Anda di halaman 1dari 2

Tirah baring atau bedrest yaitu suatu keadaan dimana pasien berbaring di tempat tidur

selama hampir 24 jam setiap harinya dengan tujuan untuk meminimalkan fungsi semua sistem
organ pasien (Hinchliff, 1999). Menurut Potter dan Perry (2006). Tirah baring yang berlangsung
lama dapat menyebabkan dampak yang negatif terhadap sistem tubuh pasien. Beberapa dampak
negatif tirah baring terhadap fisik yaitu pada sistem integumen dapat menyebabkan kerusakan
terhadap integritas kulit, seperti abrasi dan ulkus dekubitus atau luka tekan (Asmadi, 2008).

Dampak yang sering kali timbul terhadap sistem integumen pada pasien yang mengalami
tirah baring yaitu luka tekan atau ulkus dekubitus (Asmadi, 2008). Luka tekan atau ulkus dekubitus
itu sendiri adalah area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika
penekanan pada kulit karena pasien yang berada di tempat tidur dalam waktu yang lama (Smeltzer
& Bare, 2002). Luka tekan adalah cedera yang terlokalisasi pada kulit serta jaringan dibawahnya
dan biasanya diatas tonjolan tulang, sebagai akibat adanya tekanan atau kombinasi antara tekanan
dan gesekan menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel-European Pressure Ulcer Advisory
Panel(NPUAP-EPUAP, 2009).

Luka tekan disebabkan karena terjadinya gangguan sirkulasi peredaran darah ke jaringan
sehingga mengalami kerusakan atau gangguan integritas kulit dan stress mekanik terhadap
jaringan, yang mengakibatkan iskemik lokal. Jaringan lunak yang berada pada dua permukaan
yang keras dan terjadi gesekan antara kedua permukaan tersebut, yaitu antara permukaan rangka
tulang dengan permukaan tempat tidur (Kozier, 2011; Morison, 2004).

Terapi Farmakologi pada Pasien Paliatif


Untuk mengontrol gejala penyakit membutuhkan terapi obat yang sesuai dengan
penyebab gejala tersebut. Terdapat beberapa prinsip dasar dalam pemberian terapi obat untuk
mengatasi gejala atau masalah yang muncul pada pasien dengan penyakit lanjut, yaitu:
1. Beberapa gejala yang sering muncul membutuhkan terapi secara teratur, untuk mencegah
munculnya gejala berulang dan lebih lanjut.
2. Tiap obat baru seharusnya memiliki manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan besarnya
potensi efek samping yang dimilikinya (sesuai dengan kondisi pasien).
3. Obat-obatan yang sekiranya kurang bermanfaat dalam jangka pendek (misalnya, statin)
sebaiknya dihentikan.
4. Jika pasien mengeluh mual dan muntah, perlu dipikirkan rute pemberian obat yang lain.
5. Mengidentifikasi penyebab untuk gejala-gejala tertentu sehingga dapat diberikan terapi
simtomatik yang spesifik.

Berikut merupakan contoh terapi farmakologi untuk menangani gejala atau masalah mual
muntah dan nyeri pada pasien paliatif.
1. Mual dan muntah
Gejala dengan dominan mual, mengantuk dan kebingungan yang disebabkan oleh obstruksi
malignansi urology-gynecology terapi yang diberikan adalah haloperidol. Terapi obat ini
diberikan satu dosis perhari secara subkutan.
Gejala dengan distensi abdomen, muntah nyeri dan konstipasi yang disebabkan oleh
obstruksi usus malignant, terapi yang diberikan adalah cylizine, haloperidol dan analog
somatostatin.
Mual muntah yang disebabkan oleh obstruktif gaster yang muncul pada pasien dengan
kanker lambung, yang dihubungkan dengan asites dan hepatomegali, terapi yang digunakan
adalah metoklopropamid, dan domperidone.
Mual muntah yang disebabkan karena cemas, terapi yang diberikan adalah ansiolotik
(misalnya benzodiazepin), dan terapi yang diberikan pada gejala mual muntah dengan batuk
adalah antitusif (misalnya kodein).

2. Nyeri
Manajemen nyeri kronis dengan pemberian obat disesuaikan dengan skala nyeri. Skala 1-3
diberikan obat analgetik umum seperti dipirone, paracetamol atau non-steroid antiinflamatory
drugs (NSAID). Skala nyeri 4-6 diberikan obat opioid ringan seperti tramadol atau codein
ditambah analgetik umum. Skala nyeri 7-10 diberikan obat opioid kuat seperti morphine,
methadone, oxycodone, fentanyl, ditambah dengan analgetik umum.

Anda mungkin juga menyukai