokol
vaksinasi baru.61 Pencegahan lain telah mengecewakan, seperti isolasi pasien atau terapi kontak
pasien dengan antimikrobial.

26

Anda mungkin juga menyukai