Anda di halaman 1dari 19

Pendekatan Klinis pada Mola Hydatidosa

Titus Mulyadhanada (102014073), Daniel Raynaldi (102015140), Lissa Marisca N


(102013256), Raymond Wangsa (102016151), Charoline Gracetiani (102016002), Clarita
(102016045), Naafila Maghfirotika (102016133), Glorie Libertikha M (102016220) / D5

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Barat, Indonesia

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : raymond.wangsa@gmail.com

__________________________________________________________________________________

Abstrak

Mola hydatidosa atau dikenal sebagai hamil anggur ialah suatu kelaian dimana sel
konsepsi membelah secara tidak seharusnya menjadikan janin yang non viable. Banyak
bentuk ploidi dari mola hydatidosa antara lain ada yang diploid, triploid, bahkan telah
ditemukan yang tetraploid. Hamil anggur ini biasanya terdeteksi secara dini dikarenakan
manifestasi klinisnya yaitu perdarahan vagina dan sakit perut. Biasanya, sonografi dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis. Jika sudah terdiagnosis, sebaiknya mola segera
dievakuasi dan dilakukan follow up terapi untuk menilai apakah ada penyakit persisten.

Kata kunci : Mola hydatidosa, hamil anggur, diagnosis, evakuasi mola

Abstract

Mola hydatidosa, otherwise known as grape pregnancy, is a disorder in which cell


conception does not divide what it should be and make the fetus non viable. Many forms of
ploidy from hydatidiform mole include diploids, triploids, and even tetraploids. This grape
pregnancy is usually detected early because of the clinical manifestations of vaginal bleeding
and abdominal pain. Usually, sonography can help to make a diagnosis. If it is diagnosed, it
is best to evacuate the mole immediately and follow up therapy to assess whether there is
persistent disease.

Key words : Mola hydatidosa, grape pregnancy, diagnosis, evacuate the mole

1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk yang disusun atas berbagai sistem tubuh. Sistem-sistem
dalam tubuh ini saling bekerjasama satu dengan yang lainnya untuk tetap menjaga
keberlangsungan hidup manusia dan yang peling dalam menjaga keberlangsungan hidup
manusia adalah sistem reproduksi.

Sistem reproduksi manusia yang kompleks ialah sistem reproduksi perempuan. Sistem
ini terdiri atas beberapa organ genitalia dimana organ-organ ini akan berfungsi saat
reproduksi. Kelainan pada organ maupun saat pembuahan dan pematangan dari hasil
konsepsi akan berdampak menuju beberapa penyakit dimana salah satunya ialah mola
hidatiformis atau lebih dikenal sebagai penyakit hamil anggur.

Dari skenario, diceritakan mengenai seorang perempuan 16 tahun datang dengan


keluhan nyeri perut dan perdarahan vagina sejam yang lalu.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang digunakan dalam makalah ini yaitu, “Seorang perempuan 16
tahun datang dengan keluhan nyeri perut dan perdarahan vagina sejam yang lalu.”.

Penulis memilih rumusan masalah ini karena sudah mencakup banyak aspek yang
berkaitan dengan sistem hematoonkologi.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ilmiah ini yaitu agar mahasiswa Fakultas Kedokteran
Ukrida dapat mengerti dengan baik dan benar tentang mola hidatiformis.

Pembahasan

2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik + Penunjang Kasus

RPS : Perempuan 16 tahun nyeri perut dengan perdarahan vagina 1 jam smrs, nyeri di
seluruh perut, riwayat mens tak ada nyeri, mes terlambat 9 minggu, nyeri pernah diurut, mual
muntah positif 2 bulan lalu

RPD : -

2
RPK : tidak diketahui

RA : -

2.2 Anamnesis

Anamnesis adalah suatu wacana yang digunakan dokter untuk mendapatkan informasi
terkait penyakit yang diderita pasien. Anamnesis dapat dilakukan pada pasiennya langsung
(autoanamnesis) maupun dengan orang yang dekat dan tau betul tentang pasien tersebut
(aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis merupakan wawancara yang
lebih bebobot karena dokter harus dapat mengetahui arah dari diagnostik yang akan
diberikannya. Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal
mengenai hal-hal berikut.1

1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis)

2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya
keluhan pasien (diagnosis banding)

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor


predisposisi dan faktor risiko)

4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)

5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)

6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk


menentukan diagnosisnya

Selain pengetahuan medis, seorang dokter wajib memiliki kemampuan berkomunikasi


agar data yang terkumpul menjadi akurat dan lengkap. Lengkap artinya mencakup semua
data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat berhubungan
dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.1

Anamnesis diawali dengan memberikan salam kepada pasien dan menanyakan


identitas pasien tersebut. Dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit

3
sekarang, riwayat pengobatan, riwayat penyakit penyakit dahulu, riwayat pribadi, riwayat
sosial, riwayat keluarga.2

Riwayat penyakit sekarang berhubungan dengan gejala penyakit, perjalanan penyakit


dan keluhan penyerta pasien. Riwayat penyakit terdahulu merupakan penyakit yang pernha
diderita pasien dapat masa lalu. Riwayat sosial ialah kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan
kebiasaan pasien sehari-hari. Riwayat keluarga ialah riwayat penyakit yang pernah dialami
atau sedang diderita oleh keluarga pasien.2

Riwayat keluarga dan kerabat yang berhubungan juga perlu ditanyakan untuk
menguatkan dugaan. Riwayat keluarga juga sangat berperan karena terkait dengan penyakit
genetik.2

Tidak lupa setelah anamnesis umum ditanyakan anamnesis ginekologi yang mencakup
riwayat haid, riwayat kehamilan, riwayat perdarahan vagina, keputihan, dan yang lainnya
untuk mmebantu menjuruskan diagnosis menuju yang sebenarnya.2

Jadi dalam rangkap, dalam anamnesis harus mencakup beberapa poin di bawah ini :

1. Identitas

Mengkaji identitas pasien yang meliputi nama, umur, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke berapa, lamanya
perkawinan dan alamat

2. Keluhan utama

Tanyakan apakah ada menstruasi tidak lancar dan perdarahan pervaginam berulang

3. Riwayat kesehatan sekarang

Keluhan sampai saat pasien pergi ke rumah sakit atau pada saat pengkajian seperti
perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia
kehamilan.

4. Riwayat kesehatan masa lalu


5. Riwayat pembedahan

4
Tanyakan apakah ada pembedahan yang pernah dialami oleh pasien, jenis
pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.

6. Riwayat penyakit yang pernah dialami

Menanyakan apakah ada penyakit yang pernah dialami oleh pasien misalnya DM ,
jantung , hipertensi , masalah ginekologi/urinary , penyakit endokrin , dan penyakit-
penyakit lainnya.

7. Riwayat kesehatan keluarga

Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi
mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.

8. Riwayat kesehatan reproduksi

Menyakan tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah,


bau, warna dan adanya dismenorhoe serta kapan menopause terjadi, gejala serta
keluahan yang menyertainya

9. Riwayat kehamilan , persalinan dan

Menanyakan bagaimana keadaan anak pasien mulai dari dalam kandungan hingga
saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.

10. Riwayat seksual

Tanyakan mengenai aktivitas seksual pasien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta
keluhan yang menyertainya.

11. Riwayat pemakaian obat

Tanyakan riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis


obat lainnya.

12. Pola aktivitas sehari-hari

5
Tanyakan mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK),
istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.

Pada anamnesis biasanya di dapatkan :


a. Gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan biasa
b. Kadang ada tanda toksemia gravidarum
c. Perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, bewarna tengguli tua atau
kecoklatan
d. Pembesaran uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan seharusnya (lebih besar)
e. Keluarnya jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang
merupakan diagnosa pasti
f. Biasanya Mola di diagnosis pada kehamilan trimester pertama3

2.3 Pemeriksaan Fisik

Inspeksi: diagnosis pasti mola hidatidosa adalah keluarnya gelembung-gelembung mola,


muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut
muka mola (mola face).

Palpasi : uterus membesar tidak sesuai dengan umur kehamilan, terasa lembek, tidak teraba
bagian-bagian janin dan ballotement, gerakan janin tidak teraba, dan terdapat
fenomena harmonika, yaitu darah dan gelembung mola keluar dan fundus uteri turun
lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru.

Auskultasi : tidak terdengar denyut jantung janin 3

Hasil :

 KU sakit sedang CM

 TTV (Tensi 90/60; nasi 105X/menit; napas 24X/menit; suhu normal afebris), BB 40
kg, Tinggi 153 cm.

 Inspeksi abdomen perut teraba membesar, fundus uteri teraba setinggi pusar dan
teraba lunak pada seluruh perabaan

 Inspekulo ditemukan serviks uteri sedikit terbuka, tampak darah mengalir dari ostium
uteri eksternum dengan jumlah minimal. Cavum douglass tak menonjol dan tak
ditemukan nyeri goyang cerviks.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

6
Laboratorium
Karakteristik yang terpenting pada penyakit ini adalah kemampuan dalam
memproduksi hCG, sehingga jumlahnya meningkat lebih tinggi dibandingkan kadar β-hCG
seharusnya pada usia kehamilan yang sama, terutama dari hari ke-100, sangat sugestif.
Hormon ini dapat dideteksi pada serum maupun urin penderita dan pemeriksaan yang lebih
sering dipakai adalah β-hCG kuantitatif serum. Pemantauan secara hati-hati dari kadar β-hCG
penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak lanjut pada semua kasus penyakit
trofoblastik. Jumlah β-hCG yang ditemukan pada serum atau pada urin berhubungan dengan
jumlah sel-sel tumor yang ada. Untuk pemeriksaan Gallli mainini 1/300 suspek mola
hidatidosa dan jika 1/200 kemungkinan mola hidatidosa atau gemelli. Pengukuran β-hCG
pada urin dengan kadar >100.000 mIU /ml/24 jam dapat dianggap sebagai mola. 4,5

USG
Pada kelainan mola, bentuk karakteristik yang khas berupa gambaran seperti badai
salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb) dengan atau
tanpa kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada setiap pasien
yang pernah mengalami perdarahan pada trimester awal kehamilan dan memiliki uterus lebih
besar dari usia kehamilan. USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan
antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa. Namun harus diingat bahwa beberapa
struktur lainnya dapat memperlihatkan gambaran yang serupa dengan mola hidatidosa
termasuk myoma uteri dengan kehamilan ini dan kehamilan janin > 1. Pada kehamilan
trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan dari
kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus incomplitus atau mioma uteri. Pada
kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik, kavum uteri berisi
massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekhoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm.
Pada 20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa
tersebut berasal dari kista teka lutein. Kista ini tidak dapat diketahui keberadaannya jika
hanya dengan pemeriksaan palpasi bimanual.4,5

Sonde Hanifa
Sonde dimasukan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis dan cavum
uteri . bila tidak ada tahanan sonde diputar 360o setelah ditarik sedikit bila tetap tidak ada
tahanan maka kemungkinan adalah mola. 4,5

Foto Polos Abdomen

7
Pada kehamilan 3-4 bulan, tidak ditemukan adanya gambaran tulang-tulang janin.
Organ-organ janin mulai dibentuk pada usia kehamilan 8 minggu dan selesai pada usia
kehamilan 12 minggu. Oleh karena itu pada kehamilan normal seharusnya dapat terlihat
gambaran tulang-tulang janin pada foto rontgen. Selain itu juga untuk melihat kemungkinan
adanya metastase.4,5

Pemeriksaan Histologik
Mola hidatidosa komplit : gambaran proliferasi trofoblas, degenerasi hidrofik vili
khorialis dan berkurangnya vaskularisasi/ kapiler dalam stromanya.

Mola hidatidosa parsial : gambaran edema vilinya fokal dan proliferasi trofoblasnya
ringan dan terbatas pada lapisan sinsitiotrofoblas.4,5

Hasil PP

Darah rutin didapat hb 8,6; leukosit 99.000; trombosit 185.000

Beta-hCG tidak ditemukan di darah dan urin

Pregnancy test urin +

2.5 Differential Diagnosis

Abortus Inkomplit

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan dan sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram. Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa
reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat,
sering terdapat pula rasa mules. Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditemukannya
kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan. Pada pemeriksaan
USG tampak daerah anekhoik didalam kavum uteri yang bentuknya kadang-kadang
menyerupai kantong gestasi, sehingga dapat disalahtafsirkan sebagai kehamilan ganda. Derah
anekhoik tersebut berasal dari perdarahan subkorionik. Gambaran USG pada abortus
inkomplitus tidak spesifik. Tergantung dari usia gestasi dan banyaknya sisa jaringan konsepsi
uterus mungkin masih memebesar, walaupun tidak sesuai lagi dengan usia kehamilan. Kavum
uteri mungkin berisi kantong gestasi ysng bentuknya tidak utuh lagi.4

Kehamilan Ektopik

8
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rahim (uterus). Hampir 95%
kehamilan ektopik terjadi di berbagai segmen tuba Falopii, dengan 5% sisanya terdapat di
ovarium, rongga peritoneum atau di dalam serviks. Apabila terjadi ruptur di lokasi implantasi
kehamilan, maka akan terjadi keadaan perdarahan masif dan nyeri abdomen akut yang
disebut kehamilan ektopik terganggu.
Gejala:

 Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah sedang


 Kesadaran menurun

 Pucat

 Hipotensi dan hipovolemia

 Nyeri abdomen dan pelvis

 Nyeri goyang porsio

 Serviks tertutup

Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG.


Faktor predisposisi

 Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya


 Riwayat operasi di daerah tuba dan/ tubektomi

 Riwayat penggunaan AKDR (Alat kontrasepsi dalam rahim)

 Infertilitas

 Riwayat inseminasi buatan atau teknologi bantuan reproduktif (assisted reproductive


technology/ART)

 Riwayat infeksi saluran kemih dan pelvic inflammatory disease/PID

 Merokok

 Riwayat abortus sebelumnya

 Riwayat promiskuitas

 Riwayat seksio sesarea sebelumnya6

9
2.6 Working Diagnosis

G1P0A0 Hamil 10 Minggu dengan Mola Midatidosa dan Anemia

Mola hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari kelainan pertumbuhan trofoblas
plasenta atau calon plasenta dan disertai dengan degenerasi kistik vili dan perubahan
hidropik. Sehingga tampak membengkak, edematous dan vesikuler. Secara histologis terdapat
proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi
cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah. Kelainan ini merupakan
neoplasma trofoblas yang jinak (benigna). Biasanya di rongga uterus namun ada juga yang
berkembang ektopik. Derajat perubahan jaringan serta adanya elemen janin yang akan
membagikan penyakit ini menjadi komplet maupun parsial.4

Klasifikasi

Mola Hidatiformis Komplet

Vili khorionik seperti massa dengan vesikel jernih yang bervariasi ukuran dari titik
hingga beberapa senti. Degenerasi hidropik, edema vilus, tak ada pembuluh darah vilus, dan
tidak ditemukan unsur janin serta kantung amnion adalah ciri-ciri dari mola hidatidosa
komplet.

Biasanya, kasus yang sering ditemukan adalah 46 XX (diploid) dimana kedua


kromosom berasal dari ayah (kromosom ibu tidak berkembang). Pada hal ini, ovum dibuahi
sel sperma yang menduplikasikan dirinya setelah meiosis. Ada juga yang bentuknya 46 XY
akibat fertilisasi dispermik. Dari penelitian, tipe diploid adalah kasus yang terbanyak
walaupun kasus triploid dan haploid juga mungkin ditemukan. Ironisnya, semua sequele
persisten atau ganas terjadi pada wanita dengan mola diploid.

Mola komplet memiliki kemungkinan ganas yang lebih tinggi dari parsial. Yang
menarik, walaupun mola sudah dievakuasi dini, resiko akan tidak menurun untuk berubah
menjadi persisten.

Mola Hidatiformis Parsial

Pada kasus ini akan ditemukan sejumlah elemen janin dan perubahan hidatiformis
fokal. Terjadi pembengkakkan progresif lambat pada stroma villus korion yang biasanya

10
avaskular sementara vilus vaskular yang terdapat sirkulasi janin-plasenta yang berfungsi tak
terkena.

Kariotipe biasanya triploid- 69 XXX, 69 XXY, atau yang jarang 69 XYY yang berasal
satu dari ibu dan dua dari ayah. Terdapat juga yang tetraploid namun jarang. Janin nonviable
dalam mola triploid ini biasanya mengalami malformasi multipel. Resiko trofoblastik
persisten lebih rendah dari mola komplit selain itu jarang yang koriokarsinoma. Kadar beta
HCG berkorelasi dengan peningkatakan resiko persisten.(Lihat Gambar 1 dan 2)

Kehamilan Mola Kembar

Terdiri dari satu kehamilan mola komplet dan satu kehamilan normal. 5 persen dari
seluruh mola diploid adalah kasus ini. Kelangsungan hidup janin tergantung dari resiko
komplikasi akibat kehamilan molanya misalnya preeklampsia dan perdarahan. 70 persen
neonatus dengan kasus ini dapat bertahan hidup. Kasus ini terbukti lebih beresiko terkena
neoplasia trofoblastik gestational dibanding mola parsial namun masih di bawah mola
komplit.4

Gambar 1. Perbedaan mola lengkap dan parsial7

11
Gambar 2. Gambaran histologis dan tampak luar dari mola hidatidosa8

Etiologi

Penyebab mola Hidatidosa sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya mola hidatidosa antara lain:4,5

1) Faktor ovum: ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan
2) Imunoselektif dari trofoblast
3) Keadaan sosio-ekonomi yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya asupan
protein, asam folat dan beta karoten
4) Jumlah paritas yang tinggi
5) Usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
6) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
7) Penggunaan kontrasepsi oral untuk jangka waktu yang lama
8) Riwayat mola Hidatidosa sebelumnya
9) Riwayat abortus spontan

Epidemiologi

Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 atas 20 kehamilan) dari
pada wanita di negara-negara Barat (1 atas 200 kehamilan). Soejones dkk (1967) melaporkan
1 : 85 kehamilan, RS Dr. Cipto Mangunkusomo, Jakarta 1 : 31 persalinan dan 1 : 49
kehamilan, Luat A Siregar (Medan) 1982 : 11-16 per 1000 kehamilan, Soetomo (surabaya)
1 : 80 persalinan, Djamhoer M (Bandung) : 9-21 per 1000 kehamilan. 4 Tidak ada ras atau
etnis khusus yang menjadi predileksi bagi suatu kehamilan mola, meskipun pada negara-
negara Asia menunjukkan angka 15 kali lebih tinggi dibandingkan Amerika. Wanita Asia
yang tinggal di Amerika tidak menampakkan adanya perbedaan angka kehamilan mola
dibandingkan degan grup etnis lainnya. Mola Hidatidosa sering terjadi pada wanita usia
reproduktif. Wanita dewasa muda atau perimenopause berisiko tinggi untuk kehamilan mola.
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun 2 kali lipat lebih beresiko. Dan wanita dengan usia

12
lebih dari 40 tahun beresiko 7 kali lipat dibandingkan dengan wanita yang usianya lebih
muda.3

Patofisiologi

Ada beberapa teori yang dianjurkan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas:4,5

1) Teori missed abortion yaitu janin mati pada kehamilan 3-5 minggu tanpa disadari oleh
tubuh (missed abortion), karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari vili dan akhirnya terbentuklah
gelembung-gelembung. Menerut Reynolds, kematian itu disebabkan kekurangan gizi
berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini yang
menyebabkan gangguan angiogenesis.
2) Teori Neoplasme dari Park yang menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel
trofoblas yang mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resorpsi cairan
yang berlebihan kedalam vili, sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.
3) Teori sitogenetika, menyatakan bahwa kehamilan mola hidatidosa komplit (MHK)
terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak
berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil
konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46
XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak
(androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik.
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan
membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk
membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada
hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur. Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi
karena gangguan pada proses meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi
2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil
pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan
proses meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa
balance translocation. MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh
2 sperma sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan

13
atu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi
dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya
berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang
kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX
heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan
dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable). Sedangkan
kehamilan mola hidatidosa parsial (MHP) terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X)
dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X dan satu
haploid 23Y atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69
XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu
haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini
ada unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak
seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan
pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili korialis
yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun
tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian
terjadi sangat dini.

Manifestasi Klinis

Gejala mencolok pada mola komplit. Amenorea 1 sampai 2 bulan dan perdarahan
uterus yang bervariasi mulai bercak hingga sampai hebat. Pada mola lanjut, perdarahan uterus
tersamar dengan anemia defisienasi besi derajat sedang. Pada separuh kasus, pertumbuhan
uterus juga makin cepat dengan konsistensi lunak yang membuat sukar membedakannya
dengan kista teka-lukein. Biasanya tak terdeteksi gerakan jantung janin.

hCG mirip tirotropin sehingga kadar tiroksin bebas plasma turun namun TSHnya
turun. Tetapi ini bukan masalah serius karena setelah mola dievakuasi maka kadaranya akan
normal kembali.

Hipertensi gestational yang terjadi di bawah usia kehamilan 24 minggu menandakan


kita harus berpikir adanya mola.4

2.8 Penatalaksanaan

14
Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:4

1) Perbaiki keadaan umum


Yang termasuk usaha ini misalnya koreksi dehidrasi, transfusi darah pada anemia berat
(jika<8 gr %) atau karena terjadi syok, dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti
preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa,
sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam misalnya
propiltiourasil 3 x 100 mg oral dan propanolol 40-80 mg.

2) Pengeluaran jaringan mola


a. Vakum Kuretase
Setelah keadaan umum baik, dilakukan jika pemeriksaan DPL kadar β-hCG serta foto
thorax selesai bila kanalis servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian. Sebelum kuretase dengan kuret
tumpul terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus dengan tetesan
oxitocyn 10 mIU dalam 500 cc Dextrose 5 % dan seluruh jaringan hasil kerokan di
PA. Tujuh sampai sepuluh hari sesudah kerokan itu dilakukan kerokan ulangan dengan
kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan. Makin tinggi tingkat itu,
makin perlu untuk waspada terhadap kemungkinan keganasan.
b. Histerektomi
Untuk mengurangi frekuensi terjadinya penyakit tropoblas ganas sebaiknya
histerektomi dilakukan pada:
- wanita diatas 35 tahun
- anak hidup di atas 3 orang
- wanita yang tidak menginginkan anak lagi
Apabila ada kista teka lutein maka saat histerektomi, ovarium harus dalam keadaan
baik, karena akan menjadi normal lagi setelah kadar β-HCG menurun.

3) Terapi profilaksis dengan sitostatika


Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan, misalnya
pada umur tua (35 tahun), riwayat kehamilan mola sebelumnya dan paritas tinggi yang
menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexat atau actinomycin D. Tidak semua ahli setuju
dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika
merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika
profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastase, serta mengurangi

15
koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar β-hCG di atas 100.000 IU/L praevakuasi
dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah ganas, pertimbangkan untuk
memberikan methotrexate (MTX) 3x5 mg sehari selama 5 hari dengan interval 2 minggu
sebanyak 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan actinomycin D 12 µg/kgBB/hari selama 5
hari.

4) Follow up
Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan
terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (± 20%). Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan
selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu, dengan pemakaian alat
kontrasepsi seperti kondom, diafragma atau pil anti hamil. Mengenai pemberian pil anti hamil
ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak mengatakan bahwa pil kombinasi,
disamping dapat menghindarkan kehamilan juga dapat menahan LH dan hipofisis sehingga
tidak terjadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya, justru estrogen dapat
mengaktifkan sel-sel trofoblas. Bagshawe beranggapan bila pil anti hamil diberikan sebelum
kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu mendapat koriokarsinoma, maka biasanya
resisten terhadap sitostatika.

Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar β-hCG


dan radiologi. Pemeriksaan ginekologi dimulai satu minggu setelah pengeluaran jaringan
mola. Pada pemeriksaan ini dinilai ukuran uterus, keadaan adneksa serta cari kemungkinan
metastase ke vulva, vagina, uretra dan cervix. Sekurang-kurangnya pemeriksaan diulang
setiap 4 minggu.

Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan β-hCG yang menetap
untuk beberapa lama. Jika masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang
aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap β-
HCG sub unit. Pemeriksaan kadar β-HCG dilakukan setiap minggu atau setiap 2 minggu
sampai kadar menjadi negatif lalu diperiksa ulang sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian 2
bulan selama 6 bulan. Seharusnya kadar β-HCG harus kembali normal dalam 14 minggu
setelah evakuasi.

Pemeriksaan foto toraks dilakukan tiap 4 minggu, apabila ditemukan adanya


metastase penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi. Bila telah terjadi
remisi spontan (kadar B HCG, pemeriksaan fisik dan foto toraks semuanya normal) setelah 1

16
tahun maka pasien tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi dan dapat hamil
kembali.

2.9 Prognosis

Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah


jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian mola hampir tidak ada lagi. Akan tetapi,
di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2 % dan 5,7 %.

Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya di
keluarkan, tetapi ada sekelompok perempuan yang kemudian menderita degenerasi
keganasan menjadi koriokarsinoma. Karena diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, tingkat
kematian saat ini dari mola hidatidosa pada dasarnya adalah nol. Tetapi ada sekelompok
perempuan yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Sekitar
20% wanita dengan mola lengkap berkembang ke arah keganasan trofoblas. Keganasan
trofoblas gestasional (yaitu, neoplasia trofoblas gestasional) hampir 100% dapat
disembuhkan.4

2.10 Komplikasi

1. Perforasi uterus selama suction curettage kadang-kadang terjadi karena uterus yang
membesar dan melunak. Jika terjadi perforasi, maka prosedur evakuasi harus dilanjutkan
dengan bantuan laparaskopi.
2. Perdarahan/hemoragi merupakan komplikasi yang seringkali terjadi selama evakuasi
kehamilan mola. Karena alasan inilah, maka oksitosin intravena harus diberikan sebelum
memulai prosedur evakuasi. Methergine dan/atau hemabate juga harus selalu tersedia.
Pasien harus telah diketahui golongan darahnya, dilakukan crossed check, dan darah
untuk tranfusi telah tersedia.
3. Penyakit trofoblastik maligna terjadi pada 20% kehamilan mola. Untuk alasan ini, HCG
kuantitatif harus dimonitor secara serial selama 1 tahun post evakuasi hingga hasilnya
didapatkan negatif.
4. Faktor-faktor yang dilepaskan oleh jaringan mola memiliki aktivitas fibrinolitik. Semua
pasien harus diperiksa untuk kemungkinan terjadi koagulopati intravaskuler diseminata
(DIC).
5. Emboli trofoblastik dipercaya dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor
resiko terbesar didapatkan jika uterus lebih besar dari seharusnya pada usia kehamilan 16
minggu. Kondisi ini dapat bersifat fatal.9

17
Penutup

3. Kesimpulan

Kehamilan Mola hidatidosa adalah kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana
tidak ditemukan janin yang terdiri dari proliferasi trofoblas dan hampir seluruh villi korialis
mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Prevalensi terjadi lebih tinggi di Asia.
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa, dimana gejala yang mencolok
dan dapat bervariasi mulai spotting sampai perdarahan yang banyak. Diagnosis mola
hidatidosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dalam,
laboratorium, radiologik, dan histopatologik. Prognosisnya pun baik, kematian disebabkan
oleh perdarahan, infeksi, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian mola
hampir tidak ada lagi. Akan tetapi, di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar
antara 2,2 % dan 5,7 %. Dengan penanganan yang baik, cepat, dan tepat kematian dapat
dihindari.

18
Daftar Pustaka

1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit


Erlangga; 2007. h. 1-17.

2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC; 2009. h. 2-7.

3. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I.


Edisi 2. Jakarta : EGC. 2011.h.167-70.

4. Cunningham F.G., et al. William Obsetrics. Edisi 23. Vol 1. Jakarta : EGC; 2012. H.
271-276

5. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu
Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : 2006.p.339-59

6. Bagian keempat: kehamilan dan persalinan dengan penyulit obstetri: Abortus.


http://www.edukia.org/web/kbibu/6-4-4-kehamilan-ektopik-terganggu/. diunduh pada
28 Mei 2019

7. Barek dan Novak’s. Gynecology. Edisi 14. China : Wolters dan Kluwer;2007

8. Candelier JJ. The hydatidiform mole. Cell Adh Migr. ;10(1-2):226–235.


doi:10.1080/19336918.2015.1093275

9. Martadisoebrata, Jamhur. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas


Gestasional. Jakarta: EGC. 2007.

19

Anda mungkin juga menyukai