Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

Subarachnoid Hemoragic
(SAH) Traumatik
Endah Panca Lydia Fatma
1906342116

STASE KEPERAWATAN SPESIALIS BEDAH

GEDUNG A RUANG 5A
RS CIPTO MANGUNKUSUMO - JAKARTA
PERDARAHAN INTRAKRANIAL
Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi yang
potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada
pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh
lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.
1. Epidural Hematoma (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
2. Subdural Hematoma (SDH).

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu
a. Perdarahan subdural akut
SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala
klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta
gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang
otak.
b. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah cedera dan dihubungkan
dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa
minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan- pelan ia meluas,
bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

3. Intracerebral Hematoma (ICH).


Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan
tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak
atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
4. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri
maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruangsubarahnoid.
1. DEFINISI SAH
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai
dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan
dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput
yang membungkus otak (meninges). Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya
pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma
dapat memasuki ruang subarahnoid.
2. ETIOLOGI
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah
ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa
(MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti :
1. Aneurisma sakuler (berry)

Gambar 1. Aneurisma sakular (berry)


Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%),
bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna
(pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan
struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri
komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis
saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).
2. Aneurisma fusiformis

Gambar 2. Aneurisma fusiformis


Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma
fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis
interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis
dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang
besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam
aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intra- aneurismal
terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara
pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak
memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.
3. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya terdiri
dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi.
Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini jarang
menyebabkan perdarahan subarachnoid.
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan
pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula.
Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah
yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena
langsung menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. pPembuluh darah
yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang
terjadi paada aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan
didapat. MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.
3. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO
(Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul pertama
kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi
arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.
4. PATOFISIOLOGI
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama.
Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi
posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans
anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam
sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri
basilar ke arterie otak posterior. Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari
populasi orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma
intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma
intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami
perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari
aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular
normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang.
Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari
dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung jawab
atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah.
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah,
7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan,
aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.
Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada SAH terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya
20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun.
Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur,
kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas berat.
Hampir 50% dari pasien yang memiliki SAH, ketika dianamnesis pasti memiliki
riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum perdarahan
besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada
risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali
rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama.
Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%.
5.MANIFESTASI KLINIS
Tanda klasik SAH, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia
4. Meningismus,
5. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak
tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh
perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda
peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum
terjadinya perdarahan yang hebat.
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian
hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan
fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar
petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan
tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata,
nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan
penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal.
Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius,
defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma
pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula
karotiko-kavernosus, dapat menimbbulkan sindrom sinus kavernosus.
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan
fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis
okulomotorius.
Hasil pemeriksaan fisik penderita SAH bergantung pada bagian dan lokasi
perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan SAH saja atau kombinasi dengan
hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda kklinis
dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis
berat dan koma. Semnetara itu, reflek Babinski positif bilateral.
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi pada
SAH. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak
muncul pada SAH tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya
hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas
emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior.
Disfungsi nervi kranialis dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi langsung oleh
aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c)
meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena akibat SAH. Pada penderita dengan
nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu
bersifat patognomik untuk SAH. Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan SAH
yang cukup luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari
munculnya vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara
itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial. Iskemik otak yang terjadi kemudian
erupakan ancaman serta pada penderita SAH. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau
seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willisi yang terpapar darah akan mengalami
vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi.
6.PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma fisik pada
kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup struktur baik
intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak. Kemajuan
teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa modalitas
pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala.
Sementara kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan
informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai
teknik pencitraan yang tersedia, diantaranya:
Konvensional radiografi (X-ray)
Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan penanda risiko
independent untuk lesi intrakranial (Adams, 2012). Namun, film tengkorak terutama
digunakan untuk identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak untuk evaluasi dari
patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional adalah prediktor yang buruk
patologi intrakranial dan tidak boleh dilakukan untuk mengevaluasi cedera kepala (Bell,
2011). Pada cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan yang
signifikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray
tengkorak tidak menyingkirkan cedera intrakranial utama.
X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado
Department of Labor and Employment, 2006).
Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.

Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan:


1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.
2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi. Fraktur depres
meningkatkan kemungkinan kejang, terutama bila laserasi duramater.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan perburukan cepat
karena perdarahan ekstradural.

Computed Tomography Scanner (CT Scan)


Penemuan awal CT Scan penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala
berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita
cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan
penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-
penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik,
selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada
40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di
batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut
dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang
buruk (Sastrodiningrat, 2009).
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien
dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat, digunakan
secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial.
CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek
penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi
pembedahan segera. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya
gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala. Jika tidak ada CT scan
kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya
patah tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2007).
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan terjadinya
lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang
terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang
bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko
mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal. Sebagian
besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala memiliki hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya kelainan pada CT scan kepala (Ibanez, 2004). Lebih dari 70 %
penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang kepala terdapat lesi
dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impact yang besar pada kepala sehingga
memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis patahan (Willmore, 2007).
CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360
derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh
(luar dan dalam). Foto CT scan akan tampak sebagai penampang- penampang
melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi akan tampak
dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak
dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009). Indikasi
pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
7.PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah identifikasi
sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau
tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasive
terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga
terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan
tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan,
dapat diberikan analgesic dan pasien harus istirahat total.
SAH yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan
hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35
mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial
seperti :
 Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
 Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
 Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial
masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain.
Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan
dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis
lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat
antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat
ini menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi pada SAH jikalau MABP diatas
130 mmHg. Setelah aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah
lagi, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesic
seringkali diperlukan, obat obat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua
faktor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan
hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap
thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan
kompresif sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan
penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko
komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.
8. KOMPLIKASI
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan
subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis
fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu
infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas.

Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang
sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan
diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan
nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua
pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan
dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat
sampai 1200- 220 mmHg. Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing Medical


Education. 2012;39.
2. Student Med. Stroke.2011.
3. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
4. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage. Netter's
Neurology2014. p. 526-37.
5. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres;
2011.
6. Becske T. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape
Reference Drugs, Disease & Procedures. 2014.
7. Jeans. Effects of cilotazol on cerebral vasospasm after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage: a multicenter prospective, randomized, open-label blinded end
point trial. journal of Neurosurgery. 2014.
8. Jasmine L. Subarachnoid Hemorrhage. Medline Plus. 2013.
9. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM). Mayfield Clinic.
2013
10. Wahjoepurmono EJ, Junus J. Tindakan Pembedahan pada
Penderita Aneurisma Intrakranial. 2003;22(2).
11. Yahya RC. Stroke Hemragik - Defenisi, Penyebaba & Pengobatan Stroke
Perdarahan Otak. Jevuska. 2014.

Anda mungkin juga menyukai