Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

EFUSI PLEURA MALIGNANSI


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Pulmonologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

ALIEF AFRISIAMMY WIJAYA


1807101030075

Pembimbing:
Dr. dr. Mulyadi, Sp. P (K), FISR

BAGIAN/SMF PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2019
iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus yang
berjudul “EFUSI PLEURA MALIGNANSI”. Shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia
dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi RSUD
dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. dr.
Mulyadi, Sp. P (K), FISR yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil
sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada
khususnya.Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua, Amin.

Banda Aceh, April 2019

Alief Afrisiammy Wijaya


iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ......................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 16
2.1 Definisi ...................................................................................... 16
2.2 Epidemiologi ............................................................................. 16
2.3 Etiologi dan klasifikasi .............................................................. 17
2.4 Patofisiologi .............................................................................. 21
2.5 Gejala klinis .............................................................................. 23
2.6 Diagnosis ................................................................................... 23
2.7 Penatalaksanaan ........................................................................ 33
BAB IV ANALISA KASUS ............................................................................. 36
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40
1

BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi
batas normal di dalam rongga pleura diantara pleura parietalis dan pleura visceralis
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura
hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml. Akibat adanya cairan cukup banyak
dalam rongga pleura, maka kapasitas paru berkurang dan juga menyebabkan
pendorongan organ-organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan
insufisiensi pernafasan dan mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah.(1)
Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) cairan secara
konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Hampir semua
cairan ini dikeluarkan oleh limfatik pada pleura parietal yang mempunyai kapasitas
pengeluaran sedikitnya 0,2 mL/kg/jam. Akumulasi berlebih cairan pleura hingga
300mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura
melebihi kemampuan absorpsi cairan pleura.(1) Keadaan ini dapat mengancam jiwa
karena cairan yang menumpuk tersebut dapat menghambat pengembangan paru-
paru sehingga pertukaran udara terganggu. Faktor-faktor dan berbagai keadaan
dapat mendasari terjadinya efusi pleura.(1)
Penelitian di Kairo Mesir menunjukkan bahwa efusi pleura terutama
disebabkan oleh parapneumonic effusion inkomplit, diikuti dengan gagal jantung,
keganasan, dan empiema.(2) Penelitian yang dilakukan terhadap 107 pasien dengan
efusi pleura di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Bali pada tahun 2013, efusi
pleura terbanyak disebabkan oleh keganasan (34.6%), gagal jantung (15.9%),
pneumonia (15.0%), dan tuberkulosis (10.3%), kemudian diikuti dengan demam
berdarah, komplikasi post-thoracotomy, systemic lupus erythematous/SLE, gagal
ginjal, sirosis hepar, dan hypoalbuminemia. (3)
Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa
ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan
kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai
pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara
5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
2

sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.(4)
Umumnya pasien datang dengan gejala sesak napas, napas pendek, nyeri
dada, batuk, dan isi dada terasa penuh. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
gerakan diafragma berkurang, deviasi trakea, bunyi redup pada perkusi, penurunan
fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada auskultasi paru bila cairan
efusi sudah melebihi 300 ml. Foto thoraks dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
terjadinya efusi pleura.(5)
Oleh karena keadaannya yang dapat mengancam jiwa dan perlunya
penanganan yang segera pada beberapa kasus, kami mengangkat kasus efusi pleura
malignansi dalam laporan kasus ini. Tujuannya adalah untuk mempelajari
bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan kasus efusi pelura yang umumnya
merupakan keadaan akut dari penyakit paru.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. H
Umur : 50 tahun
Alamat : Julok, Aceh Timur
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
CM : 1-19-71-38
Tanggal Masuk : 30 Maret 2019
Tanggal Pemeriksaan : 10 April 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk sesekali, nyeri dada kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan sesak napas sejak 6 bulan
dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Sesak memberat dengan aktifitas ringan
dan tidak diikuti oleh suara mengi. Pasien juga mengeluhkan batuk sesekali sejak 1
bulan dan tidak berdahak. Batuk darah disangkal. Nyeri dada dirasakan di sebelah
kanan. Pasien lebih nyaman berbaring ke sebelah kiri. Pasien juga mengalami
demam naik turun. Riwayat penurunan nafsu nakan diakui pasien. Pasien
merupakan rujukan dari RS Daerah dan terpasang WSD selama 2 hari. Cairan yang
dikeluarkan sebanyak ± 1200 cc, dan berwarna serous hemoragic.

Riwayat Penyakit Dahulu : Ca mammae dextra (1 tahun lalu), DM (-), HT


(-), TB paru (-)
Riwayat Penggunaan Obat : OAT (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat hipertensi, DM dan TB pada keluarga
disangkal
4

Riwayat Sosial : Pasien merupakan ibu rumah tangga, dan suami


perokok berat.
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sesak
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 125/70 mmHg
Frekuensi nadi : 102 kali/menit
Frekuensi nafas : 24 kali/menit
Suhu : 36,7 °C
SpO2 : 98 % dengan O2 4 lpm NK

2.4 Pemeriksaan Fisik


 Kulit : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-)
 Kepala : Rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
 Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-)
 Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
 Telinga : Kesan normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
 Hidung : Sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-),
T1/T1.
 Leher : Retraksi suprasternal (-), pembesaran KGB colli dextra (+) axila
(-) retroauricula (-) suprasternal (-), kaku kuduk (-).
 Thorak anterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi Statis dan dinamis
Asimetris, dada kanan tertinggal, pernapasan abdominothorakal,
retraksi interkostal (-/-), jejas (-)
Palpasi
Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Atas
Tengah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal


5

Perkusi
Redup Sonor
Atas
Tengah Redup Sonor

Bawah Redup Sonor

Auskultasi vesikuler (+) melemah, rhonki vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
Atas (+), wheezing (-) (-)

vesikuler (+) melemah, rhonki vesikuler (+), rhonki (-), wheezing


Tengah
(+), wheezing (-) (-)

vesikuler (+), rhonki (-), wheezing vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
Bawah
(-) (-)

 Thoraks posterior

Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi Statis dan dinamis
Asimetris, dada kanan tertinggal, pernapasan abdominothorakal,
retraksi interkostal (-/-), jejas (-)

Palpasi
Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal
Atas

Tengah
Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Bawah Fremitus taktil: melemah Fremitus taktil: normal

Perkusi
Redup Sonor
Atas
Tengah Redup Sonor

Bawah Redup Sonor

Auskultasi vesikuler (+), rhonki (+), vesikuler (+)melemah, rhonki (+),


Atas wheezing (-) wheezing (-)

vesikuler (+)melemah, rhonki (+), vesikuler (+), rhonki (-), wheezing


Tengah
wheezing (-) (-)

vesikuler (+)melemah, rhonki (+), vesikuler (+), rhonki (-), wheezing


Bawah
wheezing (-) (-)

 Jantung
6

Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+), murmur (-)


 Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Soeple (+), perbesaran organ(-), nyeri tekan (-), murphy sign(-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
 Ekstremitas :
Ekstremitas superior : sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), CRT <2 detik
Ekstremitas inferior : sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), CRT <2 detik

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah (30/03/2019)
Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
Jenis pemeriksaan 30-03-2019 Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,1 12,0-15,0 g/dL
Hematokrit 40 37-47 %
Eritrosit 5,2 4,2-5,4 106/mm3
Trombosit 429 150-450 103/mm3
Leukosit 10,0 4,5-10,5 103/mm3
MCV 76 80-100 Fl
MCH 25 27-31 Pg
MCHC 33 32-36 %
RDW 14,9 11,5-14,5 %
MPV 10,3 7,2-11,1 Fl
PDW 12,6 Fl
Eosinofil 2 0-6 %
Basofil 1 0-2 %
Neutrofil batang 0 2-6 %
Neutrofil segmen 65 50-70 %
Limfosit 23 20-40 %
Monosit 9 2-8 %
KIMIA KLINIK
Albumin 2,48 3,5-5,2 g/dl
SGOT 524 <31 U/L
7

SGPT 104 <34 U/L


Ureum 51 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,86 0,67-1,17 mg/dL
Natrium 130 132-146 mmol/L
Kalium 5,0 3,7-5,4 mmol/L
Klorida 99 98-106 mmol/L

b) Thorax

2.6 Diagnosa
1. Efusi pleura dextra ec dd - Malignancy
- Infeksi
2. Ca mammae
3. Hepatomegali ec – Metastasis primer
- Hepatoma

2.7 Tatalaksana
- Diet MB TKTP
- O2 3-4 Lpm NK
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- Fudostin 3x1
- PCT tab 3x 500 mg
8

2.8 Planning
1. Pungsi Pleura
2. Cek sitologi cairan pleura
3. Analisa cairan pleura
4. Kultur cairan pleura
5. Rontgen thorak ulang post pungsi pleura
6. Evaluasi keadaan umum
7. Evaluasi sesak napas

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam

Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian

Tanggal/
hari Catatan Instruksi
rawatan
Minggu S/ sesak nafas, batuk berdahak Th/
31/3/2019 O/ VS: - Diet MB TKTP
H1 TD : 120/80 mmHg
- IVFD RL 20 gtt/i
N : 80 x/menit
RR : 24 x/menit - O2 3-4 Lpm NK
T : 36.0 °C
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
SpO2 : 98%
Paru - N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
I: Asimetris, dada kanan
- N. Combivent 1 Resp/8jam
tertinggal
P: Sf sulit dinilai - Inj. Ketorolac 1 A/8jam
P: redup/sonor
- Codein 3x10mg
A: Ves (+ melemah/+), Rh
(+/+), Wh (-/-)

Ass/
1. Efusi pleura dextra ec dd
- malignancy
- infeksi
9

2. Syndrome obstruksi ec dd
- malignancy
3. Ca Mammae Dextra
P/ Foto Thoraks
Lab (DR, ur/cr, SGOT/SGPT,
KGDS, elektrolit, Albumin)
Senin S/ sesak nafas Th/
1/4/2019 O/ VS: - Diet MB TKTP
H2 TD : 110/80 mmHg
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
N : 96 x/menit
RR : 28 x/menit - O2 3-4 Lpm NK
T : 36.3 °C
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
SpO2 : 98%
Paru - N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
I: Asimetris, dada kanan
- N. Combivent 1 Resp/8jam
tertinggal
P: sulit dinilai - Inj. Ketorolac 1 A/8jam
P: redup/sonor
- Codein 3x10mg
A: Ves (+ melemah/+), Rh
(+/+), Wh (-/-) - Nystatin drop 3x 1cc
Ass/
1. Efusi pleura dextra on WSD ec
dd
- Malignancy
- Infeksi
2. Sindrome obstruksi ec dd
malignancy
3. Ca mammae dextra

P/ Evaluasi sesak napas


Evaluasi keeadaan umum

Senin S/ nyeri berat di tempat Th/


1/4/2019 pemasangan WSD Kaltrofen supp (ekstra)
H2 O/ VS:
TD : 110/80 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36.3 °C
SpO2 : 98%

Ass/
1. Efusi pleura dextra on WSD ec
10

dd
- Malignancy
- Infeksi
2. Sindrome obstruksi ec dd
malignancy
3. Ca mammae dextra
4. Chest pain ec post pemasangan
WSD VAS 5-6

P/ Evaluasi sesak napas


Evaluasi keeadaan umum

Senin S/ Muntah darah berwana Th/


1/4/2019 kehitaman - Inj. Omeprazole 1 amp/24jam
H2 Nyeri Perut - Sukralfat syr 3xCI
O/ VS:
TD : 110/80 mmHg
N : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36.5 °C
SpO2 : 98%
Abdomen :
I : Simetris
P : Soepel, NT (-)
A : Peristaltik (N)
Ass/
1. Efusi pleura dextra on WSD ec
dd
- Malignancy
- Infeksi
2. Susp. PSMBA

Selasa S/ Muntah darah berwana Th/


2/4/2019 kehitaman - Diet MB TKTP
H3 BAB (-) 5 hari
- IVFD Rl 20 gtt/i
Nyeri perut
Sesak napas - O2 2-3 Lpm NK
O/ VS:
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
TD : 110/70 mmHg
N : 90 x/menit - N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
RR : 28 x/menit
- N. Combivent 1 Resp/8jam
T : 36.5 °C
SpO2 : 98% - Inj. Ketorolac 1 A/8jam
Paru
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal
11

P: sulit dinilai - Codein 3x10mg


P: redup/sonor
- Nystatin drop 3x 1cc
A: Ves (+ melemah/+), Rh
(+/+), Wh (-/-) - Inj. Ondansetron 1amp/8jam
Ass/
- Sucralfate syr 3x CI
1. Efusi pleura dextra on WSD ec
dd - Dulcolax supp (ext)
- Malignancy - Durogesic Pacth 12,5µg/jam
- Infeksi
2. Sindrome obstruksi ec dd
malignancy
3. Ca mammae dextra

P/ Evaluasi sesak napas


Perbaiki keeadaan umum
USG Thoraks

Rabu S/ BAB (-) 5 hari Th/


3/4/2019 Nyeri perut - Menunggu biopsi insisi dari
H4 O/ VS:
bedah onkologi
TD : 100/60 mmHg
N : 80 x/menit - Perbaikan KU
RR : 26 x/menit
T : 36.5 °C
SpO2 : 96%
Paru
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal
P: sulit dinilai
P: redup/sonor
A: Ves (+ melemah/+), Rh
(+/+), Wh (-/-)

Ass/
1. Efusi pleura dextra ec
malignancy
2. Sindrome obstruksi ec dd
malignancy
3. Ca mammae dextra

P/ Evaluasi sesak napas


Perbaiki keeadaan umum
12

Kamis S/ Nyeri perut Th/


4/4/2019 Sesak napas - Diet Lunak 1300/40 gram
H5 O/ VS:
protein
TD : 90/60 mmHg
N : 105 x/menit - IVFD Rl 20 gtt/i
RR : 26 x/menit
- O2 2-3 Lpm NK
T : 36.5 °C
SpO2 : 96% - Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Paru
- N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal - N. Combivent 1 Resp/8jam
P: sulit dinilai
- Inj. Ketorolac 1 A/8jam
P: redup/sonor
A: Ves (+ melemah/+), Rh - Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
(+/+), Wh (-/-)
- Codein 3x10mg
Ass/ - Nystatin drop 3x 1cc
1. Efusi pleura dextra post WSD
- Inj. Ondansetron 1amp/8jam
ec Malignancy
2. Sindrome obstruksi ec - Sucralfate syr 3x CI
malignancy
- Dulcolax supp (ext)
3. Ca mammae dextra
4. Low intake - Durogesic Pacth 12,5µg/jam
- Kaltrofen supp (extra)
P/ Evaluasi sesak napas
Evaluasi keeadaan umum - Laxadine syr 3xCI
Biopsi insisi dari bagian
onkologi
Cek albumin, DR, elektrolit,
ur/cr

Jumat S/ Nyeri perut kanan Th/


5/4/2019 Lemah anggota gerak - Diet Lunak 1300/40 gram
H6 O/ VS:
protein
TD : 90/70 mmHg
N : 98 x/menit - IVFD Rl 20 gtt/i
RR : 22 x/menit
- O2 2-3 Lpm NK
T : 36.5 °C
SpO2 : 98% - Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Paru
- N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal - N. Combivent 1 Resp/8jam
P: sulit dinilai
- Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
P: redup/sonor
A: Ves (+ melemah/+), Rh - Codein 3x10mg
(+/+), Wh (-/-)
- Nystatin drop 2x 1cc
Ext : Oedem (+)
13

- Inj. Ondansetron 1amp/8jam


Ass/
- Sucralfate syr 3x CI
1. Efusi pleura dextra post WSD
ec dd - Durogesic Pacth 12,5µg/jam
- Malignancy
- Laxadine syr 3xCI
- Infeksi
2. Sindrome obstruksi ec dd - Curcuma 3x1
malignancy
3. Ca mammae dextra
4. Intake kurang

P/ tunggu insisi bedah onkologi


(pasien menolak)
Minggu S/ Nyeri perut kanan Th/
7/4/2019 Lemah anggota gerak - Diet DM
H8 O/ VS:
- IVFD tutofusin 10 gtt/i
TD : 100/70 mmHg
N : 98 x/menit - O2 2-3 Lpm NK
RR : 20 x/menit
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
T : 36.7 °C
SpO2 : 96% - N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
Paru
- N. Combivent 1 Resp/8jam
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal - Inj. Omeprazole 40mg/24 jam
P: sulit dinilai
- Codein 3x10mg
P: redup/sonor
A: Ves (+ melemah/+), Rh - Nystatin drop 4x 1cc
(+/+), Wh (-/-)
- Inj. Ondansetron 1amp/8jam
Ass/ - Sucralfate syr 3x CI
1. Efusi pleura dextra post WSD
- Durogesic Pacth 12,5µg/jam
ec dd Malignancy
2. Sindrome obstruksi ec dd - Laxadine syr 3xCI
malignancy
- Curcuma 3x1
3. Ca mammae dextra
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
6. Intake kurang

P/ USG Abdomen

Senin S/ Nyeri perut kanan bawah Th/


8/4/2019 Lemas - Diet DM
H9 Intake makan berkurang
- IVFD tutofusin 10 gtt/i
O/ VS:
TD : 100/60 mmHg (rencord drip albumin 25%)
14

N : 98 x/menit - O2 2-3 Lpm NK


RR : 26 x/menit
- N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
T : 36.7 °C
SpO2 : 96% - N. Combivent 1 Resp/8jam
Paru
- Inj. Omeprazole 40mg/24 jam
I: Asimetris, dada kanan
tertinggal - Codein 3x10mg
P: sulit dinilai
- Nystatin drop 4x 1cc
P: redup dibagian bawah/sonor
A: Ves (+ melemah/+), Rh - Inj. Ondansetron 1amp/8jam
(+/+), Wh (-/-)
(STOP)
- Sucralfate syr 3x CI
Ass/
- Durogesic Pacth 12,5µg/jam
1. Efusi pleura dextra post WSD
ec dd Malignancy - Laxadine syr 3xCI (STOP)
2. Sindrome obstruksi ec dd
- curcuma 3x1
malignancy
3. Ca mammae dextra - Domperidon 3x1
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
6. Intake kurang
7. Stomatitis

P/ USG Abdomen
Perbaiki keadaan umum

Rabu S/ Nyeri perut kanan Th/


10/4/2019 Mual - Diet MBTKTP
H11 Intake makan sulit
- IVFD tutofusin 10 gtt/i
O/ VS:
TD : 100/60 mmHg (rencord drip albumin 25%)
N : 96 x/menit
- O2 2-3 Lpm NK
RR : 26 x/menit
T : 36.7 °C - N. Pulmicort 1 Resp/12 jam
SpO2 : 96%
- N. Combivent 1 Resp/8jam
Paru
I: Asimetris, dada kanan - Inj. Omeprazole 40mg/24 jam
tertinggal
- Codein 3x10mg
P: Sf ka < Sf ki
P: sonor memendek/sonor - Nystatin drop 4x 1cc
A: Ves (+melemah/+), Rh
- Sucralfate syr 3x CI
(+/+), Wh (-/-)
Abd : nyeri tekan (+) - curcuma 3x1
Ext : oedem (+/+)
- Domperidon 3x1
Ass/
15

1. Efusi pleura dextra post WSD


ec dd Malignancy
Pasien PBJ
2. Ca mammae dextra
Kontrol : Poli paru
P/ Perbaiki keadaan umum Poli IPD
NOT : tidak bisa terpasang
Poli Bedah onkologi
16

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan pleura dalam
jumlah yang berlebih di dalam rongga pleura yang melebihi batas normal. Hal ini
disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan pleura.
Akumulasi cairan di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah karena reaksi inflamasi pleh infiltrasi sel kanker pada pleura
parietal dan visceral.(6) Normalnya, cairan dari kapiler pleural parietal masuk ke
rongga pleura. Kemudian, diserap oleh system limfe. Selain itu, cairan juga masuk
melalui pleura visceral dari rongga interstitial dan melalui lubang kecil di diafragma
dari rongga peritoneum. System limfatik akan menyerap hingga 20 kali cairan yang
berlebih diproduksinya. Namun, ketika terjadi penurunan absorpsi cairan oleh
system tersebut ataupun produksinya yang sangat banyak maka terjadilah efusi
pleura.(6)
Pada keadaan normal ruangan interpleura terisi sedikit cairan untuk sekedar
melicinkan permukaan kedua pleura parietal dan visceral yang saling bergerak saat
proses pernapasan. Cairan disaring keluar pleura parietal yang bertekanan tinggi
dan diserap oleh sirkulasi di pleura visceral yang bertekanan rendah. Di samping
sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisan subepitelial pleura
parietal dan visceral mempunyai peranan dalam proses penyerapan cairan tersebut.
Sehingga mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura ialah
kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik pada sirkulasi kapile,
penurunan tekanan kavum pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan
aliran limfe dari rongga pleura.(6)

3.2 Epidemiologi
Penelitian di Inggris, diperkirakan 50.000 kasus efusi pleura terjadi tiap
tahunnya.(7) Penelitian di RSUP Sanglah Bali tahun 2013, kejadian efusi pleura
berdasarkan jenis kelamin proporsi tertinggi adalah laki-laki sebesar 57% dan
perempuan sebesar 43%.(3) Persentase tertinggi kejadian Efusi Pleura Malignant
17

(MPE) disebabkan oleh proses metastase yaitu kanker paru pada laki-laki dan
kanker payudara pada wanita. Dua jenis kanker ini menyumbangkan 50-60% dari
total kasus efusi pleura malignant. (7)

3.3 Etiologi dan Klasifikasi


Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura.
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan
umumnya menyebabkan efusi pleura. Tahap yang pertama adalah menentukan
apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan diamana
umumnya dikarenakan penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia
pleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan
pneumototaks.(6) Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudatif yang
paling sering adalah karena infeksi seperti parapneumonia, mikobakterium
tuberkulosis, parasi, jamur, pneumonia atipik, dan sebagainya.(6)
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini (8):
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.
Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura(9)
18

Efusi Pleura dibagi menjadi :


a) Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan
protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena
terdapat peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah
bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh:
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia.
Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala
penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit
dada, sakit perut, gejala perikarditis.(13)
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob
(Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-
lain).(13)
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus,
dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme
fungi. (13)
19

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui


focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara
hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Efusi yang disebabkan oleh
TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang masif. Pada pasien
pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu,
dan nyeri dada pleuritik. (13)
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan
ukuran jantung yang tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah sesak dan nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali
dengan cepat walaupun dilakukan torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena:
 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi
kebocoran kapiler.
 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup
tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan
tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).(11,12)
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,
abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema). Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya
tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:
 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
20

 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada
nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik
yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam
saja.(9,11)
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma(11)
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.
(11)

b) Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik
dan koloid osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi
pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
(1). Meningkatnya tekanan kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler
pulmoner, (3) Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya
tekanan intra pleura. Efusi plura transudat dapat terjadi pada:
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan
tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura
parietalis. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat
juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi
dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat
sesak.(11,12)
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan
bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan
21

diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah
dengan memberikan infus albumin. (11,12)
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang
kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. (11)
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul
karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi
karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis. (12)
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Perpindahan cairan
dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma.
Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisa. (10)

c) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang
baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor
koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila
darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari
trauma dinding dada.(10)

3.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi
cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh
kapiler dan saluran limfe pleura parietalis dengan kecepatan yang seimbang dengan
22

kecepatan pembentukannya.(10,13)
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan
dan protein dalam rongga pleura. Gangguan yang menyangkut proses penyerapan
dan bertambahnya kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan
penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Proses penumpukan
cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Mekanisme yang
berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;
1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
23

Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,


sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks.(6) Proses terjadinya pneumothoraks
karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam
rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada
daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.(11)
Hubungan antara carcinoma paru dan efusi pleura berpengaruh kepada
kinerja paru itu sendiri. Pengembangan paru akan menjadi berkurang sehingga
mengalami hipoventilasi.(6) Sel-sel tumor bermetastase ke pleura terutama melalui
pembuluh darah dan awalnya menyerang pleura visceral. Sebagian besar sel
menyebar melalui pembuluh darah pulmonary. Setelah itu terjadi penyebaran ke
pleura parietal. Oleh karena itu saat ini diyakini bahwa kombinasi dari peningkatan
produksi cairan pleura dikarenakan ekstravasasi hiperpermeabilitas pleura parietal
dan visceral yang mendasari pengembangan efusi pleura malignant (MPE).(7)

3.5 Gejala klinis


Gejala-gejala yang timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika
mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa
rasa penuh dalam dada atau dipsnea dan nyeri dada. Gejala ini sangat bergantung
pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Nyeri bisa timbul diikuti dengan batuk
yang nonproduktif, nyeri dada berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul.
Adanya gejala-gejala umum seperti keringat malam, sensasi menggigil, malaise,
dan penurunan berat badan. Dan beberapa gejala-gejala penyerta penyakit
penyebab seperti nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberculosis), berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi
trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika adanya penumpukan cairan
pleural yang signifikan, femitus melemah, perkusi redup, dan suara napas melemah
pada sisi toraks yang sakit.(5)
24

3.6 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dahulu, kemudian dilanjutkan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis
Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar
yakni :
1. Nafas terasa pendek hingga sesak napas yang nyata dan progresif
2. Nyeri khas pleuritic pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya
adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi
eksudat misalnya infeksi, mesothelioma atau infark pulmoner
3. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan
terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba
4. riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien
terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pangkreatitis, riwayat
pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dan lain sebagainya.(10)
25

b. Pemeriksaan fisik

1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.


2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan besar karena proses
keganasan.
3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura interlobaris tidak
memberi gejala-gejala. Begitu pula bila efusinya berada di atas
diafragma.
4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai dengan luasnya efusi
pada auskultasi suara napas berkurang atau menghilang.
5. Resonansi vocal berkurang >> Egofoni
6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini belum menimbulkan
gejala pada pemeriksaan fisik

7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL, baru dapat ditemukan
gejala berupa gerak dada yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada
sisi yang mengandung akumulasi cairan. Fremitus taktil juga berkurang
pada dasar paru posterior. Suara perkusi menjadi pekak dan suara napas
pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya masih vesikuler.
8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi atelektasis pada
paru bagian bawah. Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang
mengandung timbunan cairan menjadi terbatas sedangkan sela iga
melebar dan menggembung. Pada auskultasi di atas batas cairan, sering
didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini
ditransmisiskan oleh jaringan paru yang menagalami atelektasis. Pada
daerah ini juga dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni yang
bertambah jelas.
9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan
seluruh paru menjadi kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin
melebar, gerak dada pada inspirasi sangat terbatas, suara napas, fremitus
taktil maupun fremitus vocal sulit didengar karena sangat lemah. Selain
itu terjadi pergeseran mediastinum ke arah kontralateral dan penurunan
letak diafragma.(10)
26

c. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam
rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah
lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus
menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan
mengikuti posisi gravitasi. (8)

Efusi pleura memiliki gambaran radiologi yang bervariasi antara lain:


Efusi subpulmonal

 Hampir semua efusi awalnya terkumpul dibawah paru antara pleura


parietal yang melapisi diafgrama dengan pleura viseralis lobus inferior.
 Gambaran diafgrama bukan merupakan gambaran diafgrama yang
sebenarnya, melainkan cairan pleura yang terkumpul diatas diafgrama.
 Menggeser titik tertinggi diafgrama (bukan diafgrama sebenarnya) ke
arah lateral.
 Pada efusi pleura subpulmonal kiri terdapat peningkatan jarak antara
udara lambung dengan udara di paru
 Pada foto lateral biasanya terdapat penumpulan sulkus kostofrenikus
posterior
27

Penumpulan sulkus kostofrenikus


 Sulkus kostofrenikus posterior ( foto lateral) menjadi tumpul terlebih
dahulu, kemudian diikuti sulkus kostofrenikus lateral (foto toraks tegak)
 Penebalan pleura juga dapat menyebabkan penumpulan sulkus
kostofrenikus, namun penebalan pleura biasanya berbentuk skilope
( lereng untuk ski) dan tidak akan berubah jika terdapat perubahan posisi
pasien.

Tanda meniskus
 Tanda ini sangat sugestif akan adanya efusi pleura
 Akibat paru yang elastis, maka cairan pleura lebih tinggi dibagian tepi.

Perselubungan hemitoraks
 Terjadi ketika rongga pleura mengandung 2L cairan pada orang dewasa.
 Paru akan kolaps secara pasif
 Efusi paru yang besar ini akan mendorong jantung dan trakea menjauhi
sisi yang terkena efusi.

Efusi yang terlokalisir


 Terjadi akibat adhesi antara pleura viseral dengan pleura parietal
 Adhesi lebih umum terjadi pada hemothoraks dan empiema
 Memiliki bentuk dan posisi yang tidak lazim ( tetap di bagian apeks paru
pada foto tegak)

Pseudotumor fisura
 Disebut juga vanishing tumor
 Merupakan koleksi cairan pleura yang berbatas tegas dan terletak di
fisura atau subpleura dibawah fisura
 Tidak berubah dengan perubahan posisi pasien

Efusi laminar
 Bentuk efusi pleura yang menyerupai pita tipis disepanjang dinding lateral
toraks, terutama didekat sulkus kostofrenikus

 Sulkus kostofrenikus cenderung tetap tajam


28

 Biasanya akibat gagal jantung atau penyebaran limfatik dari suatu


keganasan.
 Tidak bergerak bebas sesuai posisi pasien.

Pemeriksaan radiologis dengan foto dada standar dapat mendeteksi efusi


pleura dengan volume minimal 50 cc pada pandangan lateral, tetapi pemeriksaan
ini hanya bersifat sugestif untuk diagnosis EPM. Efusi pleura yang massif
meningkatkan kemungkinan terbentuknya meniscus sign dengan cairan yang
terlihat memanjat pada dinding dada lateral, pergeseran mediastinum ke sisi
kontralateral, dan inverse dari diafragma. Tanda radiograÞ dari suatu EPM
termasuk penebalan pleura terlobulasi yang sirkumferensial, penuhnya iga
(crowded ribs), dan peninggian hemidiafragma atau pergeseran mediastinu
ipsilateral konsisten dengan atelektasis karena obstruksi oleh tumor.
Pemeriksaan ultrasonografi dada belakangan ini makin luas
penggunaannya untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan efusi pleura karena
kemampuannya untuk mendeteksi cairan dengan volume yang sedikit (5cc),
mengidentifkasi gambaran sugestif dari EPM, dan menuntun thoracentesis dan
pemasangan kateter thoraks.Temuan sugestif EPM antara lain densitas pleural
solid, penebalan pleura yang hypoechoic dengan batas yang ireguler atau tidak
jelas, invasi massa pleural-based ke jaringan sekitar, serta pola melingkar dalam
cairan pleura yang menunjukkan debris seluler.
Contrast-enhanced chest computed tomography/ CT dada dengan kontras
memberikan informasi imaging yang paling bermanfaat untuk mengevaluasi
pasien dengan kecurigaan EPM. Hasil pencitraan di sini akan dapat melihat
sampai ke abdomen atas (untuk metastasis adrenal dan hepar). Selain itu, tumor
primer yang tersembunyi dapat diidentiÞ kasi seperti pada kanker payudara,
kanker paru, thymoma (tumor mediatinum), atau konsolidasi pada rongga
(limfoma). Temuan CT dada yang mengarah pada diagnosis EPM antara lain
penebalan pleura sirkumferensial, penebalan pleura nodular, penebalan pleura
parietal yang lebih dari 1 cm, dan keterlibatan pleura mediastinal atau bukti
adanya tumor primer. Semua temuan sugestif tersebut memiliki sensitivitas
antara 88% sampai 100% dengan spesifisitas 22% hingga 56 %.
29

2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500
cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan
pemeriksaan(10,11,12):
a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-
santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru,
keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan
agak purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses
karena amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat
dilihat pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

Tabel Perbedaan Biokimia Efusi Pleura


Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (L/U) <200 >200
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan efusi < 1,016 >1,016
Rivalta negatif Positif

3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel
patologis atau dominasi sel-sel tertentu. (11)
 Sel neutrofil: pada infeksi akut
 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna)
30

 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru


 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
 Sel giant: pada arthritis rheumatoid
 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
 Sel maligna: pada paru/metastase.
2. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
Pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.(14)

3. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. (14)

3.8 Penatalaksanaan
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika) (12,13):
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic) (12,13)
3. Torakosentesis(12,13)
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Awal manajemen untuk
EPM yang simtomatik adalah torakosentesis terapeutik. Dengan pendekatan ini
akan dapat dinilai respon sesak nafas terhadap pengeluaran cairan. Walaupun
keluhan dapat membaik setelah torakosentesis, sekitar 98% ! 100% pasien
dengan EPM akan mengalami reakumulasi cairan dan sesak nafas yang berulang
dalam 30 hari.(10) Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-
1500 cc pada setiap aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari
pada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock
(hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru
mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi
diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. Selain itu
pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex
31

vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi. Komplikasi
torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi
pleura viseralis.
4. Pemasangan WSD(11,12)
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat
dan aman. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi
pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
a. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
5. Pleurodesis(10)

Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis,


merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Pleurodesis adalah
pilihan tindakan pada pasien-pasien EPM yang mengalami perbaikan setelah
dilakukan thorakosentesis dan terjadi re-ekspansi paru yang baik pada radiograÞ
dada pasca tindakan. Sampai saat ini kombinasi tindakan drainase dan
pleurodesis dengan agen sklerosan merupakan tindakan efektif untuk menangani
EPM.
Keberhasilan pleurodesis selain dilihat dari perspektif pasien, juga dapat
dilihat dari aspek tehnik, khususnya agen sklerosan yang dignakan. Agen
sklerosan yang dimasukkan ke dalam ruang pleura untuk pleurodesis makin lama
makin berkembang serta makin banyak. Dari sekian banyak agen ini, talc bebas-
asbestos dikatakan paling baik untuk pleurodesis. Banyak penelitian klinis yang
mendukung efektivitas talc yang lebih superior dibandingkan agen sklerosan
lainnya, serta belakangan ini talc telah diterima sebagai agen sklerosan pilihan
untuk pleurodesis pada kasus EPM.
Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen
mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan
selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13
hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga
32

pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.


Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang
dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050
ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui
selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal
untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri
yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum
pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks
diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran
tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam
-48 jam cairan tidak keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan
pleurodesis adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau
demam.(10,12)
33

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien perempuan berusia 50 tahun datang dengan keluhan sesak yang


dirasakan sejak 6 bulan dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Sesak napas
dirasakan terutama saat beraktivitas ringan. Sesak napas juga tidak disertai bunyi
ngik-ngik. Pasien juga mengeluhkan batuk sesekali sejak 1 bulan dan tidak
berdahak. Nyeri dada dirasakan di sebelah kanan dan pasien lebih nyaman
berbaring ke sebelah kiri. Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit daerah dan
WSD sudah terpasang selama 2 hari. Cairan yang dikeluarkan sebanyak ± 1200 cc
dan berwara serous hemoragic. Pasien mengaku memiliki riwayat ca mammae 1
tahun lalu, dan penurunan berat badan yang dapat disebabkan oleh keganasan.
Sesak napas, batuk kering, nyeri dada, ketertinggalan gerak dada, fremitus
taktil melemah, perkusi paru didapatkan redup dapat disebabkan oleh efusi pleura.
Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding
toraks sehingga fremitus taktil melemah. Adanya cairan menyebabkan perkusi paru
redup saat diperkusi. karena cairan merupakan rintangan bagi suara dan getaran,
serta adanya efusi mengakibatkan alveolus tidak dapat mengembang dengan luas.
Sesak napas disebabkan karena paru yang teregang memiliki kecenderungan
tertarik ke dalam menjauhi dinding thoraks sedangkan dinding thoraks yang
tertekan cenderung bergerak keluar menjauhi paru. Pengembangan ringan rongga
pleura yang terjadi sudah cukup untuk menurunkan tekanan intrapleura ke tingkat
subatmosfer sebesar 756 mmHg (tekanan intra-alveolus 760 mmHg). Tekanan
intrapleural turun disebabkan karena adanya sedikit cairan. Pada efusi pleura cairan
memenuhi rongga pleura sehingga tekanan negatif bertambah, gradien transmural
34

semakin tinggi sehingga dorongan ke dinding thorax meningkat membuat pasien


sesak napas.
Diagnosis yang dapat disingkirkan pada pasien ini adalah efusi pleura
karena TB paru. Karena pasien sebelumnya menderita Ca mammae, meski pada TB
biasanya terdapat batuk kering maupun batuk produktif, penurunan berat badan,
sesak napas dan nyeri dada seperti ditusuk (pleuritik) jika TB sudah menginfiltrasi
pleura. Namun pasien tidak mengalami gejala hematogenik yakni demam dan
pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya.
Penegakan diagnosis efusi pleura dapat diperkuat dengan hasil radiologi yaitu
rontgen thorax. Hasil radiologi pasien adalah hilangnya sulkus kostofrenikus,
gambaran radioopak pada paru kanan yang hampir menutupi seluruh lapang paru.
Radiologi pasien tidak menunjukan adanya tanda meniskus. Diagnosis pasti yang
dapat ditegakkan adalah Efusi pleura et causa metastase ca mammae
Berdasarkan teori bahwa efusi pleura dapat dibagi penjadi efusi pleura
transudate dan eksudat. Dimana untuk kejadian keganasan atau neoplasma, akan
menimbulkan penumpukan cairan eksudat pada rongga pleura. Efusi pleura karena
neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae, kelenjar linife,
gaster, ovarium. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri
dada. Pada pasien ini, yang memungkinkan terjadinya efusi adalah akibat dari ca
mammae yang dialami pasien. Akibat dari proses metastase dari jaringan
menyebabkan cairan eksudat tersebut memenuhi rongga pleura.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah nebule combivent dan
ulmicort sebagai bronkodilator agar dapat mengatasi sesak. Pasien juga diberikan
injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam. Tujuan diberikannya ceftriaxone, karena ceftriaxone
merupakan antibiotic berspektrum luas. Antibiotik ini efektif digunakan untuk
infeksi pada saluran nafas, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan infeksi pada
pasien dengan imunosupresi. Pada pasien ini, indikasi diberikannya antibiotik
karena ditemukannya suara ronki pada pemeriksaan fisik paru yang mencurigai
adanya infeksi paru. Pasien juga disertai demam yang juga mengindikasikan pasien
terkena infeksi. Selain pemberian ceftriaxone pasien juga diberikan ketorolac 3x30
mg. Ketorolac adalah obat golongan analgetik non-narkotik yang mempunyai efek
antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac bekerja dengan menghambat sintesis
35

prostaglandin yang merupakan mediator yang berperan pada inflamasi, nyeri,


demam dan sebagai penghilang rasa nyeri perifer. Ketorolac termasuk golongan
obat antiinflamasi non steroid (NSAID). Konsentrasi puncak pemberian oral akan
tercapai dalam waktu 45 menit, pemberian intramuskular 30–45 menit dan
intravena bolus 1–3 menit. Pada pasien ini ketorolac diberikan karena terdapat
keluhan nyeri dada kanan dan nyeri perut.
Kodein merupakan analgesik agonis opioid. Efek codein terjadi apabila
codein berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di
susunan saraf pusat. codein pada pasien ini berfungsi sebagai antitusif karena
pasien mengeluh batuk kering dan sebagai analgesik golongan opioid.
Pada hari kedua pasien mendapat terapi yang sama seperti sebelumnya dan
pasien juga diberikan sucralfat dengan dosis 3 x C I yang berguna sebagai
sitoprotektor gaster. Pada hari ketiga pasien mendapat terapi yang sama seperti
sebelumnya namun ditambahkan nystatin drop, injeksi ondasetron, sukralfat sirup,
dulcolax, dan durogesik patch. Ondansentron adalah derivate carbazalone yang
strukturnya berhubungan dengan serotonin. Efek antiemetik ondansetron ini
didapat melalui, blokade sentral di CTZ pada area postrema dan nukleus traktus
solitaries sebagai kompetitif selektif reseptor 5-HT3 dan memblok reseptor 5- HT3
di perifer pada ujung saraf vagus di sel enterokromafin di traktusgastrointestinal.
Indikasi ondansentron pada pasien ini adalah mual dan muntah. Namun jika
ondansentron diberikan dalam jangka lama dapat timbul efek samping seperti
konstipasi dan sakit kepala. Pada hari kelima pasien mendapat terapi yang sama
seperti sebelumnya dan ditambahkan laxadine syr karena mengeluh sulit BAB. Hari
keenam terapi lanjut dan ditambahkan curcuma 3x1 karena pasien mengeluh
adanya penurunan nafsu makan, namun pasien menolak untuk dilakukannya insisi
biopsy oleh bedah onkologi. Hari kedelapan, kesembilan dan kesepuluh terapi
dilanjutkan. Hari kesebelas pasien pulang.
36

BAB V
KESIMPULAN

Ny. H, 50 tahun datang dengan keluhan sesak, batuk sesekali, dan nyeri dada
dirasakan di sebelah kanan. Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit daerah dan
WSD sudah terpasang selama 2 hari. Cairan yang dikeluarkan sebanyak ± 1200 cc
dan berwara serous hemoragic. Pasien mengaku memiliki riwayat ca mammae 1
tahun lalu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat didiagnosis sebagai efusi pleura et causa dd ca mammae. Penatalaksanaan
efusi pleura dapat dilakukan dengan pemasangan WSD dan pemberian obat-obatan
simtomatik. Secara umum penatalaksanaan yang dilakukan sudah tepat untuk
perbaikan keadaan umum, namun karena pasien menolak untuk dilalukan tindakan
insisi biopsi maka etiologi diagnosis sulit ditegakkan. Prognosi untuk pasien adalah
dubia ad malam karena kemungkinan ca mammae sudah bermetastasis jauh dan
tindakan yang dapat diberikan hanyalah tindakan paliatif/pencegahan saja.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Pratomo IP, Yunus F. Anatomi dan Fisiologi Pleura. Continuing Medical


Education. 2014;40(6):407–12.
2. Galal IH, Mohammad YM, Nada AA, Mohran YE. Prevalence, Causes, and
Clinical Implications of Pleural Effusion in Pulmonary ICU and Correlation
with Patient Outcomes. Egyptian Journal of Bronchology [Internet].
2018;12(33):33–40. Available from: http://www.ejbronchology.eg.net
3. Dwianggita P. Etiologi Efusi Pleura Pada Pasien Rawat Inap Di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali Tahun 2013. Intisari Sains
Medis. 2017;7(1):57.
4. Dian PB, Dewi T. Efusi Pleura Masif: Sebuah Laporan Kasus. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. 2015;
5. Indonesia P. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta. … diagnosis dan penatalaksanaan di Indones PDPI
[Internet]. 2003;19. Available from:
http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-kankerparu/kankerparu.pdf
6. Adiatma. Hubungan antara karsinoma paru dengan efusi pleura laporan
hasil karya tulis ilmiah. 2012;
7. Psallidas I, Kalomenidis I, Porcel JM, Robinson BW, Stathopoulos GT.
Malignant pleural effusion: from bench to bedside. European Respiratory
Review [Internet]. 2016;25(140):189–98. Available from:
http://dx.doi.org/10.1183/16000617.0019-2016
8. Villena Garrido V, Ferrer Sancho J, Blasco H, de Pablo Gafas A, Pérez
38

Rodríguez E, Rodríguez Panadero F, et al. Diagnosis and Treatment of


Pleural Effusion. Archivos de Bronconeumología ((English Ed.
2006;42(7):349–72.
9. Porcel JM, Light RW. Pleural Effusion. American family physician
[Internet]. 2006;73(7):1211–20. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16623208
10. Irfan I, Klinik K, Laporan kasus efusi pleura et causa metastase ca mammae.
2016;

Anda mungkin juga menyukai