Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS BASUKI TJAHAJA PURNAMA TIDAK MEMILIH CUTI PADA

MASA KAMPANYE PEMILIHAN KEPALA DAERAH


(No. Perkara : 60/PUU-XIV/2016)
Mauli Samaria Manurung
13637209
Pembimbing:
Drs. Piter J. Mokalu, SH, MH dan Willem R. Mawitjere, SH, MH

ABSTRAK
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendaftarkan diri kembali sebagai
calon kepala daerah Provinsi DKI Jakarta pada pemilihan serentak tahun 2017. Syarat calon
kepala daerah Petahana agar dapat mencalonkan kembali adalah, wajib berhenti sementara
dari jabatannya untuk mengikuti Kampanye sesuai Pasal 70 ayat (3) huruf (a) Undang-
Undang Nomor 10 tahun 2016 lalu Basuki Tjahaja Purnama mengajukan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi karena merasa Pasal 70 ayat (3) huruf (a) melanggar hak
konstitusionalnya. Rumusan masalahnya: (1)bagaimana Hak Asasi Basuki sebagai Gubernur
dalam kaitannya dengan tidak memilih cuti pada masa kampanye karena dana APBD?
(2)Apakah rumusan Pasal 70 ayat 3 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada sesuai
dengan Hak Asasi Petahana?(3)Sejauh mana ketepatan putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap cuti pada masa kampanye berdasarkan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun
2016 Tentang Pilkada dengan Nomor Perkara 60/PUU-XIV/2016 atas nama Basuki Tjahaja
Purnama?. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif-empiris atau
penelitian hukum normatif-terapan. Penelitian tipe Case study, serta penerapannya pada
peristiwa hukum (in concreto). Kesimpulan Penelitian: pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10
Tahun 2016 Tentang Pilkada mengharuskan seorang incumbent harus cuti pada masa
kampanye. Tetapi kewajiban seorang Basuki Tjahaja Purnama sebagai Warga Negara
Indonesia haruslah mematuhi peraturan sebagai mana yang ada dalam UU ini karena pasal
tersebut mempunyai tujuan yang baik yaitu sebagai solusi penyalahgunaan kekuasaan kepala
daerah. Jadi Basuki Tjahaja Purnama juga wajib untuk mematuhi UU untuk cuti pada masa
kampanye, dan putusan judicial review Basuki ke MK ditolak.

Kata Kunci : Cuti, Petahana, Kepala Daerah

1
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syarat calon kepala daerah Petahana 1 (Incumbent2) agar dapat mencalonkan kembali adalah,
wajib berhenti sementara dari jabatannya untuk mengikuti Kampanye sesuai Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) Pasal 70 ayat (3):
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang
mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
Dimana Ketentuan ini sebagai solusi atas masalah mobilisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang kerap dilakukan oleh beberapa Petahana. Ikut sertanya PNS dilakukan secara diam-diam, kadang
juga menggunakan fasilitas negara untuk mendukung Petahana dalam Kampanye bahkan
menggunakan kebijakan dan anggaran negara untuk memengaruhi pemilih. Asas sesungguhnya dari
ketentuan Pasal 70 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pilkada menurut Daniel H T adalah untuk
mencegah Petahana menyalahgunakan jabatannya, contohnya disaat menjalankan tugas jabatannya
dan ikut juga berkampanye lalu menggunakan fasilitas negara untuk keperluan Kampanye. Kewajiban
cuti sesungguhnya untuk Kampanye, bukan untuk kegiatan lain. Jika Petahana tidak mau kampanye
maka seharusnya Kewajiban untuk cuti itu tidak ada. Dengan kata lain, kewajiban cuti hanya berlaku
jika Petahana melakukan Kampanye. Jika tidak Kampanye maka ia tidak perlu cuti. 3
Basuki Tjahaja Purnama merasa bahwa Pasal 70 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ini ditafsirkan bahwa selama masa
Kampanye wajib menjalani cuti, padahal selaku pejabat publik, saat ini Basuki Tjahaja Purnama
memiliki tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat Provinsi DKI Jakarta untuk memastikan
program unggulan DKI Jakarta terlaksana termasuk proses penganggarannya, khususnya Basuki
Tjahaja Purnama ingin mengawal dan mengawasi sendiri penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) 2017 yang akan dibahas bersama DPRD DKI Jakarta yang jumlah anggarannya
sekitar Rp. 70.000.000.000.000 (70 triliun).Basuki Tjahaja Purnama mengajukan Judicial Review
(Pengujian Peraturan perundang-undangan) atas Pasal 70 ayat (3) huruf a Undang-Undang No 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Hakim Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor Perkara: 60/PUU-XIV/2016
yaitu Menolak permohonan Basuki Tjahaja Purnama untuk seluruhnya dengan pertimbangan yang
sangat mendalam. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, Interpretasi hukum Pasal 70 ayat (3)
Undang-Undang Pilkada, perbandingan dari pasal-pasal di atas dan pengajuan Judicial Review Basuki
Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi serta alasan Basuki Tjahaja Purnama tidak memilih cuti,
maka hal tersebut menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah yang berjudul
Studi Kasus Basuki Tjahaja Purnama Tidak Memilih Cuti Pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala
Daerah (No. Perkara: 60/PUU-XIV/2016).

1
Petahana berasal dari kata “Tahana” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kedudukan atau
martabat (kebesaran, kemuliaan) dan kata “bertahana” yang berarti bersemayam; duduk. Salomo simanungkalit
dari Harian Kompas mengusulkan kata “petahana” sebagai padanan kata “incumbent”, Lihat http://nuansa-
nuansabahasaindonesia.weebly.com/esai-konten/incumbent-petahana, diakses tanggal 25 agustus 2016, jam
22.21 Wita
2
Incumbent dalam bahasa latin berarti “bukti” , dan dalam bahasa inggris yang berarti “yang sedang
memegang jabatan, pemegang jabatan, yang memegang suatu jabatan”, Lihat http://ahmad.web.id/incumbent-
dan-demisioner/, diakses tanggal 25 Agustus 2016, jam 22.25 Wita
3
Daniel H T, Mk seharusnya menerima permohonan Uji materi dari Ahok, diakses dari
http://m.kompasiana.com/danielht/mk-seharusnya-menerima-permohonan-uji-materi-dari-ahok_ 57caa
b7bba9373d668da9b1b, pada tanggal 25 November 2016 pukul 15.00

2
B. Perumusan Masalah
a. Bagaimana Hak Asasi Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dalam kaitannya dengan tidak
memilih cuti pada masa Kampanye karena mengawal dana APBD?
b. Sejauhmana Pasal 70 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pilkada menjamin Hak Asasi Petahana?
c. Sejauh mana ketepatan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review Pasal 70 ayat (3)
huruf a UU Pilkada dengan Nomor Perkara 60/PUU-XIV/2016 atas nama Basuki Tjahaja
Purnama?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian Skripsi
ini adalah:
a. Untuk mengetahui Hak asasi Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur dalam kaitannya dengan
tidak memilih cuti pada masa Kampanye karena dana APBD.
b. Untuk menganalisis ketepatan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review Pasal 70
ayat (3) huruf a UU Pilkada dengan Nomor Perkara 60/PUU-XIV/2016 atas nama Basuki Tjahaja
Purnama.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang dikemukakan
diatas, dengan demikian tulisan ini kiranya dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan di
bidang Ilmu Hukum Tata Negara, khususnya dibidang Pemilihan Kepala daerah.
b. Dapat memberikan gambaran dan pemahaman ilmiah dalam dunia akademik, khususnya bidang
hukum mengenai konsep-konsep Cuti pada masa Kampanye oleh Kepala Daerah, dan pasal
kewajiban cuti bagi Kepala Daerah yang telah di atur oleh undang-undang.
c. Hasil penelitian ini semoga dapat menjadi bahan bacaan dan referensi kepada setiap orang pada
umumnya dan khususnya bagi para akademis hukum dalam membantu pengembangan dan
penelitian Ilmu Hukum.
b. Manfaat Praktis
a. Guna memberikan sumbangan pemikiran berdasarkan realita, eksistensi dari aturan-aturan positif
dalam proses pemberlakuan hukum. Untuk memberikan kepastian hukum, keadilan bagi Basuki
Tjahaja Purnama.
b. Dengan adanya tulisan ini kiranya Kepala Daerah atau Calon Kepala Daerah yang akan datang
sadar dan mempelajari alasan kewajiban cuti, dan ikut serta memajukan Pemilihan Kepala Daerah
di Indonesia.
c. Diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi pemerintah khususnya alat-alat negara yang
bertindak di Mahkamah Konstitusi baik sebagai hakim dan segenap pihak yang terkait dalam
tegaknya penerapan aturan-aturan yang telah dibuat agar mendapatkan kesesuaian keadilan,
kepastian hukum dan manfaat dari penerapan hukum itu sendiri.
2. DUDUK PERKARA
A. Kronologi pengajuan Judicial Review Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi
(a) Tanggal 2 Agustus 2016, Basuki Tjahaja Purnama mengajukan Uji Materi (Judicial Review) ke
Mahkamah konstitusi. Yang menjadi Objek permohonan Judicial Review Ahok adalah pasal 70
ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
(b) Tanggal 31 Agustus 2016, Sidang kedua perbaikan Judicial Review Undang-undang Nomor 10
tahun 2016. Norma yang dimohonkan pengujian adalah Norma materiil yaitu Pasal 70 ayat (3)
huruf a UU Pilkada bertentangan dengan Norma Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18 ayat
(4), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
(c) Tanggal 31 Agustus 2016, Hakim Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi Basuki
Tjahaja Purnama.
(d) Tanggal 5 September 2016, Acara Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR Perkara Nomor
60/PUU-XIV/2016 (Basuki Tjahaja Purnama).
(e) Putusan Nomor 60/PUU-XIV/2016
B. Putusan Hakim
Hakim Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor Perkara: 60/PUU-XIV/2016
yaitu Menolak permohonan Basuki Tjahaja Purnama untuk seluruhnya.

3
3. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif-empiris, yang disebut juga penelitian
hukum normatif-terapan (applied law research). 4 Tipe pendekatan Case Study, yaitu Penelitian hukum
yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstracto) serta
penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Jenis studi kasus hukum berupa studi kasus hukum
tunggal (single case study). Dengan kata lain, apakah ketentuan undang-undang telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya dan bagaimana penerapan pasal pada peristiwa hukum yang sedang berjalan.
Penelitian hukum normatif-empiris membutuhkan data primer dan data sekunder. 5 Abdulkadir
Muhammad menuliskan.
Penelitian hukum normatif-empiris (terapan) bermula dari ketentuan hukum positif tertulis
yang diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya
selalu terdapat gabungan dua tahap kajian, yaitu: 6
a. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku
b. Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum.
Hasil penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan ketentuan
hukum normatif yang dikaji telah dijalankan secara patut atau tidak.
B. Pendekatan Dalam Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach);
2. Pendekatan konseptual (concept approach).
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.” 7
Berdasarkan masalah yang dirumuskan pada bab satu, maka dapatlah ditetapkan variabel-variabel
dalam penelitian ini yaitu:
a. Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
b. Alasan Judicial Review Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial Review Basuki Tjahaja Purnama.
Variabel Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala
Daerah yaitu:
- Interpretasi (penafsiran) Teleologis pada Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mewajibkan cuti pada masa kampanye;
- Kelebihan dan Kelemahan terhadap aturan cuti kampanye;
- Latar belakang atau rumusan dalam Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Variabel Judicial Review Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi yaitu:
- Alasan Judicial Review Basuki Tjahaja Purnama adalah pasal 70 ayat (3) UU Pilkada
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Basuki Tjahaja Purnama menolak cuti.
Sedangkan Variabel Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial Review Basuki Tjahaja Purnama
yaitu:
- Tanggapan terhadap pertimbangan Hakim Konstitusi
D. Data dan Sumber Data

4
Abdulkadir Muhamad, Op.cit, hlm. 52.
5
Abdulkadir Muhammad, Ibid., hlm.53.
6
Ibid.
7
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cet. 6, (Jakarta: Bina Aksara, 1989),
hlm. 89, 90, 92; Bandingakan dengan Moh. Nazir, Metode Penelitian, cet. 5, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003),
hlm. 122-126.

4
1. Bahan Hukum Primer:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, UU No. 10 Tahun
2016
c. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia UU No.39 Tahun 1999
d. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, No. 9 Tahun 2015
e. Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi UU No. 24 Tahun 2003
2. Bahan Hukum Sekunder:
a. Pendapat dan/atau pandangan para sarjana/ahli tentang Petahana harus cuti dari jabatan
pada masa kampanye.
b. Laporan-laporan hasil penelitian tentang Petahana harus cuti dari jabatan pada masa
kampanye.
c. Artikel-artikel, Dokumen, Buku, Jurnal maupun Thesis tentang Petahana harus cuti dari
jabatan pada masa kampanye.
3. Bahan Hukum Tersier:
a. Kamus Hukum.
b. Kamus Bahasa (Indonesia, Inggris, Belanda).
c. Ensiklopedia.
E. Langkah-Langkah Penelitian
1. Pengumpulan Data 8
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi
catatan hukum. 9 Kepustakaan yang dimaksud terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku
karya tulis bidang hukum, laporan-laporan hasil penelitian hukum.
Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan
sumber tertier).
b. Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber
tertier) yang diperlukan.
c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah (pokok bahasan atau sub pokok
bahasan), dengan cara pengutipan atau pencatatan.
d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan
dan rumusan masalah penelitian. 10
2. Pengolahan Data
a. Pemeriksaan data (editing)
b. Penandaan data (coding)
c. Rekonstruksi data (reconstructing
d. Sistematisasi data (sistematizing)
3. Penyajian dan Analisis Data
Menurut Bambang Sunggono, kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yaitu:
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur … (yang selaras
dengan masalah/variabel penelitian);
b. Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi
tertentu (yang selaras dengan masalah/variabel penelitian);
c. Data yang berupa peraturan perundang-undangan dianalisis secara induktif kualitatif. 11

8
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hlm. 125
9
Bambang Sunggono, Loc. cit., hlm. 184; Lihat juga, Muhammad, Loc. cit., hlm. 125.
10
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit, hlm. 125.
11
Bambang Sunggono, Loc. cit., hlm. 186.

5
Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan berdasarkan data penelitian yang telah diolah dan
dianalisis, sehingga pada akhirnya dapat diketahui Studi Kasus Basuki Tjahaja Purnama Tidak
Memilih Cuti Pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah (No. Perkara : 60/PUU-XIV/2016).
Hasil analisis data akan dideskripsikan dalam bentuk `essay´ dengan kalimat-kalimat yang
bersifat menguraikan dan membahas terhadap apa yang menjadi pokok-pokok permasalahan dalam
penelitian ini. 12

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hak Asasi Basuki Tjahaja Purnama dalam kaitannya dengan tidak memilih cuti pada masa
kampanye karena mengawal dana APBD
Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah memangkas Hak
konstitusional Basuki Tjahaja Purnama dalam menjalankan pekerjaan yaitu untuk mengurus
pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang menjadi kewajiban dalam memajukan kesejahteraan umum.
Dalam hal ini kaitannya dalam mengelola keuangan daerah, yaitu program e-budgeting13. Oleh karena
itu, Basuki Tjahaja Purnama meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar hak cuti dalam Pasal 70 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dapat dimaknai sebagai hak yang sifatnya pilihan
(optional). Hal ini dikarenakan Basuki Tjahaja Purnama lebih memilih untuk tidak menggunakan hak
untuk berkampanye dan lebih memilih untuk menjalankan pekerjaan sebagai pejabat publik yaitu
mengurus Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.14
Basuki Tjahaja Purnama yang merasa bahwa dirinya harus bekerja untuk rakyat DKI Jakarta
bukan berkampanye untuk kemenangannya tetapi UU membatasi dan mengurangi haknya sebagai
Warga Negara Indonesia dan sebagai Petahana, Kewajiban cuti untuk berkampanye jika ingin
mengikuti pencalonan kembali.15
Basuki Tjahaja Purnama beranggapan ketentuan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
Negara RI Tahun 1945 dan dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), serta 5.
Pasal-pasal itu berbunyi:
a. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” dan “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
b. Pasal 18 ayat (4), “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
c. Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dan
pemerintahan, dan wajib menunjang hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
B. Arti dan Makna Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada
1. Latar Belakang Persyaratan Cuti Kampanye Bagi Kepala Daerah Incumbent Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 17/PUU-VI/2008. Aturan Pasal 58 huruf q ini
digugat Sjachroedin SP yang berprofesi sebagai Gubernur Lampung Periode 2004-2009. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut lahir dari Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

12
Hilman Hadikumsuma, Loc. cit., hlm. 99.
13
E-budgeting adalah sebuah sistem keuangan yang disimpan secara online dengan tujuan transparansi bagi
setiap pihak. https://uangteman.com/blog/indonesia/transparansi-anggaran-melalui-e-budgeting/, diakses pada
tanggal 16 Agustus 2017, pukul 17.50 Wita
14
Risalah Sidang PERKARA NOMOR 54/PUU-XIV/2016, PERKARA NOMOR 55/PUU-XIV/2016,
PERKARA NOMOR 60/PUU-XIV/2016 ,Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , hlm.4
15
Helmanida, Utilitarianisme dalam filsafat hukum, Simbur jaya No.45 Tahun XVI, Mei 2011, hlm. 2557

6
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 dirumuskan: mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang masih menduduki jabatannya.
Pasal 58 huruf q mensyaratkan bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang masih
menduduki jabatan dan akan mencalonkan diri pada pemilihan Kepala daerah dan/Wakil kepala
daerah harus mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan sejak pendaftaran, dan pengunduran diri
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Adanya Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 tersebut
merugikan hak Sjachroedin SP untuk memegang masa jabatan sebagai Gubernur Lampung sampai
dengan tanggal 2 Juni 2009. Selain itu, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 58 huruf q Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 juga menyebabkan adanya perlakuan yang tidak sama kepada
Sjachroedin SP sebagai Kepala Daerah yang akan mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah
pada masa jabatan berikutnya karena kewajiban mengundurkan diri dari jabatannya tidak diberlakukan
kepada pejabat negara lainnya, yaitu seperti pada Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (5) huruf h dan i UU Nomor 32 Tahun 2004: h.
Surat Pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan
menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya; i. Surat pemberitahuan kepada pimpinan
bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah, yang dalam pasal ini hanya diberlakukan surat pernyataan tidak aktif dan bukan surat
pengunduran diri. 16
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya dalam pertimbangan Putusannya yaitu Nomor 17/PUU-
VI/2008 menilai bahwa keberlakuan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
mengatur bahwa Petahana baik yang maju pada daerah sendiri maupun daerah lain, telah
menimbulkan ketidakpastian hukum atas masa jabatan kepala daerah yang seharusnya 5 tahun. Dan
oleh karena itu, pengaturan mundur yang berlaku dalam Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga terkait dengan petahana yang akan
mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah sendiri atau daerah lain cukup
menjalani cuti di luar tanggungan negara. Pengaturan cuti di luar tanggungan negara ini semata-mata
merupakan solusi konstitusional (Putusan MK-RI Nomor Perkara 17/PUU-VI/2008, hlm. 57). 17
Maka makna dari diberhentikan sementara itulah yang kemudian disandingkan dengan makna
cuti. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian terjadi perdebatan dan ketentuan cuti bagi
kepala daerah petahana yang ingin mencalonkan kembali dalam pilkada. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 akan menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pilkada serentak tahun 2017.
Pasal 70 ayat (3) di atas mewajibkan kepala daerah petahana untuk cuti jika yang
bersangkutan akan mencalonkan kembali pada daerah yang sama. Pasal 70 ayat (3) huruf a yaitu
Menjalani cuti diluar tanggungan negara , yang artinya calon kepala daerah petahana (Incumbent)
wajib berhenti sementara dari jabatannya. ketentuan ini sebagai solusi atas masalah mobilisasi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kerap dilakukan oleh petahana. Pelibatan PNS dilakukan secara
diam-diam dan dalam amanat Undang-undang PNS diharuskan bersikap netral. Tetapi dalam
praktiknya tetap saja ditemukan PNS yang mendukung salah satu pasangan calon. Pelanggaran
netralitas PNS ini dapat terjadi atas arahan dan perintah dari Incumbent ataupun ajakan dari tim
suksesnya dan pasal 70 ayat (3) huruf b menggunakan fasilitas negara untuk mendukung dalam
kampanye serta menggunakan kebijakan dan anggaran negara untuk mempengaruhi pemilih 18.
Contoh Penyalahgunaan kekuasaan termasuk fasilitas negara terdapat Pada sejarah skandal
politik yang paling terkenal di Amerika pada tahun 1972-1974 yaitu Watergate. Presiden ke-37
Richard Nixon yang pada saat itu berkuasa, insiden dimulai dari ditemukannya alat penyadap di

16
Jamaludin Ghatur & Allan Wardhana, Problematika pengaturan cuti kampanye kepala daerah
incumbent dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di indonesia, Jurnal Hukum Novelty. Vol. 8
No 1, Februari 2017, hlm. 81.
17
Jamaludin Ghatur & Allan Wardhana, Op.cit., hlm 81.
18
Hendra Budiman, op. cit , hlm.16.

7
kompleks perkantoran komite nasional demokrat dan setelah diselidiki yang melakukan penyadapan
adalah kelompok pendukung Nixon lalu dilakukan penyelidikan lebih lanjut dan terungkap bahwa
Nixon melakukan penyadapan kepada lawan-lawan politiknya dan adanya konspirasi partai republik
untuk merugikan partai demokrat, korupsi partai republik dalam pengumpulan dana pemilihan, serta
fitnah yang disebarkan terhadap calon-calon presiden dari partai demokrat. Semua yang dilakukan
Nixon adalah untuk memuluskan jalannya dikursi presiden. Sejak skandal watergate ini pemerintah
Amerika memperbaiki Undang-Undang Kampanye dan Pemilihan Umum. Skandal watergate
merupakan contoh besarnya kekuasaan yang dipegang sebagai seorang presiden pada era itu, Jikalau
tidak adanya aturan yang tegas dapat menyebabkan Abuse of Power atau Penyalahgunaan kekuasaan.
2. Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada Dalam Perspektif Para Ahli

Menurut Mahfuf MD, cuti pada masa kampanye bagi calon petahana saat kampanye Pilkada
tetap wajib dilakukan. Mahfud MD mengkategorisasikan cuti menjadi tiga kelompok, yaitu hak,
kewajiban, dan larangan. Cuti masuk kategori hak yaitu bagi karyawan yang setiap tahun mendapat
jatah 12 hari cuti. Hak itu dapat ditagih apabila perusahaan tidak memberikannya. Cuti masuk
Kategori Kewajiban yaitu ketika Si A ingin mengajak B ke amerika , B merupakan seorang PNS. Bila
ingin mendapat izin untuk ke Amerika maka harus ikut cuti dan tanpa tanggungan negara. Hal ini cuti
menjadi sebuah kewajiban. Cuti masuk kategori Larangan saat Kepala Daerah bisa dikatakan dilarang
cuti ketika ada situasi darurat, seperti adanya bencanaJimly Asshiddiqie berpandangan sama dengan
Mahfud MD bahwa cuti pada masa kampanye merupakan suatu kewajiban. Sebab menurut Jimly
keharusan cuti yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Keputusan
KPU DKI yang merujuk pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, sifatnya tidak lagi
menjadi hak melainkan suatu kewajiban.19
Keterangan Ahli dari pihak Basuki Tjahaja Purnama, yaitu Dr. Harjono, SH., MCL:
 Kepala Pemerintahan adalah fungsi yang mempunyai tugas, kewajiban, dan wewenang yang
diberikan kepada kepala pemerintahan atau gubernur. Tugas, kewajiban dan kewenangan
gubernur diatur oleh Undang-Undang Pemda yang dapat ditemukan dalam Pasal 65 ayat (1)
UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, yaitu memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
Huruf c menyatakan, ”menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJMD kepada
DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD.” Huruf d
menyatakan, “menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda
tentang perubahan APBD, dan rancangan tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.”
Huruf g menyatakan, “dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
kepala daerah berwenang mengajukan rancangan perda, menetapkan Perda yang telah
mendapatkan persetujuan DPRD.”
 UU Pemda secara jelas dan limitatif mengatur kapan gubernur kepala daerah berhenti
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 78 ayat (1) yaitu: a. Meninggal dunia; b. Permintaan
sendiri; c. Diberhentikan,
 Sedangkan dalam ayat (2) diuraikan apa yang dimaksud dengan diberhentikan, yaitu berakhir
masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, dan berhalangan tetap
secara berturut-turut 6 bulan, dinyatakan melanggar sumpah, janji, dan lain sebagainya.
 Dengan adanya pasal tersebut diatas, tidak ada alasan lain menurut hukum yang sah gubernur
berhenti dari jabatannya, yang artinya memberhentikan juga fungsinya sebagai kepala daerah.
Pasal ini menguraikan secara limitatif karena tidak menyebutkan adanya alasan lain yang sah,
artinya alasan yang diluar yang telah diatur dalam pasal ini.
 Pasal 83 mengatur pemberhentikan sementara karena adanya dakwaan kepada Gubernur
melakukan Tindak Pidana Kejahatan yang dapat diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 tahun.

19
http://news.okezone.com/read/2016/08/08/338/1458255/pilgub-dki-jimly-aturan-cuti-bagi-petahana-
sifatnya-wajib, pada tanggal 10 agustus 2017, 04.38 Wita

8
 Hal yang penting dalam Perkara No. 60/PUU-XIV/2016 adanya frasa “melaksanakan tugas
sehari-hari gubernur”.
 Penjelasan Pasal 66 ayat 6 UU 9/ 2015 menyatakan, “yang dimaksud dengan melaksanakan
tugas sehari-hari kepala daerah dalam ketentuan ini adalah tugas rutin pemerintahan yang
tidak berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan,
kelembagaan, personel, aspek perizinan serta kebijakan strategis lainnya”.
 Hubungan Normatif antara Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Pasal 88, dan Pasal 65 UU No.
9/2015, jelas menggambarkan bahwa gubernur tetap memegang kekuasaan pemerintahan
kecuali habis masa jabatannya, berhenti atas kehendak sendiri, dan diberhentikan dengan
tetap.
 Mengenai cuti gubernur diluar tanggungan negara, kata-kata cuti ini hanya ada pada UU
Aparatur Sipil Negara. UU Pemda tidak mengatur cuti. Oleh karena itu persoalannya adalah
apa yang dimaksud dengan cuti diluar tanggungan negara.
 Cuti adalah Hak, tetapi kalau dilihat dari konstruksi Pasal 70 cuti menjadi kewajiban. Satu hal
yang kemudian tidak jelas adalah kalau cuti Hak itu, seorang yang akan mengambil hak itu dia
akan mempertimbangkan apakah akan menikmati masa cuti dengan resiko kehilangan hak-hak
finansial, atau tetap mendapatkan hak finansial tetapi tidak cuti. Anehnya dalam Pasal 70 cuti
diwajibkan tetapi juga kehilangan haknya. Bagaimana bisa seseorang melakukan suatu
kewajiban lalu kehilangan haknya.
 Orang yang melakukan kewajiban lalu kemudian dihilangkan haknya adalah sesuatu yang
tidak adil dan tidak masuk akal. Apalagi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Keuangan
Negara, tidak ada satupun pejabat daerah yang berhak membuat APBN kecuali Gubernur.
 Memang ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan ketika membicarakan Pilkada, tapi
persoalannya sebetulnya pada pengawasan. Kalau pengawasan itu bagus dan tepat dimanapun
bisa diawasi. Oleh karena itu sebetulnya yang dibutuhkan adalah sistem pengawasan bukan
lalu mempreteli hak-hak yang seharusnya sudah dijamin oleh konstitusi, yaitu hak gubernur
sebagai kepala daerah.
Djohermansyah Djohan, selaku ahli yang diutus Presiden Joko Widodo pada sidang uji materi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,
memaparkan bahwa sebaiknya cuti bagi calon petahana selama masa kampanye tetap dipertahankan
karena lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Cuti diharapkan membuat petahana bisa
terhindar dari abuse of power. Menurut Djohermansyah, Penyalahgunaan kekuasaan modusnya mulai
dari penyelewengan dana bantuan sosial, penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
penyalahgunaan perizinan, hingga politisasi pegawai negeri sipil. 20
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu juga menyampaikan bahwa
nantinya Menteri Dalam Negeri akan memilih pejabat dari Kemendagri yang terpandang dan terbebas
dari politik kepentingan untuk menjabat pelaksana tugas (Plt) gubernur selama masa kampanye. Di
dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pelaksana Tugas (Plt) gubernur diberi mandat yang lebih
besar dari sebelumnya. Bahkan, bisa menandatangani Perda APBD. Hal ini sekaligus menjawab
kekhawatiran Basuki Tjahaja Purnama terhadap keberlanjutan APBD DKI 2017.
Menurut Penulis, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengharuskan
Petahana Basuki Tjahaja Purnama wajib Cuti itu tidak menghapus Hak Konstitusionalnya artinya Hak
Konstitusionalnya tetap ada dikarenakan Petahana Basuki Tjahaja Purnama masih menjabat sebagai
Gubernur hanya saja Hak Konstitusional Petahana Basuki Tjahaja Purnama dikurangi. Tidak seperti
pada Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 tahun 2008 yang mengharuskan seorang Petahana harus
mengundurkan diri dari jabatannya yang membuat seluruh Hak konstitusionalnya dicabut, oleh sebab
pada putusan Mahkamah Konstitusi perubahan mengundurkan diri menjadi wajib cuti itu sebagai
solusi dari Abuse of Power dan Conflict of interest seperti yang terjadi dalam sejarah perpolitikan
Amerika diatas yang dikenal dengan Watergate, saat seorang Presiden yang mempunyai kekuasaan
yang begitu besar dan melakukan segala cara untuk menjatuhkan lawan politiknya serta melakukan
korupsi.

20
http://sains.kompas.com/read/2016/10/07/09520321/perdebatan.ahok.dan.utus
an.jokowi.soal.cuti.kampanye.petahana, diakses pada Jumat, 10 Oktober 2016

9
Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan
dan meminimalkan rasa sakit dalam masyarakat, terutama ditujukan kepada individu 21.
Menyinggung pada Prinsip dasar ajaran Jeremy bentham sebagai Tujuan Hukum adalah
hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip
utility Jeremy Bentham berbunyi the greates happiness for the greatest number (kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang). 22 Jeremy bentham lebih memerhatikan
kepentingan rasionalitas dalam konstitusi negara untuk mematuhi hukum yang ada didalam sebuah
negara.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu,
bukan langsung kemasyarakat secara keseluruhan. Bentham tidak menyangkal, bahwa disamping
kepentingan individu, kepentingan masyarakat perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan,
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi seperti pada
Petahana Basuki Tjahaja Purnama yang dengan kekuasaannya sebagai gubernur harus dibatasi dengan
wajib cuti pada masa kampanye. Jika tidak dibatasi, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia lain), Untuk menyeimbangkan antara kepentingan (Induvidu
dan masyarakat), bentham menyarankan agar ada simpati dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian,
titik berat perhatian harus tetap pada individu, karena apabila setiap individu memperoleh
kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan
secara simultan23.
Pandangan utilitarian individu jika disandingkan dalam konteks mematuhi hukum, Basuki
Tjahaja Purnama yang haruslah cuti sesuai dengan ketentuan undang-undang. Hukum itu dari negara
sebagai pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang mencerminkan
semua individu. Kenapa Basuki Tjahaja Purnama harus cuti Karena dilihat dari pandangan Jeremy
Bentham Tujuan Hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-
individu baru orang banyak. tujuan dari Undang-undang pilkada adalah khususnya pada pasal 70 ayat
(3) ini adalah sebagai solusi atas masalah mobilisasi pegawai negeri sipil (PNS) yang kerap dilakukan
oleh seorang petahana dan kadang juga menggunakan fasilitas negara misalnya kendaraan, bensin,
anggaran negara untuk dapat mempengaruhi pemilih24. Jadi, Pasal 70 ayat (3) itu membatasi jikalau
seorang Petahana ingin menyalahgunakan kekuasaannya pada saat kampanye demi kepentingan
negara dan melindungi fasilitas negara.

C. Dasar Pertimbangan Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Atas Perkara Basuki Tjahaja
Purnama25
1. Dasar Pertimbangan Dari Segi Yuridis Formal

Dalam perkara Basuki Tjahaja Purnama ini, Hakim Mahkamah Konstitusi


Memiliki pertimbangan dalam menolak permohonan Basuki Tjahaja Purnama untuk seluruhnya,
adapun pertimbangan Hakim Konstitusi sebagai berikut:26

21
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 63
22
Muh.Erwin, Filsafat Hukum : Refleksi kritis terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm. 180
23
Darji Dar modiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (PT.Gramedia Pustaka umum,
Jakarta), hlm. 118
24
Hendra budiman, Pilkada Langsung dan Demokrasi palsu, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2015),
hlm. 16
25
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.60/PUU-XIV/2016 tentang Putusan
Judicial Review perkara Basuki Tjahaja Purnama, hlm. 93-102

10
Bahwa Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya
oleh Basuki Tjahaja Purnama, menurut Mahkamah memiliki hubungan sebab akibat (causal verband)
dengan timbulnya kerugian konstitusionalitas bagi Basuki Tjahaja Purnama, yaitu kerugian berupa
diperlakukannya Basuki Tjahaja Purnama sebagai warga negara secara tidak sama di hadapan hukum,
serta kerugiannya berupa berkurangnya masa jabatan sebagai Gubernur karena diwajibkan untuk cuti
demi melaksanakan kampanye. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai Basuki
Tjahaja Purnama memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
Pada pokoknya Basuki Tjahaja Purnama mendalilkan dirugikan oleh ketentuan Pasal 70 ayat
(3) huruf a UU 10/2016, karena ketentuan tersebut mewajibkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai
Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang mencalonkan kembali pada Pemilihan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2017, untuk cuti selama masa kampanye, kewajiban cuti demikian menurut Basuki
Tjahaja Purnama mengakibatkan selaku Gubernur, Basuki Tjahaja Purnama dikurangi haknya untuk
bekerja menuntaskan amanat rakyat hasil pemilihan langsung, yaitu memastikan program unggulan
DKI Jakarta terlaksana antara lain terkait aspek penganggaran yang prosesnya berlangsung selama
masa kampanye.27
Kewajiban cuti bagi petahana menurut Basuki Tjahaja Purnama juga menimbulkan potensi
masalah akibat tidak jelasnya Ketentuan mengenai siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur terutama kewenangan menandatangani
Perda APBD, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016
tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, didalam permendagri No 74/2016 hanya memuat pengertian
cuti kampanye, penjelasan format cuti diluar tanggungan negara, ketentuan Pelaksana tugas, dan
larangan selama kampanye, didalam permendagri ini tidak dijelaskan secara lengkap untuk pihak-
pihak yang bertanggung jawab atas kewenangan Pelaksana tugas(Plt).
Masalah utama yang harus dijawab oleh Mahkamah Konstitusi adalah mengenai
konstitusionalitas ketentuan yang mewajibkan cuti bagi petahana yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah pada pemilihan umum berikutnya di daerah yang sama. Selanjutnya, permasalahan
konstitusionalitas demikian dikaitkan dengan pertanggungjawaban petahana atas pelaksanaan tugas
dan kewenangan kepala daerah, dalam hal ini Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, oleh
Plt Gubernur..
Mahkamah Konstitusi mengharapkan adanya kesetaraan antarpeserta atau antarkontestan
tetapi tidak dimaknai harus setara dalam semua hal, karena masing-masing kontestan pilkada memang
memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam hal ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya.
Negara tidak boleh memaksakan semua kontestan untuk setara dalam semua bidang. Melainkan justru
harus menghargai perbedaan-perbedaan demikian. Hal yang dapat negara lakukan untuk
mendudukkan para kontestan dalam posisi yang setara adalah dalam melepas semua bentuk relasi
antara negara dengan para kontestan jika relasi demikian dapat diuntungkannya kontestan tertentu.
Dengan kata lain rumusan norma dalam undang-undang haruslah mencerminkan netralitas
negara terhadap para kontestan atau kandidat dalam Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Netralitas negara di hadapan semua kontestan pemilihan kepala daerah, menurut Mahkamah Kontitusi
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”.
2. Dasar Pertimbangan Dari Segi Kepentingan
Menimbang bahwa mahkamah tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan petahana yang
tidak cuti sudah pasti akan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya sebagai kepala daerah untuk
memenangkan dirinya dalam pemilihan kepala daerah yang akan dia ikuti. Meskipun kasus
penyelewengan jabatan demikian memang banyak terjadi, namun menurut mahkamah, hukum tidak
boleh melakukan generelisasi dengan berasumsi semua petahana pasti akan menyelewengkan jabatan

26
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.60/PUU-XIV/2016 tentang Putusan
Judicial Review perkara Basuki Tjahaja Purnama, hlm. 93-102
27
http://nasional.kompas.com/read/2016/12/22/0736091/kaleidoskop.2016.uji.materi.yang.menyita.perh
atian.sepanjang.tahun.ini

11
hanya karena ada petahana lain yang menyelewengkan jabatannya. Tetapi disisi lain hukum juga tidak
boleh menutup mata pada adanya kasus-kasus penyelewengan jabatan oleh petahana dalam pemilihan
kepala daerah. Hukum tidak hanya mengatur hal-hal yang telah atau sedang terjadi, namun harus juga
dimanfaatkan untuk mengatur hal-hal yang mungkin dapat terjadi, setidaknya sebagai bentuk
antisipasi agar tidak timbul kerugian bagi masyarakat.28
Menurut mahkamah, adanya norma hukum yang tegas memisahkan antara seorang kepala
daerah yang sedang menjabat dengan kepala daerah yang sedang cuti (petahana) dimaksudkan untuk
memberikan kesetaraan perlakuan antara calon yang merupakan petahana dan calon yang bukan
petahana, terutama adanya kekuatiran penyalahgunaan pengaruh dan fasilitas yang melekat pada
jabatan calon yang merupakan petahana.
Menimbang, bahwa ketentuan pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 mengenai kewajiban cuti
selama kampanye bagi petahana, menurut Mahkamah, harus dipahami lebih sebagai bentuk antisipasi
pembentuk undang-undang agar tidak ada penyalahgunaan jabatan kepala daerah oleh petahana
dibanding sebagai upaya mengurangi masa jabatan kepala daerah. Kedua hal demikian memang saling
bertentangan, yaitu cuti kepala daerah akan menjauhkan resiko penyalahgunaan jabatan petahana
namun berakibat berkurangnya masa jabatan kepala daerah, sementara jika tidak diwajibkan cuti maka
petahana akan terlindungi haknya untuk menjabat secara penuh-utuh namun membuka potensi
penyalahgunaan jabatan yang berakibat ketidaksetaraan antar kontestan dalam pemilihan kepala
daerah, mencederai netralitas negara, serta pada akhirnya merugikan pihak lain baik sesama kontestan
maupun masyarakat pemilih yang berhak menikmati pemilihan kepala daerah yang berkualitas.
Menurut mahkamah tetap sulit menjamin perilaku manusia akan bersesuaian dengan tujuan
undang-undang, terutama karna masyarakat bersifat dinamis dan terus berkembang seturut
perkembangan ilmu dan teknologi, sementara hukum relatif statis. Untuk itu Mahkamah meyakini
bahwa hukum harus selalu memperbaharui diri dan didesain futuristik (visioner) sebagai sarana untuk
mengkondisikan terciptanya masyarakat yang ideal sesuai dengan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan undang-undang 1945.
Menimbang bahwa Basuki Tjahaja Purnama mendalilkan sebagai perseorangan WNI yang
sedang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya
untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak konstitusionalnya sebagai
gubernur untuk menjabat secara penuh selama lima tahun sebagaimana telah dilindungi oleh UUD
Negara RI Tahun 1945.
Menurut penulis dimana ada Hak disitu juga terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan. Hak
Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta sebagai hasil dari pemilihan langsung secara
demokratis, dengan masa jabatan 5 tahun sejak pelantikan. Basuki berpotensi dirugikan haknya
dengan keharusan cuti selama kurang lebih 4 bulan sampai 6 bulan, apabila pemilukada Provinsi DKI
Jakarta berlangsung dua putaran. Kedudukan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur yang
meneruskan jabatan-jabatan Gubernur pendahulunya untuk masa jabatan tahun 2012 sampai 2017
adalah kedudukan untuk menjalankan kewajiban. Kedudukan Basuki Tjahaja Purnama mencalonkan
diri kembali dalam Pilkada Tahun 2017 adalah dalam kedudukan untuk menggunakan haknya sebagai
warga negara. Harus dipahami bahwa jika Gubernur menjalani cuti maka ada wakil gubernur yang
menggantikannya, dan jikalau keduanya sedang cuti maka sekretaris negara yang melanjutkan
jalannya pemerintahan daerah. Berbeda kedudukannya dengan Presiden dan Wakil Presiden karena
cuti presiden harus disesuaikan dengan cutinya Wakil Presiden, dan jikalau sampai mereka cuti
bersamaan akan menimbulkan kekosongan hukum.
Menurut Penulis, Basuki Tjahaja Purnama hanya berusaha agar tidak mengecewakan rakyat
DKI Jakarta karena menurut dia bekerja lebih baik daripada berkampanye yang bertujuan untuk
memenangkan diri. Tetapi ketentuan mewajibkan untuk cuti dari jabatannya guna menghindari
penyalahgunaan jabatan yang sangat rentan terjadi apabila Gubernur tidak cuti dan hanya bekerja.
Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 ini sudah sangat memproteksi dalam Pilkada, karena UU ini
tidak hanya untuk Basuki Tjahaja Purnama saja tetapi untuk semua Petahana di indonesia. mungkin
saja benar bahwa Basuki Tjahaja Purnama tidak menyalahgunakan jabatan, tetapi tidak semua sama

28
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.60/PUU-XIV/2016 tentang Putusan
Judicial Review perkara Basuki Tjahaja Purnama, hlm. 93-102 (dikutip langsung)

12
dengan Basuki Tjahaja Purnama, pasti banyak kepala daerah yang mengambil kesempatan jikalau
permohonan judicial review Basuki Tjahaja Purnama diterima. Dalam keseharian saja sudah tidak
asing lagi dalam media cetak atau tulis jikalau kepala daerah keluar masuk KPK, maka dari itu Pasal
70 UU 10/2016 ini sangatlah dibutuhkan.
Proses Peradilan yang dilakukan dalam perkara pengujian undang-undang berkaitan erat
dengan kepentingan umum (public interest). Jika suatu norma dalam undang-undang itu terbukti
bertentangan dengan UUD dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka alasan
yang dipakai untuk itu haruslah berdasarkan atas pertimbangan kepentingan umum yang lebih besar
dan lebih luas. Malahan jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu
sangatlah luas dampaknya kepada tertib hukum yang diharapkan melindungi kepentingan umum itu,
maka mau tidak mau hakim konstitusi haruslah membuat putusan berdasarkan pembuktian yang
benar-benar sangat mendalam.29
Setiap undang-undang yang telah disahkan menjadi norma hukum yang mengikat untuk
umum, dapat dikatakan mencerminkan kehendak mayoritas suara rakyat yang berdaulat di suatu
negara. Sebabnya ialah, setiap undang-undang yang disahkan menjadi norma hukum yang berlaku
mengikat untuk umum adalah produk hukum yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden, sebagai dua organisasi jabatan yang sama-sama dipilih oleh rakyat dan berdaulat
melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, untuk membatalkan produk hukum hasil jerih payah orang
banyak yang juga mewakili kehendak mayoritas rakyat itu, apalagi hanya mayoritas sembilan orang
hakim pada Mahkamah Konstitusi, tentulah didasarkan atas penalaran yang sangat mendalam dengan
bukti-bukti yang tidak hanya bersifat formal di atas permukaan. Artinya, perkara pengujian undang-
undang haruslah diorientasikan untuk menemukan kebenaran yang hakiki dari pokok persoalan yang
sedang diuji nilai konstitusionalitasnya. Para hakim sendiri karena jabatannya, wajib menggali sendiri
kebenaran materiil dimaksud untuk sampai pada keyakinan dalam menjatuhkan putusan yang bersifat
final dan mengikat.30

5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas hasil Studi Kasus Basuki Tjahaja Purnama Tentang Cuti Pada
Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah dapat disimpulkan:
1. Hak Asasi Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dalam kaitannya dengan tidak memilih cuti
pada masa Kampanye karena mengawal dana APBD , dapat disimpulkan:
a. Hak Asasi yang dilindungi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 diatas adalah untuk memilih
sikap tidak memilih cuti pada masa kampanye, tetapi hak asasinya dibatasi oleh kewajiban
cuti dalam Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Jadi besaran
Hak Asasi Basuki Tjahaja Purnama tidaklah mutlak, dikurangi sedikit/ dikebiri, yang
mengurangi hal tersebut adalah kewajiban untuk patuh pada Pasal 70 ayat (3) huruf a UU
10/ 2016 tentang Pilkada.
b. Basuki Tjahaja Purnama wajib untuk mematuhi UU untuk cuti pada masa kampanye karena
Tidak hanya Hak sebagai seorang Petahana yang ingin dia capai tetapi juga kewajiban
sebagai seorang warga negara yang taat hukum harus dia penuhi. Sesuai dengan Pasal 27
ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, dan pemerintahan, dan wajib menunjang hukum dan
pemeirntahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
2. Arti dan Makna Pasal 70 ayat (3) Huruf a UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada
a. Latar belakang Pasal kewajiban cuti pada masa kampanye ini adalah Adanya Pasal 58 huruf
q UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada yang mengharuskan mengundurkan diri atau
berhenti dari jabatan sejak pendaftaran, dan pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik
kembali. Hal ini merugikan hak Sjachroedin SP untuk memegang masa jabatan sebagai

29
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian undang-undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.
141.
30
Ibid.

13
Gubernur Lampung, maka dari itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review
Sjachroedin SP dikarenakan pasal 58 tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Dan
digantilah kewajiban mengundurkan diri tersebut menjadi kewajiban Cuti dari Jabatan pada
saat kampanye karena hal ini sebagai solusi dari penyalahgunaan kekuasaan.
b. Pengaturan kekurangan dan kelebihan ketentuan cuti kampanye kepala daerah, dapat
disimpulkan bahwa Kelebihan pengaturan ini adalah Untuk membatasi kekuasaan kepala
daerah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), Menghindarkan
terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest), Mencegah petahana untuk memobilisasi
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Untuk menjamin agar semua calon (di luar petahana) dengan
calon petahana berangkat dari kondisi equal sehingga kompetisi dapat berlangsung secara
adil
Dan kekurangan Pengaturan cuti pada masa kampanye ini adalah: kewajiban untuk cuti
dapat merugikan hak kepala daerah incumbent untuk bekerja menuntaskan amanah rakyat
hasil pemilihan langsung serta merugikan rakyat pemilih, Kebijakan cuti kampanye bagi
kepala daerah incumbent akan mengganggu efektivitas tata kelola pemerintahan dalam
melayani masyarakat, Pemberlakuan cuti Petahana dapat melemahkan fungsi pengawasan
yang dilakukan oleh Gubernur.
Uraian pertimbangan hakim dalam perkara Basuki Tjahaja Purnama ini, negara tidak dapat
melarang warga negara untuk menjadi kepala daerah, termasuk didalamnya hak seorang kepala daerah
atau mantan kepala daerah mencalonkan diri kembali menjadi kepala daerah untuk kedua kalinya.
Seiring dengan hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, terutama bagi
petahana, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam batas penalaran yang wajar
fasilitas yang melekat pada jabatannya harus dilepaskan dari petahana yang mencalonkan diri sebagai
kepala daerah. Hal demikian menurut Mahkamah adalah wujud netralitas negara atau pemerintah
dalam kontestasi kepala daerah.
Menurut penulis melepaskan fasilitas negara ini tidak dalam konteks bahwa kepala daerah
yang hendak mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah berikutnya (petahana) harus mundur atau
melepaskan jabatannya terlebih dahulu (vide Putusan atas nama Sjahcrodin Nomor 17/PUU-VI/2008,
bertanggal 4 agustus 2008). Melepaskan fasilitas negara dalam pasal 70 ayat (3) huruf a sebagai
bentuk netralitas. dalam perkara ini, sudah cukup ketika diwujudkan dalam bentuk kewajiban cuti bagi
petahana.
Kelemahan putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah Mahkamah Konstitusi dengan menolak
Permohonan Basuki Tjahaja Purnama seluruhnya berarti menyetujui pengurangan masa jabatan
Gubernur, Bupati, Walikota dari 5 Tahun menjadi 4 tahun 8 bulan.

14

Anda mungkin juga menyukai