Anda di halaman 1dari 42

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA

Diajukan untuk mencapai kompetensi mata kuliah Surveilans Kesehatan

Dosen Pengampu: Andy Muharry, S.K.M., M.P.H.

Disusun oleh:

Neng Nurlaela Sari 174101097

Dian Selviana 174101098

Talitha Duhaemi 174101099

Kelas/Angkatan: C/2017

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SILIWANGI

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT Dzat yang maha mengetahui
dan mengurusi seluruh makhluk-Nya, karena atas rahmat dan hidayah-Nya serta
kemudahan dari-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga tepat pada waktunya.
Makalah ini ditulis dengan menggunakan berbagai aspek dari
pembelajaran Surveilans mulai dari mengumpulkan data, mengelola data,
menganalisis dan menginterpretasi data hingga memunculkan saran dalam
menangani masalah KDRT tersebut.
Penyelesaian laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan semua
pihak, mulai dari tahap awal hingga selesai. Untuk itu, melalui tulisan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andy Muharry, S.K.M., M.P.H. sebagai
Dosen Pengampu Mata Kuliah Surveilans Kesehatan serta semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Ibarat “tiada gading yang tak retak”, maka laporan ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan, cara penyajian, dan bahasa. Namun
demikian, kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Tasikmalaya, September 2019

(Tim Penyusun)

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................2
C. Tujuan ......................................................................................................2
D. Manfaat....................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4


A. Definisi KDRT ........................................................................................4
B. Bentuk-Bentuk KDRT .............................................................................4
C. Jenis-Jenis KDRT ....................................................................................6
D. Karakteristik KDRT ...............................................................................7
E. Faktor Penyebab KDRT ..........................................................................9
F. Riwayat Alamiah KDRT .......................................................................11
G. Tanda dan Gejala KDRT .......................................................................12
H. Orang Yang Beresiko KDRT ................................................................13
I. Faktor Risiko KDRT .............................................................................14
J. Rumah sebagai Tempat KDRT..............................................................17
K. Prevalensi KDRT ...................................................................................18
L. Kekerasan Seksual terhadap Perempuan ...............................................25
M. Rekomendasi Penanganan .....................................................................33
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................36
A. Kesimpulan ............................................................................................36
B. Saran ......................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan Korban Kekerasan Tahun


2007-2018 ..............................................................................................................18
Gambar 2.2 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan berdasarkan Ranah Tahun
2017 ........................................................................................................................20

Gambar 2.3 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan Berdasarkan Jenis


Kekerasan ...............................................................................................................21

Gambar 2.4 Kekerasan terhadap Perempuan menurut Ranah Tahun 2018 ..........22
Gambar 2.5 Jenis KTP di Ranah KDRT ..............................................................23
Gambar 2.6 Jenis KtP di Ranah KdRT/RP berdasarkan Lembaga Layanan ........24
Gambar 2.7 Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT ....................................25
Gambar 2.8 Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT Berdasar Lembaga .....26
Gambar 2.9 Pelaku Kekerasan Seksual di Ranah KDRT .....................................27
Gambar 2.10 Usia Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual ..................................28
Gambar 2.11 Pendidikan Korban dan Pelaku di Ranah KDRT ..........................28
Gambar 2.12 Profesi Korban dan Pelaku di Ranah KDRT ..................................29
Gambar 2.13 Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dengan Disabilitas 30
Gambar 2.14 Ranah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan ................................31
Gambar 2.15 Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dengan Disabilitas ..........31
Gambar 2. 16 Jenis Disabilitas Perempuan Korban Kekerasan ...........................32
Gambar 2.17 Jenis Kekerasan Seksual Perempuan dengan Disabilitas ...............32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah tangga merupakan komunitas terkecil dari suatu masyarakat.
Rumah tangga yang bahagia, aman, dan tentram menjadi dambaan setiap
orang. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup
rumah tangga untuk melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh
agama dan teologi kemanusiaan. Hal ini penting ditumbuh kembangkan
dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan hal
tersebut, bergantung pada setiap orang dalam satu lingkup rumah tangga,
terutama dalam sikap, perilaku dan pengendalian diri setiap orang di lingkup
rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu, jika sikap, perilaku dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol.
Pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup
rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara (state) wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku.
Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) di Indonesia
merupakan fenomena gunung es dimana angka yang dipublikasikan bukan
merupakan gambaran dari keseluruhan kasus yang sebenarnya terjadi.
Layaknya gunung es, kasus-kasus yang terlihat selama ini hanyalah kasus-
kasus yang berada dipuncaknya, atau dengan kata lain kasus-kasus yang
diangkat saja.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) meluncurkan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
2018 (CATAHU 2019) di Jakarta Selatan pada Rabu (6/3/2019). Di dalam
CATAHU 2019, Komnas Perempuan mencatat 406.178 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 naik
dari tahun sebelumnya yang terdapat 348.466 kasus. Kasus kekerasan

1
2

terhadap perempuan ini tersebut terdiri dari 13.568 kasus yang ditangani oleh
209 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi, serta
sebanyak 392.610 kasus bersumber pada data kasus atau perkara yang
ditangani oleh Pengadilan Agama.
Kasus KdRT masih menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
diperbincangkan, karena dari tahun ketahun tindak KdRT masih tergolong
cukup tinggi. Padahal di Indonesia sendiri Undang- Undang no. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKdRT), telah
disahkan untuk melindungi korban dari berbagai tindak KdRT. Namun
nyatanya meskipun undang-undang ini telah disahkan, tidak mampu untuk
mengontrol jumlah kasus KdRT yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Maka dari itu perlunya penggalian informasi yang lebih mendalam mengenai
kasus KdRT supaya dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap kasus
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga?
2. Bagaimana karakteristik Kekerasan dalam Rumah Tangga?
3. Apa saja faktor penyebab seseorang melakukan KdRT?
4. Bagaimana data prevalensi kasus KdRT di Indonesia?
5. Bagaimana upaya penanganan dan pegendalian terhadap kasus KdRT?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang hendak dicapai dalam
makalah ini adalah:
1. Untuk memahami kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kasus KdRT.
3. Untuk mengetahui data prevalensi dan perkembangan kasus KdRT di
Indonesia.
4. Untuk merekomendasikan saran pengendalian kasus KdRT dalam berbagai
aspek.
3

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
a. Melalui tugas makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mulai
menerapkan ilmu yang didapat dari perkuliahan dalam menangani
masalah KdRT secara langsung dengan menentukan pemecahan
masalah kesehatan yang dapat dilakukan di masyarakat.
b. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan masalah dalam masyarakat.

2. Bagi Masyarakat
Menambah informasi dan pengetahuan mengenai pemecahan masalah
kesehatan masyarakat khususnya mengenai masalah Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau
pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya:
Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas
seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup
ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan
mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya (Rochmat
Wahab, 2006).
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada
pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup
rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
(mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Bentuk-Bentuk KDRT dilihat dari segi subyek dan obyeknya, KDRT
dapat terjadi dengan beberapa konteks antara lain (Pradipta, 2013:36):

4
5

1. Kekerasan pada suami terhadap istri


Suami merasa berhak untuk memaksakan kehendak kepada istri sebab ia
adalah pemimpin dalam rumah tangga. Implikasi yang mucul adalah
perilaku tirani dan kesewenang-wenangan suami atas istri dan anak-
anaknya. Tak jarang dijumpai seorang kepala rumah tangga memukul istri
atau anak-anak, atau pembantunya, hanya gara-gara alasan yang amat
sederhana.
2. Kekerasan istri terhadap suami
Kekerasan dalam rumah tangga tidak mengenal jenis kelamin. Kekerasan
bisa terjadi dari istri terhadap suami. Kekerasan psikologis terjadi misalnya
tatkala istri melontarkan kata-kata kasar dan kotor kepada suami. Istri
menteror suami dengan ancaman-ancaman dan ungkapan yang menyakitkan
hati. Mungkin juga istri melakukan tindakan-tindakan paksa terhadap harta
benda suaminya yang ia tidak memiliki hak atasnya. Termasuk melakukan
tindakan penyelewengan seksual atau perselingkuhan yang dengan sengaja
ditampakkan di depan mata.
3. Kekerasan orang tua kepada anak-anak
Kekerasan fisik terjadi tak kala orang tua sering main pukul terhadap anak-
anak. Hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang tidak prinsip, orang tua
menjadi emosi dan menghukum anak dengan tindakan keras. Tak jarang
dijumpai ada anak menjadi cacat seumur hidup karena penyiksaan orang
tua, atau bahkan menjadi mati teraniaya.
4. Kekerasan anak kepada orang tua
Banyak pula dijumpai, anak-anak menjadi pelaku kekerasan baik secara
fisik, seksual maupun psikologis terhadap orang tuanya. Berawal dari
perbedaan pendapat, atau dari keinginan yang tidak dituruti, atau dari
pembagian serta perlakuan yang tak adil dari orang tuanya, anak menjadi
berang dan menganiaya orang tuanya sendiri. Bahkan ada yang sampai
menyebabkan kematian orang tua. Contohnya adalah anak menghujat,
mencela, berkata kasar dan kotor kepada orang tuanya, anak mengancam
akan melarikan diri dari rumah, mencederai orang tua, dan berbagai
6

ancaman lainnya karena ingin memaksakan kehendaknya sendiri terhadap


orang tua.
5. Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
Karena posisi pembantu rumah tangga yang sering dipandang sebelah mata,
dalam kehidupan masyarakat kita banyak ditemukan bentuk-bentuk
kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, khususnya pembantu
perempuan. Seperti penyiksaan fisik, pemukulan, pelecehan seksual,
perkosaan, serta kekerasan psikologis seperti kata-kata hinaan, dan
ancaman-ancaman lain.

C. Jenis-Jenis KDRT
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka,
rasa sakit, atau cacat pada istri hingga menyebabkan kematian. Selanjutnya
yang termasuk dalam bentuk kekerasan fisik adalah:
a. Menampar;
b. Memukul;
c. Menarik rambut;
d. Menyulut dengan rokok;
e. Melukai dengan senjata;
f. Mengabaikan kesehatan istri
2. Kekerasan psikologis
Kekerasan psikologis/emosional adalah suatu tindakan penyiksaan secara
verbal (seperti menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan
menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya
kemampuan untuk bertidak dan tidak berdaya.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap
perempuan, baik terjadi persetubuan atau tidak, dan tanpa memperdulikan
hubungan antara pelaku dan korban. Menurut Budi Sampurna, (2003) dalam
Pradipta (2013:46), kekerasan seksual meliputi:
a. Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;
7

b. Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau


tidak disetujui istri;
c. Pemaksaan hubungan ketika istri sedang tidak menghendaki, istri sedang
sakit, atau menstruasi; dan
d. Memaksa istri berhubugn seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi
pelacur, dan sebagainya.
4. Kekerasan ekonomi/penelantaran rumah tangga
Kekerasan ekonomi / penelantaran rumah tangga dapat diindikasikan
sebagai kekerasan ekonomi yaitu tidak memberi nakfah kepada istri,
memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol
kehidupan istri, atau membiarkan istri bekerja kemudian penghasilannya
dikuasai oleh suami.
5. Ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
D. Karakteristik KDRT
Pelaku adalah seseorang atau beberapa otrang yang melakukan tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga tidak terbatas
pada usia tingkat pendidikan, agama, status sosial-ekonomi, suku, kondisi
psikologi, maupun hal-hal lain.
Perempuan sering mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik
dalam kaitannya dengan peran sebagai istri atau anggota keluarga lain.
Meskipun demikian, KDRT merupakan satu kekerasan yang sanggat sulit
diungkap karena konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai
masalah internal keluarga yang tidak boleh di campuri oleh orang lain, pelaku
atau korban sanggat sering menutupi kejadian yang sesungguhnya dari orang
lain dengan alasan alasan yang berbeda.
Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki
persamaan dalam hal latar belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang
berkaitan dengan tingkah laku agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga berasal dari keluarga yang biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan
sehari-harinya, karenanya pelaku belajar dari keluarganya dan pelaku
8

menganggap bahwa kekerasan sebagai tumpahan frustasi dan merupakan


bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat di terima.
Salah satu karakteristik penting pelaku kekerasan dalam lingkup rumah
tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang suami atau laki laki sering
dimemiliki anggapan bahwa mereka harus menjadi penguasa, mengambil
keputusan, orang nomor satu. Adanya kemungkinan ia tidak dapat atau sulit
mencapai tuntutan tersebut dapat menjadi penyebab penganiayaan kepada
pihak yang lebih lemah sebagai bentuk mekanisme pertahanan dirinya.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga, korban kekerasan yang dapat
teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembaga
yang mereka anggap dapat menyelesaikan masalah yang sedang di hadapi.
Karakteristik perempuan korban KDRT biasanya tampil sebagai sosok yang
sangat pasif, menunjukan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan, terkesan
sangat emosional (labil, banyak menangis,histeris) atau sebaliknya terkesan
sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiran – pemikirannya sendiri.
Studi terhadap perempuan-perempuan korban KDRT menunjukan bahwa
perempuan dengan riwayat mengalami kekerasan dalam rumah tangga menjadi
cenderung sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri
dari teman – teman dan keluarganya karena masalalu dan bersalah. Perempuan
korban KDRT akan menunjukan respon penyelesaian sosial yang canggung.
Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya.
1. Karakteristik korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah
sebagai berikut:
a. Mempunyai penilaian terhadap diri sendiri (self esteem) yang rendah,
sehingga cenderung pasrah, mengalah.
b. Percaya pada semua mitos yang memaklumi sikap kasar suami terhadap
istri.
c. Tradisionalis, percaya pada keutuhan keluarga, stereotype feminine.
d. Merasa bertanggung jawab atas kelakuan suaminya.
e. Merasa bersalah, menyangkut terror dan kemarahan yang dirasakan.
f. Berwajah tidak berdaya, tetapi sangat kuat dalam menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya.
9

g. Stress yang dideritanya menimbulkan keluhan fisik tertentu (sakit kepala,


gangguan pencernaan, dan sebagainya).
h. Menggunakan seks sebagai cara untuk membina kelangsungan hubungan
dengan suami.
i. Diperlakukan seperti “anak kecil ayah” (pantas untuk dimarahi, dihukum,
dan sebagainya).
j. Yakin bahwa tidak ada orang lain yang mampu menolong
penderitaannya.
2. Karakteristik pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, yaitu
sebagai berikut:
a. Mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem) yang sangat
tinggi, sehingga muncul sikap yang sangat berkuasa.
b. Percaya pada mitos tentang kewajaran seorang laki-laki yang lebih
mendominasi istri.
c. Tradisionalis, percaya pada superioritas laki-laki, stereotype sifat
maskulin.
d. Menyalahkan orang lain sebagai pemicu kemarahannya.
e. Memiliki kecemburuan yang berlebihan, sehingga mudah curiga.
f. Tampil dengan kepribadian ganda.
g. Menjadikan stress sebagai alasan untuk mengasari istrinya.
h. Menggunakan seks sebagai bentuk agresi yang seringkali digunakan
untuk mengatasi ketidakberdayaannya.
i. Menderita kekerasan di masa kecilnya.
E. Faktor-Faktor Penyebab KDRT
Berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4
(empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap
perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor individu, faktor
pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.
1. Faktor individu perempuan
Jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui
kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang
menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar
10

mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan


yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan
faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan
suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan
terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang
suami/pasangan lebih dahulu.
2. Faktor pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34
kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu
juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan
lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih
besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami
menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak
menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan
kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah
minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka
mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.
Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak
pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang memiliki suami
pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6%
mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan
fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami
kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8%
11

mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang


pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi
ini beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.
3. Faktor ekonomi
Perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat
kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.
Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin
memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek
ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan
pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling
tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah
buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih
tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan
rumahtangga.
4. Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya
kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi
kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka
yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan
memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah
perdesaan.
F. Riwayat Alamiah KDRT
Kekerasan pada anak akan berpengaruh pada masa dewasa.
Kebanyakan anak-anak korban kekerasan akan menjadi orang-orang dewasa
yang rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis, hingga
akhirnya beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) atau relasi intim yang mereka jalin ketika dewasa (Robinson, 2003).
12

Hal ini juga serupa dengan hasil temuan dalam penelitian Margaretha,
Nuringtyas, dan Rachim (2013), bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara trauma masa kanak-remaja dengan tingkat agresivitas masa dewasa.
Pada dasarnya, dampak perilaku buruk pada korban kekerasan juga
dipengaruhi cara mereka mengatasi pengalaman trauma mereka. Seperti yang
dijelaskan Popescu, Drumm, Dewan dan Rusu (2010), bahwa menjadi saksi
kekerasan di masa kanak-kanak akan menjadi prediktor pelaku atau korban
kekerasan selanjutnya di masa dewasa.
G. Tanda dan Gejala
1. Emosional
Kekerasan emosional dapat menyebabkan korban tidak berdaya, putus
asa atau kehilangan harapan. Mereka mungkin berpikir bahawa mereka
tidak akan keluar dari kendali pelaku kekerasan. Beberapa kekerasan
emosional juga dapat membuat korban merasa tidak diinginkan dan tidak
ada orang lain yang akan menyayangi mereka selain dari pelaku kekerasan.
Biasanya, korban dari kekerasan mudah mengalami kelainan mental, seperti
depresi, gangguan makan atau gangguan tidur. Tidur mereka sering
terganggu karena perasaan was-was yang konstan di mana mereka tidak
dapat bersantai dengan penuh.
2. Menyendiri atau mendadak pendiam
Korban kekerasan cenderung pendiam dan menarik diri dari
masyarakat. Jika seseorang mengalami perubahan pada kepribadian mereka,
dari orang yang suka bersosialisasi dan periang menjadi seseorang yang
mengisolasi diri sendiri, hal tersebut dapat menjadi pertanda dari kekerasan
dalam rumah tangga. Mereka mungkin sering terlambat saat kerja atau
pertemuan, atau membatalkan janji secara mendadak. Bahkan mereka dapat
memutus kontak dari teman-teman dan anggota keluarga serta mengisolasi
diri mereka dari orang-orang terdekat.
3. Tanda tanda ketakutan
Korban mungkin tidak menceritakan tindak kekerasan. Korban akan
menyebutkan pelaku kekerasan “moody” atau “mudah marah”. korban juga
mungkin mengatakan bahwa pasangan mereka menjadi pemarah setelah
13

minum alkohol, sebagai contoh. Korban akan merasa tidak nyaman apabila
berada jauh dari rumah. Mereka kaku dan malu saat berbincang-bincang.
Mereka juga merasa cemas dalam berusaha menyenangkan pasangan
mereka. Kadang, apabila berada bersama dengan pelaku kekerasan, korban
merasa sangat ketakutan di mana ia tidak dapat bertindak atau mengambil
keputusan.
4. Tanda tanda dikendalikan
Korban mungkin telah menyerahkan membiarkan hidup mereka
dikontrol oleh pelaku kekerasan tersebut. Mereka takut berpergian atau
mengambil keputusan tanpa izin. Jika seseorang adalah korban dari
kekerasan, ia akan selalu meminta izin sebelum berpergian atau bertemu
orang lain. Korban mungkin menyebutkan pasangannya “sedikit cemburu”
atau “sedikit posesif”. Kendali dari pelaku juga berlaku pada aspek lainnya
seperti hubungan dan keuangan. Mungkin korban dalam status ekonomi
rendah sehingga mungkin menyebutkan bahwa pasangan mereka yang
mengatur keuangan dan mereka perlu memperhitungkan setiap pengeluaran.
Hal ini membuat korban lebih mudah dikendalikan dan bergantung pada
pelaku. Pelaku kekerasan mungkin sering menuduh korban memiliki
hubungan lain.
H. Orang Yang Beresiko
Kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga berasal dari negara
yang memiliki ekonomi rendah (Banerjee, Ferrara, & Orozco, 2019). Namun,
terlepas dari hal tersebut, siapapun dapat menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Penelitian yang dilakukan oleh GarciaMoreno dkk. (2006) menemukan
bahwa wanita muda, khususnya usia 15-19 tahun, memiliki tingkat risiko yang
tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan seksual, atau keduanya pada
semua keadaan. Secara lebih lanjut, Garcia-Moreno dkk. (2006) memaparkan
bahwa 48% wanita pada masyarakat kota Bangladesh yang berusia 15-19 tahun
melaporkan mengalami kekerasan fisik dan seksual, atau keduanya. Persentase
ini jauh lebih tinggi dibandingkan persentase wanita usia 45-49 tahun yang
14

melaporkan mengalami kekerasan fisik dan seksual, atau keduanya, yaitu


sebanyak 10%.
Sejalan dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh
Mantiri, Siwu, dan Kristanto (2013) menunjukkan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga banyak terjadi pada perempuan yang menikah usia dini (menikah
muda) dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia lebih dewasa.
Penelitian ini juga menunjukkan kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak
terjadi pada usia 15-20 tahun (68.52%), kemudian diikuti oleh usia 21-25 tahun
(24.07%), rentang usia 26-30 tahun (5.55%), dan rentang usia lebih atau sama
dengan 30 tahun (1.86%). Menurut Lujeng, Sukohar, Hutaharuk, dan Putra
(2016) pernikahan dini merupakan salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh
Dafeni, Mawarni, Nugroho, dan Dharmawan (2017) pada 100 orang wanita
usia subur menunjukkan bahwa wanita dengan pendidikan lanjut atau
pendidikan tinggi lebih banyak mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dibandingkan dengan perempuan yang memiliki tingkat pendidikan lebih
rendah.
I. Faktor Risiko KDRT
Di dalam rumah tangga ketegangan maupun konflik merupakan hal
yang sudah biasa terjadi. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran,
bahkan memaki merupakan hal yang umum terjadi dalam kehidupan rumah
tangga. Kejadian-kejadian seperti itulah yang memicu ketidakharmonisan
diantara anggota keluarga. Tentunya tidak ada akibat jika tidak ada sebab
yang melatarbelakangi. Begitu juga dengan tindak kekerasan yang terjadi
dalam lingkup rumah tangga, yang lebih dikenal dengan sebutan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT).
Lingkup rumah tangga yang dipandang sebagai lingkungan yang sarat
akan kedamaian dan kasih sayang, ternyata juga menyisakan sekelumit kisah
yang memilukan dan menimbulkan kepedihan. Melalui proses pengkajian
yang mendalam mengenai wacana kekerasan domestik, yaitu dengan
melakukan wawancara dengan korban yang telah mengalami kekerasan
15

dalam rumah tangga (survivor), ternyata terdapat beberapa faktor risiko yang
melatarbelakangi seseorang melakukan kekerasan, diantaranya adalah:
1. Perselingkuhan
Dalam hal ini perselingkuhan yang dimaksud adalah
perselingkuhan yang dilakukan oleh suami dengan perempuan lain ataupun
suami menikah atau mempunyai istri lagi. Perselingkuhan ini juga menjadi
salah satu faktor seseorang melakukan tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Perempuan yang suaminya memiliki hubungan dengan perempuan
lain (extra marital relationship) mengalami trauma psikologis karena dua
faktor, yaitu perempuan merasa tidak dicintai dan posisinya diambil alih
oleh orang lain serta suami menjadi berubah, yang menunjukkan ada
sesuatu yang kurang pada dirinya sebagai pasangan dan melihat dirinya
sebagai perempuan yang sudah tidak menarik lagi.
2. Masalah ekonomi
Kepala keluarga (suami) mempunyai tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Nafkah merupakan suatu hak
yang dimiliki seorang istri atau anak kepada ayahnya. Namun bila hal itu
tidak diindahkan (dilakukan) oleh seorang ayah maka dapat menjadi suatu
bentuk kekerasan ekonomi, dimana hal ini dapat menjadi penyebab
terjadinya konflik (ketidakharmonisan) dalam keluarga. Terkadang laki-
laki (suami) tidak merasa bertanggung jawab dalam memberikan nafkah
kepada keluarganya. Hal tersebut dapat menyebabkan keluarganya hidup
dalam keterbatasan materi. Ekonomi mereka akan sangat terhimpit
ditambah juga mereka harus menghidupi anaknya. Keterbatasan yang
demikian tidak mendorong suami untuk bekerja lebih keras guna
kelangsungan hidup keluarga. Oleh karenanya, perempuan (istri) ataupun
keluarga pihak istri yang mengambil alih peran suami dengan cara
berperan ganda, yaitu sebagai pencari nafkah dan juga sebagai ibu rumah
tangga. Beban kerja ganda yang harus dipikul perempuan (istri) tersebut
merupakan salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang terjadi
dalam keluarga.
16

3. Budaya patriarkhi
Menurut Bhasin, secara harfiah patriarkhi berarti sistem yang
menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian
digunakan untuk menjelaskan suatu masyarakat, tempat kaum laki-laki
berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak. Hal senada juga dikatakan
oleh Usman bahwa perjanjian sosial yang mengatur peranan laki-laki dan
perempuan dibingkai oleh sebuah sistem patriarchal, yang lebih banyak
menempatkan laki-laki pada posisi kunci atau pada peranan yang lebih
dominan. Sistem tersebut kemudian menempatkan status dan peranan
perempuan di bawah perwalian laki-laki.
Dalam masyarakat patriarkhi, relasi gender cenderung lebih
memberi tempat yang utama pada laki-laki, sehingga bila dicermati secara
teliti maka dalam banyak bidang kehidupan menempatkan perempuan
pada posisi subordinasi. Laki-laki dianggap lebih berkuasa dan di atas
segalanya dari seorang perempuan. Dalam lingkup domestik, anggapan ini
menimbulkan sikap adanya ketergatungan perempuan (istri) kepada suami
serta perempuan merasa dirinya lemah dan tidak berdaya. Hal tersebut
merupakan contoh sah dimana seorang perempua yang tidak mampu
keluar dari jaring kekuasan suami. Keadaan demikian membuat
perempuan selalu berlindung di bawah ketiak suami, dianggap sebagai
bawahan dan warga kelas dua.
4. Campur tangan pihak ketiga
Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami dalam penelitian
Evi, (2009) merupakan salah satu penyebab timbulnya kekerasan antara
suami istri. Keberadaan anggota keluarga lain, khususnya dari pihak
suami, dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap istri dan bukan
sebaliknya mencegah suami untuk bertindak kekerasan terhadap istri.
5. Bermain judi
Judi merupakan sesuatu yang dilarang, baik oleh hukum maupun
agama. Bermain judi bagi sebagian kalangan memang sesuatu yang
mengasyikkan, kadang malah membuat segalanya menjadi lupa. Salah satu
kasus pada penelitian Evi, (2009) Bermula dari terlalu menyukai hobinya
17

yaitu berjudi dan minum-minuman keras, serta berlanjut dengan


penelantaran keluarga, akhirnya rumah tatangganya berujung pada
perpisahan.
6. Perbedaan prinsip
Prinsip menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya)
ataupun dasar. Seseorang yang telah memiliki dasar dalam berperilaku
maka akan selalu berpegang pada prinsip yang diyakininya. Apabila ada
orang lain yang mencoba untuk menggoyahkan prinsip tersebut maka
seseorang akan tersinggung dan tidak terima. Tidak terkecuali hubungan
antara suami istri dalam rumah tangga. Walaupun mereka telah menyatu
dalam ikatan pernikahan, namun tidak dapat dipungkiri jika keduanya
memiliki prinsip yang berbeda. Perbedaan prinsip inilah yang dapat
menjadikan pertengkaran (kekerasan dalam rumah tangga).

J. Rumah sebagai Sasaran Tempat KDRT


Rumah, dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman
dan nyaman untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh
petualangan dan kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak
dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum
masyarakat beranggapan, bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah.
Maka ketika rumah dituding sebagai tempat berlangsungnya kekerasan,
semua orang memberikan respons yang beragam.
Karena KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan
relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam
konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestic cenderung
membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT
seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang
yang terlihat.
18

K. Prevalensi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)

Gambar 1. 2 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan Korban


Kekerasan Tahun 2007-2018
Data Catatan Tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan yang
dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) pada tahun 2019 menunjukkan jumlah laporan kekerasan pada
2018 mencapai 406.178 kasus, naik 16,5% dibanding jumlah laporan pada
2017 yang berjumlah 392.610 kasus.
Dari 13.568 laporan yang dianalisis oleh Komnas Perempuan,
kekerasan dalam ranah privat yang mencakup hubungan dalam keluarga
(KDRT) dan dalam hubungan pribadi seperti pacaran memiliki risiko yang
besar dengan jumlah kasus mencapai 71 persen atau 9.637 kasus.
Di antara kasus kekerasan seksual dalam ranah privat, jenis kekerasan
yang paling banyak terjadi adalah inses, perkosaan, pencabulan,
persetubuhan, eksploitasi seksual, dan perkosaan dalam perkawinan.
Komnas Perempuan mencatat angka inses pada 2018 berjumlah 1.071,
turun dibanding 2017 yang mencapai 1.210. Namun yang harus diperhatikan
adalah pelaku yang kebanyakan adalah ayah kandung, ayah tiri, atau paman
yang menyasar anak perempuan.
19

Komnas Perempuan juga mendapati temuan yang menunjukkan


peningkatan laporan kasus perkosaan dalam perkawinan pada 2018 sejumlah
195 kasus dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 172 kasus.
Peningkatan laporan ini disebabkan oleh meningkatnya keberanian korban
untuk melaporkan kasus. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada kesadaran
korban bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan merupakan
pemerkosaan yang bisa ditindaklanjuti sesuai koridor hukum.
Selain kekerasan dalam hubungan keluarga, Komnas Perempuan juga
mencatat peningkatan laporan kekerasan dalam pacaran (KDP) dengan
bentuk yang beragam, misalnya kekerasan dalam bentuk siber yaitu korban
diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video korban yang
bernuansa seksual di media sosial jika korban menolak berhubungan seksual
dengan pelaku, atau korban tidak kembali berhubungan dengan pelaku.
Kekerasan seksual berbasis siber lainnya juga mencakup objektifikasi
perempuan untuk tujuan prornografi. Menurut Mariana dalam Suara.com,
2018, kasus seperti ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah
beban psikis korban, bahkan di antaranya banyak yang percobaan bunuh diri.
Temuan lain yang dipaparkan Komnas Perempuan adalah kasus kekerasan
seksual pada perempuan disabilitas. Perempuan yang sering menjadi korban
adalah penyandang tunagrahita dan disabilitas intelektual.
1. Catahu 2017
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 348.446
kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia baik yang
dilaporkan maupun di tangani sepanjang tahun 2017. Data kasus tersebut
adalah komplikasi data kasus riil yang ditangani oleh lembaga layanan
bagi perempuan korban kekerasan baik yang dikelola oleh negara maupun
atas inisiatif masyarakat, termasuk lembaga penegak hukum (Azriana,
2018). Sebanyak 335.062 kasus tersebut bersumber pada data kasus yang
di tangani oleh Pengadilan Agama (PA), 13.384 kasus ditangani oleh 237
lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi.
Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada
mitra pengada layanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon
20

pengembalian mencapai 32% atau 237 formulir. Selain itu dalam Catahu
tersebut, kekerasan perempuan terbagi dalam tiga ranah yaitu ranah
personal/privat, ranah publik/komunitas, serta ranah negara.
2%
247

26%
3528
Ranah privat/personal
Ranah publik/komunitas
Ranah negara
72%
9609

Gambar 2.2 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan berdasarkan Ranah


Tahun 2017
Di tahun 2017, kekerasan tertinggi terjadi di ranah privat/personal.
Data PA menunjukan ada 335.062 kasus kekerasan terhadap istri yang
berujung perceraian. Sementara 13.384 kasus masuk dari lembaga mitra
pengadaayn layanan, dengan kekerasan yang terjadi di ranah
privat/personal sebanyak 71% atau 9.609 kasus. Ranah publik/komunitas
3.528 atau 26% kasus dan 247 atau (1,8%) itu di ranah negara.
Begitu pula data pengaduan langsung ke Komnas Perempun juga
menunjukan trend yang sama, ranah privat/personal menempati posisi
kasus yang paling banyak di adukan yaitu 932 kasus (80%) dari total yang
masuk.
2. Catahu 2018
Dalam Catahu 2018 ranah privat/personal menunjukan hal baru.
Berdasarkan laporan kekerasan yang diterima mitra pengada layanan
terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dan
cukup besar yaitu 2.227 kasus.
21

Sementara angka kekerasan terhadap istri, tetap menempati


peringkat pertama yakni 5.167 kasus. Selain itu, kekerasan dalam pacaran,
disusul kasus kekerasan terhadap anak yaitu 1.873 kasus.

3982

2979

1404
1244

Kekerasan fisik Kekerasan seksual Kekerasan psikis Kekerasan ekonomi

Gambar 2.3 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan Berdasarkan Jenis


Kekerasan

Diranah privat/personal persentase tinggi adalah kekerasan fisik


3.982 kasus (41% ). Kekerasan seksual 2.979 kasus (31%), kekerasan
psikis 1.404 kasus (15%) dan kekerasan ekonomi 1.244 kasus (13%).
Disini, Komnas Perempuan menyebutkan ada hal yang
mengejutkan yaitu untuk kekerasan seksual diranah privat/personal, Incest
(Pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga)
merupakan kasus paling banyak dilaporkan yakni 1.210 kasus. Selanjutnya
kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi
seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest itu, 266 kasus
(22%) dilaporkan ke polisi dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak
160 kasus (13,2%).
Kemudian pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah ini, adalah
pacar dengan jumlah 1.528 orang. Disusul ayah kandung 425 orang,
selebihnya paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung
dam paman, selaras dengan meningkatnya kasus incest.
22

Total kasus yang terjadi di Ranah Publik/komunitas mencapai


angka 3.528 kasus (26%). Kekerasan fisik 466 kasus (13%), kekerasan
psikis 198 kasus (6%) dan kategori khusus trafiking sebanyak 191 kasus
(5%) dan kasus pekerja migran 3 kasus.
Tiga jenis kekerasan paling banyak pada kekerasan seksual dalam
ranah komunitas adalah pencabulan 911 kasus, pelecehan seksual 708
kasus dan perkosaan 669 kasus.
Sebanyak 247 kasus kriminalisasi dalam konflik Sumber Daya
Alam termasuk diantaranya penggusuran di wilayah Bali dan Jabar. Jenis
kasus ini masuk dalam ranah Negara.
3. Catahu 2019
Dalam Catahu 2019, Komnas Perempuan membuat kategorisasi
berdasarkan ranah pribadi, komunitas dan negara untuk menggambarkan
bagaimana kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam hubungan-
hubungan kehidupan perempuan dengan lingkungannya, baik secara
pribadi, di ruang kerja atau di komunitas dan di ruang publik, maupun
negara. Melalui kategorisasi ini dapat menjelaskan ranah mana yang
paling berisiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Diagram di bawah ini masih menunjukkan ranah yang paling
beresiko bagi perempuan, yaitu kekerasan dalam ranah personal, yaitu
diantaranya perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT), dan dalam
hubungan personal (hubungan pribadi/ pacaran) yaitu sebesar 71% atau
sebesar 9.637 kasus.

Gambar 2.4 Kekerasan terhadap Perempuan menurut Ranah


Tahun 2018
23

Ranah pribadi secara konsisten menempati angka tertinggi KtP


yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir dan tidak sedikit diantaranya
mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi terjadi dalam
berbagai bentuk. Melalui bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan
perempuan dengan orang terdekat, dapat menggambarkan kekerasan yang
terjadi pada korban. Bentuk-bentuk tersebut adalah kekerasan terhadap
istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak
perempuan berdasarkan usia anak (KTAP), kekerasan yang dilakukan oleh
mantan suami dan mantan pacar, kekerasan yang terjadi pada pekerja
rumah tangga, dan ranah personal lainnya.

Gambar 2.5 Jenis KTP di Ranah KDRT


CATAHU tahun 2019 berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun
2017 angka KTAP melonjak pada angka 2.227 kasus namun pada tahun
2018 KTAP yang dilaporkan adalah sebesar 1.417 kasus. KTI tetap
menempati posisi pertama sebanyak 5.114 kasus, di tahun ini KDP
meningkat menjadi 2.073 kasus dibandingkan tahun 2017 sebesar 1.873
kasus. Walau sedikit berbeda pola ini sama seperti tahun lalu dimana
kekerasan terhadap istri (KTI) menempati persentase tertinggi yaitu 53%
(5.114), diikuti kekerasan dalam pacaran (KDP) 21% (2.073).
24

Gambar 2.6 Jenis KtP di Ranah KdRT/RP berdasarkan Lembaga


Layanan
Angka kekerasan dalam pacaran yang terus konsisten tinggi patut
menjadi perhatian. DP3AKB menjadi penyumbang tertinggi kasus
kekerasan di tahun ini terlihat dalam tabel juga menjadi penyumbang
tertinggi data kasus KDP sebanyak 703 kasus, disusul oleh WCC/OMS
sebanyak 323 kasus dan P2TP2A sebanyak 322 kasus. PN dan UPPA
sebagai lembaga penegak hukum juga mencatat angka cukup tinggi untuk
kasus KDP yaitu UPPA sebanyak 296 kasus dan 216 kasus di PN, namun
bila dibandingkan 1.857 kasus KDP yang diterima lembaga layanan selain
PN, kasus KDP yang sampai ke proses pengadilan hanya sebesar 216
kasus atau 10% dari total angka KDP yang dilaporkan. Bahkan lebih
menarik untuk KTI (kekerasan terhadap istri) yang sudah terlindungi oleh
UU PKDRT, kasus yang sampai ke proses pengadilan hanya sebesar 184
kasus (3%) dari total 5.114 kasus yang dilaporkan ke lembaga layanan.
Bila dilihat dari karakteristik usia korban KDP yang ditangani pengadilan
negeri, karakteristik korban dan pelaku diamati pada usia, untuk korban
ada pada kisaran usia 13-18 tahun dan pelaku pada kisaran usia 19-24
tahun, hal ini memperlihatkan banyak kasus-kasus KDP yang sampai ke
PN menggunakan UU Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku.
25

L. Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam Ranah KDRT


Komnas Perempuan menganggap perlunya melihat lebih dalam
tentang bentuk kekerasan seksual apa saja yang dialami korban di ranah
keluarga atau KDRT, dan di ranah personal atau privat, berikut adalah
diagramnya.

Gambar 2.7 Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT


Sama seperti tahun lalu untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/
Relasi personal tertinggi adalah inses (1.071 kasus) di ikuti oleh perkosaan
(818 kasus) dan pencabulan (321 kasus). Pada tahun 2017 temuan yang
mengejutkan adalah angka inses yang tinggi yang mencapai 1.210 kasus, di
tahun ini angka inses menurun menjadi 1.071 kasus.
Sedikit penurunan angka inses ini jangan dilihat hanya dari naik turun-
nya angka, inses menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual yang sulit
dilaporkan oleh korban. Sulit karena menyangkut relasi keluarga dan
biasanya jika korbannya anak perempuan, ibu korban sulit menyoal pelaku
yang notabene adalah suaminya. Bila dilihat dari pelaku inses tertinggi yang
adalah ayah dan paman, bisa dibayangkan bagaimana kesulitan korban
melaporkan kasus-nya karena menjaga nama baik keluarga masih menjadi
budaya yang di Indonesia. Kasus inses dengan pelaku ayah dan paman (lihat
kategori pelaku) sama seperti tahun lalu (Catahu 2018) menunjukkan baik
26

ayah maupun paman adalah dua orang yang belum tentu menjadi pelindung
dalam keluarga.
Untuk melihat lembaga mana dengan angka inses tertinggi yang
dilaporkan dapat dilihat dalam grafik berikut:

Gambar 2.8 Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT Berdasar


Lembaga
seksual dalam bentuk inses ini paling banyak dilaporkan kepada
P2TP2A dan DP3AKB, lalu ke WCC/OMS, PN, UPPA dan RS. Ini berbeda
dari tahun lalu di mana angka inses banyak dilaporkan ke WCC, Kepolisian
(UPPA), P2TP2A, dan Pengadilan Negeri.
Yang menarik di tahun ini angka perkosaan dalam perkawinan
(marital rape) cukup tinggi mencapai 195 kasus dimana pada tahun 2017
angka perkosaan dalam perkawinan sebanyak 172 kasus. Peningkatan
pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan ini patut menjadi perhatian.
Keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan
kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan
adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum. Keberanian
melaporkan kasus yang dialami anak perempuan (inses) dan marital rape
27

kepada lembaga layanan menunjukkan langkah maju perempuan yang selama


ini cenderung menutup dan memupuk impunitas pelaku anggota keluarga.
Jika melihat laporan dari lembaga layanan angka kekerasan seksual
datang paling tinggi dari P2TP2A dan DP3AKB sebanyak 1.586 kasus dan
kedua adalah 515 kasus datang dari WCC/LSM ini menunjukkan kepercayaan
korban kepada lembaga selain lembaga layanan KtP baik berbasis pemerintah
maupun masyarakat. Kekerasan seksual di ranah privat juga mulai dikenali
oleh lembaga pemerintah. Komnas Perempuan memiliki kepentingan untuk
melihat data pelaku kekerasan seksual di ranah rumah tangga dan relasi
personal yang banyak dilaporkan. Berikut adalah diagramnya:

Gambar 2.9 Pelaku Kekerasan Seksual di Ranah KDRT

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam ranah pribadi paling banyak


dilakukan oleh pacar, sementara dalam KDRT menjadi kedua terbesar yaitu
dilakukan oleh ayah kandung, paman,suami, sepupu dan saudara/ kerabat,
sekali lagi hal ini membuktikan bahwa ayah dan paman belum tentu menjadi
pelindung dalam keluarga.
28

1. Karakteristik Korban dan Pelaku


a. Berdasarkan Usia

Gambar 2.10 Usia Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual


Korban dan pelaku di ranah privat/ personal kebanyakan berusia
25-40 tahun. Baik korban dan pelaku terbanyak dalam usia produktif.
b. Berdasarkan Pendidikan

Gambar 2.11 Pendidikan Korban dan Pelaku di Ranah KDRT


Pendidikan terendah pelaku adalah sekolah dasar, sementara
korban ada yang tidak sekolah, pendidikan tertinggi baik korban maupun
29

pelaku lulus perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa


perempuan tetap mengalami kekerasan sekalipun berpendidikan tinggi.
Dengan demikian pandangan perempuan berpendidikan tinggi tidak selalu
menjadi posisi tawar dirinya dalam keluarga, masyarakat ataupun negara.
Data tentang latar belakang pendidikan korban maupun pelaku di atas
untuk menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi
dalam pendidikan rendah ataupun tinggi.
c. Berdasarkan Profesi

Gambar 2.12 Profesi Korban dan Pelaku di Ranah KDRT


Sementara dari data profesi menunjukkan korban paling banyak
sebagai ibu rumah tangga, sementara pelaku sebagai karyawan swasta.
Hampir semua data tersebut tertinggi adalah tidak teridentifikasi, bisa jadi
persoalannya ada pada pendokumentasian atas faktor tersebut atau
masalah administrasi kependudukan yang belum sinkron dengan
pendokumentasian pengaduan kasus.
30

2. Kekerasan Seksual pada Perempuan dengan Disabilitas


Pada tahun 2014 Komnas Perempuan melengkapi formulir
pendataan mengenai kekerasan yang dialami perempuan dengan
disabilitas. Di tahun 2018 ini lembaga mitra/ pengada layanan berbasis
masyarakat dan UPPA Kepolisian mendokumentasikan sebanyak 89
kasus.1 Bila diamati grafik berikut jumlah kasus per provinsi adalah sbb:

Gambar 2.13 Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dengan


Disabilitas
Bila diamati dari grafik jumlah kasus di DIY Jogyakarta sebanyak 47
kasus diikuti oleh DKI Jakarta sebanyak 13 kasus dan disusul Jawa Timur
sebanyak 6 kasus, hal ini memperlihatkan bahwa banyak lembaga layanan di
3 wilayah tersebut yang melayani, mendampingi serta menjalankan proses
hukum menyangkut kekerasan perempuan dengan disabilitas dan
mengirimkan formulir pendataan kembali ke Komnas Perempuan. Namun
bukan pula berarti wilayah-wilayah lain di Indonesia bahwa jumlah kekerasan
terhadap perempuan dengan disabilitasnya sedikit karena seperti kasus KtP
lainnya, angka ini hanya sebagian dari kasus-kasus lain yang tidak dilaporkan
atau puncak dari gunung es.
Dari formulir pendataan yang dikembalikan, berbeda dengan KtP
secara umum ranah kekerasan yang paling banyak terjadi justru di ranah
komunitas sebanyak 55% atau 49 kasus, dimana KDRT/RP menempati angka
40 kasus (45%), persentase dapat diamati pada grafik berikut:
31

Gambar 2.14 Ranah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan


Sedangkan untuk bentuk kekerasan, dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2.15 Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dengan


Disabilitas
Pada kedua ranah bentuk kekerasan yang mendominasi adalah
kekerasan seksual sebanyak 64% (57 kasus) lalu kekerasan psikis sebanyak
20% (18 kasus), kekerasan ekonomi sebanyak 9% (8 kasus) dan kekerasan
fisik sebanyak 7% (6 kasus). Kekerasan terhadap perempuan dengan
disabilitas banyak terjadi pada jenis disabilitas grahita dan intelektual
sebanyak 53 orang, disabilitas wicara 12 orang, disabilitas rungu dan wicara
sebanyak 7 orang, disabilitas rungu 6 orang, disabilitas netra 5 orang,
disabilitas psikososial sebanyak 3 orang, disabilitas fisik 2 orang dan
perempuan dengan bibir sumbing 1 orang.
32

Gambar 2. 16 Jenis Disabilitas Perempuan Korban Kekerasan


Jenis kekerasan seksual yang mendominasi terjadi dalam berbagai
jenis namun yang paling dominan adalah perkosaan sebanyak 35 kasus,
persetubuhan sebanyak 10 kasus, pencabulan sebanyak 9 kasus, pelecehan
seksual 2 kasus dan percobaan perkosaan 1 kasus.

Gambar 2.17 Jenis Kekerasan Seksual Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling menonjol
menimpa perempuan dengan disabilitas, dari laporan lembaga layanan banyak
kasus kekerasan seksual yang sulit diproses secara hukum karena masih
lemahnya dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap perempuan
disabilitas korban kekerasan serta minimnya pemaham tentang kedisabilitasan
di kalangan aparat penegak hukum dan pemerintah. Beberapa lembaga
layanan melaporkan bahwa seringkali kasus-kasus terhenti karena kurangnya
alat bukti, tidak adanya saksi dan keterangan saksi korban dianggap tidak
33

cukup meyakinkan. Minimnya Penerjemah yang memahami bahasa isyarat


juga menjadi kendala tersendiri dalam penanganan kasus.

M. Rekomendasi Penangangana Kasus Kekerasan terhadap Perempuan


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan, bahwa keutuhan
dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai adalah
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan
keutuhan dan kerukunan tersebut tentunya sangat tergantung pada setiap
orang dalam lingkup rumah tangga tersebut, terutama kadar kualitas perilaku
dan pengendalian diri setiap orang yang ada dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan
kuratif dan preventif. Upaya-upaya untuk mencegah, melindungi korban dan
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, maka negara dan
masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan
terhadap pelaku, karena KDRT adalah pelanggaran terhadap hak azasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi lainnya. Prinsip-prinsip dalam penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan antara lain:
1. Kekerasan pada perempuan umumnya banyak terjadi terhadap kaum
perempuan, sebagai akibat kekuasaan yang tidak seimbang antara laki
laki dan perempuan yang terjadi dalam masyarakat. Kekerasan ini
berdampak pada setiap aspek kehidupan perempuan dengan mengurangi
kuasa dan penguasaan perempuan terhadap kehidupannya sendiri. Pada
umumnya perempuan yang berani melaporkan kekerasan terhadap
perempuan terhadap dirinya mengambil resiko akan dipersalahkan
ataupun dikucilkan dari masyarakat sendiri. Mereka juga rentan adanya
kekerasan lebih lanjut dari pelaku semula.
2. Proses investigasi terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan
bertujuan untuk membantu korban kekerasan terhadap perempuan untuk
memperoleh keadilan.
34

3. Harus disadari akan resiko perempuan yang memberikan kesaksian


sehingga sedapat mungkin perlu adanya perlindungan dan keamanan
terhadap mereka. Prinsip-prinsipnya.:
a. Prioritas utama diberikan pada keamanan bagi perempuan yang
menjadi korban dan saksi. Keamanan akan diutamakan dalam dekatan
untuk menerima pengaduan, penetapan lokasi, rekaman, dan ngolahan
hasil penggalian masalah/investigasi.
b. Identitas para saksi dan korban akan tetap dirahasiakan.
c. Nama mereka hanya akan diketahui oleh pemeriksa dan kalau yang
bersangkutan memberi ijin, namanya akan diberikan kepada pihak
tertentu.
d. Para saksi dapat mengendalikan keadaan penggalian
masalahpemeriksaan sepenuhnya. Mereka dapat menolak pertanyaan
apun, dan dapat menghenntikan penggalian masalah pada setiap saat.
e. Para saksi dan korban akan didengarkan dengan penuh penghormatan
Dengan keterbukaan, dan dapat diberi dukungan untuk menuturkan
ceritanya dengan cara yang mereka sendiri tentukan.
f. Perempuan tidak boleh dipersalahkan karena kekerasan yang
dialaminya. Yang bertanggung jawab adalah para pelaku kekerasan
dan mereka yang dengan sadar membiarkan kekerasan berlangsung.
g. Perempuan akan diberi dukungan untuk menemukan sumberdaya
yang dapat menolong mereka menghadapi dampak kekerasan yang
mereka alami.
4. Informasi yang paling kuat dan terandal adalah informasi yang diperoleh
dari perempuan yang bicara langsung dari pengalamannya sendiri. Hal
ini berarti mereka yang menyaksikan kekerasan terhadap perempuan lain
atau korban kekerasan yang dialami sendiri. Kebanyakan mereka merasa
takut untuk bicara dengan petugas, atau rasa malu untuk mengungkapkan
pengalamannya, namun kalau mereka didekati dekan kepekaan dan
empati, mungkin mereka rela memberikan kesaksian, apalagi kalau
mereka sadar behwa kesaksian mereka dapat menolong korban lain.
Informasi lainnya dapat diperoleh dari pihak ketiga atau kesimpulan yang
35

ditarik dari data lain, misalnya melihat perempuan dalam keadaan takut,
berkeringat, menangis, gelisah, pakaian tidak rapi, tapi tidak melihat apa
yang lebih dulu terjadi. Misalnya perempuan korban memang berada di
tempat yang disebutkan, dan pelaku juga berada disana, meskipun tidak
melihat apa yang dilakukan oleh pelaku.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Siapapun memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik oleh orang
lain, sehingga UU PKDRT menjadi harapan dalam rangka menghapus
kekerasan dalam rumah tangga yang masih banyak terjadi di sekitar kita.
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya persoalan milik
perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Perlu keterlibatan laki-laki untuk bersama-sama melangkah dan berbuat
sesuatu untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal lain yang perlu
disadari adalah bahwa pemulihan korban dari dampak kekerasan dalam rumah
tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu,
pencegahan, pendampingan, pemulihan dan penegakan hukum dari tindak
kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditawar lagi pelaksanaannya.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka perlu diambil tindakan tindakan sebagai
berikut:
1. Memberikan pembinaan kepada semua pelaku Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) baik secara kekeluargaan maupun secara adat. Untuk tidak
lagi melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan membuat
perjanjian di hadapan Pemerintah dan tokoh-tokoh adat.
2. Jikalau Pembinaan secara kekeluargaan dan adat tidak menghasilkan
perubahan bagi si pelaku maka harus diambil tindakan tegas dengan
mengajukan ke pihak yang berwajib untuk dilakukan proses hukum.
3. Upaya-upaya untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, maka negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku,
karena KDRT adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi lainnya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Jayanthi, Evi Tri. 2009. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Pada Survivor Yang Ditangani Oleh Lembaga Sahabat
Perempuan Magelang.
(Online):https://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/viewFile/34
17/2902. [21 September 2019. 14.30 WIB]

Kemenpppa. 2018. PEREMPUAN RENTAN JADI KORBAN KDRT, KENALI


FAKTOR PENYEBABNYA. [Online]. Tersedia:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-
rentan-jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya. Diakses pada 20
September 2019.

Kementrian Hukum dan HAM. 2019. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Persoalan Privat Yang Jadi Persoalan Publik. (online):
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasan-
dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-
publik.html. [21 September 2019, 15.00 WIB]

Komnas Perempuan. (2019). CATATAN KEKERASAN TERHADAP


PEREMPUAN TAHUN 2018. [Online]. Tersedia:
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-catatan-
tahunan-catahu-komnas-perempuan-2019. Diakses pada 20 September
2019.

Komnas Perlindungan Perempuan. 2018. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap


Perempuan 2018. (online). Tersedia:
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catata
n%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf
[21 September 2019, 14.45]

Musliminarti, Feri. 2014. Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga


Dalam Presfektif Fiqih Jinayah Dan Undang Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. [Online] .
Tersedia:https://www.google.com/search?q=karakteristik+pelaku+kdrt+d
ilihat+dari+segi+pekerjaannya+&html=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=sch
olart#d=gs_qabs&u=%23p%3DK_iKtp-1UolJ. Diakses pada 23
September 2019.

Rahmita, Nanda Rizki Dan Nisa, Haiyun. 2019. “Perbedaan Bentuk Kekerasan
dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Usia saat Menikah dan Tingkat
Pendidikan”. Jurnal Ilmiah Psikologi. 6(1), 73-84.
Samladi, Lika Aprilia. 2017. “4 Ciri Orang Terdekat Anda Mengalami KDRT”.
[Online]. Tersedia: https://www.google.com/amp/s/hellosehat.com/pusat-
kesehatan/penyakit-mental/ciri-tanda-korban-mengalami-kdrt/amp/.
Diakses pada 23 September 2019.

Setiawan, Chyntia Nathania, dkk. 2018. Faktor – Faktor yang mempengaruhi


Kejadian Kekerasan Dalam Rumah tangga Dan Pelaporan pada Pihak
Kepolisian. Tersedia: [online]
http://www.google.com/search?q=karakteristik+Pelaku+KDRT+dilihat+
dari+segi+pendidikan&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart#d=gs_g
abs&u=%23p%3DT3nN4PhRwLEJ. Diakses pada 23 September 2019.

Timmoria, Iim (2019). Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 Capai


406.178 Kasus, Naik 16,5%. [Online]. Tersedia:
https://kabar24.bisnis.com/read/20190306/15/896985/laporan-kekerasan-
terhadap-perempuan-2018-capai-406.178-kasus-naik-165. Diakses pada
20 September 2019.A

Zafirah, Sitoresmi Banur dan Indrian, Yeniar. 2016. Strategi Koping Korban
Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT). Jurnal Empati. 5(2), 229-235.

Anda mungkin juga menyukai