Anda di halaman 1dari 48

PREDIKTOR KLINIS LESI INTRAABDOMEN PADA

PENDERITA TRAUMA TUMPUL ABDOMEN YANG


DIRAWAT KONSERVATIF DI RUMAH SAKIT SANGLAH
DENPASAR

I KETUT WIARGITHA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU BEDAH


UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................I

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................III

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1.Latar Belakang.................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................6

1.3. Tujuan Penelitian................................................................................................6


1.3.1 Tujuan Umum...............................................................................................6
1.3.2. Tujuan Khusus.............................................................................................7

1.4. Manfaat Penelitian..............................................................................................7


1.4.1. Manfaat Akademis.......................................................................................7
1.4.2. Manfaat Klinis............................................................................................. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................9

2.1. Anatomi Abdomen..............................................................................................9

2.2. Trauma Tumpul Abdomen................................................................................11

2.3. Patofisiologi Trauma Tumpul Abdomen.......................................................... 12

2.4. Cedera Organ Intraabdomen............................................................................ 13

2.5. Diagnosis dan Manajemen Trauma Tumpul Abdomen....................................18

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESA


PENELITIAN..........................................................................................................34

i
3.1. Kerangka berpikir.............................................................................................34

3.2. Konsep Penelitian.............................................................................................34

3.3. Hipotesa Penelitian...........................................................................................35

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN...............................................................36

4.1. Rancangan Penelitian....................................................................................... 36

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................................36

4.3. Sumber Data.....................................................................................................36


4.3.1. Populasi..................................................................................................... 36
4.3.2. Kriteria Inklusi...........................................................................................37
4.3.3. Kriteria Eksklusi........................................................................................37
4.3.4. Sampel Penelitian...................................................................................... 37

4.4. Variabel Penelitian............................................................................................38

4.5. Definisi Operasional Variabel.......................................................................... 38

4.6. Teknik Analisis Data........................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................41

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pembagian Anatomi Abdomen.................................................................9


Gambar 2 Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen................................20
Gambar 3 Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen. Penggunaan
CT scan yang selektif................................................................................21
Gambar 4 Protokol manajemen trauma tumpul abdomen. berdasarkan
alat penunjang diagnostik yang tersedia............................................22
Gambar 5 Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk pengaman pada pasien
trauma tumpul abdomen...........................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Trauma abdomen merupakan kasus emergency dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi tantangan
para ahli bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk diagnostik dan
terapi saat ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma abdomen (Costa et al.,
2010). Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada
pasien trauma, dan ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma.
Klasifikasi trauma abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu
trauma tajam (penetrans) dan trauma tumpul (blunt trauma). Angka kejadian
trauma tumpul abdomen didapatkan sekitar 80% dari keseluruhan trauma
abdomen. Saat ini ada beberapa algoritme dalam manajemen trauma tumpul
abdomen yang dibuat untuk mempermudah alur penanganan pasien di ruang gawat
darurat(Jansen, Yule and Loudon, 2008).
Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu trauma mayor yang sering
terjadi di Indonesia, dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Penyebab
terbanyak karena kecelakaan sepeda motor dan jatuh dari ketinggian. Prevalensi
cedera tertinggi didapatkan pada kelompok usia 15–24 tahun. Trauma tumpul
abdomen sering berhubungan dengan cedera multiple dan kadang tidak memiliki
tanda klinis yang serius pada pasien (Costa et al., 2010). Pada penderita yang
dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul, organ yang paling sering cedera
adalah hati (40 – 55%), limpa (35 – 45%) dan organ retroperitoneum (15%)(Vlies,
2017).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP), penyebab kematian
terbanyak oleh karena kecelakaan adalah multiple trauma (16%), trauma kepala
(4%), trauma abdomen (1%), dan trauma thorak (1%). Data tahun 2015
menyatakan dari total 2755 tindakan di ruang operasi IRD RS Sanglah, 720 kasus
berkaitan cedera kepala, 455 kasus berkaitan dengan fraktur ekstremitas, 64 kasus
berkaitan trauma abdomen, dan sisanya berkaitan dengan kegawatdaruratan bedah
non trauma. Kasus trauma tumpul abdomen di RSUP Sanglah dari januari 2013

1
sampai desember 2014 sebanyak 56 kasus, dengan rata rata usianya 20 - 40 tahun,
lebih banyak laki laki dibandingkan perempuan, dan penyebab paling sering adalah
karena kecelakaan lalu lintas. Organ yang paling sering mengalami trauma adalah
limpa (47%), dan hati (23%).
Trauma tumpul abdomen tidak hanya terjadi akibat trauma langsung, tetapi
juga oleh cedera deselerasi. Cedera intraabdomen yang parah mungkin terjadi
meskipun tidak ada tanda klinis trauma yang terlihat dari luar(Mehta, Babu and
Venugopal, 2014). Hal ini menyebabkan pentingnya evaluasi secara lengkap dan
tepat pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi, termasuk
pemeriksaan fisik secara menyeluruh, penggunaan modalitas diagnostik yang tepat,
dan tindak lanjut yang benar. Sebuah studi di Amerika menyebutkan bahwa
prediksi klinis yang terdiri dari hipotensi, nilai GCS (Glasgow Comma Scale)
kurang dari 14, patah tulang iga, nyeri perut, fraktur femur, hematuria > 25
RBC/hpf, tingkat hematokrit kurang dari 30%, dan radiografi toraks yang
abnormal dapat digunakan untuk evaluasi dalam memprediksiadanya cedera
intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Pasien tanpa variabel ini
memiliki risiko sangat rendah mengalami cedera intra-abdomen, sehingga CT scan
menjadi tidak bermanfaat dalam evaluasi adanya cedera intraabdomen(Holmes,
Mao, et al., 2009). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa GCS, tekanan nadi,
frekuensi pernafasan dan nilai RTS (Revised Trauma Score) telah terbukti
berhubungan secara bermakna dengan adanya cedera intra abdomen(Farrath et al.,
2012). Pemilihan penunjang diagnosis di awal merupakan hal yang sangat penting
dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Studi lain juga mengungkapkan bahwa
pemeriksaaan fisik abdomen yang tidak normal, adanya cedera thoraks dan gross
hematuria memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk terjadinya cedera
intraabdomen(Grieshop NA, Jacobson LE and GA, Thompson CT, 2005)
Pemeriksaan fisik merupakan bagian penting saat evaluasi awal pasien
dengan truma tumpul abdomen. Keadaan lain dimana pemeriksaan fisik tidak bisa
diandalkan pada evaluasi trauma tumpul abdomen adalah pasien yang
mengkonsumsi alkohol atau narkotika, intoksikasi, cedera tulang belakang, dan
kehamilan(Schurink G, 2007). Seorang traumatologis harus memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi adanya cedera intraabdomen pada pasien yang mengalami

2
trauma dengan energi yang tinggi, seperti : jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki,
terlempar dari kendaraan, kecelakaan ditabrak kendaraan bermotor/mobil dengan
kecepatan melebihi 45 mil/jam, kecelakaan langsung dari sepeda motor, fraktur
mayor atau fraktur tulang panjang atau pelvis karena trauma, fraktur tulang rusuk
pertama, fraktur tulang rusuk bagian bawah, dan adanya Seat belt sign. Sebanyak
40% penderita hemoperitoneum tidak menunjukkan temuan yang signifikan pada
pemeriksaan fisik awal. Untuk itu pemeriksaan fisik harus diulang secara serial
oleh pemeriksa yang sama. Disamping itu modalitas pmeriksaan penunjang untuk
diagnostik harus dilakukan segera sesuai prosudur rumah sakit dan ketersediaan
alat diagnostik (Ricardo Ferrada, 2011).American College of Surgeons
merekomendasikan penggunaan pemeriksaan penunjang jika ada cedera yang
berhubungan dengan cedera intraabdomen, seperti : fraktur tulang iga, fraktur
pelvis, adanya cedera kepala, cedera tulang belakang.(Trauma Committe, 2012)
Pemeriksaan penunjang merupakan modalitas diagnostik yang memiliki
peran signifikan dalam menentukan adanya cedera intraabdomen. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang saat ini digunakan untuk diagnostik diantaranya :
Foto abdomen konvensional, Laboratorium, Diagnostic Peritoneal lavage (DPL),
Computed tomography (CT) dan Ultrasonografi(Jansen, Yule and Loudon, 2008).
CT scan merupakan salah satu penunjang diagnostik yang rutin digunakan, dan
sudah menjadi protokol dalam manajemen trauma tumpul abdomen dibeberapa
rumah sakit, termasuk di RSUP Sanglah. Keakuratan CT scan dalam diagnostik
pada pasien trauma tumpul dengan hemodinamik stabil sangat tinggi. Sensitivitas
antara 92% sampai 97,6% dan spesifisitas setinggi 98,7%. Keuntungan lain dari
CT scan dibandingkan dengan modalitas diagnostik lainnya adalah kemampuannya
untuk mengevaluasi daerah retroperitoneal. (Salimi et al., 2009). CT scan sangat
tidak sensitif untuk diagnosis cedera mesenterika dan cedera organ berongga
seperti usus. Kekurangan CT scan adalah : membutuhkan biaya yang mahal, pasien
harus kooperatif dan stabil secara hemodinamik, pasien harus dipindahkan dari
area resusitasi ke tempat radiologi khusus, harus tersediaahli radiologi untuk
membaca hasil yang akurat, serta paparan radiasi yang tinggi juga dipandang
sebagai faktor yang membatasi kegunaan CT scan untuk pasien trauma(Hoff et al.,
2002).

3
Sejumlah studi berpendapat bahwa penggunaan CT scanakan mengurangi
waktu untuk diagnosa, waktu untuk operasi, dan waktu yang dihabiskan di ruangan
gawat darurat untuk diagnostik. Penggunaannya telah terbukti mengurangi angka
kematian terutama pada pasien dengan kesadaran menurun dan ketidakstabilan
hemodinamik(Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014). Sedangkan sebuah penelitian
menemukan bahwa CT scan tidak memberikan gambaran yang jelas jika dilakukan
tanpa adanya tanda klinis yang spesifik pada pasien yang mengalami trauma
tumpul abdomen(Deunk et al., 2010). Pendapat ini juga ditunjang oleh penelitian
lainya, bahwa prediktor klinis sangat akurat digunakan untuk menilai apakah
pasien memerlukan pemeriksaan penunjang berupa CT scan atau tidak. (Garber et
al., 2000). Penggunaan CT scan secara rutin pada beberapa studi bertujuan untuk
mengidentifikasi secara spesifik cedera organ intraabdomen untuk penanganan
yang adekuat(Rostas et al., 2015).
Meningkatnya penggunaan CT scan rutin, tanpa memperhatikan klinis
pasien dengan cermat, menyebabkan semakin banyak ditemukan hasil yang negatif
pada CT scan. Disamping itu juga akan meningkatkan biaya rumah sakit, dan biaya
rujukan serta meningkatkan risiko paparan radiasi. Untuk menurunkan biaya
perawatan dan mengurangi efek radiasi dari CT scan dalam menilai pasien trauma
tumpul abdomen, pemeriksaan CT scan harus dilakukan secara selektif(Garber et
al., 2000).Saat ini CT scan sudah ada di semua senter rumah sakit terutama di RS
tipe A dan tipe B sebagai rumah sakit pusat trauma, tetapi masih banyak rumah
sakit tipe C dan D yang belum memiliki CT scan. Kemampuan untuk menilai
prediktor klinis adanya cedera intraabdomen sangat menentukan apakah pasien
memerlukan pemeriksaan penunjang CT scan atau tidak. Ahli bedah di daerah
terpencil tanpa ada fasilitas CT scan harus mampu menilai prediktor klinis ini,
sehingga CT scan dilakukan atas indikasi yang selektif (Deunk et al., 2010).
Di beberapa negara telah melakukan penelitian tentang beberapa faktor
prediktif adanya cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen. Sebuah
penelitaian di Amerika menyatakan bahwa parameter dari pemeriksaan fisik,
FAST, foto toraks, dan investigasi laboratorium dapat memprediksi adanya cedera
intraabdomen, dan dapat mengurangi penggunaan CT scan secara rutin. (Beal et
al., 2016). Cedera intraabdomen berhubungan dengan beratnya mekanisme trauma

4
yang terjadi dan sangat berhubungan dengan cedera toraks(José Gustavo Parreira
and Juliano Mangini Dias Malpaga, 2015). Penelitian lain menyebutkan bahwa
prediktor untuk dilakukanya CT scan abdomen pada trauma tumpul abdomen
adalah :ditemukanya rontgen dada, panggul dan lumbal yang abnormal,
pemeriksaan fisik abdomen dan lumbal yang abnormal, FAST yang abnormal,
pasien intubasi/GCS < 14, SBP < 90 mmHg, cedera multipel, fraktur tulang
panjang, nyeri costa, seat belt sign, hematuria, hematocrit < 30%, AST > 110 IU/L,
ALT > 63 IU/L, defisit basa < -3, WBC > 10000 /mm3. (Farrath et al.,
2012).Penelitian yang dilakukan pada beberapa senter lebih mengarah pada hasil
pemeriksaan klinis, rontgen, FAST dan pemeriksaan laboratorium. Sedangkan
penelitian yang fokus pada prediktor klinis masih jarang, padahal pemeriksaan
klinis merupakan pemeriksaan yang paling cepat bisa dilakukan pada manajemen
awal pasien trauma abdomen, sehingga keputusan untuk dilakukan CT scan atau
tidak bisa lebih cepat dilakukan.
Menajemen trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah belum memiliki protokol yang baku. Penggunaan CT
scan abdomen dalam mendiagnosis tergantung dari kemampuan klinisi dalam
memprediksi apakah adanya cedera intraabdomen atau tidak. Dari data registrasi
pasien di RSUP sanglah tahun 2015, pasien dengan trauma tumpul abdomen yang
dirawat secara konservatif tahun 2015 sebanyak 48 kasus, semuanya rutin
dilakukan pemeriksaan CT scan abdomen dengan kontras untuk diagnosis. Hasil
CT scan pada keseluruhan pasien tersebut menunjukan adanya cedera
intraabdomen sekitar 70% dan sisanya tidak ditemukan cedera intraabdomen
(RSUP Sanglah, 2015).
Atas dasar data yang telah dijabarkan diatas, peneliti ingin mengidentifikasi
beberapa prediktor klinis adanya lesi intraabdomen pada pasien trauma tumpul
abdomen. Sehingga penggunaan CT scan dalam menunjang diagnosis trauma
tumpul menjadi lebih selektif, untuk mengurangi biaya perawatan dan paparan
radiasi.

5
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah jejas di regio abdomen merupakan prediktor lesi intraabdomen
pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar?
2. Apakah nyeri abdomen merupakan prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar?
3. Apakah pasien dengan GCS < 14 merupakan prediktor lesi intraabdomen
pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar?
4. Apakah fraktur pelvis yang tidak stabil merupakan prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar?
5. Apakah Gross Hematuria merupakan prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar?
6. Apakah tekanan darah sistolik < 100 mmHg saat pasien datang merupakan
prediktor lesi intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang
dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar?
7. Apakah frekuensi nadi >100 kali per menit pada saat pasien datang
merupakan prediktor lesi intraabdomen pada penderita trauma tumpul
abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar?
8. Apakah Nyeri tekan tulang rusuk bawah merupakan prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui prediktor lesi intraabdomen pada penderita trauma
tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar

6
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Apakah jejas di regio abdomen merupakan prediktor lesi intraabdomen
pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di
RSUP Sanglah, Denpasar
2. Apakah nyeri abdomen merupakan prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar
3. Apakah pasien dengan GCS < 14 merupakan prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar
4. Apakah fraktur pelvis yang tidak stabil merupakan prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar.
5. Apakah Gross Hematuria merupakan prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar.
6. Apakah tekanan darah sistolik < 100 mmHg saat pasien datang
merupakan prediktor lesi intraabdomen pada penderita trauma tumpul
abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar.
7. Apakah frekuensi nadi >100 kali per menit pada saat pasien datang
merupakan prediktor lesi intraabdomen pada penderita trauma tumpul
abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar.
8. Apakah Nyeri tekan tulang rusuk bawah merupakan prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademis
Meningkatkan kasanah keilmuan dibidang ilmu traumatologi, khususnya
manajemen trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil.

7
1.4.2 Manfaat Klinis
Memberikan masukan dalam membuat protokol diagnostik adanya cedera
intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Abdomen


Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang
terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah
pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang
bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen
menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal
melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas
crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Daerah-
daerah itu adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca
sinistra, 4) lumbalis dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra,
8) pubica/hipogastrica, 9) inguinalis sinistra.

Gambar 1. Pembagian Anatomi Abdomen (Griffith, 2003)

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu,


sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan
kelenjar suprarenal kanan.

9
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hati.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar
suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastricmeliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri.
Dengan mengetahui proyeksi organ intraabdomen tersebut, dapat memprediksi
organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut(Griffith, 2003)
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :
rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.
Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. Rongga
peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax, termasuk diafragma, liver, lien,
gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
torakoabdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus
halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
reproduksi pada wanita(Trauma, 2012)
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan descenden serta komponen

10
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh tulang
pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
reproduksi interna pada wanita(Griffith, 2003)

2.2 Trauma Tumpul Abdomen


Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Trauma abdomen dibagi menjadi dua
tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen. Trauma
merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada subgrup pasien usia dibawah 40 tahun,
trauma merupakan penyebab kematian utama. (Elliot,D.C, Rodriguez, 1996) Di
Amerika Serikat, angka korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57 juta setiap
tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap dan 150.000
kematian. Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh trauma cukup signifikan,
diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya angka kehidupan sebesar 26% dan
lebih dari separuhnya kehilangan usia produktifnya. (Tentilier, E. Masson, 2000)
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering,
ditemukan sekitar 7 – 10% dari pasien trauma. Di Eropa, trauma tumpul abdomen
sering terjadi, sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Penyebab paling
umum dari trauma tumpul abdomen adalah kecelakaan mobil atau motor, jatuh dari
ketinggian, dan kecelakaan industri. Sebuah studi di Amerika menyatakan bahwa
kecelakaan lalu lintas menyumbang 83,6% trauma tumpul abdomen. 45,5% karena
kecelakaan mobil dan 38,1% akibat kecelakaan motor. Tingkat mortalitas lebih
tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dibandingkan trauma tusuk.
(Aziz, Bota and Ahmed, 2014)
Di Indonesia, didapatkan prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar
8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan
terendah di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah
jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera
karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan

11
kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan
di Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua (19,4%). (Kementerian Kesehatan,
2013).
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang
didapatkan umumnya merupakan organ solid, terutama limpa dan hati dimana
kedua organ ini dapat menyebabkan perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk
organ berongga cukup jarang terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt
atau deselerasi kecepatan tinggi. (Costa et al., 2010). Kunci sukses penanganan
trauma tumpul abdomen adalah kewaspadaan yang tinggi adanya cedera
intraabdomen pada setiap pasien trauma, sehingga bisa mendeteksi sedini mungkin
adanya cedera intaabdomen(Gad et al., 2012)

2.3 Patofisiologi Trauma Tumpul Abdomen


Patofisiologi cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen
berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami
trauma dengan energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat
sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada
beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat
menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu :
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding
abdomen anterior dan posterior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi
dibagi menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada
mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang
terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan
perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan cedera organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera

12
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang
(fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat
menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak.
Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya
organ intraabdomen yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ)
seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen
sering disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang
ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda
tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen
dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti
hati atau limpa. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya
organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri
renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan
intraluminal yang menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma
tumpul abdomen yang mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%,
hati 35% - 45% dan usus halus 5%-10%(Avini et al., 2011)

2.4 Cedera Organ Intraabdomen


Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intraabdomen dapat dibagi
menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam organ
padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ genetalia
interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk organ berongga
yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum), ureter, dan saluran
empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada pasien yang mengalami
trauma tumpul abdomen antara lain:
1. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung
dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ limpa.
Cedera organ hati paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan
kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya
cedera akibat trauma tumpul. Hati menempati hampir seluruh regio hypochondrica

13
dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio
hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera
dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang
sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang mengalami
trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati dalam 30 tahun
terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya
penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu studi
retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona,
Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis trauma hati, 87 pasien adalah
konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan operasi ( 26% )(She et
al., 2016).
Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul
Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi
peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok
hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena
sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu
trauma hati. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran
saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan
muntah. Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera hati sering ditemukan
adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu tulang iga VII – IX (Alonso et al.,
1997).
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari
15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati
yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hati,
meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-
penyakit hati lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada
hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010).
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma
merupakan gejala yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans muskuler tidak akan

14
tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum.
Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hati,
menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang
mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hati yang
memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hati berat,
dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat
bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT
scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan
pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari
kasus trauma hati (Njile, 2012).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang
merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran kira-kira
sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri. Proyeksi
letak limpa pada abdomen yaitu berada di hypocondriaca sinistra. Organ ini
terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel pada permukaan bawah
diafragma dan terlindung oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak sepanjang
iga 10. Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari diaphragma dan
pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi
trauma tumpul abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan
jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka
thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu
tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua
material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah
rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah
putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga
abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri
atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera
limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso et
al., 1997).

15
Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung pada ada
tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan ada atau
tidaknya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan hebat akibat cedera limpa
dapat mengakibatkan syok hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi merupakan
tanda yang menunjukan adanya cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera pada
limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh nyeri abdomen
terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran menyerupai tumor intra
abdomen bagian kiri atas yang nyeri apabila di tekan disertai tanda anemia
sekunder. Elevasi tungkai di tempat tidur atau pada posisi Trendelenberg dapat
menimbulkan nyeri pada puncak bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik
lain termasuk: peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari
15.000, foto rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah,
peninggian diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis tengah,
gambaran tepi limpa menghilang pada pemeriksaan CT scan(van der Vlies et al.,
2011).
Beberpa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang
ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri (90%) dan abdominal
tenderness (85%). Kecurigaan terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan
adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau nyeri abdomen kuadran kiri atas.
Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah
terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala
takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,
harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan rutin
dilakukan pada rumah sakit pusat trauma(Costa et al., 2010).
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan
dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus
akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya.
Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada
bagian punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya udara

16
bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada pasien
dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan
pada rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga retroperitoneal
(Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal.
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma
ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam
pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka
intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya terjadi
pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat
olahraga atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting untuk
diketahui sehingga dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi.
Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau avulsi pedikel
ginjal(Lynch et al., 2005)
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas atau
laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper abdomen.
Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau
distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal
(Indradiputra and Hartono, 2016)
Hematuria merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal. Namun
tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor
ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan
beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya
ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil
tanpa disertai dengan hematuria(Lynch et al., 2005).
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus
diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas harus dicurigai
setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan

17
stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki
tingkat kematian yang tinggi. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada
bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung.
Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial.
Diagnosis dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih
spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).
6. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien
datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter
bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma. Mekanisme trauma tumpul
pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan akselerasi
yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan
3. Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun pada
ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran
nyeri pada flank sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus,
yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma
tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan gejala
akibat trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma
dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi,
jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien. Hal terpenting
dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal
yang kontralateral dengan lokasi trauma(Lynch et al., 2005).

2.5 Diagnosis dan Manajemen Trauma Tumpul Abdomen


Tindakan pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan
sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari
ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin
dalam memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yang

18
diperiksa saat pasien trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk
tingkat cedera yang terjadi(Mehta, Babu and Venugopal, 2014).
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering
dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa
dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu
perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total
volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila
perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya
dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik karena
perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi
(takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah
jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan
penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat
terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya
hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem
saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi
jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh
perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh
sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena
pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan
frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan
penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999). Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera
intraabdomen pada pasien trauma tumpul(Farrath et al., 2012)
Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lengkap.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis cedera intraabdomen.
Pada pasien dengan hipotensi paska trauma, sangat penting untuk mengevaluasi
apakah pasien tersebut mengalami cedera abdomen atau tidak. Tingkat

19
kewaspadaan yang tinggi terhadap terjadinya cedera intraabdomen dan
pemeriksaan yang komperhensif sangat diperlukan dalam manajemen trauma
secara umum. Beberapa alat diagnostik yang digunakan dalam menegakan
diagnosis adanya cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen adalah
riwayat dan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto polos
abdomen, ultrasonografi, diagnostik peritoneal lavage, CT scan abdomen, dan
laparoskopi (van der Vlies et al., 2011).
Rumah sakit pusat trauma menggunakan beberapa algoritme dalam
manajemen pasien trauma tumpul abdomen. Penggunaan algoritme ini bertujuan
untuk mempermudah dalam manajemen trauma tumpul, mencakup manajemen
awal, cara diagnostik dan tatalaksana. Mattox, dkk. Dalam buku Trauma edisi ke –
7 membuat algoritme sederhana dalam menajemen trauma tumpul abdomen. dalam
algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT scan abdomen berdasarkan stabil
atau tidaknya hemodinamik pasien. Algoritme ini juga digunakan di RSUP Sanglah
dalam manajemen pasien trauma tumpul.

Gambar 2. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen (Mattox & Ernest


Moore & David Feliciano, 2013)

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen
dengan hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah

20
ada cedera organ intraabdomen. Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan
CT scan berdasarkan indikasi yang selektif. Manajemen trauma tumpul seperti ini
juga digunakan di RSUP Sanglah saat ini.
Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang berbeda
dalam manajemen trauma tumpul abdomen. American collage of surgeon juga
mengeluarkan algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Perbedaanya
adalah, penggunaan CT scan untuk evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn
dengan hemodinamik stabil, atas dasar tinggi atau rendahnya risiko terjadinya
cedera intraabdomen.

Gambar 3. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen. Penggunaan CT scan


yang selektif (Feliciano, 2003).

Ketersediaan ultrasonografi atau CT scan di rumah sakit merubah protokol


manajemen trauma tumpul abdomen. manajemen trauma tumpul abdomen
berdasarkan alat penunjang yang ada di rumah sakit digambarkan pada diagram
berikut ini :

21
Gambar 4. Protokol manajemen trauma tumpul abdomen. berdasarkan
alat penunjang diagnostik yang tersedia (Iqbal et al., 2014)

Penegakan diagnosis cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul


abdomen secara umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat trauma,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat
secondary survey dalam penilaian awal pasien trauma.
1. Riwayat trauma
Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan
kemungkinan cedera organ intraabdomen yang lebih spesifik. Semua informasi
harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera,
tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan
kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran,
adanya perdarahan eksternal, jenis senjata dan mekanisme lain yang bisa
menunjang diagnostik(Schurink G, 1997).
Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan saksi
mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk diketahui pada setiap pasien
trauma sehingga bisa mendeteksi cedera organ yang mungkin terjadi pada pasien.
Pada kecelakaan lalu lintas, yang perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dari

22
kecelakaan (kendaraan), kerusakan kendaraan, penggunaan “seat-belts”, atau
terlempar dari kendaraan (Schurink G, 1997). Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy,
Medication, Past illness, Last meal, Environment) penting diketahui untuk
mengetahui kondisi penyerta pasien yang mengalami trauma.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada saat
pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik cukup
akurat dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik
dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi
Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian depan
sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum sesuai anatomi
abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi, robekan, luka,
benda asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya
jejas, laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit
(hematome)setelah trauma dapat memberikan petunjuk adanya
kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey
Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan
retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai
hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena
kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi
peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal merupakan salah
satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi abdomen yang terlihat
sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan
sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intraabdomen (Beal et al.,
2016). Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul
abdomen, nyeri perut disertai dengan takikardi, nyeri lepas, distensi
abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen (seat belt sign),
ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi cedera intra-
abdomen (Poletti PA, et al., 2004).

23
Gambar 5. Seat belt sign, jejas menyerupai sabuk pengaman pada
pasien trauma tumpul abdomen(Trauma, 2012).

b. Auskultasi
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada robekan
(perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan
menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks
kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma. Perdarahan
intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan
gambaran ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur
yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang, panggul juga
dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat cedera di intraabdomen,
sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intraabdominal (Hoff et al., 2002).
c. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan
bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi
redup bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup hati yang menghilang
menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut yang berarti
kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus. Nyeri

24
ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis
umum(Schurink G, 1997).
d. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri
juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat
penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri
abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan
peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular
(involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.
Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau
nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut
dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul
akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi peritonium (Rostas et
al., 2015).
Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama pada kasus
trauma multiple. Identifikasi cedera lain ini dapat memprediksi apakah ada organ
intraabdomen yang mengalami cedera setelah terjadinya trauma. Fraktur kosta
kanan, terutama yang dibawah sering disertai cedera organ dibawahnya yaitu hati.
Evaluasi hati sangat diperlukan jika menemukan pasien dengan fraktur kosta kanan
bawah. Fraktur kosta kiri bawah berhubungan dengan cedera limpa, karena limpa
tepat berada di bawah kosta tersebut. Ditemukanya kontusio di midepigastrium
menandakan kemungkinan cedera organ dibawahnya seperti duodenum dan
pancreas. Fraktur pelvis terutama yang tidak stabil sering disertai trauma pada
urogenital seperti buli-buli dan uretra. Sedangkan fraktur pada prosesus
transversalis lumbal sering menyebabkan trauma pada ginjal(van der Vlies et al.,
2011).
Fraktur prlvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
cedera intraabdomen. Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil dan
tidaknya cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi akibat
cedera dengan energi yang tinggi. Biasanya disertai dengan cedera organ lainya,

25
seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen. 60-80% pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera abdomen dan
muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan
dengan cedera pleksus lumbosacralis. Kejadian keseluruhan cedera genitourinaria
yang berhubungan dengan patah tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling
sering adalah cedera kandung kemih. Pria danwanita sama-sama cenderung
mengalami cedera pada kandung kemih tapikerusakan pada uretra pria lebih sering
terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang ekstremitas dan tulang belakang juga
bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis.Perdarahan dapat menyertai fraktur
pelvis terutama akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan
perdarahan vena lokal.Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan
rotasi menyebabkan deformitas, nyeri, dan kecacatan yang signifikan. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan
keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi.
Evaluasi pasien secara lengkap sangat penting pada pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi karena sering berhubungan dengan cedera yang lain. (Corwin
et al., 2014).
Pemeriksaan fisik abdomen pada ssat awal sering gagal untuk mendeteksi
cedera abdomen yang signifikan pada pasien multitrauma. Penundaan dalam
mendiagnosis menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, rawat
inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang
tidak jelas, kadang ditutupi oleh nyeri akibat trauma ekstraabdominal dan
dikaburkan oleh intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab utama tidak
terdeteksinya cedera intraabdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma
abdomen yang membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai
gejala klinik yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah
yang kurang waspada dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen(Hoff et al.,
2002). Suatu penelitian menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul
abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi awal, 44%
ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka didapatkan trauma
intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan mandatori untuk dilakukan
laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes diagnostik. Oleh karena itu,

26
pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik sangat dianjurkan pada setiap kasus-
kasus trauma abdomen(Beal et al., 2016).
Cedera intraabdomen pada trauma tumpul sering disertai dengan trauma
multipel. Trauma thoraks, trauma kepala, dan trauma terhadap ekstremitas sering
menyertai trauma abdomen akibat mekanisme trauma yang kompleks. Terdapat
beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-komponen yang digunakan, yaitu skor
anatomis, skor fisiologis, dan skor kombinasi. Untuk skor fisiologis, Revised
Trauma Score (RTS) merupakan skor yang paling sering digunakan. RTS terdiri
dari tiga komponen yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), systolic blood pressure
(SBP), dan respiratory rate (RR). Komponen skor ini merupakan komponen vital
yang harus dinilai pada suatu trauma abdomen yang disertai trauma penyerta yang
lain. Beberapa studi menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai faktor prediktif
terjadinya cedera intraabdomen, tetapi disertai dengan cedera laian seperti cedera
thoraks dan ekstremitas. Penurunan GCS tersendiri tanpa ada cedera yang
menyertai pada studi tersebut tidak mengindikasikan dilakukan CT scan abdomen
untuk evaluasi cedera intraabdomen(Rostas et al., 2015). Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai salah satu faktor yang memprediksi adanya
cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Penurunan kesadaran
yang diukur melalui GCS disebabkan oleh faktor intrakranial dan ekstrakranial.
Faktor ekstrakranial yang paling sering sebagai penyebab penurunan kesadaran
adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Pasien tidak sadar yang disebabkan
oleh trauma kepala yang disertai dengan trauma abdomen harus menjadi perhatian
khusus untuk mencegah mortalitas.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien
trauma adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT
scan dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan tergantung pada stabilitas
hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi
(USG) abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan

27
hemodinamik harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau
dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intraabdomen (Vlies,
2017).
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi
arti kecuali digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik
selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya
serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk
monitor adanya trauma pancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan
dalam manajemen trauma abdomen antara lain:
 Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Hct) dan platelet (PLT)
 Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
 Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
 Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk
menilai adanya koagulopati
 Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
Complete Blood Count (CBC) merupakan pemeriksaan lab sederhana yang cepat
bisa dilakukan, meliputi komponen hemoglobin, hematokrit dan platelet.
Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan
terus menerus, demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct). Hb dan Hct
yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan
kemungkinan adanya proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung.
Tanda ini sebagai faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang lainya. Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup
banyak terutama pada cederaa lienalis. Serum amilase yang meninggi
menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus.
Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma terjadi pada hati.
Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi
pasien trauma. Penurunan hematokrit merupakan tanda kehilangan darah yang

28
banyak, Respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.(Vlies, 2017). Penelitian di Amerika mempelajari tentang
beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera
intraabdomen. Beberapa studi menunjukkan defisit basa (< -6 mEq/L) adalah
prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf) diprediksi empat
kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit kurang dari
30% meningkatkan kemungkinan cedera intraabdomen lebih banyak daripada
hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan
dengan cedera intraabdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan
jumlah WBC dan peningkatan laktat, kurang berguna untuk mengidentifikasi
pasien dengan cedera intraabdomen. Transaminase hati yang meningkat (aspartate
aminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah petanda adanya
kerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)
Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas
intraabdomen. Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada
foto polos abdomen. Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal
yang disebabkan oleh perforasi organ visera berongga, adanya nasogastric tube
pada rongga thoraks (cedera diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral,
toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan
pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik stabil,
maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak mungkin
berguna untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau
udara bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)
juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak
dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan
foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal(Jansen, Yule and Loudon, 2008).
Pengenalan diagnostic peritoneal lavage (DPL) pada tahun 1965
memberikan metode yang aman dan murah yang dengan cepat dapat
mengidentifikasi adanya cedera intraabdomen. DPL merupakan tes cepat dan
akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera intraabdomen setelah trauma
tumpul pada pasien hipotensi paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk

29
laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut :
nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya, Trauma pada bagian bawah
dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera
abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera
abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang
pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil,
pernah operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL
nantinya tidak akan merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk lavage
peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah,
sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih
besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu,
bakteri, atau serat makanan(Ikegami et al., 2014).
Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam beberapa
tahun terakhir untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan
evaluasi USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat dilakukan
dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPL
untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa
meskipun tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin
portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien
dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien
tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal lavage adalah
USG merupakan tindakan yang noninvasif. USG dapat mendeteksi adanya laserasi
pada hati dan ginjal, namun tidak mampu secara tepat memastikan seberapa dalam
dan luas laserasi yang terjadi. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih lanjut
setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas berkisar dari
85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah studi
mengemukanan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti
pada trauma tumpul(Radwan and Abu-Zidan, 2006).
Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen) adalah metode yang
paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen
tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar
dalam penanganan pasien dengan trauma tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya

30
adalah penurunan jumlah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan dan
operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan dalam menilai tingkat beratnya
cedera intraabdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian menyatakan bahwa
grading trauma hati preoperative dengan CT scan dihubungkan dengan penemuan
saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk mengambil tindakan
intervensi operasi didasarkan pada stabilitas hemodinamik pasien tanpa
memperhatiakan grading CT scan (Mariappan and Madhusudhanan, 2016).
CT merupakan prosudur diagnostik dimana kita perlu memindahkan pasien
ke tempat scanner, pemberian kotras intravena, dan pemeriksaan CT harus
mengenai regio abdomen secara keseluruhan termasuk daerah pelvis. Diperlukan
banyak waktu, sehingga dilakukan pada pasien trauma abdomen dengan
hemodinamik stabil dan tanpa tanda peritonitis. Dengan CT scan, dapat
memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan serta tingkat
dari kerusakan organ tersebut. CT juga mendiagnosis kerusakan organ
retroperitoneal maupun daerah pelvis yang kadang kadang sulit diperiksa secara
fisik, FAST maupun DPL. Kontraindikasi relative penggunaan CT scan antara lain
: pasien yang tidak kooperatif, alergi terhadap bahan kontras, dan penundaan
sampai alat CT siap digunakan. Pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium
sederhana bisa memprediksi adanya cedera intraabdomen tanpa segera melakukan
tindakan CT scan, sehingga penggunaanya bisa lebih minimal dan mengurangi
biaya dan paparan radiasi (Mohamed El Wakeel, 2015).
CT scan abdomen memiliki akurasi yang tinggi, sensitivitasnya antara 92%
sampai 97,6% dan spesifisitas setinggi 98,7%, dan memiliki negative predictive
value yang sangat tinggi yaitu hampir 97%. Beberapa studi mengatakan bahwa
pasien dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit
selama paling sedikit 24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif.
Walaupun ada studi yang menjelaskan bahwa CT scan negatif dapat menjadi
patokan untuk memulangkan pasien dan selanjutnya rawat jalan (Garber et al.,
2000).
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas
yang ahli untuk melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat
interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap

31
organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera
pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital
dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah
trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera
pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada
usus tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif.
Kerugian CT abdomen lainya yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,
bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi
yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau
riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen.
Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat menurunkan sensitifitas CT
abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat (Vadodariya, Hathila and Doshi,
2014).
Meski keunggulan CT dibandingkan dengan radiologi konvensional telah
terbukti untuk diagnosis cedera intraabdomen, namun penggunaan CT scan masih
kontroversi. Banyak studi menganalisa apakah CT scan dilakukan secara rutin pada
setiap trauma tumpul atau selektif digunakan sesuai temuan klinis yang signifikan.
CT scan menjadi modalitas utama pemeriksaan penunjang untuk diagnosis cedera
intraabdomen pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Tetapi karena
mahalnya biaya yang diperlukan dan banyaknya hasil CT scan yang negatif serta
paparan radiasi menyebabkan strategi lain dalam diagnostik mulai dikembangkan
(Brenner and Hall, 2007).
Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma
tumpul abdomen dengan CT scan adalah apa yang harus dilakukan ketika
ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda organ padat atau cedera
mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas yang relatif kurang bagi CT scan untuk
mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema bagi dokter bedah.
Pilihan yang baik untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi abdomen dan
menerima tingkat resiko yang signifikan pada laparotomi nontherapeutic.
Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat positif palsu dan
negatif palsu yang rendah. Indikasi Computerized tomography (CT) adalah: gejala

32
cedera intraabdomen muncul lebih dari 24 jam setelah trauma, hasil DPL yang
meragukan, adanya kontraindikasi relative untuk DPL, kecurigaan trauma
retroperitoneal seperti adanya hematuria. Sedangkan kontraindikasi dari CT scan
adalah : adanya indikasi untuk laparotomi, kehamilan, agitasi, dan alergi terhadap
media kontras (Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014).
Aplikasi diagnostik dan terapeutik dari laparoskopi digunakan dalam
banyak bidang, termasuk juga trauma tumpul abdomen. Indikasi penggunaan
laparoskopi dalam trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi
diagnostik sudah sering dipergunakan untuk evaluasi cedera intraabdomen,
sehingga dapat menentukan manajemen pasien selanjutnya. Syarat mutlaknya
adalah hemodinamik harus stabil. Kelemahan penggunaan laparoskopi pada trauma
abdomen diantaranya : pasien membutuhkan anestesi umum, resiko pneumothraks
pada cedera diaphragm, resiko emboli gas pada trauma vena besar, peningkatan
TIK pada pasien trauma kepala, masalah waktu dan biaya(Justin, Fingerhut and
Uranues, 2017).

33
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIANDAN HIPOTESA
PENELITIAN

3.1 Kerangka berpikir


Diagnosis cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen
dengan hemodinamik stabil di RSUP Sanglah belum menggunakan protokol yang
baku. Penggunaan CT scan abdomen dalam mendiagnosis cedera intraabdomen
rutin digunakan pada pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil.
Sehingga menyebabkan banyaknya hasil CT scan negatif dan biaya perawatan
akan semakin tinggi. Penggunaan CT scan secera selektif telah dikembangkan
beberapa negara dengan menilai beberapa prediktor klinis yang didapat dari pasien.
Beberapa prediktor klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik pasien
trauma tumpul abdomen sangat penting dinilai untuk menentukan apakah pasien
tersebut mengalami cedara intraabdomen apa tidak. Beberapa penelitian telah
dilakukan di beberapa negara mengenai beberapa prediktor yang kemungkinan bisa
menjadi tanda atau gejala adanya cedera intraabdomen. Beberapa prediktor klinis
yang digunakan dalam memprediksi cedera intraabdomen pada penelitian ini
adalah : jejas di abdomen, nyeri abdomen, GCS < 14, gross hematuria, fraktur
pelvis yang tidak stabil, nyeri tekan di iga bawah, tekanan darah sistolik, dan
frekuensi nadi. Lesi intraabdomen dinilai dari hasil CT scan abdomen yang
dilakukan pada pasien.

3.2 Konsep Penelitian

CT scan
1. Jejas di regio abdomen abdomen
2. Nyeri abdomen
3. Gross Hematuria
4. Fraktur pelvis tidak stabil Lesi

5. SBP < 100 mmHg intraabdomen

6. Nadi > 100 x/menit


7. Nyeri tulang iga bawah
8. GCS < 14
34
3.3 Hipotesa Penelitian
1. Jejas di regio abdomen sebagai prediktor lesi intraabdomen pada penderita
trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah,
Denpasar
2. Nyeri abdomen pasca trauma sebagai prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar
3. Hematuria makroskopik pasca trauma sebagai prediktor lesi intraabdomen
pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar
4. Fraktur pelvis yang tidak stabil sebagai prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar
5. Frekuansi nadi > 100 kali/menit saat pasien datang sebagai prediktor lesi
intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar
6. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg saat pasien datang sebagai prediktor
lesi intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar
7. Nyeri tulang iga bawah (IX, X,XI)sebagai prediktor lesi intraabdomen pada
penderita trauma tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP
Sanglah, Denpasar
8. GCS < 14 sebagai prediktor lesi akut intraabdomen pada penderita trauma
tumpul abdomen yang dirawat konservatif di RSUP Sanglah, Denpasar

35
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui
prediktor dibutuhkanya CT scan pada pasien trauma tumpul abdomen yang dirawat
konservatif di RSUP Sanglah. Pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen
dengan hemodinamik stabil yang dikakukan CT scan, dilihat ada tidaknya lesi pada
CT scan, kemudian dilihat ada atau tidaknya faktor risiko terjadinya cedera
intraabdomen

Faktor risiko
positif
Lesi positif
Faktor risiko
Pasien trauma Hemodinamik CT Scan negatif
tumpul stabil Abdomen
abdomen Faktor risiko
positif
Lesi negatif
Faktor risiko
negatif

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan melalui pengamatan rekam medis pasien di Instalasi Rekam
Medis RSUP Sanglah Denpasar. Data diambil selama 3 tahun, yaitu dari Januari
tahun 2014 sampai dengan Desember 2016.

4.3 Sumber Data


4.3.1 Populasi
 Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan trauma
tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil tanpa tanda peritonitis yang
dirawat konservatif.

36
 Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan
trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil tanpa peritonitis yang
diterima di RSUP Sanglah Denpasar sejak kurun waktu terhitung Januari
2014 sampai Desember 2016.
 Sampel yang diinginkan (intended sample) adalah sampel yang dipilihdari
populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
 Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah subyek yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2 Kriteria Inklusi


Seluruh penderita berusia lebih dari 12 tahun yang mengalami trauma tumpul
abdomen yang dirawat konservatif dan dilakukan CT scan abdomen, yang datang
ke RSUP Sanglah Denpasar pada Januari tahun 2014 sampai dengan Desember
2016.

4.3.3 Kriteria Eksklusi


a. Pasien hamil
b. Pasien dengan riwayat intoksikasi saat masuk rumah sakit
c. Pasien yang dalam perjalanan terapi mengalami perdarahan dan peritonitis
sehingga harus menjalani laparotomi
d. Pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap pada bagian hasil CT scan
abdomen.

4.3.4 Sampel Penelitian


Sampel penelitian dihitung mengguankan rumus dari WHO. (Lwanga S.K. and
Lemeshow S., 1991)

37
Keterangan :
n : Besar sampel minimal
P1 : Proporsi lesi intraabdomen pada CT scan pada pasien trauma tumpul
abdomen yang dengan hasil pemeriksaan fisik abdomen abnormal yaitu
58,5% (Farrath et al. 2012)
P2 : Proporsi lesi intraabdomen pada CT scan pada pasien trauma tumpul
abdomen dengan hasil pemeriksaan fisik abdomen normal yaitu 10%
(Michetti et al. 2010)
α : Tingkat kemaknaan (5%)
1-β : Power (kemampuan penelitian) yang digunakan adalah 95%

Berdasarkan rumus besar sampel diatas maka diperoleh jumlah sampel minimal
untuk penelitian ini adalah 44 orang.

4.4 Variabel Penelitian


Klasifikasi dan Identifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok variabel, yaitu:
1. Variabel bebas adalah : jejas di regio abdomen, nyeri abdomen, gross
hematuria, fraktur pelvis tidak stabil, SBP < 100 mmHg, Frekuensi nadi >
100 x/menit, GCS < 14, Hemoglobin < 10 gr/dl
2. Variabel tergantung adalah lesi intraabdomen pada CT scan

4.5 Definisi Operasional Variabel


1. Trauma tumpul abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara
diafragma pada bagian atas dan pelvis pada bagian bawah tanpa diserta
adanya trauma penetrans, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselerasi atau kompresi.

38
2. Lesi intraabdomen adalah lesi pada organ intraabdomen (organ padat dan/
atau organ berongga) setelah mangalami trauma tumpul, yang ditemukan
pada gambaran CT Scan abdomen yang dilakukan di ruang radiologi IGD
RSUP Sanglah menggunakan MSCT 8 slice, yang dibaca oleh ahli
radiologi.
3. Computed tomography abdomen adalah pencitraan rongga perut dan organ
didalamnya dengan menyuntikan/memasukan bahan kontras melalui
intravena dengan menggunakan alat Multi Slice Computed Tomography
(MSCT) scan, yang berfungsi untuk mengetahui anatomi dan kelainan pada
rongga perut dan organ-organ yang terdapat didalamnya.
4. Jejas regio abdomen adalah jejas, laserasi, robekan, atau perdarahan
dibawah kulit (hematome) atau ekimosis pada regio abdomen yang
disebabkan oleh trauma tumpul dengan energi yang tinggi
5. Nyeri abdomen adalah nyeri spontan, atau nyeri tekan, atau nyeri lepas
pada regio abdomen dengan Visual Analogue Scale (VAS) > 3, setelah
mengalami trauma tumpul abdomen
6. Gross hematuria adalah hematuria makroskopik yang terjadi pada pasien
setalah mengalami trauma tumpul
7. Fraktur pelvis tidak stabil adalah fraktur pelvis yang tidak stabil
berdasarkan klasifikasi Tile yang dinilai dari pemeriksaan fisik dan
radiologis yang disebabkan oleh trauma tumpul
8. SBP < 100 mmHg adalah tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg yang
diukur saat pasien datang ke UGD setelah mengalami trauma tumpul
9. Frekuensi nadi > 100 x/menit adalah frekuensi nadi lebih dari 100 kali
setiap menit yang diukur saat pasien datang ke UGD setelah mengalami
trauma tumpul
10. Nyeri tulang iga bawah adalah nyeri spontan atau nyeri tekan dengan VAS
> 3, pada tulang iga bawah (Iga IX, X, XI) kanan atau kiri pada pasien yang
mengalami trauma tumpul
11. GCS < 14 adalah Glasgow Coma Scale kurang dari 14 yang diukur saat
pasien datang setelah mengalami trauma tumpul abdomen

39
4.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis
univariat, bivariat dan multivariat.
1. Analisis Univariat
Dalam penelitian ini analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan
karakteristik sosio-demografik, variabel bebas dan variabel tergantung dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase, serta menghitung nilai rata-rata
(mean) dan standar deviasi untuk variabel yang berskala numerik.
2. Anlaisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masing-
masing variabel bebas secara tersendiri dengan variabel tergantung. Analisis
bivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik. Analisis regresi
logistik dilakukan guna mendapatkan Crude Odd Ratio (OR), 95% Confidence
Interval dan nilai p (p-value). Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel bebas dengan variabel
tergantung. Variabel-variabel bebas yang menunjukkan nilai p < 0,10 akan
dimasukkan dalam model untuk analisis multivariat.
3. Analisis Multivariat
Analisi multivariat merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui
variabel bebas yang paling bermakna berhubungan degan variabel tergantung.
Analisis ini dilakukan dengan uji regresi logistik untuk menguji hubungan antara
beberapa variabel bebas sekaligus dengan variabel tergantung. Parameter statistik
untuk menilai hubungan dalam analisis ini adalah Adjusted OR, 95% CI, dan nilai
p. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara
statistik antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Nilai Adjusted OR = 1
menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel bebas dan tergantung. Sedangkan
nilai adjusted OR > atau < 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel bebas
dan tergantung.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alonso, M., Brathwaite, C., García, V., Patterson, L., Scherer, T., Stafford, P. and Young, J.
(1997) ‘Practice management guidelines for the nonoperative management of blunt injury to
the liver and spleen.’, The Journal of trauma, 43, pp. 1–32. doi: 10.1097/00005373-
199711000-00014.
Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) ‘Frequency and pattern of intra-abdominal injuries
in patients with blunt abdominal trauma’, Journal of Trauma & Treatment, 3(3), p. 196. doi:
10.4172/2167-1222.1000196.
Beal, A. L., Ahrendt, M. N., Irwin, E. D., Lyng, J. W., Turner, S. V, Beal, C. A., Byrnes, M. T.
and Beilman, G. A. (2016) ‘Prediction of blunt traumatic injuries and hospital admission
based on history and physical exam’, World Journal Of Emergency Surgery. World Journal of
Emergency Surgery, 11(1), p. 46. doi: http://dx.doi.org/10.1186/s13017-016-0099-9.
Corwin, M. T., Sheen, L., Kuramoto, A., Lamba, R., Parthasarathy, S. and Holmes, J. F.
(2014) ‘Utilization of a clinical prediction rule for abdominal???pelvic CT scans in patients
with blunt abdominal trauma’, Emergency Radiology, 21(6), pp. 571–576. doi:
10.1007/s10140-014-1233-1.
Costa, G., Tierno, S. M., Tomassini, F., Venturini, L., Frezza, B., Cancrini, G. and Stella, F.
(2010) ‘The epidemiology and clinical evaluation of abdominal trauma. An analysis of a
multidisciplinary Trauma Registry’, Annali Italiani di Chirurgia, 81(2), pp. 95–102.
Deunk, J., Brink, M., Blickman, J. G. and Edwards, M. J. (2010) ‘Predictors for the Selection
of Patients for Abdominal CT After Blunt Trauma’, 251(3). doi:
10.1097/SLA.0b013e3181cfd342.
Elliot,D.C, Rodriguez, A. (1996) ‘Cost Effectiveness in Trauma Care. Surgical Clinics of
North America, 76:47-6’, Surgical clinics of North America, p. 76:47-62.
Erfantalab-Avini, P., Hafezi-Nejad, N., Chardoli, M. and Rahimi-Movaghar, V. (2011)
‘Evaluating clinical abdominal scoring system in predicting the necessity of laparotomy in
blunt abdominal trauma’, Chinese Journal of Traumatology English Edition. The Editorial
Board of Biomedical and Environmental Sciences, 14(3), pp. 156–160. doi:
10.3760/cma.j.issn.1008-1275.2011.03.006.
Farrath, S., Parreira, J. G., Perlingeiro, J. A. G., Solda, S. C. and Assef, J. C. (2012)
‘Predictors of abdominal injuries in blunt trauma.’, Revista do Colégio Brasileiro de
Cirurgiões, 39(4), pp. 295–301. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22936228.
41
Feliciano, D. V (2003) ‘Evaluation of Abdominal Trauma, Grace S . Rozycki , MD , FACS ©
2003 American College of Surgeons Committee on Trauma Subcommittee on Publicatons’, p.
2003.
Gad, M. A., Saber, A., Farrag, S., Shams, M. E. and Ellabban, G. M. (2012) ‘Incidence,
patterns, and factors predicting mortality of abdominal injuries in trauma patients’, North
American Journal of Medical Sciences, 4(3), pp. 129–134. doi: 10.4103/1947-2714.93889.
Garber, B. G., Bigelow, E., Yelle, J. D. and Pagliareilo, G. (2000) ‘Use of abdominal
computed tomography in blunt trauma: Do we scan too much?’, Canadian Journal of
Surgery, 43(1), pp. 16–21.
Garcia, C., Fuster, J., Bombuy, E., Sanchez, S., Ferrer, J. and Garcia-valdecasas, J. C. (2010)
‘Treatment of Liver Trauma : Operative or Conservative Management’, Gastroenterology
Research, 3(1), pp. 9–18. doi: 10.4021/gr2009.02.165w.
Grieshop NA, Jacobson LE, G. and GA, Thompson CT, S. K. (1995) ‘Selective use of
computed tomography and diagnostic peritoneal lavage in blunt abdominal trauma.’, J
Trauma, p. 38(5):727-31.
Griffith, J. R. (2003) Anatomy at a Glance, Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology.
doi: 10.1016/S1083-3188(03)00003-2.
Hoff, W. S., Holevar, M., Nagy, K. K., Patterson, L., Young, J. S., Arrillaga, A., Najarian, M.
P. and Valenziano, C. P. (2002) ‘Practice management guidelines for the evaluation of blunt
abdominal trauma: the East practice management guidelines work group.’, The Journal of
trauma, 53(3), pp. 602–615. doi: 10.1097/01.TA.0000025413.43206.97.
Holmes, J. F., Mao, A., Awasthi, S., McGahan, J. P., Wisner, D. H. and Kuppermann, N.
(2009) ‘Validation of a Prediction Rule for the Identification of Children With Intra-
abdominal Injuries After Blunt Torso Trauma’, Annals of Emergency Medicine. Elsevier Inc.,
54(4), pp. 528–533. doi: 10.1016/j.annemergmed.2009.01.019.
Holmes, J. F., Wisner, D. H., McGahan, J. P., Mower, W. R. and Kuppermann, N. (2009)
‘Clinical Prediction Rules for Identifying Adults at Very Low Risk for Intra-abdominal
Injuries After Blunt Trauma’, Annals of Emergency Medicine. Elsevier Inc., 54(4), pp. 575–
584. doi: 10.1016/j.annemergmed.2009.04.007.
Ikegami, Y., Suzuki, T., Nemoto, C., Tsukada, Y. and Tase, C. (2014) ‘Usefulness of initial
diagnostic tests carried out in the emergency department for blunt trauma’, Acute Medicine &
Surgery, 1(2), pp. 70–75. doi: 10.1002/ams2.20.
Indradiputra, I. M. U. and Hartono, T. (2016) ‘Tatalaksana Konservatif Pasien Dewasa
dengan Trauma Tumpul Ginjal Derajat IV Terisolasi’, 43(2), pp. 123–126.

42
Iqbal, Y., Taj, M. N., Ahmed, A., Rehman, Z. U. and Akbar, Z. (2014) ‘ORIGINAL ARTICLE
VALIDITY OF THE FAST SCAN FOR DIAGNOSIS OF INTRAABDOMINAL INJURY
IN BLUNT ABDOMINAL TRAUMA Yasmeen Iqbal , Muhammad Naeem Taj *, Anis
Ahmed **, Zia Ur Rehman , Zakia Akbar ***’, 26(1), pp. 52–56.
Jansen, J. O., Yule, S. R. and Loudon, M. A. (2008) ‘Investigation of blunt abdominal
trauma’, BMJ (Clinical research ed), 336(7650), pp. 938–942. doi:
10.1136/bmj.39534.686192.80.
José Gustavo Parreira and Juliano Mangini Dias Malpaga (2015) ‘Predictors of occult intra-
abdominal injuries in blunt trauma patients’, Revista do Colégio Brasileiro de Cirurgiões,
42(5), pp. 311–317. doi: 10.1590/0100-69912015005008.
Justin, V., Fingerhut, A. and Uranues, S. (2017) ‘Laparoscopy in Blunt Abdominal Trauma:
for Whom? When?and Why?’, Current Trauma Reports. Current Trauma Reports, 3(1), pp.
43–50. doi: 10.1007/s40719-017-0076-0.
Kementerian Kesehatan (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.’
Lwanga S.K. and Lemeshow S. (1991) ‘Sample size determination in health studies A
practicle manual’, World Health Organization, p. 38.
Lynch, T. H., Martínez-Piñeiro, L., Plas, E., Serafetinides, E., Türkeri, L., Santucci, R. A. and
Hohenfellner, M. (2005) ‘EAU guidelines on urological trauma’, European Urology, 47(1),
pp. 1–15. doi: 10.1016/j.eururo.2004.07.028.
Mackersie RC, Tiwary AD, S. and SR, H. D. (1999) ‘Intra-abdominal injury following blunt
trauma. Identifying the high-risk patient using objective risk factors.’, Arch Surg, p. 124
(7):809-13.
Mattox & Ernest Moore & David Feliciano (2013) Trauma, Seventh Edition.
Mehta, N., Babu, S. and Venugopal, K. (2014) ‘An experience with blunt abdominal trauma:
evaluation, management and outcome.’, Clinics and practice, 4(2), p. 599. doi:
10.4081/cp.2014.599.
Njile, I. E. (2012) ‘Pattern and Early Treatment Outcome of Abdominal Injuries At
Muhimbili National Hospital Dar Es Salaam, Tanzania.’, Thesis, (September). doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Poletti PA1, Mirvis SE, Shanmuganathan K, Takada T, Killeen KL, Perlmutter D, Hahn J, M.
B. (2004) ‘Blunt abdominal trauma patients: can organ injury be excluded without
performing computed tomography?’, J Trauma., 57(5):1072.
Radwan, M. M. and Abu-Zidan, F. M. (2006) ‘Focussed Assessment Sonograph Trauma
(FAST) and CT scan in blunt abdominal trauma: Surgeon’s perspective’, African Health
43
Sciences, 6(3), pp. 187–190. doi: 10.5555/afhs.2006.6.3.187.
Ricardo Ferrada, D. rivera (2011) Blunt Abdominal Trauma, Handbook In General Surgery.
doi: 10.1007/978-88-470-5403-5.
Rostas, J., Cason, B., Simmons, J., Frotan, M. A., Brevard, S. B. and Gonzalez, R. P. (2015)
‘The validity of abdominal examination in blunt trauma patients with distracting injuries’,
Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 78(6), pp. 1095–1101. doi:
10.1097/TA.0000000000000650.
RSUP Sanglah (2015) Registrasi Pasien Traumatologi. Denpasar.
Salimi, J., Bakhtavar, K., Solimani, M., Khashayar, P., Meysamie, A. P. and Zargar, M.
(2009) ‘Diagnostic accuracy of CT scan in abdominal blunt trauma’, Chinese journal of
traumatology = Zhonghua chuang shang za zhi / Chinese Medical Association. The Editorial
Board of Biomedical and Environmental Sciences, 12(2), pp. 67–70. doi:
10.3760/cma.j.issn.1008-1275.2009.02.001.
Sander, M. A. (no date) ‘Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen’, pp. 18–28.
Schurink G (1997) ‘The value of physical examination in the diagnosis of patients with blunt
abdominal trauma: a retrospective study’, Injury, 28(28), pp. 261–265.
She, W. H., Cheung, T. T., Dai, W. C., Tsang, S. H. Y., Chan, A. C. Y., Tong, D. K. H., She, W.
H., Cheung, T. T., Dai, W. C., Hy, S., Chan, A. C. Y., Tong, D. K. H. and Leung, G. K. K.
(2016) ‘Outcome analysis of management of liver trauma : A 10-year experience at a trauma
center’, 8(15), pp. 644–648. doi: 10.4254/wjh.v8.i15.644.
Tentilier, E. Masson, F. (2000) ‘Epidemiology of Trauma. In: Beydon, L., Carli, P. and Riou,
B., Eds., Severe trauma’, pp. 1–15.
Trauma, A. college of surgeons committee on (2012) ‘Initial assessment and management’,
Advanced trauma life support: ATLS student course manual, pp. 2–22.
Vadodariya, K., Hathila, V. and Doshi, S. (2014) ‘The role of computed tomography in blunt
abdominal trauma as investigative tool conducted at tertiary level hospital, Vadodara’,
International Journal of Medical Science and Public Health, 3(4), p. 433. doi:
10.5455/ijmsph.2014.260120145.
Vlies, C. H. Van Der (2017) ‘Changing patterns in diagnostic and treatment strategies in blunt
abdominal injury’.
van der Vlies, C. H., Olthof, D. C., Gaakeer, M., Ponsen, K. J., van Delden, O. M. and
Goslings, J. C. (2011) ‘Changing patterns in diagnostic strategies and the treatment of blunt
injury to solid abdominal organs.’, International journal of emergency medicine. Springer
Open Ltd, 4(1), p. 47. doi: 10.1186/1865-1380-4-47.

44

Anda mungkin juga menyukai