Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN
Perawatan gigi anak merupakan perawatan komprehensif atau total patient care,
mencakup tindakan preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pemeriksaan dan penentuan
diagnosis adalah bagian dari perawatan gigi anak. Keberhasilan perawatan anak tergantung dari
pemeriksaan yang lengkap dan cermat, diagnosis yang tepat, rencana perawatan yang sesuai,
melakukan perawatan dengan benar, dan pemeriksaan berkala. Pemeriksaan dan penentuan
diagnosis umumnya dilakukan pada saat kunjungan pertama anak ke klinik gigi. Pada
kesempatan tersebut dokter gigi juga mulai menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan
orang tua dan anaknya, ingat prinsip segitiga perawatan gigi anak. (Finn, 1973)
Kunjungan pertama anak ke dokter gigi menjadi sangat penting untuk memperoleh
kooperatif pasien. Anak yang kooperatif merupakan prasyarat untuk dapat dilakukan perawatan
giginya. Dibutuhkan pendekatan yang hangat terhadap anak dan sikap yang antusias terhadap
orang tua. Pemeriksaan lengkap dilakukan dengan gerakan yang lembut, dan menggunakan
instrument yang minimum agar tidak membuat anak merasa takut. Pertanyaan dan pernyataan
yang dibuat dokter gigi sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak
maupun orang tua dalam melakukan anamnesa. (Finn, 1973)
Hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan rencana perawatan pada
anak antara lain keluhan utama harus dapat diatasi, semua perawatan dental yang akan dilakukan
harus disesuaikan dengan kondisi sistemik anak, penyakit yang sudah ada dapat diatasi dan
dilakukan pencegahan timbulnya penyakit baru, efek dari perawatan terdahulu terhadap anak
harus menjadi pertimbangan, dan mempertimbangkan keadaan sosial dan ekonomi pasien.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan subjektif, objektif, dan penunjang yang dilakukan
secara berurutan untuk mengumpulkan informasi mengenai keluhan, riwayat sosial, riwayat
kesehatan, serta data-data klinis maupun radiografis yang berguna untuk menentukan diagnosis
dan rencana perawatan. Pemeriksaan lengkap yang dilakukan pada anak meliputi pemeriksaan
subjektif untuk mengetahui keluhan utama dan riwayat keluhan utama pasien, riwayat medik
serta riwayat gigi dan mulut; pemeriksaan objektif berupa pemeriksaan ekstra oral dan intra oral;
serta pemeriksaan penunjang yang biasanya berupa pemeriksaan radiografis ataupun
pemeriksaan darah.
Pemeriksaan obyektif terdiri dari pemeriksaan intra oral dan ekstra oral. Pemeriksaan
penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menguatkan pemeriksaan klinis.

1
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiografik, laboratorium dan sistemik serta
pembuatan study model. Pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan radiografis. Radiograf dibuat berdasarkan pemeriksaan dan evaluasi pasien anak.
Radiograf hanya boleh dibuat bila kondisi yang tak terdeteksi dan bila dibiarkan dapat
mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut pasien. Dua kriteria penting dalam menentukan
pemeriksaan radiografik pada anak adalah tahap perkembangan gigi-geligi dan resiko terjadinya
karies. (McDonald, 2000)

II. KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ke klinik IKGA oleh ayah dan ibunya. Ibu
mengatakan bahwa sejak kemarin anaknya tersebut rewel dan mengeluh gigi geraham sebelah
kiri bawah berdenyut. Muka anak tersebut terlihat asimetri dengan pipi bengkak dan temperatur
badan sedikit naik. Sudah beberapa hari anak susah makan. Dari hasil pemeriksaan klinis terlihat
banyak gigi yang karies terutama pada geraham bawah. Sebelum ke klinik, anak sudah diberi
penurun panas, tetapi temperatur anak tidak mau turun. Bagaimana perawatan bagi anak
tersebut?
Dari kasus tersebut maka dapat ditentukan :
A. Pemeriksaan Subyektif
 Chief complaint : gigi geraham sebelah kiri bawah berdenyut
 Present illness : pipi bengkak, suhu tubuh meningkat
 Past dental history : sakit spontan (tanpa stimulus)
 Past medical history : diberi obat penurun panas tetapi suhu tubuh tidak turun
B. Pemeriksaan Obyektif
 Pemeriksaan Ekstraoral : pipi bengkak, muka asimetris, suhu tubuh sedikit naik
 Pemeriksaan Intraoral : banyak gigi karies terutama pada geraham bawah
C. Differensial Diagnosis
 Pulpitis irreversibel pada gigi molar kiri bawah
 Gigi molar kiri bawah gangren disertai abses

2
D. Penetapan Diagnosis
1. Pulpitis Irreversibel
Pada pulpitis irreversibel, pulpa telah mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki
lagi. Sudah ada keterlibatan dari bakteri yang berpenetrasi ke dalam pulpa. Infeksi dari bakteri
ini akan berkembang menjadi mikroabses yang akan berlanjut menjadi nekrosis. Pada proses
inflamasi ini, terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular pembuluh darah.
Cairan yang keluar dari pembuluh darah akan berakumulasi di daerah interstitial pulpa. Namun,
karena pulpa hampir seluruhnya dikelilingi oleh jaringan keras maka tekanan di dalam ruang
pulpa akan meningkat. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan gangguan pada proses
mikrosirkulasi lokal. Ketika tekanan tersebut lebih besar dari pada tekanan venous, maka vena
akan kolaps. Darah pun akan mengalir dari daerah bertekanan tinggi ini ke daerah yang
bertekanan rendah.
Tekanan yang terus menerus ini akan menyebabkan terjadinya sirkulasi compromise,
darah baru terhambat masuk ke daerah tersebut. Pada jaringan sehat, terhambatnya aliran darah
tidak terlalu berakibat fatal. Namun pada jaringan yang sedang mengalami peradangan, sirkulasi
compromise akan menyebabkan terakumulasinya iritan seperti injurious enzym, faktor-faktor
kemotoksik, dan toksin bakteri. Dengan bertambahnya proses inflamasi, jaringan pulpa akan
terus mengalami disintegrasi di bagian tengahnya membentuk regio nekrosis liquefaksi yang
akan terus bertambah. Karena kurangnya sistem sirkulasi kolateral dan dinding dentin yang
mengelilingi pulpa, maka tidak cukup drainase dari cairan inflamasi. Hal ini mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan jaringan yang terlokalisir, yang menyebabkan proses kerusakan
akan semakin berkembang sampai keseluruhan jaringan pulpa mengalami nekrosis.
Perkembangan dari nekrosis liquefaksi bervariasi, dimana kecepatannya berhubungan dengan
kemampuan jaringan untuk mendrainase atau menyerap cairan inflamasi untuk mengurangi
tekanan intrapulpa. (Ingle&Bakland, 2002)

2. Gigi Gangren disertai Abses


Definisi gigi gangren adalah kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai
kelanjutan proses karies atau trauma. Terdapat suatu keadaan gigi dimana jarigan pulpa sudah
mati sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga jumlah
sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian besar ruang pulpa. Sel-
sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi antigen sel-sel sebagian besar pulpa yang

3
masih hidup (Tarigan, 2004). Gigi gangren disebabkan oleh kematian jaringan pulpa dengan atau
tanpa kehancuran jaringan pulpa. Perjalanan gangren pulpa dimulai dengan adanya karies yang
mengenai email (karies superfisialis), dimana terdapat lubang dangkal, tidak lebih dari 1 mm.
Selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada dentin (karies media) yang disertai dengan rasa
nyeri yang spontan pada saat pulpa terangsang oleh suhu dingin atau makanan yang manis dan
segera hilang jika rangsangan dihilangkan. Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies pada
pulpa yang didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih dari 1 mm. pada
pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe,
sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika proses karies berlanjut dan mencapai bagian yang
lebih dalam (karies profunda) maka akan menyebabkan terjadinya gangren pulpa yang ditandai
dengan perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada lubang
perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari toksin kuman (Tarigan,
2004).
Suatu abses gingiva adalah kantung berisi nanah yang terbentuk di dalam margin gingiva
dari gigi. Abses gingiva merupakan salah satu dari tiga jenis abses gigi yang mirip satu sama
lain. Dua jenis lainnya adalah periodontal dan abses periapikal. Suatu abses periodontal terjadi
ketika infeksi abses gingiva bergerak jauh ke dalam poket gingiva dan drainase nanah dihambat.
Suatu abses periapikal terjadi ketika lapisan dalam dari gigi (pulpa) menjadi terinfeksi, biasanya
merupakan infeksi sekunder dari kerusakan gigi. Infeksi bisa menyebar ke jaringan sekitarnya,
dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan kerusakan struktur penyangga gigi. Gejala bisa
meliputi nyeri dan pembengkakan pada gusi, perasaan gigi gigi menjadi goyah, atau gigi yang
telah menjadi luar biasa sensitif terhadap panas dan dingin. Abses yang parah dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, menggigil, diare, mual, rasa sakit yang berdenyut-denyut,
dan kesulitan membuka mulut atau menelan (Martin, 2004).

Pada kasus, kemungkinan abses disebabkan oleh adanya karies. Abses yang disebabkan
oleh karies karena adanya bakteri dari kavitas dental yang dapat menjalar sampai ke gusi, pipi,
bawah lidah, bahkan sampai pada rahang dan tulang fasial. Gejala utama abses gingiva adalah
nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang dapat berdenyut dan keras. Jaringan mati di dalam gigi
dapat menimbulkan peradangan yang besar, racun-racun dari kuman di dalam ruang pulpa akan
terkumpul pada ujung akar gigi. Apabila racun itu terbawa ke seluruh tubuh oleh aliran darah,
dapat menimbulkan demam pada anak. Sistem pertahanan tubuh akan menahan beredarnya

4
kuman-kuman lebih lanjut, sehingga terkumpul pada ujung saluran akar dan menimbulkan abses.
(Maulani, 2005)

Dari penjelasan mengenai pulpitis irreversibel dan gigi gangren disertai abses sebagai
differensial diagnosis, dapat ditetapkan diagnosis dari kasus ini adalah gigi molar kiri bawah
mengalami nekrosis disertai abses di mana gigi gangren ini merupakan perkembangan dari karies
dengan pulpitis irreversibel.

III. PEMBAHASAN

1. Patofisiologi Abses

Salah satu kondisi infeksi akut pada oral biasanya disebabkan oleh mikrobakterial dalam
jumlah yang banyak (polymikrobial), sebagai contoh dentoalveolar abses. Dentoalveolar abses
adalah kondisi dimana terkumpulnya pus dalam pulpa atau di sekeliling akar gigi. Sebagian besar
dentoalvoelar abses terjadi akibat infeksi bakteri endogen. Sedangkan bakteri eksogen, seperti
Staphylococcus sp. dapat juga ditemukan dalam abses oral, tetapi hanya jika terjadi infeksi silang
selama proses operatif. Untuk hidup dalam abses, bakteri membutuhkan nutrisi untuk hidup dan
pertahanan terhadap host. Bakteri yang ada biasanya dapat mendapatkan nutrisi yang mereka
butuhkan dari aktivitas proteolitik yaitu derivate serum protein yang pada akhirnya akan tampak
sebagai pus. Pus ini merupakan reaksi dari bakteri terhadap sistem pertahanan tubuh atau host.
Karena pus ini tidak dapat keluar, maka akan terbentuk pembengkakan abses. Abses yang terdiri
dari spesies bakteri yang berbeda berukuran lebih kecil dan rasa sakit yang dirasakan tidak lebih
sakit daripada abses dengan 6 atau lebih spesies bakteri berbeda yang umumnya ukuran ansesnya
lebih besar. Alasan mengenai kepastian angka-angka tersebut tidak diketahui tetapi hal ini
kemungkinan berhubungan sinergisme bakteri dan sinergisme patogenik dari bakteri
tersebut. (Marsh, 1999)

2. Etiologi Dental Abses

Dental abses merupakan infeksi yang terjadi pada daerah oral, wajah, rahang ataupun
tenggorokan yang biasanya diawali oleh infeksi pada gigi atau adanya kavitas gigi. Kavitas pada
gigi dapat terjadi karena adanya kebersihan oral yang kurang, kurangnya perawatan dental, dan

5
kemungkinan pada orang yang mengalami kelainan autoimun seperti penderita Sjögren's
syndrome, diabetes, pasien yang telah menjalani kemoterapi perawatan kanker.

Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lubang yang berisi
nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Pus adalah cairan kental yang mengandung sel darah
putih, jaringan yang sudah mati, dan bakteri (Anonim, 2008). Dental abses dapat diartikan
sebagai abses yang terbentuk didalam jaringan periapikal atau periodontal karena infeksi gigi
atau perluasan dari ganggren pulpa. Abses yang terbentuk merusak jaringan periapikal, tulang
alveolus, tulang rahang terus menembus kulit pipi dan membentuk fistel (Adi, 2008).

Abses gigi terjadi ketika terinfeksi bakteri dan menyebar ke rongga mulut atau dalam
gigi. Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri
coccus aerob gram positif, coccus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif. Bakteri
terdapat dalam plak yang berisi sisa makanan dan kombinasi dengan air liur. Bakteri-gakteri
tersebut dapat menyebabkan karies dentis, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan
yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi
odontogen (Adi, 2008). Abses dental ini juga kemungkinan bisa disebabkan oleh adanya trauma
minor pada kavitas oral. Abses dapat menimbulkan rasa sakit, pembengkakan dan demam
(Goldfogel, 2006).

Abses ini dapat terasa sangat sakit ketika jaringan di sekitarnya menjadi terinflamasi.
Abses dental terjadi akibat adanya faktor iritasi seperti plak, kalkulus, karies dentis, invasi
bakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Haemophilis influenzae), inpaksi makanan atau
trauma jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan tulang alveolar sehingga terjadi gigi
goyang. Jenis abses yang lain seperti abses gingival disebabkan oleh adanya trauma pada
permukaan jaringan gusi. Abses periodontal disebabkan oleh adanya infeksi yang telah menjalar
sampai ke gusi yang lebih dalam. Abses periapikal disebabkan oleh adanya gigi dengan pulpa
yang terinfeksi.

Pada kondisi abses, pus akan berkumpul pada tempat infeksi. Kondisi ini akan sangat
menyakitkan sampai abses tersebut pecah / rupture atau dibuatkan drainase abses atau jika perlu
dilakukan pembedahan.

6
Jaringan mati di dalam gigi dapat menimbulkan peradangan yang besar, racun-racun dari kuman
di dalam ruang pulpa akan terkumpul pada ujung akar gigi. Apabila racun itu terbawa ke seluruh
tubuh oleh aliran darah, dapat menimbulkan demam pada anak. Sistem pertahanan tubuh akan
menahan beredarnya kuman-kuman lebih lanjut, sehingga terkumpul pada ujung saluran akar dan
menimbulkan abses. (Maulani, 2005)

Gigi berlubang karena karies gigi dan infeksi gusi juga bisa menimbulkan bau mulut
karena bersarangnya bakteri dan sisa-sisa makanan yang mengendap di sela-sela gigi berlubang.
Gigi yang tidak dirawat akan membentk abses (pengumpulan nanah) dan bakteri yang ada di
dalamnya akan memetabolismekan jaringan jaringan mati sehingga menimbulkan bau.( Dyayadi,
2007). Serangan bakteri yang terus menerus pada pulpa akan menyebabkan pulpa mati. Apabila
syaraf gigi sudah mati biasanya rasa sakit akan berakhir, namun keadaan ini dapat berlanjut lebih
buruk lagi dengan terjadinya abses sekitar gigi yang menimbulkan rasa sakit yang sangat.
(Tampubolon, 2005)

3. Manifestasi Klinik Abses Gingiva

Gejala utama abses gingiva adalah nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang dapat berdenyut
dan keras. Pada umumnya nyeri dengan tiba-tiba, dan secara berangsur-angsur bertambah buruk
dalam beberapa jam dan beberapa hari. Dapat juga ditemukan nyeri menjalar sampai ketelinga,
turun ke rahang dan leher pada sisi gigi yang sakit. Lokalisasi nyeri dan pembengkakan
(biasanya mulai beberapa jam sampai beberapa hari. (Schneider,2004). Biasanya dari wajah anak
terlihat adanya pembengkakan pada daerah gigi yang sakit sehingga ada perbesaran wajah yang
asimetris. Didalam mulut terkadang juga ada pembengkakan gusi dekat gigi yang sakit,
(Maulani,2005). Terdapat rasa sensitif terhadap panas,ini dapat terjadi beberapa detik setelah
dentin terekspos ke lingkungan luar sebagai dampak dari hilangnya enamel atau resesi gingival.
Manifestasi lainnya adalah demam, pendarahan gingival, dan penurunan intake makanan,cairan
atau keduanya. (Schneider,2004)

Pembentukan abses ini melalui beberapa stadium dengan masing-masing stadium


mempunyai gejala-gejala tersendiri, yaitu:

7
i. Stadium subperiostal dan periostal

 Pembengkakan belum terlihat jelas


 Warna mukosa masih normal
 Perkusi gigi yang terlibat terasa sakit yang sangat
 Palpasi sakit dengan konsistensi keras

ii. Stadium serosa

 Abses sudah menembus periosteum dan masuk kedalam tinika serosa dari tulang dan
pembengkakan sudah ada
 Mukosa mengalami hiperemi dan merah
 Rasa sakit yang mendalam
 Palpasi sakit dan konsistensi keras, belum ada fluktuasi

iii. Stadium sub mukous

 Pembengkakan jelas tampak


 Rasa sakit mulai berkurang
 Mukosa merah dan kadang-kadang terlihat terlihat pucat
 Perkusi pada gigi yang terlibat terasa sakit
 Palpasi sedikit sakit dan konsistensi lunak, sudah ada fluktuasi

iv. Stadium subkutan

 Pembengkakan sudah sampai kebawah kulit


 Warna kulit ditepi pembengkakan merah, tapi tengahnya pucat
 Konsistensi sangat lunak seperti bisul yang mau pecah
 Turgor kencang, berkilat dan berfluktuasi tidak nyata

8
IV. PENATALAKSANAAN

A. Kunjungan Pertama : Drainase Abses dan Penanganan Nyeri

Drainase dilakukan untuk mengeluarkan pus sehingga mengurangi rasa sakit, mengurangi
resorbsi bahan-bahan toksik, mencegah penyebaran infeksi selanjutnya di dalam tulang dan
memberikan jalan terhadap terlokalisirnya penyakit. (Wahyuningsih&Rahmat, 2003)

1. Prosedur Drainase Abses


a. Anestesi

Injeksikan lokal anastesi pada bagian lateral dari


abses. (Pedlar&Frame, 2001)

Dengan adanya inflamasi, pembengkakan, dan eksudat, anestesi yang dalam sukar
dicapai. Infiltrasi langsung subperiosteal tidak hanya efektif tetapi juga mungkin sangat sakit.
Infiltrasi standar mungkin juga sama sekali tidak efektif. Oleh karena itu, anestesi blok lebih
dipilih misalnya blok mandibula untuk gigi posterior, blok mental bilateral untuk gigi depan
bawah, blok alveolar posterior superior untuk gigi posterior atas, dan blok infraorbital untuk
daerah premaksila. Semua ini dapat ditambah dengan infiltrasi regional (Walton dan
Torabinejad, 2002).
Apabila blok anestesi regional ini tidak cukup, dapat dipakai satu atau dua metode
tambahan. Pertama kali cobalah infiltrasi yang dimulai di sekitar pembengkakan. Cairan
disuntikkan perlahan-lahan dengan tekanan dan kedalaman yang terbatas; ini diikuti oleh
anestesi tambahan pada jaringan yang sebelumnya telah disuntik lalu secara cepat dipindah kea
rah pusat pembengkakan. Prosedur ini memberikan hasil anestesi yang lebih baik tanpa disertai
rasa tidak enak yang ekstrem (Walton dan Torabinejad, 2002).

9
Teknik kedua adalah dengan memakai etil klorida secara topical. Semprotkan bahan ini
langsung ke bagian yang membengkak dari jarak tertentu dan biarkan cairan ini menguap pada
permukaan jaringan. Dalam beberapa detik, jaringan pada bagian yang menguap akan memutih.
Lakukan insisi segera disertai dengan semprotan etil klorida secara terus menerus. Anestesi
topical ini merupakan tambahan untuk anestesi blok atau apabila hanya diperlukan insisi yang
cepat sekali (Walton dan Torabinejad, 2002).

b. Insisi

Insisi selalu dibuat dengan arah paralel terhadap margin


gingival, pada bagian lower end dari ruang abses.

Dengan menggunakan scalpel, beri tekanan/sentuhkan pada


abses.

Insisi dilakukan, minimalkan luka luar (trauma) pada abses.


(Pedlar&Frame, 2001)

Insisi untuk drainase mengeluarkan eksudat purulen atau darah dari pembengkakan
jaringan lunak. Tujuannnya adalah untuk mengeluarkan eksudat dan nanah, yang merupakan
iritan yang kuat dan toksik. Pengeluaran eksudat ini mempercepat penyembuhan dan mengurangi
rasa tidak enak yang disebabkan oleh iritan dan tekanan. Sebagian besar tindakan insisi intraoral
ini harus mampu dilakukan oleh para dokter gigi umum (Walton dan Torabinejad, 2002).

10
Setelah anestesi, insisi dibuat horizontal atau vertical dengan scalpel no #11, #2, atau
#15. Insisi harus dibuat tepat melalui periosteum ke tulang. Apabila pembengkakannya telah
mengalami fluktuasi, biasanya pus langsung mengalir, diikuti dengan darah. Kadang-kadang,
hanya ada eksudat serosa bercampur darah, yang juga merupakan hal yang lazim. Apabila
pembengkakannya tidak berfluktuasi, cairan yang paling banyak keluar adalah darah (Walton
dan Torabinejad, 2002).

c. Drainase

Ruang abses dibuka dengan curved artery forceps,


scissor, atau sinus forceps.

Pada abses palatal pembuatan insisi dengan bentuk


ellips akan dapat sangat membantu untuk mencegah
penutupan luka kembali saat drainase pus.

Setelah insisi pertama, letakkan hemostat kecil di dekat insisi lalu buka insisi untuk
memperlebar jalan keluar. Prosedur ini merupakan indikasi pada pembengkakan yang lebih luas;
insisi pertama dan pelebaran berikutnya biasanya mendorong jalannya drainase. Letakkan
sepotong tampon iodoform (boleh dijahit boleh tidak) ke dalam insisi. Drain harus diangkat
setelah 2 atau 3 hari, apabila tidak dijahit, pasien bisa mengangkatnya sendiri di rumah (Walton
dan Torabinejad, 2002).

2. Medikasi Pasca Drainase


Beberapa klinisi menyarankan, jika drainase melalui saluran akar tidak dapat dihentikan,
kavitas akses dapat dibiarkan terbuka untuk drainase lebih lanjut, nasihatkan pasien berkumur
dengan saline hangat selama tiga menit setiap jam. Bila perlu beri resep analgetik dan antibiotik.

11
Membiarkan gigi terbuka untuk drainase, akan mengurangi kemungkinan rasa sakit dan
pembengkakan yang berlanjut (Grossman et al, 1988).
a. Antibiotika
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, terutama pengobatan
penyakit infeksi. Antibiotik bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata
rantai metabolism, hanya saja targetnya adalah bakteri. Setiap antibiotik memiliki sangat
beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotik yang membidik
bakteri gram negatif atau positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga
bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotic mencapai lokasi tersebut.

Antibiotik yang digunakan pada kondisi nyeri yang timbul pada gigi adalah untuk
mematikan kuman atau bakteri yang menyebabkan sakit gigi tersebut. Karena biasanya antibiotik
bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri
memungkinkan munculnya strain bakteri yang kebal terhadap antibiotic. Oleh karena itu,
pemberian antibiotic biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan
dalam jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotic yang
tidak sesuai hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang kebal. (Waxman, et. al.,
2005)

Antibiotika diberikan jika suhu meningkat 20C atau lebih dan jika ada lymphadenopathy.
Pengobatan dengan antibiotika secara sistemik juga diberikan (Kennedy, 1992). Pada umumnya,
Penicillin V (phenoxymethylpenicillin) merupakan antibiotika pilihan. Tetapi dengan adanya
bakteri anaerob yang biasanya terdapat pada infeksi oral, dapat digunakan Metronidazole.
Metronidazole lebih disarankan ketika ada infeksi pulpa. Walaupun perawatan dengan kalsium
hidroksida bersifat bakteriostatik, tetapi ada resiko infeksi persisten dari abses periradikular.
Eritromisin adalah alternatif ketiga untuk infeksi dental pada anak. Antibiotika ini digunakan
pada kasus alergi terhadap Penicillin V. Dosis dapat bervariasi, untuk penisillin V biasanya 12,5
mg/kg berat badan 2-3 kali sehari selama 10 hari. Untuk metronidazole 7,5 mg/kg berat badan
setiap 8 jam selama 5-6 hari, dan untuk eritromisin 15 mg/kg berat badan setiap 24 jam selama
10 hari. (Koch&Poulsen, 2001).

12
Namun, penggunaan antibiotik untuk menanggulangi adanya masalah seperti karies pada
anak juga memiliki resiko tersendiri. Misalnya adalah resiko peningkatan kekebalan dari bakteri
tertentu (konsumsi antibiotik yang tidak tuntas), kemudian bisa juga menyebabkan
fluorohypersensitivity. (Waxman, et. al., 2005)

b. Analgetik dan Antiinflamasi

Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. (Wahyuni, 2006). Obat antiinflamasi (anti radang)
non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory
Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik
(penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk
membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAID
bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. Contohnya seperti ibuprofen dan asetaminofen.
(Rossi, 2006)

Ibuprofen adalah obat pertama dari golongan Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid. Obat
golongan ini memiliki aktivitas anti-inflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek yang ditimbulkan
oleh Ibuprofen pada saluran cerna umum paling sedikit dibandingkan dengan aspirin (Mycek et
al, 2001). Jadi karena memiliki ke-3 fungsi secara bersamaan yaitu efek anti-inflamasi, analgetik,
dan antipiretik penggunaan Ibuprofen lebih baik serta efek yang ditimbulkan tidak sebesar jika
menggunakan aspirin yang memiliki fungsi yang sama seperti Ibuprofen.

Ibuprofen digunakan pada anak untuk demam (6 bulan-12 tahun) 5 mg/kg untuk demam
<102,50F atau 10 mg/kg untuk demam >102,5F diberikan q 6-8 jam, sampai maksimum 40
mg/kg/hari. Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara.
Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya
sama dengan aspirin. (Wahyuni, 2006)
Jika anak alergi terhadap Ibuprofen atau Aspirin, diberikan Asetaminofen. Asetaminofen
lebih sedikit efeknya di banding aspirin. Asetaminofen merupakan pengganti yang baik untuk
efek analgesik dan antipiretik pada penderita keluhan cerna atau bagi mereka yang tidak
membutuhkan efek anti-inflamasi. Asetaminofen merupakan analgesik dan antipiretik untuk
anak-anak (Mycek et al, 2001). Asetaminofen berefek meringankan sementara rasa sakit, nyeri

13
ringan dan perut terasa panas atau gangguan perut lainnya. Asetaminofen tablet chewable, elixir,
drops, dan suspense drops didesaim untuk bayi dan anak-anak untuk meringankan sementara
demam, nyeri, dan rasa sakit tidak enak karena masuk angin dan flu atau karena imunisasi,
pertumbuhan gigi. Dosis pediatrik untuk nyeri atau demam 10-15 mg/kg , dosis dapat diulang
tiap 4 jam, tidak lebih dari 5 dosis per hari; atau (4-5 tahun) 240 mg/dosis. (Wahyuni, 2006)

B. PERAWATAN PADA GIGI GANGREN

1. PULPEKTOMI

a. Pengertian Pulpektomi
Pulpektomi adalah tindakan pengambilan seluruh jaringan pulpa dari seluruh akar dan
korona gigi. Pulpektomi vital sering dilakukan pada gigi anterior dengan karies yang telah
meluas ke arah pulpa atau gigi yang mengalami fraktur. Sedangkan pulpektomi devital sering
dilakukan pada gigi posterior yang telah mengalami pulpitis atau dapat juga pada gigi anterior
pada pasien yang tidak tahan terhadap anestesi. Pemilihan kasus untuk perawatan secara
pulpektomi harus benar-benar diperhatikan. Dimana kondisi pasien harus baik terlebih dahulu,
pasien ingin mempertahankan giginya dan keadaan ekonomi pasien yang memungkinkan.
Teknik ini digunakan untuk menambah akses ke saluran akar, menghilangkan material
yang terinfeksi dan telah mati dan mengisi saluran akar dengan material yang sesuai untuk
mempertahankan gigi dalam kondisi tidak terinfeksi lagi. (Braham, 1980)

b. Alasan Pemilihan Pulpektomi Sebagai Rencana Perawatan


Memang dalam perawatan adanya abses pada gigi molar decidui biasanya dilakukan
ekstraksi. Infeksi yang persisten dan kronis pada gigi molar dapat membahayakan perkembangan
benih gigi permanen dan dapat menyebabkana terjadinya fokal infeksi yang harus dihilangkan.
Namun pada beberapa kasus gigi ini dapat dipertahankan, dengan alasan akan dilakukan
perawatan ortodontik, pasien memiliki kelainan berupa hemofili apabila dilakukan ekstraksi, dan
penolakan orang tua jika dilakukan ekstraksi pada gigi anak tersebut (Duggal, 2005).
Pulpektomi merupakan perawatan yang tetap dapat mempertahankan gigi yang ada, pasien
dengan gigi geraham bawah sebelah kiri sebaiknya dipertahankan karena gigi tersebut akan
digantikan oleh gigi premolar satu.

14
Pulpektomi ini diindikasikan untuk gigi yang mengalami inflamasi ireversibel meluas ke
daerah pulpa radikular (Duggal et al, 2002). Dimana inflamasi yang ireversibel ditandai dengan
sakit spontan tanpa stimulus apa pun.
c. Indikasi dan Kontraindikasi Pulpektomi
 Indikasi:
1. Gigi sulung dengan infeksi yang melewati kamar pulpa, baik pada gigi vital, nekrosis
sebagian, maupun gigi nonvital.
2. Saluran akar dapat dimasuki instrument
3. Kelainan jaringan periapeks dalam gambaran radiografi kurang dari seprtiga apical
(Tarigan, 2006)
4. Adanya nekrosis pada pulpa
5. Hiperaemik pulpa. Merupakan perdarahan terus-menerus selama prosedur pulpectomy.
Dalam hal ini, pulpa radicular harus dihilangkan dan pulpectomy dilakukan sebagai
gantinya.
6. Adanya keterlibatan pada radiografi percabangan akar atau periapikal.
7. Rasa sakit spontan (rasa sakit yg tidak terstimulasi). Tidak semua jaringan pulpa yang
mungkin nekrotik masih terasa sakit ketika jaringan tersebut diambil.
8. Pembengkakan pada daerah bukal atau ekstra oral dengan mobilitas.
(Cameron and Widmer, 2004)
9. infamasi ireversibel pulpa yang meluas pada akar.
10. adanya keadaan yang patologis pada percabangan akar/
11. adanya abses
(Duggal dkk, 2002)
 Kontraindikasi Pulpektomi menurut Tarigan (2006) :
1. Gigi tidak dapat direstorasi lagi.
2. Resorpsi akar lebih dari sepertiga apical.
3. Kondisi pasien buruk, mengidap penyakit kronis, seperti diabetes mellitus, TBC, dan
lain-lain.
4. Terdapat belokan ujung dengan granuloma (kista) yang sukar dibersihkan atau sukar
dilakukan tindakan bedah endodontic

15
d. Prosedur Pulpektomi (Duggal, 2002)

 Pertemuan pertama: Manajemen darurat terhadap abses

Tahap 1: pemberian anestesia lokal

lokal anestetik diberikan karena masih


mungkin ditemukan jaringan pulpa yang
vital pada pulpa yang terinfeksi.
Sebelumnya dilakukan pemberian anestesi
topikal untuk mengurangi rasa sakit.

Tahap 2: isolasi daerah perawatan dengan rubber dam

Pemasangan rubber dam penting untuk mencegah


kontaminasi pada daerah pulpa, membuat pasien
nyaman, dan mencegah bocornya fromokresol ke
jaringan sekitarnya.

Tahap 3: pembuangan jaringan karies dan drainase abses melewati kavitas

Langkah ini dilakukan dengan melakukan


drainase melewati lubang karies. Saluran akar
diidentifikasi kemudian secara ringan abses yang
ada didrainase dengan file kemudian diirigasi.

16
Tahap 4: Aplikasi Fromocresol dan ditumpat sementara

Formocresol taruh dalam kapas lalu diisikan pada ruang pulpa dan ditutup dengan semen.

Tahap 5: Pemberian Antibiotik

Antibiotik harus diberikan untuk meredakan infeksi lebih lanjut.

 Pertemuan ke-2: Pengisian Saluran Akar

Tahap 1: persiapan

Pasien datang tujuh hari kemudian. Pada tahap ini semua abses harus sudah hilang. Kemudian
dilakukan anestesi lokal dan isolasi daerah perawatan dan rubber dam.

Tahap 2: pembongkaran restorasi sementara dan identifikasi osrifice

Restorasi sementara dan atap pulpa dibuka dengna round bur,


kemudian orifice diidentifikasi.

17
Tahap 3: Pengambilan radiografis dengan file dalam saluran akar

Tahap ini bersifat pilihan dan


hanya dilakukan untuk anak yang
sangat kooperatif.

Tahap 4: pembersihan saluran akar dengan Hedstrom file dan irigasi dengan salin

Tahap 5: saluran akar dikeringkan dengan paper point dan penempatan fromocresol
selama empat menit

Fromokresol ditempatkan untuk menghilangkan jaringan yang tertinggal pada saluran akar

Tahap 6: pengisian dengan campuran zinc oksida dan eugenol

Zinc oksida dan eugenol dicampur dengan rotary filler dan diisikan pada saluran akar

18
Tahap 7: pengisian ruang pulpa dengan semen

Tahap 8: restorasi dengan stainless steel crown

e. Tindak Lanjut Gigi Decidui yang Dirawat dengan Pulpektomi


 Restorasi Akhir
Restorasi ideal bagi gigi decidui pasca perawatan endodontik adalah mahkota logam.
Walaupun demikian, ada kalanya kita dapat menunda pembuatan mahkota logam ini dan
sementara menumpatnya dengan amalgam. Contohnya pada kasus karies luas di oklusal molar
yang memerlukan perawatan pulpektomi, dan kurangnya kerja sama dari pasien mengharuskan
ditundanya pemasangan mahkota logam kecuali dilakukan anestesi umum. Demikian juga
terbukanya pulpa akibat trauma atau karena karies pada kavitas kecil molar dua decidui lebih
cocok ditumpat amalgam setelah perawatan pulpektominya, apalagi jika tidak cukup waktu
untuk pemasangan mahkota logam. (Kennedy, 1992)
 Penilaian Kebersihan
Setelah pulpektomi gigi decidui, nyeri memang jarang timbul. Hal ini bisa menyesatkan
pandangan klinisi dengan mengangap bahwa perawatannya berhasil seratus persen. Demikian
juga mereka yang tidak membuat pengecekan ulang dengan radiograf merasa bahwa pulpa molar
deciduinya jarang mengalami kegagalan. (Kennedy, 1992)

19
Tindak lanjut 6 bulan setelah perawatan hendaknya meliputi pemeriksaan terhadap tanda
dan gejala, sedangkan radiograf periapikal dibuat pada waktu antara 8-12 bulan pasca perawatan.
Adanya kegoyahan patologik, fistula, dan mungkin juga nyeri (biasanya terhadap perkusi),
merupakan bukti suatu kegagalan perawatan. Tanda kegagalan secara radiografik diwujudkan
oleh terlihatnya pembesaran daerah radiolusen, dan oleh adanya resorpsi akar interna atau
eksterna. Kerusakan tulang mungkin akan dijumpai di daerah furkasi dan tidak di apeks. Tanda
keberhasilan secara radiologik diwujudkan oleh terlihatnya perbaikan tulang serta tidak adanya
tanda dan gejala. Sedangkan gigi-gigi yang tidak menunjukkan pembesaran atau pengecilan
daerah radilusen harus dianggap berhasil jika tidak disertai oleh tanda dan gejala, dengan catatan
perubahan radiolusensi radiografnya harus diperiksa dengan teliti. (Kennedy, 1992)
Tindak lanjut pasca perawatan yang akurat memerlukan penanganan pencatatan data
yang teliti. Tanda dan gejala seperti pra-operatif seperti macam dan lamanya nyeri, kegoyangan
gigi, fistula, juga medikamen yang digunakan harus dicatat dengan baik. (Kennedy, 1992)

 Erupsi Gigi Permanen Pengganti


Pada gigi non-vital yang dirawat pulpotomi atau pulpektomi, resorpsi prematur akar
merupakan hal yang menonjol. Setiap bahan pengisi saluran akar yang digunakan di kamar pulpa
atau saluran akar harus dari jenis yang dapat diresorpsi. Bahan pengisi yang berbahan dasar zinc
oxide dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan. Akan tetapi, bahan pengisi ini tidaklah sama
kekerasannya dengan gigi normal ataupun pulpa vital, sehingga gigi permanen yang sedang
erupsi menyundul bahan pengisi ini, akan ada kemungkinan terjadi perubahan arah erupsi. Satu
kelemahan yang menonjol dari perawatan pulpektomi dibandingkan dengan pulpotomi pada gigi
decidui adalah masalah resorpsi yang ditimbulkannya. Kebanyakan masalah mengenai resorpsi
timbul ketika gigi yang sedang erupsi telah meresopsi dasar kamar pulpa molar dan sedang
menyentuh bahan pengisi di kamar pulpa. Ankylosis gigi decidui dan berubahnya arah erupsi
dapat terjadi pada situasi ini. Erupsi gigi permanen pengganti yang tidak tepat dapat meniadakan
keberhasilan perawatan pulpa yang dilakukan sebelumnya. (Kennedy, 1992)
Setelah perawatan pulpektomi , gigi harus secara berkala diperiksa untuk mengetahui
keberhasilan perawatan dan untuk mencegah adanya problem yang kemungkinan akan
menyebabkan kegagalan, karena biasanya pulpektomi pada gigi permanen menimbulkan masalah
overorientasi. (Cohen,2006)

20
2. PENCABUTAN GIGI

a. Alasan Pemilihan Prosedur Ekstrasi Gigi

Mengenai alasan pasien tentunya ini disesuaikan dengan indikasi bahwa 'mencabut gigi'
memang perlu dilakukan untuk kebaikan pasien tentunya. Pencabutan untuk menghilangkan
sumber infeksi harus dilakukan sesegera mungkin bila gigi tersebut memang diindikasikan untuk
dicabut, yaitu bila perawatan syaraf (endodontik) sudah tidak lagi menjadi indikasi. Dengan
dicabutnya gigi penyebab infeksi, penyembuhan abses bisa lebih cepat terjadi.

Abses (infeksi) gigi merupakan infeksi baik pada akar gigi maupun infeksi antara gigi
dan gingiva. Kebanyakan penyebab abses adalah perluasan dari kerusakan/kebusukan gigi,
keadaan infeksi ini dapat menyebabkan rasa sakit yang sangat. Dokter gigi dapat menyelamatkan
gigi tersebut dengan mengobati infeksinya namun bila hal tersebut tidak berhasil maka gigi harus
dicabut.

Bila yang terjadi adalah abses yang terbatas didaerah radikular (ujung akar) maka
pencabutan dapat dilakukan tanpa perlu premedikasiter lebih dulu. Sedangkan bila yang terjadi
adalah selulitis yang sifatnya akut, nyeri yang parah dan menyeluruh, beukuran besar, dengan
pembengkakan yang tidak berisi nanah, dan umumnya disertai demam, maka pasien sebaiknya
mengkonsumsi antibiotic terlebih dulu untuk mengembalikan kondisi dan meredakan infeksit
ersebut. Barulah setelah itu gigi penyebab infeksi dapat dicabut. (McDonald, 2004)

b. Indikasi Pencabutan Gigi Decidui


1. Karies besar sehingga pulpa menjadi non vital. Untuk poin ini ada pendapat yang
berlawanan : segera cabut sebelum timbul keluhan/infeksi,dan melakukan perawatan. Tapi
tindakan dilakukan dengan melihat situasi.Jika sudah waktunya gigi erupsi(atau dekat
waktunya),maka tidak masalah dilakukan pencabutan.Tapi kalaupun terpaksa dicabut dan
waktunya masih lama sebelum erupsi,bisa dicegah dengan menggunakan space retainer.
2. Mengganggu erupsi dan arah pertumbukan dari gigi tetap.
3. Jika gigi susu itu sering menyebabkan sakit karena infeksi dan bengkak berulang-ulang.
4. Jika sudah terbentuk sinus pada mukosa disekitar ujung akar.
5. Jika sudah terjadi ulkus decubitalis (akar giginya keluar sehingga ujungnya yang tajam

21
melukai jaringan lunak sekitar,bibir/pipi). (Yan, 2009)

c. KONTRA INDIKASI PENCABUTAN GIGI DECIDUI


 Faktor lokal:
1. Gigi dengan kondisi abses, maksudnya adanya pus atau nanah pada bagian ujung akar gigi,
biasanya ditandai dengan rasa sakit yang hebat, bengkak, suhu meningkat
2. Adanya tanda keganasan bila dilakukan pencabutan, kondisi ini biasanya pada penderita
yang didiagnosa adanya gejala-gejala kanker pada rongga mulut khususnya sekitar jaringan
gigi.
3. Pasien dengan perawatan radioterapi, tidak bisa dilakukan pencabutan, dikarenakan
dikhawatirkan terjadinya komplikasi pasca pencabutan gigi. (Anonim, 2007)
 Faktor sistemik:
Merupakan faktor-faktor yang sebenarnya perlu pertimbangan khusus untuk dilakukan
pencabutan gigi. Bukan kontraindikasi mutlak dari pencabutan gigi. Faktor-faktor ini meliputi
pasien-pasien yang memiliki riwayat penyakit khusus. Dengan kondisi riwayat penyakit tersebut
pencabutan bisa dilakukan dengan syarat penyakit yang menyertainya bisa dikontrol untuk
menghindari terjadinya komplikasi saat sebelum pencabutan, saat pencabutan, ataupun setelah
pencabutan gigi. (Ulin, 2009)

d. PROSEDUR PENCABUTAN GIGI DECIDUI


Salah satu perawatan dalam bidang kedokteran gigi anak adalah prosedur pencabutan gigi
susu. Pencabutan gigi susu pada dasarnya memiliki prosedur yang tidak berbeda dengan
pencabutan gigi tetap pada orang dewasa.

 Posisi Pasien

Anak harus duduk di kursi gigi berbaring sekitar 30 ° terhadap vertikal untuk ekstraksi
dengan anestesi lokal. Dengan anestesi umum pasien biasanya telentang. Ketika gigi atas diberi
dengan anestesi lokal operator berdiri di depan pasien, dengan punggung lurus dan mulut pasien
pada tingkat tepat di bawah operator bahu. Seorang operator kidal menghapus gigi kiri bawah
dari sama posisi di depan pasien, kecuali bahwa mulut pasien ketinggian tepat di bawah siku
operator. Ketika mengambil gigi dari kanan rendah yg memakai tangan kanan operator berdiri di

22
belakang pasien dengan kursi serendah mungkin untuk memungkinkan visi yang baik. Ketika
melakukan ekstraksi pada pasien telentang di bawah anestesi umum mulut pasien biasanya pada
tingkat tepat di bawah siku operator.

- The non-working hand


Bagian – bagian di bawah ini menggabarkan alat dan teknik yang digunakan oleh operator.
The 'non-working' hand merupakan aturan penting sebelum mulai.
1. Jaringan lunak ditarik untuk memungkinkan visibilitas dan akses
2. Melindungi jaringan apabila instrument tersebut slip
3. Memberikan ketahan terhadap gaya ekstraksi pada rahang bawah untuk mencegah dislokasi
4. Menyediakan “ merasa “ untuk operator selama ekstraksi dan member informasi tentang
ketahan terhadap penghilangan.
- Order extraction
Ketika melakukan beberapa ekstraksi di semua kuadran dari mulut (terutama jika
dengan anestesi umum) urutan ekstraksi adalah sebagai berikut:
1. gigi simtomatik yang diambil sebelum 'menyeimbangkan ekstraksi' di seberang.

2. Turunkan gigi yang diekstraksi sebelum gigi atas (untuk menghilangkan pendarahan
mengganggu bidang bedah). ( welbury, 2005 )

 Instrumen.

Forseps digunakan untuk ekstraksi gigi decidui dan memiliki paruh yang sempit, sehingga
mereka dapat beradaptasi sesuai dengan daerah servikal dari gigi yang akan diekstraksi. Teknik
ekstraksi untuk gigi decidui adalah serupa dengan yang digunakan untuk gigi permanen. Dokter
gigi harus perhatian dan hati – hati ketika ekstraksi decidui molar karena dapat beresiko pada
gigi dibawahnya.

23
Gambar : decidui molar mandibula dengan penampakan gigii permanen

Secara khusus, karena mahkota gigi decidui pendek . Paruh tang mungkin secara tidak
sengaja dapat menjepit mahkota dari buds yang mendasari pada gigi permanen dan akibatnya
dapat tercabut keduanya.oleh karena itu posisi forsceps terletak pada mesial dan distal mahkota
bukan di pusat gigi.

ekstraksi decidui molar dengan forceps. Forceps diposisikan mesial atau distal pada mahkota dan
bukan pada pusat “ center ” gigi.

Ketika akar gigi decidui embrace mahkota dari premolar yang terletak di bawahnya maka
gigi decidui tersebut harus dikeluarkan dengan ekstraksi bedah. ( Fragiskos, 2007 )

e. Perawatan Pasca Ekstraksi

Pada kasus seorang anak terpaksa kehilangan gigi sulungnya akibat trauma ataupun
karena karies jauh sebelum waktunya tanggal maka tempat yang ditinggalkan oleh gigi yang
tercabut ini dapat menjadi lebih kecil, lebih besar atau berukuran tetap. Ekstraksi prematur dari
gigi sulung ini tidaklah selalu diikuti oleh terjadinya kasus maloklusi. Seperti kehilangan gigi
incisivi atas jauh sebelum waktunya tidak selalu mengakibatkan tempat yang ditinggalkannya
menjadi lebih sempit. Akan tetapi lain halnya apabila gigi prematur yang tercabut adalah gigi
Caninus decidui, maka tempat yang ditinggalkan nya menjadi lebih sempit. (Mokhtar, 1974)

Untuk mencegah terjadinya spacing loss maka dapat disarankan untuk memakai space
maintainer untuk mempertahankan ruangan yang nantinya akan digunakan sebagai tempat gigi
permanen yang tumbuh. (Mokhtar, 1974) Aplikasi space maintainer memerlukan biaya peralatan
dan pemeliharaan kebersihan mulut. Anak-anak dengan oral hygiene yang buruk dan resiko
karies yang tinggi bukan merupakan kasus ideal untuk kasus demikian. Sebelum seorang dokter

24
gigi anak memutuskan untuk memberikan perawatan space maintainer sangat penting untuk
mengevaluasi perawatan secara kritis mengenai biaya, kebutuhan, dan manfaat yang diberikan
ketika oklusi normal didapat. (Cameron, 2003)

Ketika gigi molar kedua sulung hilang secara prematur sebelum waktu erupsi molar
permanen pertama, kehilangan lengkung rahang dapat disebabkan oleh penyimpangan tumbuh
ke arah mesial gigi molar permanen. (Cameron, 2003)Space maintainer membuat anak
mendapatkan lengkung rahang yang normal dan mencegah penyimpangan arah tumbuh akibat
kehilangan gigi decidui secara prematur. Kehilangan ruang pada kasus ini dapat menghsilkan
gigi permanen yang berjejal. (Cameron, 2003)

Syarat- syarat yang harus dipenuhi ketika membuat alat space maintainer antara lain :
Alat harus dapat mempertahankan jarak mesiodistal , sehingga tempat bekas pencabutan tidak
menjadi lebih besar atau lebih kecil, Alat juga harus menjaga agar gigi antagonis dari gigi yang
tercabut tersebut tidak mengalami elongasi, Mudah dobersihkan, tidak mengganggu fungsi
pengunyahan, tidak menimbulkan kerusakan terhadap gigi yang ada dan juga terhadap jaringan
sekitar di mulut. (Mokhtar, 1974)

Indikasi penggunaan space maintainer adalah apabila terjadi kehilangan gigi sulung dan
gigi penggantinya belum siap erupsi menggantikan posisi gigi sulung tersebut dan analisa ruang
menyatakan masih terdapat ruang yang memungkinkan untuk gigi permanennya. Apabila
terdapat maloklusi dan maloklusi akan bertambah parah dengan adanya kehilangan ruang, maka
evaluasi orthodonti perlu dipertimbangkan.Waktu yang tepat penggunaan space maintainer
adalah segera setelah kehilangan gigi sulung. Kebanyakan kasus terjadi penutupan ruang setelah
6 bulan kehilangan gigi.(Wellbury, 2001)

Kontra indikasi space maintainer adalah tidak terdapat tulang alveolar yang menutup
mahkota gigi tetap yang akan erupsi dan kekurangan ruang untuk erupsinya, ruangan yang
berlebihan untuk gigi tetapnya erupsi, kekurangan ruang yang sangat banyak sehingga
memerlukan tindakan pencabutan dan perawatan orthodonti, dan gigi permanen penggantinya
tidak ada. Syarat suatu space maintainer adalah dapat menjaga ruang dimensi proksimal, tidak
menggangu erupsi gigi antagonisnya, tidak menggangu erupsi gigi permanen, tidak

25
mempengaruhi fungsi bicara, pengunyahan, dan fungsi pergerakan mandibula, disain yang
sederhana, dan mudah dibersihkan. (Wellbury, 2001)

Klasifikasi space maintainer adalah (1) space maintainer cekat dengan band, (2) space
maintainer cekat tanpa band atau dengan etsa asam, (3) space maintainer lepasan dengan band
atau semi-cekat, (4) space maintainer lepasan tanpa band, (5) space maintainer fungsional atau
dapat dikunyah, dan (6) space maintainer nonfungsional. .(Wellbury, 2001)

Kekurangan space maintainer cekat (fixed space maintainer) adalah (1) cenderung
mengakibatkan tipping dan rotasi gigi penyangga, (2) menyebabkan terjadinya retensi plak
sehingga terjadi daerah demineralisasi dan karies pada gigi penyangga, (3) membutuhkan
preparasi pada gigi penyangga, (4) membutuhkan waktu kunjungan yang lama,(5) membutuhkan
proses laboratorium yaitu pensolderan, (6) daerah solder mudah rusak,[vii] dan (7) sitotoksik
karena terdapat daerah solder.(Wellbury, 2001)

Kondisi gigi yang memenuhi syarat untuk pemasangan space maintainer cekat sederhana
yang direkatkan dengan komposit resin berkemampuan mengalir adalah (1) kehilangan dini gigi
molar sulung, (2) terdapat gigi di mesial dan distal dari ruang gigi yang telah hilang untuk gigi
penyangga, dan (3) tidak ada restorasi pada permukaan bukal dari gigi penyangga. Secara
radiografis harus memenuhi syarat sebagai berikut (1) tidak ada resorbsi patologis pada gigi
penyangga, (2) adanya gigi permanen pengganti, (3) benih gigi permanen pengganti masih
tertutup tulang, (4) pembentukan akar gigi permanen pengganti belum selesai, dan (5) tidak ada
kondisi patologis pada jalur erupsi gigi permanen pengganti.(Wellbury, 2001)

Gigi cenderung akan bergeser ke arah mesial karena adanya fenomena ”mesial drifting
tendency” dan gaya dari gigi posterior yang akan erupsi pada anak yang sedang dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangan. Akibat dari kehilangan dini satu atau lebih gigi sulung, dapat
mengakibatkan (1) pergeseran midline, (2) gigi berjejal, (3) perubahan pada lengkung gigi, dan
(4) kehilangan ruang untuk gigi tetap penggantinya.(Wellbury, 2001)

Kehilangan dini gigi molar satu sulung pada maksila akan mengakibatkan berjejalnya
gigi posterior dan kehilangan ruang pada mandibula, sedangkan kehilangan dini gigi molar dua
sulung baik pada maksila ataupun mandibula akan mengakibatkan perubahan arah horizontal
pada hubungan molar permanennya.(Wellbury, 2001)

26
V. KESIMPULAN

Pada kasus di atas, anak tersebut didiagnosis mengalami gigi gangren dengan abses.
Tindakan awal yang dilakukan adalah penangan rasa nyeri yang dilakukan dengan jalan
pembuatan drainase dan pemberian obat analgesik, antiinflamasi, dan antibiotik. Selanjutnya
setelah abses dihilangkan dengan drainase, dilakukan perawatan gigi dengan pulpektomi karena
berdasarkan usia anak, diusahakan untuk menghindari pencabutan gigi. Setelah dilakukan
perawatan pulpektomi, evaluasi pasca perawatan dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
perawatan. Apabila tindakan pulpektomi tidak berhasil, dapat dilakukan ekstraksi gigi yang
kemudian dilanjutkan dengan pemakaian space maintainer.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adi-along, 2008, Dental Abses, http://adi-along.blog.friendster.com/2008/07/dental-abses/


diakses pada tanggal 16 mei 2010

Anonim, 2007, Teeth Extraction, http://dental-mcqs.blogspot.com/2007/12/teeth-extraction.html,


diakses pada tanggal 17 mei 2010

Anonim, 2008, Dental Abscess, British Dental Health Foundation,


http://www.patient.co.uk/health/Dental-Abscess.htm, diakses pada tanggal 16 mei 2010
Braham R L, Morris ME. 1980. Textbook of Pediatric Dentistry. London : William & Wilkins
Baltimore.: 177-207.
Cameron, AC., et al., 2003, Handbook of Pediatric Dentistry, 2nd edition, mosby, Philadelphia
Cameron, Angus C. and Widmer, Richard P (editor). 2004. Handbook of Pediatric Dentistry.
2nd edition. Mosby. London. Page 81.
Cohen, S., Hargreaves K.M., 2006. Pathways of the pulp 9th Edition. Mosby Elsevier.
Duggal MS, Mej Curzon, Sa Fayle, Kj Toumba and Aj Robertson. 2002. Restorative Technique
Pediatric Dentistry An Illustrated Guide to the Restoration of Carious Primary Teeth
Second Edition. Martin Dunitz. New York. Page 60.
Duggal M. 2005. Pediatric Dentistry Third Edition. Oxford University Press. Oxford. Page 169-
170.

Dyayadi MT. 2007. Puasa Sebagai Terapi. Penerbit Mizania. Bandung. Halaman 134

Finn S B. Clinical Paedodontics 4th ed. Philadelphia : W B Saunders Co.1973: 71-91.


Fragiskos FD. 2007. Oral Surgery. Berlin. Springer
Goldfogel, M., 2006, Dental Caries, http://uimc.discoveryhospital.com/main.php? id=2285,
Chicago, University of Illinois Medical Center, 16/05/2010
Grossman LI, Oliet S, and Del Rio CE. 1988. Endodontics Practice. 11th edition. Philadelphia.
Lea & Febiger
Ingle, J.I.; and L.K. Bakland. 2002. Endodontics. Ontario: Elsevier.
Kennedy, D. B., 1992, Konservasi Gigi Anak, Jakarta : EGC hal. 269-275
Koch, G., Poulsen, S., 2001, Pediatric Dentistry : a Clinical Approach, Copenhagen :
Munksgaard
Martin, Michael, and Jacob W. Ufberg. "Dental Abscess." eMedicine Consumer Health. Eds.
Ruben Olmedo, Francisco Talavera, and Steven L. Bernstein. 10 Aug. 2004. Medscape.
20 May 2005 <http://www.emedicinehealth.com/20555-1.asp>.

Marsh, P., Martin, M.V., 1999, Oral Microbiology, 4th ed, Wright Elsevier Limited: Philadelphia

Maulani C, Enterprise J. 2005. Kiat Merawat Gigi Anak. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Halaman 76

28
McDonald R E dan David R A. 2000. Dentistry for the Child and Adolescent 7th ed.St Louis :
Mosby. 1-23

McDonald, RE., et al., 2004, Dentistry for the Child and Adolescent, 8 th Ed., Mosby, Inc., St.
Louis, Page 373-4

Mokhtar, M., 1974, Penuntun Kuliah ORTHODONTI,, USU Press, Medan.


Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C., 2001. Farmakologi. Edisi 2. Widya Medika, Jakarta.
Halaman 411-2.
Pedlar, Jonathan and John W. Frame. 2001. Maxillofacial Surgery: An Objective-based
Rossi S, editor. Australian Medicines Handbook 2006. Adelaide: Australian Medicines
Handbook; 2006.
Schneider, Karen.2004. Dental Abscess. http.//www.eMedicine.com.2004, diakses 17 mei 2010

Tampubolon NS. 2005. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal Terhadap Kualitas
Hidup. Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/e-
book/Nurmala%20Situmorang.pdf diakses pada tanggal 17 Mei 2010 pukul 17.00

Tarigan R, 2004, Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti) Ed. 2, Jakarta : EGC


Tarigan R. 2006. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti) Edisi 2 Revisi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. Hal 145-146.
Techniques in Paediatric Dentistry : an Illustrated Guide to The Restoration of Carious Promary
Teeth, 2nd Ed. New York : Martin Dunitz
Ulin, 2009, Kapan gigi harus dicabut, http://hiulin.blogspot.com/2009/04/kapan-gigi-harus-
dicabut.html, diakses pada tanggal 16 mei 2010

Wahyuni, Anna W., S. Farm., Apt. 2006. Obat-obat penting untuk pelayanan kefarmasian.
Laboratorium Manajemen Farmasi dan Farmasi Masyarakat Bag. Farmasetika Fakultas
Farmasi UGM : Yogyakrta
Wahyuningsih, Desi T and Masykur Rahmat. 2003. Osteomyelitis Sebagai Akibat Dari Tindakan
Bedah Fraktur Mandibula. Ceril XII;3-2003 : 6-7
Walando Yan, Mailing List Dokter Indonesia, 2009, Indikasi Pencabutan Gigi Susu,
http://www.mail-archive.com/dokter@itb.ac.id/msg12346.html, diakses pada tanggal 17
mei 2010
Walton, R.E. and Torabinejad, M. 2002. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi. 2nd ed. W.B
Saunders Company: Philadelphia, page 528-531

Waxman B., Cuartero M., Grover V., Dang M., 2005, Possible Preventative Effects of
Childhood Antibiotics on Caries Development : An Evidence Based Survey of The
Literature, Journal of Community Dentistry, 4(77): 138-55

29
Wellburry, Richard R., 2001, Paediatric Dentistry. 2nd ed, Oxford University Press Inc, New
York. P. 129-148.
Welbury R. Paediatric Dentistry. Third edition. Oxford University Press. Oxford.2005

30

Anda mungkin juga menyukai