Anda di halaman 1dari 55

RESUME KOMPILASI

SKENARIO 2: GARA-GARA SEMPROTAN


COCCYX

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
SKENARIO 2
Judul Skenario : Gara-gara Semprotan

Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun datang bersama orangtuanya ke Puskesmas


Jenggawah dengan keluhan sesak nafas. Sesak terjadi sejak 1 bulan yang lalu, hilang timbul.
Selain sesak, pasien juga mengeluh batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak 4 bulan yang lalu.
Dari anamnesis didapatkan data, bahwa pasien sering bermain di area persawahan dan
perkebunan tempat ayahnya bekerja. Dia sering mengikuti ayahnya, bahkan saat ayahnya sedang
menyemprot hama dia selalu berada di dekatnya. Ternyata keluhan serupa juga dialami oleh sang
ayah, semenjak dia bekerja 25 tahun yang lalu.
1. KLARIFIKASI ISTILAH :
● Hama
Organisme yang bisa merusak tanaman, manusia, hewan
2. RUMUSAN MASALAH:
● Kenapa sesaknya baru muncul 1 bulan tetapi batuknya sejak 4 bulan?
● Proteksi apa yang digunakan untuk melindungi?
● Edukasi apa yang diberikan kepada anak dan bapak?
● Apa saja gejala sesak nafas?
3. PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH:
● Karena terjadi reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang butuh pejanan kedua untuk
menimbulkan reaksi. Selain itu batuk tersebut awalnya adalah batuk akut lalu menjadi
kronik.
● Proteksi yang dapat digunakan bermacam-macam.
- Kulit = pakaian pelindung, APD
- Mulut = Cuci tangan yang bersih
- Inhalasi = masker, menyemprot pada saat pagi atau sore, menyemprot searah
dengan arah angin
untuk proteksi dari reaksi kimiawi dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan,
cara biologis (memanfaatkan predator alami) dan menerapkan prinsip stop, replace,
reduces
● Edukasi dapat diberikan melalui:
- Edukasi masyarakat
- Pemerintah dengan mengeluarkan PP
- Menghindari faktor perintis
● Gejala:
- Angina
- Bronkospasm
- Menggunakan otot bantuan nafas seperti otot sternocleido mastoideus
4. LEARNING OBJECTIVES
4.1 Occupational Respiratory Symptom
4.1.1 Batuk
Batuk merupakan refleks imunitas yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanis, kimia, & inflamasi. Inhalasi asap, debu, & benda-benda asing kecil merupakan
penyebab batuk yang paling sering. Bronkitis kronik, asma, TBC, & pneumonia
merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok.
Batuk dapat bersifat produktif, tidak produktif & pendek, keras & parau, sering, jarang,
atau paroksismal.
Batuk terjadi ketika tekanan intrathoraks meninggi sampai 300 mmHg, padahal
normalnya di bawah tekanan atmosfer (di bawah 0 mmHg). Peninggian tekanan ini
diperlukan untuk menghasilkan batuk yang efektif, tetapi hal ini dapat menyebabkan
komplikasi pada:
1) Paru, misalnya pneumotoraks dan emfisema (meskipun jarang).
2) Muskuloskeletal, bisa menyebabkan fraktur costae atau rupture otot rektus
abdominis.
3) Kardiovaskuler, misalnya bradikardi, rupture vena subkonjungtiva.
4) Sistem saraf pusat, disebut cough syncope. Akibat peningkatan tekanan intratoraks,
terjadi refleks vasodilatasi arteri dan vena sistemik. Hal ini menyebabkan curah
jantung menurun dan kadang berakibat rendahnya tekanan arteri sehingga terjadi
kehilangan kesadaran. Syncope terjadi beberapa detik setelah batuk paroksimal.

Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf
aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu rangsang
pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik
di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain
terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang
pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring,
trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran
telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma.
Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan rangsang
dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui
cabang Arnold dari n. Vagus.Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus
paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus
menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.
Serabut aferen membawa rangsang ini ke pusat batuk yang terletak di medula
oblongata, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-
serabut eferen n. Vagus, n. Frenikus, n. Interkostal dan lumbar, n. Trigeminus, n. Fasialis,
n. Hipoglosus dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini terdiri dari otot-otot laring,
trakea, brrmkus, diafragma, otot-otot interkostal dan lain-lain.Di daerah efektor inilah
mekanisme batuk kemudian terjadi.

A. Etiologi
Menurut McGowan (2006) batuk bisa terjadi secara volunter tetapi selalunya terjadi
akibat respons involunter akibat dari iritasi terhadap infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan atas maupun bawah, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama kucing. Batuk
disebabkan pula oleh adanya peradangan pada lapisan lender saluran pernafasan. Ada batuk
berdahak akut karena infeksi disebabkan oleh bakteri atau virus, misalnya tubercolosa dan
influenza. Sedangkan batuk berdahak yang tdk disebabkan oleh infeksi antara lain asma,
alergi, ataupun debu.

B. Mekanisme Batuk
Mekanisme Batuk dapat
dibagi menjadi empat
fase yaitu :

1) Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar,
atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan
batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus,
rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2) Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga
udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini
disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma,
sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume
paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan
keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat
serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme
pembersihan yang potensial.
3) Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago
aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks
meninggi sampai 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura
tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa
penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan
intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4) Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi,
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang
tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain.
Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal
yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang
sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam
saluran nafas atau getaran pita suara.

C. Klasifikasi Batuk
Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan
mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga
minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan
batuk kronis berlangsung selama lebih dari delapan minggu.
1) Batuk akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan
simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan
kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang
merupakan self-limiting dan bisa sembuh selama seminggu (Haque, 2005).
Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom yang sementara dan
merupakan kelebihan yang penting dalam proteksi saluran pernafasan dan
pembersihan mukus. Walau bagaimanapun, terdapat permintaan yang
tinggi terhadap obat batuk bebas yang kebanyakannya mempunyai bukti
klinis yang sedikit dan waktu yang diambil untuk konsultasi ke dokter
tentang simptom batuk (Dicpinigaitis, 2009).
2) Batuk kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang
berlangsung secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun
yang akan membawa kepada pengasingan sosial dan depresi klinikal
(Haque, 2005). Penyebab sering dari batuk kronis adalah penyakit refluks
gastro-esofagus, rinosinusitis dan asma. Terdapat juga golongan penderita
minoritas yang batuk tanpa dengan diagnosis dan pengobatan
diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk golongan ini masih
berterusan dipertanyakan apa sebenarnya penyebabnya yang pasti (Haque,
2005).

● Jenis-jenis Batuk :

Jenis batuk juga dibedakan berdasarkan produktivitasnya, yaitu:

1) Batuk produktif
Batuk produktif adalah batuk yang menghasilkan dahak atau lendir (sputum)
sehingga lebih dikenal dengan sebutan batuk berdahak. Batuk produktif memiliki
ciri khas yaitu dada terasa penuh dan berbunyi. Mereka yang mengalami batuk
produktif umumnya mengalami kesulitan bernapas dan disertai pengeluaran dahak.
2) Batuk tidak produktif
Batuk tidak produktif adalah batuk yang tidak menghasilkan dahak (sputum), yang
juga disebut batuk kering. Batuk tidak produktif sering membuat tenggorokan
terasa gatal sehingga menyebabkan suara menjadi serak atau hilang. Batuk ini
sering dipicu oleh kemasukan partikel makanan, bahan iritan, asap rokok (baik oleh
perokok aktif maupun pasif), dan perubahan temperatur. Batuk ini dapat merupakan
gejala sisa dari infeksi virus atau flu.
D. Pengobatan
a. Pengobatan medis
Salah satu cara mendiagnosa batuk adalah dengan mendengarkan cara batuknya.
Dokter akan menentukan pengobatan berdasarkan suara batuk yang terdengar. Karena
sebagian besar penyakit pernapasan seperti batuk disebabkan oleh virus, maka dokter
tidak meresepkan antibiotik untuk batuk. Jika mencurigai adanya infeksi bakteri, dokter
baru akan memberikan antibiotik.
b. Pengobatan dirumah
Pengobatan dirumah yang dapat dilakukan untuk meringankan gejala adalah sebagai
berikut :
● Jika menderita asma, pastikan anda sudah tahu cara mengontrol asma dari dokter
anda. Ikuti perkembangan ketika terjadi serangan asma dan berikan obat asma
sesuai anjuran dokter.
● Jika ditengah malam terjadi batuk mengonggong atau sesak napas, hiruplah uap air
panas untuk membantu melegakan pernapasan.
● Jika ada alat pelembab udara dikamar, benda tersebut dapat membantu anda untuk
tidur dengan nyenyak.
● Minuman dingin seperti jus dapat menenangkan, tetapi hindari minuman bersoda
atau jeruk.
Jangan memberikan (terutama pada bayi dan anak yang baru belajar berjalan) obat batuk bebas
tanpa petunjuk khusus dari dokter.

4.1.2 Sesak Napas


Sesak napas atau Dipsnea yang berasal dari kata Dys yang berarti sulit dan Pnoe/pnea
yang berarti pernapasan merupakan suatu istilah untuk ungkapkan rasa/sensasi yang dialami
individu dengan keluhan tidak enak/ tidak nyaman bernapas. Dipsnea biasanya bersifat
subjektif yang disebabkan oleh meningkatnya tahanan jalan napas (seperti pada obstruksi
jalan napas atas, asma, dan penyakit obstruksi kronik) dan berkurangnya keteregangan paru
(seperti pada fibrosis paru, edema, dan penyakit parenkim paru). Seorang yang mengalami
dipsnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik.
A. Etiologi & Mekanisme
Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan metabolik
dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi ventilasi bergantung pada
rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini
juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara
besar dan kecil, otot pernapasan, dan dinding toraks.
Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan pengeluaran karbon dioksida (CO2) normal, hal ini dapat
diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2), yaitu lebih rendah dari
angka normal (40 mm Hg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang
sebenarnya merupakan seseorang yang sehat dengan stress emosional.
Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan ekspirasi.
Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu berkorelasi dengan derajat
perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernapas
yang berat dengan perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat
menyangkal terjadinya ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui terdapat
deteriorasi kardiopulmonal.
Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan mekanisme
dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963) telah memformulasikan
teori length-tension inappropriateness yang menyatakan defek dasar dari dypsnea adalah
ketidakcocokan antara tekanan yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume tidal
(perubahan panjang). Kapan pun perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari otot
interkostal mentransmisikan sinyal yang membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu yang
disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi di interstitium alveolar dan disuplai oleh serat
saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi oleh terhambatnya aktivitas paru. Segala
kondisi tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-Breuer dimana usaha inspirasi akan
dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan pernapasan yang cepat dan
dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab terhadap munculnya dyspnea pada
situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru, seperti pada edema pulmonal.
Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa, mekanisme
sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya usaha untuk bernafas,
peningkatan tekanan transpulmonal, kelemahan otot respiratorik, meningkatnya kebutuhan
oksigen untuk bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan diafragma, serta aliran
respirasi yang abnormal.
Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel kiri yang
gagal untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan meningkatnya tekanan vena
pulmonal. Pada asma kardiak, bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas
paru dan kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.
Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh:
● Oksigenasi jaringan menurun
● Menurunnya kapasitas ventilasi
● Meningkatnya kebutuhan ventilasi
● Meningkatnya resistensi saluran nafas
● Menurunnya compliance paru
● Rangsangan pada system saraf pusat
● Penyakit neuromuskular
B. Patofisiologi
Patofisologi dipsnea atau sesak napas dibagi menjadi:
o Konsep Length-Tension Inapropriateness
Sesak napas timbul dari gangguan hubungan antara kekuatan/ketegangan otot-
otot pernapasan dan perubahan yang dihasilkan (panjang otot dan volume paru).

o Afferent Mismatch

Ketidaksepadanan (disasosiasi) antara perintah yang keluar dari otak (aktiviti


motor pernapasan pusat) dan informasi aferen yang datang dari reseptor (jalan napas,
paru, dinding dada).

Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari


mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai
contoh, ketika kita merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central
corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan
untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan
menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah
akibat peningkatan beban mekanik.

Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan


antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu
dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat
hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang
masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang
masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak
semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus
hiperkapnia, seseorang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya
tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi
akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi
sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini
dinamakan disosiasi neuromekanik.
C. Gejala
Gejala ojektif sesak napas adalah penggunaan otot-otot respirasi tambahan (Mm.
Sternocleidomastoideous, Mm. Scalenus, Mm. Trapezius, Mm. Pectoralis Mayor),
pernapasan cuping hidung, takipnea (frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari
pernapasan normal—12 hingga 20 kali permenit—yang dapat muncul dengan atau tanpa
dipsnea) dan hiperventilas (ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan pengeluaran karbondioksida normal).
Dipsnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan
trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Pasien dengan gejala utama dipsnea
biasanya memiliki satu dari keadaain ini, (1) penyakit kardiovaskular (2) emboli paru (3)
penyakit paru interstisial atau alveolar (4) gangguan dinding dada atau otot-otot (5) penyakit
obstruktif paru atau (6) kecemasan. Dipsnea juga merupakan gejala utama edema paru, gagal
jantung kongestif, dan penyakit jantung. Emboli paru ditandai dengan dipsnea secara
mendadak. Dipsnea biasanya berkaitan dengan penyakit retriktif yaitu terdapat peningkatan
kerja pernapasan akibat meningkatnya resistensi elastic paru (pneumonia, atelaktasis,
kongesti) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas
obstruktif dengan meningkatnya resistansi nonelastik bronchial (emfisema, bronchitis,
asma).
D. Klasifikasi
Klasifikasi macam dipsnea berdasarkan posisinya, dibedakan menjadi:
o Ortopnea
Ortopnea adalah napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan biasanya keadaan
diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan elevasi sudut untuk
mencegah perasaan sesak tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena terjadi peningkatan
pengembalian darah vena dari ekstremitas bawah dan elevasi diafragma saat berada
dalam posisi supinasi. Karena itu juga, pasien akan merasa lebih baik saat duduk maupun
berdiri atau dengan mengganjal bagian atas tubuh dengan bantal yang tinggi sehingga
rongga dada cenderung naik ke atas.
o Platipnea
Platipnea adalah dipsnea saat berada dalam posisi tegak. Dipsnea ini bisa terjadi pada
abnormalitas vaskularisasi paru seperti pada COPD berat.
o Trepopnea
Jika dengan posisi bertumpu pada salah satu sisi tubuh, penderita dapat bernafas lebih
enak. Terjadi pada penderita penyakit jantung.
o Paroksismal Nokturnal Dipsnea (PND)
Paroksismal nokturna dipsnea adalah timbulnya dipsnea pada malam hari dan
memerlukan posisi duduk dengan segera untuk bernapas. Membedakan dipsnea nokturna
paroksismal dengan ortopnea adalah waktu timbulnya gejala setelah beberapa jam setelah
tidur. Penyebabnya sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongesti dan
waktu timbulnya yang terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan
penambahan volume intravascular pusat.
o Exertional Dipsnea
Exertional dipsnea adalah dipsnea yang terjadi karena melakukan aktivitas seperti
melakukan kegiatan olahraga ringan.
Skala Dipsnea (American Thoracic Society)
Tingkat Derajat Kriteria
0 Normal Tidak ada kesulitan bernapas kecuali dengan aktivitas berat
Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-pendek ketika
1 Ringan
terburu-buru atau ketika berjalan menuju puncak landai
Berjalan dengan lambat daripada kebanyakan orang berusia
2 Sedang sama karena sulit bernapas atau harus berhenti berjalan untuk
bernapas
Berhenti berjalan setelah 90 meter (100 yard) untuk bernapas
3 Berat
atau setelah berjalan beberapa menit
Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan rumah atau
4 Sangat Berat
sulit bernapas ketika memakai baju atau membuka baju
E. Terapi
o berikan lingkungan yang nyaman dan tenang

Jika ada seseorang yang mengalami sesak nafas berikan lingkungan yang tenang dan
jangan sampai dikerumuni oleh banyak orang. Karena semakin banyak orang yang
mengerumuni, udara akan menjadi pengap dan oksigen menjadi sedikit sehingga akan
memeperburuk sesak nafas.
o berikan posisi setengah duduk

Jika ada yang mengalami sesak nafas, segera mungkin berikan posisi tidur setengah
duduk (45o–90o) dengan cara diberi bantal. Posisi ini membantu paru–paru lebih mudan
untuk mengembang sehingga oksigen bisa masuk secara maksimal.

o ajarkan nafas dalam dan panjang

Ajarkan orang yang mengalami sesak nafas untuk melakukan nafas dalam dan panjang.
Cara untuk melakukan hal ini yaitu minta orang tersebut untuk menarik nafas sedalam
mungkin instruksikan untuk menahan nafasnya selama 3 detik lalu minta untuk
menghembuskan nafasnya melalui mulut secara perlahan. Hal ini juga bisa digunakan
untuk teknik relaksasai jika mengalami stres atau rasa sakit yang sedikit mengganggu.
Catatan: untuk tekhnik ini jangan gunakan pada orang yang sesak nafas karena adanya
suatu sumbatan misalnya dahak. Jika orang tersebut berdahak cukup banyak sehingga
mengganggu proses pernafasannya berikan minum air hangat dan minta untuk batuk.
o hindari alergen

Sesak nafas yang disebabkan karena asma biasanya terjadi karena adanya suatu alergi
misalnya terhadap udara dingin atau debu. Untuk mengurangi sesak nafas karena asma
sobat harus menghindari alergen tersebut. Bila sesak nafas sudah terjadi maka bisa
memberikan obat bronchodilator agar jalan nafas kembali normal. Obat–obat tersebut
bisa didapatkan dengan mudah di apotik, tapi untuk lebih jelas dan lebih aman
konsultasikan dulu dengan dokter.
o pertolongan dengan tenaga medis

Bila sesak nafas tidak dapat segera teratasi segera bawa ketenaga medis untuk mendapat
pertolongan lebih lanjut, pertolongan yang diberikan tenaga medis bisa berupa pemberian
oksigen
F. Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada
asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
Sedangkan dari bahasa yunani yang berarti terengah engah atau napas pendek. untuk keadan
yang menunjukkan penyempitan saluran pernapasan. Simtomnya napas pendek dan
wheezing/mengi. Obstruksi ini terjadi pada bronkus ukuran .sedang dan bronkiolus ukuran 1
mm.

1) Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.
a) Reaksi tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksiotot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b) Reaksi tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
2) Inflamasi Kronis
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
a) Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil
b) Sel Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.Epitel pada asma
sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzyme dan
metaloprotease sel epitel.
c) Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaanteraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5,IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein(ECP), major basic protein(MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
napas.
d) Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin
dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2
dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3,
IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
e) Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang
normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam
prosesinflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling.
Peran tersebut melalui sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast,
sitokin, PDGF dan TGF-.
Gambar Mekanisme Inflamasi Akut dan Kronik pada Asma dan Mekanisme Remodelling
3) Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yangrusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.Pada asma terdapat saling
ketergantungan antara prosesinflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi
terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth
factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Gambar Hubungan anatar Inflamasi Akut, Inflamasi Kronik dan Airway Remodelling dengan
Gejala Klinis

Perubahan struktur yang terjadi:


● Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
● Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
● Penebalan membran reticular basal
● Pembuluh darah meningkat
● Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
● Perubahan struktur parenkim
● Peningkatan fibrogenic growth factormenjadikan fibrosis

Gambar Perubahan Struktur pada Airway Remodelling dan Konsekuensi Klinis


Terapi Asma dengan Menggunakan Obat
Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung
ke saluran pernapasan), oral, dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan
pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah:
1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan.
2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.
3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada
pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of
action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat
dibandingkan bila diberikan secara oral.

Pemberian obat asma dengan cara inhalasi bisa dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu: (1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI); (2) IDT dengan
menggunakan alat bantu (spacer), bertujuan untuk mengatasi kesulitan dan memperbaiki
penghantaran obat melalui IDT, namu kekurangan dari IDT adalah sulit
mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik napas) dalam waktu
bersamaan, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil; (3)
Breath-actuated MDI; (4) Dry powder inhaler (DPI), DPI mempunyai kelebihan DPI tidak
menggunakan campuran propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif
lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan kecepatan
aliran udara inspirasi minimal; (5) Turbuhaler; dan (6) Nebulizer.
Obat asma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Obat Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk
mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi
yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten,
dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat
sebagai pengontrol, antara lain:
a) Kortikosteroid inhalasi
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate
d) Nedochromil sodium
e) Methylxanthine
f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
g) Leukotriene modifiers
h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua
2) Obat Pelega (Reliever)
Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui
relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang
berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat
pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran
pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat
pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas. Obat-obat yang
termasuk obat pelega adalah:
a) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama
b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lainlain)
c) Xanthine (Aminophylline)
Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lain-lain.

4.2 Hypersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi berlebihan atau reaksi yang tidak diinginkan,
karena terlalu sensitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang
berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Berdasarkan mekanisme reaksi
imunologis yang terjadi (mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi), Gell dan Coomb
membagi reaksi hipersensitivitas menjadi empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

A. Hipersensitifitas Tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G(IgG), hyposensitization (imunoterapi
atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

B. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
● Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
● Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
● Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal)

C. Hipersensitifitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun (kompleks imunogen


dengan imunoglobulin, biasanya IgG). Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks
antigen-antibodi yang kecil dan terlarut dalam jaringan.

MEKANISME HIPERSENSITIFITAS TIPE 3

Komples imun yang mengendap di dinding pembuluh darah mengaktivkan jenjang C sehingga
terbentuknya faktor-faktor kemotatik. Faktor- faktor kemotatik menarik neutrofil dari sirkulasi.
Kerusakan pembuluh berlanjut apabila neutrofil mengalami degranulasi di daerah sekitar yang
disebabkan oleh pembentukan mikrotrombus, peningkatan permeabilitas vaskuler, enzim-enzim
yang menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan, dan kematian sel.

Contoh dari hipersensitifitas tipe 3

✖ Glomerulonefritis dapat terjadi saat kompleks imun mengendap di ginjal

✖ Lupus eritematosus sistemik dan artritis dapat terjadi apabila kompleks imun mengendap
di kulit dan sendi.
✖ Serum sickness, yang timbul 1 sampai 2 minggu setelah seseorang disuntik dengan suatu
serum asing. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh, menyebabkan
komplemen terfiksasi dan timbul edema, demam, dan peradangan.

D. Hipersensitifitas Tipe IV

Reaksi Hipersensitivitas tipe IV (reaksi yang diperantai oleh sel, reaksi hipersensitivitas tipe
lambat) diperantai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan imunogen yang sesuai.
Reaksi ini cenderung terjadi 12-24 jam setelah pajanan awal ke imuogen.

MEKANISME HIPERSENSITIFITAS TIPE 4

Sel-sel CD4 atau Sel T penolong melepaskan sitokin. Sitokin tersebut menarik dan merangsang
makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila imunogen menetap,
maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadi reaksi
granulomatosa kronik. Contoknya berkumpulnya sel-sel monokuler di daerah keruskan jaringan.

Pemicu Reaksi Tipe IV

1. Virus

2. Bakteri

3. Fungus

4. Hapten

5. Obat

Penolakan Transplantasi Organ

4.3 Penyakit Saluran Nafas


(PPOK) Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran
pernafasan yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau
kedua-duanya. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi
merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan
gangguan pada sistem pernafasan.

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang
produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema didefinisikan
sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai
dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit
yang ditandai dengan gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan
respon inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas
yang berbahaya.

Gejala-gejala PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala:

Eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya
dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak
nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan
gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu
gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah
berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang
dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut
nadi serta gangguan status mental pasien.

Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang
produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan
pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1)
dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka
terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya. Pada orang normal volume
forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien PPOK
adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health Study (NPHS), 51% penderita PPOK
mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan aktivitas di
rumah, kantor dan lingkungan sosial.

Bronkitis Kronis
Etiologi

Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, Respiratory
Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus par influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis
adalah suatu peradangan pada bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
baik virus, bakteri, maupun parasit. Sedangkan pada bronchitis kronik dan batuk berulang adalah
sebagai berikut:

1. Spesifik

a. Asma
b. Infeksi kronik saluran napas bagian atas (misalnya sinobronchitis).
c. Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma,
chlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur.
d. Penyakit paru yang telah ada misalnya bronchiectasis.
e. Sindrom aspirasi.
f. Penekanan pada saluran napa
g. Benda asing
h. Kelainan jantung bawaan
i. Kelainan sillia primer
j. Defisiensi imunologis
k. Kekurangan anfa-1-antitripsin
l. Fibrosis kistik
m. Psikis
2. Non spesifik

a. Asap rokok
b. Polusi udara

Patofisiologi

Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.


Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel
globet meningkat jumlahnya, fungsi sillia menurun, dan lebih banyak lendir yang
dihasilkan dan akibatnya bronchioles menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang
berdekatan dengan bronchioles dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis,
mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar, yang berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan
terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat
perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi
perubahan paru yang irreversible, kemungkinan mengakibatkan emphysema dan
bronchiectasis.

Emfisema

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan
disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:

1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan


meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal
dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.
Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien
dengan defisiensi α1-antitripsin.
Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses
ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura.

4.4 Penyakit Agromedis yang Berhubungan dengan Sistem Respirasi


a) Pneumoconiosis
Pneumoconiosis adalah gangguan saluran nafas restriktif yang diakibatkan oleh
masuknya partikulat – partikulat asing ke dalam saluran nafas. Pneumoconiosis
dibedakan berdasarkan jenis partikulat yang masuk ke dalam saluran nafas, terdiri dari
antrakosis, asbestosis, silicosis, beriliosis, dan bisinosis.
Patogenesis dari pneumoconiosis diawali dengan masuknya partikulat asing ke
dalam alveolus melalui saluran nafas. Respon awal di saluran nafas akan timbul batuk
dan produksi mucus yang berlebihan, jika disertai dengan infeksi di saluran nafas maka
penderita akan mengeluarkan sputum yang disertai dengan darah (hemoptysis). Partikulat
yang lolos hingga alveolus akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan makrofag
melepaskan mediator – mediator yang menyebabkan inflamasi dan proliferasi sel
fibroblast.
Respon inflamasi yang dipicu sebelumnya menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim paru diikuti dengan jejasnya sel. Proliferasi fibroblast meningkatkan terjadinya
pembentukan jaringan parut (fibrinosis) pada paru, jika keadaannya parah maka hal ini
disebut dengan progressive massive fibrosis. Fibrosis yang berlebihan akan menyebabkan
paru – paru kehilangan elastisitasnya sehingga paru –paru (khususnya alveoli) tidak
mampu meregang dengan baik. Sehingga penderita akan mengalami dispneu dan
defisiensi oksigen.
Obat untuk menyembuhkan seluruh jenis pneumoconiosis sebenarnya tidak ada.
Sehingga terapi yang tepat dilakukan melalui pemberian obat – obatan simptomatis dan
mengurangi paparan penyebabnya. Obat – obatan yang diberikan biasanya berupa
supresan batuk, bronkodilator, dan antibiotik. Antibiotik diberikan dengan alasan karena
penderita pneumoconiosis rentan terserang penyakit tuberculosis dikarenakan kerja
makrofag alveolusnya mengalami penurunan akibat memfagosit partikulat tadi.
a. Antrakosis
Antrakosis atau bisa disebut juga coal worker’s pneumoconiosis atau black lung
disease adalah salah satu jenis pneumoconiosis yang disebabkan oleh paparan debu
batu bara dan arang. Penderita paling banyak ditemukan pada pekerja tambang
batubara maupun pekerja di industri pengolahan batu bara.
Gejala dari antrakosis adalah batuk, nyeri dada, dispneu, dan berat badan turun
drastis. Paru – paru penderita akan terlihat berwarna gelap akibat penumpukan debu
batu bara.
b. Asbestosis
Asbestosis diakibatkan paparan dari asbes pada saluran pernafasan pada pekerja
tambang dan pengolahan asbes, juga ditemukan pada penderita yang berprofesi
sebagai pekerja bangunan. Penderita asbestosis memiliki risiko yang lebih tinggi
mengalami kanker paru (mesothelioma)
Partikulat asbestos dibedakan menjadi dua yaitu amfibol yang amat halus dan
kristal serpentin yang berukuran besar dan berlekuk. Amfibol inilah yang bisa lolos
hingga mencapai alveolus dan menyebabkan gejala seperti batuk, sesak nafas,
takipneu, dispneu, dan nyeri dada.
Gambaran khas patologi anatomi dari penderita asbestosis adalah ditemukannya
ferruginous body pada makrofag alveolusnya. Ferruginous body adalah partikel
asbestos yang difagositosis dan dikelilingi oleh protein yang mengandung ion besi
(ferritin dan hemosiderin).
c. Silicosis
Diakibatkan oleh terhirupnya debu silica pada pekerja tambang dan pekerja industri
pengolahan hasil tambang dan logam. Dapat dibedakan menjadi 3 jenis menurut
lamanya paparan, yaitu silicosis kronis apabila terpapar lebih dari 10 tahun dan baru
menimbulkan gejala, paparan bersifat kecil namun intens; silicosis akut apabila
terpapar beberapa minggu hingga 5 tahun; dan silicosis dipercepat apabila terpapar
dalam kurun waktu 5-10 tahun namun menunjukkan gejala yang amat cepat seperti
silicosis akut.
d. Beriliosis
Diakibatkan dari paparan berilium pada pekerja tambang dan industri pengolahan
logam, namun kejadian dari beriliosis cukup jarang dan kasus terakhir yang
dilaporkan terjadi pada tahun 1950-an. Gejala umum dari beriliosis mirip dengan
yang lain, yaitu batuk, nyeri dada, dispneu, takipneu, dan berat badan yang turun
drastic.
Pathogenesis beriliosis agak berbeda daripada lainnya dikarenakan makrofag
alveolus yang menelan partikel berilium tadi tidak hanya memicu respon inflamasi
saja namun memicu respon kekebalan yang diperantari oleh sel. Jadi, makrofag akan
melepaskan mediator yang memicu datangnya sel CD4+ dan sel ini akan memicu
proliferasi sel limfosit T yang lain. Akibatnya banyak makrofag dan sel limfosit T
tadi yang berkumpul pada jaringan yang mengalami jejas dan membentuk granuloma
non-kaseosa.
e. Bisinosis
Diakibatkan oleh paparan debu kapas atau serat kapas halus yang biasanya
ditemukan pada pekerja tekstil dan pemintalan benang. Gejala yang ditimbulkan
tidak jauh berbeda yaitu nyeri dada, batuk, dispneu, dan mengi.
b) Pneumonitis akibat hipersensitivitas
Pneumonitis akibat hipersensitivitas, bisa disebut juga penyakit alergi ekstrinsik
alveoli, merupakan inflamasi pada area alveoli yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas ini dipicu oleh masuknya allergen yang berasal
dari paparan debu organic/berasal dari makhluk hidup. Tipe hipersensitivitas yang sering
ditemukan adalah tipe 3 dan 4. Gambaran biopsy jaringan paru menunjukkan
terbentuknya banyak granuloma, edema jaringan parenkim, banyaknya infiltrasi sel PMN
dan transudate dalam lumen alveolus. Gejala yang ditimbulkan adalah batuk, hemoptisis,
dispneu, dan demam.
Bagassosis dan farmer’s lung disease merupakan salah satu contoh dari pneumonitis
akibat hipersensitivitas. Bagassosis dan farmer’s lung disease sama – sama diakibatkan oleh
spora dari jamur Thermophilus actinomycetes yang berkembang biak di ampas tebu (molasses)
dan jerami.

4.5 Intoksitasi Pestisida


Pestisida memiliki beragam jenis, salah satunya ialah tipe organofosfat yang biasanya
merupakan jenis pestisida yang paling sering digunakan. Organofosfat diabsorbsi dengan baik
melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui
kulit. Pestisida jenis ini menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi
asetilkolinesterase pada saraf.

Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan pengetahuan lebih
dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh) . Reseptor muskarinik dan nikotinik-
asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer

Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :

● Sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik


● Sinaps postgamglion parasimpatik
● Neuromuscular junction pada otot rangka.
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting toksisitas
insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat vasomotor. Ketika
asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi
saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui
hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true
cholinesterase atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular
junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada serum, plasma dan
hati.
Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion.
Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai
enzim baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai
antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfungsi menghidrolisa
neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan
ACh pada sinaps-sinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat. Gejala ringan meliputi: pusing, pandangan kabur, hipersalivasi, mual, muntah,
diare, dan bronkospasme serta paralisis otot pernafasan dengan manifestasi sesak napas.

Pada paparan akut, pestisida golongan organofosfat dapat menyebabkan gangguan pernapasan
yang akan menimbulkan gejala brdipneu progresif yang mengarah ke apneu. Gangguan
pernapasan terjadi juga karena kelumpuhan otot-otot pernapasan.

4.6 Insektisida
Pestisida digunakan untuk membasmi bermacam-macam hama (tumbuhan maupun binatang)
yang dijumpai dalam kehidupan manusia. Pestisida digunakan di negaranegara dunia ini untuk
melindungi tanaman dari kerusakan. Walaupun dalam jumlah dan ukuran kecil tetapi pestisida
jelas menimbulkan keracunan pada manusia. Data kematian akibat pajanan dengan pestisida
tersebut jarang dijumpai, diduga setiap kematian yang terjadi tidak lebih akibat dari 100 kasus
keracunan yang tidak fatal. Survei statistik mengenai morbiditas dan mortalitas menunjukkan
penurunan jumlah kematian karena kecelakaan dalam penggunaan pestisida. Hal ini
dimungkinkan adanya peningkatan pengetahuan toksisitas pestisida melalui program
pencegahan keracunan. Di antara pestisida, golongan organofosfat yang paling umum
ditemukan. Insektisida paling banyak digunakan pada negara yang berkembang, sedangkan
herbisida lebih banyak digunakan pada negara yang maju. Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO 1986) mendefinisikan adalah setiap zat atau campuran yang diharapkan sebagai
pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vektor terhadap manusia
atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang menyebabkan
keruskan selama atau dalam proses pencampuran dengan produksi, penyimpanan atau
pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi kayu, atau bahan makanan binatang,
atau yang dapat dilakukan pada binatang sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau
hama lain di dalam atau pada tubuh binatang tersebut. Kurang lebih 90 % dari seluruh pestisida
yang dihasilkan digunakan untuk tujuan komersil, dan sisanya pada pengawasan hama,
perkebunan, dan penggunaan pada rumah dan taman. Pada perkebunan, pajanan
pekerjaanterhadap pestisida terutama timbul selama mencampur persenyawaan tersebut dengan
air dan penyemprotan campuran tersebut Organofosfat paling banyak digunakan dalam
pertanian dan kemungkinan paling banyak frekuensinya sebagai agen penyebab penyakit saraf
di antara pekerja pertanian terutama pada negara yang berkembang. Dijumpai lebih dari 50.000
persenyawaan organofosfat telah disintesa dan diuji aktivitasnya sebagai insektisida, tetapi
jumlah sebenarnya yang digunakan untuk tujuan sekarang ini mungkin tidak lebih dari tiga lusin.
Insektisida organofosfat adalah diantara pestisida yang paling toksik pada manusia dan paling
banyak frekuensinya ditemukan keracunan insektisida. Tertelan sedikit saja seperti 2 mg pada
anak-anak dapat menimbulkan kematian

Toksikokinetik dan Mekanisme Kerja

Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan
utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit. Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan
dalam bentuk –thion (mengandung sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi -okson
(mengandung oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada
lingkungan sehingga hasil tanaman pekrja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari
pestisida yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang
merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk –thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma
yang rendah, dan reaksi-reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru
sebagai akibat keracunan akut organofosfat Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai
secara invivo pada metabolisme mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida bentuk aktif
pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepatmenghidrolisa organofosfat
ester, menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan
cepat diekskresi.

Organofosfat menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi
asetilkolinesterase pada saraf. Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan
cara demikian tidak mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan
pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh) . Reseptor
muskarinik dan nikotinik-asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer Pada sistem
saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :

1. sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik

2. sinaps postgamglion parasimpatik

3. neuromuscular junction pada otot rangka.

Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting toksisitas insektisitada
organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat vasomotor. Ketika asetilkolin
dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi saraf perifer
dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan
munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true cholinesterase
atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junction.
Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada serum, plasma dan hati.
Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan
fosfor ini sangat kuat sekali yang irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai enzim
baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai
antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yangberfugnsi menghidrolisa
neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan
ACh pada sinaps-sinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat. Pajanan pada dosis rendah, tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan
stimulasi reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau
empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai beberapa bulan
untuk eritrosit.

Efek paparan pestisida

a. Efek Lokal

Mempengaruhi tubuh yang terkena langsung dengan pestisida (kerusakan, gatal, batuk, mata
berair).
b. Efek Sistemik

Asetilkolin adalah neurotransmitter yang ditemukan pada ganglia simpatis dan parasimpatis,
skeletal neuromuscular junction, terminal junction dari postganglion saraf parasimpatis,
postganglion serat simpatis kelenjar keringat dan beberapa ujung saraf pada SSP. Pada akson
terminalis yang depolarisasi, vesikel yang mengandung asetilkolin akan menyatu dengan
membrane eksternal dan rupture kemudian melepas asetilkolin ke dalam sinaps atau
neuromuscular junction. Asetilkolin kemudian berikatan dengan reseptor postsinaptik
menyebabkan terjadinya aktivasi. Asetilkolinesterase menghidrolisis asetilkolin menjadi dua
fragmen yaitu asam asetat dan kolin. Pada keadaan normal asetilkolin yang dilepaskan oleh
akson akan cepat dihidrolisis. Komponen organofosfat dan carbamat akan menghambat hidrolisis
multiple carboxyl ester ini, termasuk Ach E dan butir ilkolinesterase (yang dikenal sebagai
plasma kolinesterase atau pseudokolinesterase). Hambatan ini menghasilkan ikatan terhadap
enzim seperti substansi normal. Meskipun pemisahan ikatan kolin dengan enzimpada
metabolisme Ach selesai dalam beberpa detik, namun ikatan organofosfat organic dengan enzim
dapat menetap hingga beberapa jam. Jika dalam beberpa jam ikatan ini tidak terlepas, maka akan
terjadi ikatan permanent antara organofosfat dengan asetilkolinesterase sehingga menyebabkan
asetilkolin pada seluruh sinaps kolinergik menigkat sehingga terjadi toksisitas.
Gambaran klinis dari terjadinya efektoksik dari pestisida ini diantara adalah dipsnea dan edema
paru

4.7 Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada
khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat
makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja.
K3 adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapan guna mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.
Menurut America Society of safety and Engineering (ASSE) K3 diartikan sebagai bidang
kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan
lingkungan dan situasi kerja.

Secara umum keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai ilmu dan penerapannya yang
berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan pekerjaan guna menjamin
keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian
lainnya.

Dalam K3 juga dikenal istilah Kesehatan Kerja, yaitu: suatu ilmu yang penerapannya
untuk meningkatkan kulitas hidup tenaga kerja melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
Penyakit akibat kerja meliputi pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan pemberian makan dan
minum bergizi.

Istilah lainnya adalah Ergonomy yang merupakan keilmuan dan aplikasinya dalam hal
sistem dan desain kerja, keserasian manusia dan pekerjaannya, pencegahan kelelahan guna
tercapainya pelakasanaan pekerjaan secara baik.

a) Aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Indonesia mempunyai kerangka hukum K3 yang ekstensif. K3 yang terutama di
Indonesia adalah Undang-Undang No. 1/ 1970 tentang Keselamatan Kerja. tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat,
didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah
kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 23/ 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai
kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan
supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa
membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat
mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga
kerja (Departmen Kesehatan 2002).
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai
agama.

Dalam pelaksanaannya K3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi
dan atau bebas dari kecelakaan dan yang pada akhirnya dapat meningkatkan sistem dan
produktifitas kerja.

b) Norma dan Sasaran K3


Dalam K3 ada tiga norma yang selalu harus dipahami, yaitu :
a. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja
b. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja
c. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja

Adapun sasaran dari K3, sebagai berikut :


a. Menjamin keselamatan operator dan orang lain
b. Menjamin penggunaan peralatan aman dioperasikan
c. menjamin proses produksi aman dan lancar.

Adapun faktor-faktor yang ditemui dalam penerapan K3 didalam dunia pekerja, sebagai
berikut:
a. Dari sisi masyarakat pekerja.
Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar (upah dan tunjangan
kesehatan/kesejahtraan).
b. Dari sisi pengusaha.
1) Pengusaha lebih menekankan penghematan biaya produksi .
2) Pengusaha lebih meningkatkan efisiensi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya dan K3 dipandang sebagai beban dalam hal biaya operasional tambahan.

c) 5 Tingkat Pencegahan Umum


Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau
mengurangi laju penyakit. Five level prevention atau lima tingkat pencegahan umum dari
Leavell and Clark yang dapat dilakukan adalah:
a. Health Promotion (Promosi Kesehatan)
Langkah pencegahan awal untuk menghindari adanya penyakitparu akibat kerja,
yaitu: Pengenalan lingkungan kerja kepada tenaga kerja agar tenaga kerja dapat
mengetahui bahaya–bahaya apa saja yang dapat terjadi di lingkungan kerjanya dan tenaga
kerja dapat mencegahnya.
1) Sebelumnya, dokter perusahaan harus membuat peta resiko (risk matrix) area
pekerjaan. Setelah itu, dokter perusahaan dan pihak-pihak terkait bidang kesehatan
perusahaan lainnya, seperti paramedis perusahaan bekerja sama untuk
mensosialisasikan kepada pekerja tentang agen-agen yang dapat menyebabkan
penyakit paru, seperti agen biologi dan kimia.
2) Membentuk peraturan atau perundang - undangan tentang perlindungan paru para
pekerja untuk mencegah adanya penyakit paru akibat kerja.
3) Membentuk program perlindungan dan perawatan yang diikutsertakan dalam program
pendidikan, yaitu memuat informasi tentang paru sehat dan penyakit paru yang terkait
dengan pekerjaan.
4) Memberikan pengenalan diri tentang penyakit paru dan penggunaan prosedur
perlindungan, sebagai contoh, program perlindungan paru pada pekerja di daerah
yang kering dan berpotensi timbulnya angin yaitu dengan menggunakan masker
penutup hidung.
5) Mengadakan rekreasi ke tempat yang berhawa sejuk agar paru tenaga kerja tidak
selalu terpapar oleh agen.
6) Menempatkan posisi ventilasi yang tepat dan cukup apabila tempat kerja tertutup.

b. Specific Protection (Pemberian Perlindungan Khusus)


1) Menciptakan kondisi tempat kerja yang baik dan sanitasinya baik.
2) Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga perhatian
khusus pada paru. Pemeriksaan kesehatan berkala dianjurkan dilakukan dengan
selang waktu 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada tingkat paparan di tempat
kerja.
3) Tenaga kerja hendaknya memakai masker agar tidak terpapar oleh agen-agen
penyebab penyakit paru. Selain itu, pekerja dilarang untuk merokok karena akan
menyebabkan paru pekerja lebih rentan apabila terpapar oleh agen – agen penyebab
penyakit, baik debu, mikroorganisme, bahan kimia, dan sebagainya.
4) Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan „Local Exhauster‟
atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
5) Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
6) Memakai metode basah yaitu, penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet
Drilling).
7) Dengan alat berupa Scrubber, Elektropresipitator, dan Ventilasi Umum.

c. Early diagnosis and promt treatmen (Diagnosa dini dan Terapi segera)
1) Mencari tenaga kerja yang mempunyai resiko menderita penyakit paru.
2) Memeriksa daya pacu paru-paru, kapasitas maksimal oksigen paru tenaga kerja
sehingga dapat mengetahui gambaran perkembangan kesehatan tenaga kerja.
3) Anamnesis riwayat medis lengkap termasuk riwayat pajanan di tempat kerja dan
lingkungan
4) Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan langsung untuk mengidentifikasi kondisi ekstraparu yang
berkontribusi terhadap impairment seperti pemeriksaan darah lengkap dan EKG.
- Pemeriksaan untuk menilai impairment respirasi yaitu foto toraks. Spirometri,
DLco (single breath diffusing capacity), Ct scan, Bal, dan lain – lain.
- Pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum seorang menjadi pekerja dan
pemeriksaan secara berkala untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila
seseorang telah mendenita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak terpapar
mungkin dapat mengurangi laju penyakit.
- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas tepat
mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan pekerjaan yang
mempunyai paparan garam platinum.
5) Perlu dilakukan screnning pada saat masuk menjadi tenaga kerja disebuah
perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penyakit yang dialami
setelah bekerja diperusahaan tersebut merupakan penyakit akibat kerja atau
merupakan yang memang telah dialami sebelumnya.

d. Dissability Limitation (pembatasan ketidakmampuan/kecacatan)


1) Terapi yang tepat untuk menghentikan penyakit dan cegah komplikasi dan kecacatan.
2) Mencegah progesivity dan antisipasi komplikasi seperti berhenti merokok, profilaksis
TB pada pekerja silika Pekerja hendaklah berhenti merokok terutama bila bekerja
pada tempat-tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit bronkitis industri dan
kanker paru, karena asap rokok dapat meninggikan risiko timbulnya penyakit.
3) Penyediaan fasilitas untuk membatasi cacat dan cegah kematian
4) Memberikan waktu istirahat atau cuti kepada pegawai yang sakit untuk berobat.

e. Rehabilitasi
1) Menempatkan tenaga kerja yang terkena penyakit paru di tempat yang tidak berisiko
untuk memperburuk keadaan parunya
2) Apabila tidak dapat dipindahkan, maka tenaga kerja yang terkena penyakit paru
diberikan perlindungan ekstra, seperti pemakaian masker khusus dan pemberian
waktu yang relatif singkat untuk menghindari paparan agen penyebab penyakit paru
lebih lama dan memperburuk keadaan paru.
3) Memberikan perlindungan ekstra pada tempat – tempat yang berisiko untuk
menyebabkan penyakit paru.

d) Fasilitas Peralatan Keselamatan Kerja


a. Perencanaan Keselamatan kerja hendaknya sudah diperhitungkan sejak tahap
perencanaan berdirinya organisasi (sekolah, kantor, industri, perusahaan). Hal-hal yang
perlu diperhitungkan antara lain: lokasi, fasilitas penyimpanan, tempat pengolahan,
pembuangan limbah, penerangan, dan sebagainya.
b. Ketatarumahtanggaan yang baik dan teratur. • Menempatkan barang-barang ditempat
yang semestinya, tidak menempatkan barang di tempat yang digunakan untuk lalu-lintas
orang dan jalur-jalur yang digunakan untuk penyelamatan kondisi darurat. • Menjaga
kebersihan lingkungan dari barang/bahan berbahaya, misalnya hindari tumpahan oli pada
lantai atau jalur lalulintas pejalan kaki.
c. Pakaian Kerja • Hindari pakaian yang terlalu longgar, banyak tali, baju berdasi, baju
sobek, kunci/ gelang berantai, jika anda bekerja dengan barang-barang yang berputar atau
mesin-mesin yang bergerak misalnya mesin penggilingan, mesin pintal, dan sebagainya •
Hindari pakaian dari bahan seluloid jika anda bekerja dengan bahan-bahan yang mudah
meledak atau mudah terbakar. • Hindari membawa atau menyimpan di kantong baju
barang-barang yang runcing, benda tajam, bahan yang mudah meledak,dan atau cairan
yang mudah terbakar.
d. Peralatan Perlindungan Diri
1) Kacamata. Gunakan kacamata yang sesuai dengan pekerjaan yang anda tangani,
misalnya untuk pekerjaan las diperlukan kacamata dengan kaca yang dapat
menyaring sinar las; kacamata renang digunakan untuk melindungi mata dari air dan
zat-zat berbahaya yang terkandung di dalam air.
2) Sepatu. Gunakan sepatu yang dapat melindungi kaki dari beban berat yang menimpa
kaki, paku atau benda tajam lain, logam, benda pijar dan asam yang mungkin terinjak.
Sepatu untuk pekerja listrik harus berbahan non-konduktor, tanpa paku logam.
3) Sarung tangan. Gunakan sarung tangan yang tidak menghalangi gerak jari dan tangan.
Pilih sarung tangan dengan bahan yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditangani,
misalnya sarung tangan untuk melindungi diri dari tusukan atau sayatan, bahan kimia
berbahaya, panas, sengatan listrik, atau radiasi tentu berbeda bahannya.
4) Helm pengaman. Gunakan topi yang dapat melindungi kepala dari tertimpa benda
jatuh atau benda lain yang bergerak, tetapi tetap ringan.
5) Alat perlindungan telinga untuk melindungi pekerja dari kebisingan, benda bergerak,
percikan bahan berbahaya.
6) Alat perlindungan paru-paru, untuk melindungi pekerja dari bahaya polusi udara, gas
beracun, atau kemungkinan dari kekurangan oksigen.
7) Alat perlindungan lainnya, seperti tali pengaman untuk melindungi pekerja dari
kemungkinan terjatuh

e) Keselamatan Kerja Menurut OSHA


Tujuan utama dibentuknya organisasi keselamatan kerja ialah untuk mengurangi tingkat
kecelakaan, sakit, cacat dan kematian akibat kerja, dengan lingkungan kerja yang bersih,
sehat, aman dan nyaman. Organisasi bisa dibentuk di tingkat pemerintah, perusahaan atau
oleh kelompok atau serikat pekerja. Di Amerika Serikat, organisasi keselamatan kerja bagi
pekerja swasta dibentuk dibawah Departemen tenaga kerja dan disebut OSHA (Occupational
Safety and Health Administration).
OSHA membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan
kerja. Diagram organisasi OSHA dapat dilihat pada Gambar 1.20. Organisasi ini terdiri dari 4
bagian: 1. Bagian Perencanaan 2. Bagian Operasi 3. Bagian Logistik 4. Bagian keuangan .
Personil organisasi bisa terdiri dari pemerintah, kepolisian, dokter, psikolog, tenaga ahli
teknik, ahli jiwa, dan sebagainya. Di Indonesia, organisasi pemerintah yang menangani
masalah keselamatan kerja di tingkat pusat dibentuk dibawah Direktorat Pembinaan Norma
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Disamping itu, organisasi semacam ini juga dibentuk di
perusahaan-perusahaan, dan ikatan ahli tertentu.

f) Simbol Standar Keselamatan OSHA


Warna Keselamatan:
Gambar 1. Warna Keselamatan
Menerapkan Warna Keselamatan
Usahakan sesedikit mungkin penggunaan rambu yang beraneka warna. Hal ini untuk
menekankan penyampaian pesan pada poin yang paling penting dan juga untuk menghindari
kebingungan serta kelelahan mata memandang.
Memastikan bahwa para karyawan yang buta warna dapat memahami rambu-rambu dan
makna dari warna keselamatan. Mengkombinasikan simbol-simbol dengan pesan verbal yang
singkat pada sebuah rambu. Menggunakan lampu yang berkedip, sinyal suara atau menempatkan
rambu-rambu disebelah warna keselamatan.

4.8 Pengelolaan Penyakit Agromedis


Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada penatalaksanaan
penyakit sistem respirasi akibat kerja. Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk
mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju penyakit. Five level prevention atau lima
tingkat pencegahan umum dari Leavell and Clark yang dapat dilakukan adalah :
a. Health Promotion (Promosi Kesehatan)
Langkah pencegahan awal untuk menghindari adanya penyakitparu akibat kerja,
yaitu: Pengenalan lingkungan kerja kepada tenaga kerja agar tenaga kerja dapat
mengetahui bahaya–bahaya apa saja yang dapat terjadi di lingkungan kerjanya dan
tenaga kerja dapat mencegahnya.
1) Sebelumnya, dokter perusahaan harus membuat peta resiko (risk matrix) area
pekerjaan. Setelah itu, dokter perusahaan dan pihak-pihak terkait bidang
kesehatan perusahaan lainnya, seperti paramedis perusahaan bekerja sama untuk
mensosialisasikan kepada pekerja tentang agen-agen yang dapat menyebabkan
penyakit paru, seperti agen biologi dan kimia.
2) Membentuk peraturan atau perundang - undangan tentang perlindungan paru para
pekerja untuk mencegah adanya penyakit paru akibat kerja.
3) Membentuk program perlindungan dan perawatan yang diikutsertakan dalam
program pendidikan, yaitu memuat informasi tentang paru sehat dan penyakit paru
yang terkait dengan pekerjaan.
4) Memberikan pengenalan diri tentang penyakit paru dan penggunaan prosedur
perlindungan, sebagai contoh, program perlindungan paru pada pekerja di daerah
yang kering dan berpotensi timbulnya angin yaitu dengan menggunakan masker
penutup hidung.
5) Mengadakan rekreasi ke tempat yang berhawa sejuk agar paru tenaga kerja tidak
selalu terpapar oleh agen.
6) Menempatkan posisi ventilasi yang tepat dan cukup apabila tempat kerja tertutup.

b. Specific Protection (Pemberian Perlindungan Khusus)


1) Menciptakan kondisi tempat kerja yang baik dan sanitasinya baik.
2) Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga
perhatian khusus pada paru. Pemeriksaan kesehatan berkala dianjurkan dilakukan
dengan selang waktu 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada tingkat paparan di
tempat kerja.
3) Tenaga kerja hendaknya memakai masker agar tidak terpapar oleh agen-agen
penyebab penyakit paru. Selain itu, pekerja dilarang untuk merokok karena akan
menyebabkan paru pekerja lebih rentan apabila terpapar oleh agen – agen
penyebab penyakit, baik debu, mikroorganisme, bahan kimia, dan sebagainya.
4) Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan „Local
Exhauster‟ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
5) Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
6) Memakai metode basah yaitu, penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet
Drilling).
7) Dengan alat berupa Scrubber, Elektropresipitator, dan Ventilasi Umum.

c. Early diagnosis and promt treatmen (Diagnosa dini dan Terapi segera)
1) Mencari tenaga kerja yang mempunyai resiko menderita penyakit paru.
2) Memeriksa daya pacu paru-paru, kapasitas maksimal oksigen paru tenaga kerja
sehingga dapat mengetahui gambaran perkembangan kesehatan tenaga kerja.
3) Anamnesis riwayat medis lengkap termasuk riwayat pajanan di tempat kerja dan
lingkungan
4) Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan langsung untuk mengidentifikasi kondisi ekstraparu yang
berkontribusi terhadap impairment seperti pemeriksaan darah lengkap dan
EKG.
- Pemeriksaan untuk menilai impairment respirasi yaitu foto toraks. Spirometri,
DLco (single breath diffusing capacity), Ct scan, Bal, dan lain – lain.
- Pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum seorang menjadi pekerja dan
pemeriksaan secara berkala untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila
seseorang telah mendenita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak
terpapar mungkin dapat mengurangi laju penyakit.
- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas
tepat mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan
pekerjaan yang mempunyai paparan garam platinum.
5) Perlu dilakukan screnning pada saat masuk menjadi tenaga kerja disebuah
perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penyakit yang dialami
setelah bekerja diperusahaan tersebut merupakan penyakit akibat kerja atau
merupakan yang memang telah dialami sebelumnya.

d. Dissability Limitation (pembatasan ketidakmampuan/kecacatan)


1) Terapi yang tepat untuk menghentikan penyakit dan cegah komplikasi dan
kecacatan.
2) Mencegah progesivity dan antisipasi komplikasi seperti berhenti merokok,
profilaksis TB pada pekerja silika Pekerja hendaklah berhenti merokok terutama
bila bekerja pada tempat-tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit bronkitis
industri dan kanker paru, karena asap rokok dapat meninggikan risiko timbulnya
penyakit.
3) Penyediaan fasilitas untuk membatasi cacat dan cegah kematian
4) Memberikan waktu istirahat atau cuti kepada pegawai yang sakit untuk berobat.

e. Rehabilitasi
1) Menempatkan tenaga kerja yang terkena penyakit paru di tempat yang tidak
berisiko untuk memperburuk keadaan parunya
2) Apabila tidak dapat dipindahkan, maka tenaga kerja yang terkena penyakit paru
diberikan perlindungan ekstra, seperti pemakaian masker khusus dan pemberian
waktu yang relatif singkat untuk menghindari paparan agen penyebab penyakit
paru lebih lama dan memperburuk keadaan paru.
3) Memberikan perlindungan ekstra pada tempat – tempat yang berisiko untuk
menyebabkan penyakit paru.

A) PROMOTIF
1. Promosi Kesehatan
Berdasarkan Ottawa Charter yang dikeluarkan pada tahun 1986, Promosi Kesehatan
atau Promkes merupakan proses memandirikan masyarakat agar dapat memelihara dan
melindungi kesehatannya. Sasaran dari promosi kesehatan ini berupa sasaran primer yang
meliputi masyarakat umu, sasaran sekunder yang meliputi pemuka masyarakat dan
sasaran tersier yaitu pemegang kekuasaan—di sini yang dimaksud adalah pemerintah.
Sedangkan menurut Lawrence Green, 1984, promosi kesehatan adalah segala bentuk
kombinasi pendidikan keehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan
organisasi yang dirancang untuk membudayakan perubahan perilaku dan lingkungan
yang kondusif bagi kesehatan.
Tujuan dari promosi kesehatan ini adalah agar tersosialisasi program-program
kesehatan dan terwujudnya masyarakat yang berbudaya hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan.
Prinsip-prinsip dari promosi kesehatan adalah, sebagai berikut:
b. Pemberdayaan masyarakat
c. Perubahan atau perbaikan perilaku masyarakatdi bidang kesehatan. Melingkupi
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative
d. Upaya edukasi dengan cara penyuluhan, pendidikan dan latian untuk memperkuat
sumber daya masyarakat; upaya advokasi dan bina suasana agar tercipta suasana
kondusif untuk terwujudnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS) di lingkungan
masyarakat.

2. Promosi Kesehatan Tempat Kerja


Latar belakang diadakan promosi kesehatan di tempat kerja melihat dari 3 fokus
utama definisi kesehatan kerja menurut komite kerja sama ILO dan WHO, yaitu:
a. Pemeliharaan dan promosi kesehatan kerja dan kapasitas kerja;
b. Perbaikan lingkungan kerja dan pekerjaan sehingga kondusif terhadap keselamatan
dan kesehatan kerja
c. Pengembangan organisasi dan budaya kerja dalam arah yang mendukung kesehatan

Promosi Kesehatan di tempat kerja adalah ilmu dan seni untuk menolong pekerja
mengubah gaya hidup mereka agar bergerak menuju status kesehatan dan kapasitas
kerja yang optimal, sehingga berkontribusi bagi kesehatan dan keselamatan di tempat
kerja, dan dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan. Kesehatan optimal
adalah derajat tertinggi dari kesejahteraan fisik, emosional, mental, sosial, spiritual dan
ekonomi. Kapasitas kerja optimal adalah kemampuan untuk bekerja dengan kuat dan
senang tanpa kelelahan yang berarti, dengan masih tersedia energi untuk menyenangi
hobi, aktivitas rekreasi dan menghadapi gawat darurat yang tak terduga. Perubahan
gaya hidup dapat dimudahkan dengan kombinasi upaya aktifitas organisasi, pendidikan
dan lingkungan yang mendukung praktek hidup sehat.
Menurut Ottawa Charter, promosi kesehatan terdiri atas:
a. Build healthy public policy
b. Create supportive environment
c. Strengthen community skills
d. Develop personal skills
e. Reorient health service

● Promosi kesehatan mencakup 4 pelayanan :


a. Promkes pada tingkat promotif pada orang yang benar- benar sehat agar tidak
sakit
b. Promkes pada tingkat preventif  pada orang sehat dan resti ( Ibu hamil, buteki, para
perokok, obesitas,dll) mencegah agar tidak sakit
c. Promkes pada tingkat kuratif Penderita sakit ( terutama yg sakit kronis )
d. Promkes pada tingkat rehabilitatif pasien yang baru sembuh dari sakit.
● Strategi Promosi Kesehatan
a. Advokasi
b. Dukungan Sosial
c. Pemberdayaan masyarakat
● Visi Promkes
Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatannya baik fisik, mental, dan sosial sehingga produktif secara ekonomi maupun
sosial.
● Misi Promkes
1. Advokasi
2. Menjembatani
3. Memampukan
● Contoh promosi kesehatan promotif :
Melalui penyuluhan seperti penyluhan pertanian. Dengan tujuan jangka pendek untuk
mengubah perilaku, termasuk sikap, tindakan, dan pengetahuan tentang kesehatan dan
tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Bisa menggunakan metode perorangan, kelompok, maupun masa melalui media cetak,
elektronik, dan papan pengumuman.

● Sasaran Promosi Kesehatan


o Sasaran Primer
Sesuai misi pemberdayaan. Misal : kepala keluarga, ibu hamil/menyusui, anak sekolah
o Sasaran Sekunder
Sesuai misi dukungan sosial. Misal: Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama
o Sasaran Tersier
Sesuai misi advokasi. Misal : Pembuat kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah
● Ruang Lingkup Promkes didasarkan pada 2 Dimensi, yaitu :
1. Dimensi Aspek Sasaran Pelayanan Kesehatan
2. Dimensi Tempat PelaksanaanPromosi Kesehatan atau Tatanan (Setting)
● Dimensi Aspek Sasaran Pelayanan Kesehatan, yaitu :
1. Promkes pada Tingkat Promotif
Sasaran : kelompok orang sehat
Tujuan : mampu meningkatkan kesehatannya
2. Promkes pada Tingkat Preventif
Sasaran : kelompok orang sehat dan kelompok high risk (ibu hamil, bayi, psk)
Tujuan : mencegah kelompok tersebut agar tidak jatuh sakit
3. Promkes pada Tingkat Kuratif
Sasaran : Para penderita penyakit
Tujuan : mencegah penyakit tersebut agar tidak menjadi lebih parah
4. Promkes pada Tingkat Rehabilitatif
Sasaran : penderita penyakit yang baru sembuh dari penyakitnya
Tujuan : segera pulih kembali kesehatannya dan mengurangi kecacatan seminimal
mungkin

1. Membangun kebijakan publik


2. Membangun lingkungan yang sehat
3. Melakukan pemberdayaan masyarakat
4. Memberikan ketrampilan kepada masyarakat
5. Reorientasi pelayanan kesehatan
● Dimensi Tempat Pelaksanaan Promosi Kesehatan atau Tatanan ( Setting )
1. Tatanan RT
2. Tatanan Sekolah
3. Tatanan Tempat Kerja
4. Tatanan Tempat-Tempat Umum
5. Tatanan Institusi Yankes

B) PREVENTIF
Upaya preventif penting berkaitan dengan kinerja karyawan kerja.Kegiatan dari upaya ini
berupa pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan terdiri dari 3 macam yaitu :

▪ Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja


Pemeriksaan meliputi fisik lengkap, kesegaran jasmani, radiologis, lab rutin,
pemeriksaan lain yang dianggap perlu untuk jenis pekerjaan yang akan dilakukan.

▪ Pemeriksaan kesehatan berkala


Pemeriksaan ini bertujuan untuk:

1. mendeteksi pengaruh pekerjaan tertentu terhadap karyawan


2. menilai efektifitas usaha pencegahan
3. mengidentifikasi sedini mungkin terhadap gangguan kesehatan dan mencegah agar
gangguan tidak parah.
4. Memantau tenaga kerja yang berisiko tinggi (usia>40 tahun, pasca kecelakaan, usia
muda)
▪ Pemeriksaan kesehatan khusus
1. Dilakukan khusus tenaga kerja sesudah sakit
2. Pemeriksaan kesehatan dalam rangka latihan (diklat, pindah kerja)
3. Digunakan untuk menilai apakah tenaga masih mampu bekerja seperti semula
4. Pengendalian lingkungan kerja
Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya
dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya.
Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja Republik
Indonesia.

Aspek yang perlu diperhatikan dalam APD :


➢ Bentuknya cukup menarik
➢ Dapat diapakai secara fleksibel
➢ Tahan untuk pemakaian yang cukup lama
➢ Seringan mungkin dan tidak menyebabkan rasa ketidak nyamanan yang lebih
➢ Dapat memberiakn perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik yang dihadapi
oleh pekerja
➢ Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakaiannya yang dikarenakan bentuk dan
bahayanya tidak tepat atau salah dalam penggunaannya.
➢ Suku cadang mudah diperoleh untuk mempermudah pemeliharaan
Jenis-jenis APD dan Penggunaannya :

1. Kepala
- Alat pelindung kepala (Safety Helmet) melindungi kepala dari benda keras, pukulan dan
benturan, terjatuh dan terkena arus listrik. Kemudian melindungi kepala dari kebakaran,
korosif, uap-uap, panas atau dingin.
- Pengujian mekanik dengan menjatuhkan benda seberat 3 kg dari ketinggian 1m,
pelindung kepala tidak boleh pecah atau benda tak boleh menyentuh kepala. Jarak
antara lapisan luar dan lapisan dalam dibagian puncak ; 4-5 cm.
- Tidak menyerap air dengan direndam dalam air selama 24 jam.
2. Mata
- Mudah dikenakan cocok untuk kasus berisiko kecil dan menengah. Lemparan benda-
benda kecil, pengaruh cahaya dan pengaruh radiasi tertentu.
- Bahan pembuat alat pelindung mata dari plastic.
- Syarat optis tertentu adalah lensa tidak boleh mempunyai efek distorsi atau efek prisma
lebih dari 1/16 prisma dioptri, artinya perbedaan refraksi harus lebih kecil dari 1/16
dioptri.
3. Telinga
- Sumbat telinga (ear plug) dapat mengurangi intensitas suara 10 s/d 15 dB dan tutup
telinga ( ear muff ) dapat mengurangi intensitas suara 20 s/d 30 dB.
- Sumbat telinga yang baik adalah menahan frekuensi tertentu saja,
4. Pernafasan
- Memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya seperti kekurangan oksigen
dan pencemaran oleh partikel debu, kabut, asap dan uap logam kemudian pencemaran
oleh gas atau uap.
- Masker (Respirator)
Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat dengan kualitas
udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).
5. Kaki
- Sepatu dengan logam atau baja, sepatu boot, dan jenis lainnya untuk kebakaran dan
bahaya peledakan.
- Sepatu buruh atau tipe sepatu jalan, digunakan untuk melindungi dari percikan, lelehan
metal atau logam yang berasal dari pengelasan atau bunga api.
- Sepatu penguat bagian dalamnya memiliki sol metal yang fleksibel
- Untuk kondisi basah sepatu kulit dengan paduan kayu cendana
- Sepatu keselamatan dengan pelindung metatarsal, selalu digunakan dalam opersi
material berat. Juga untuk menjaga kemungkinan bila ada denda jatuh dan menimpa jari
kaki bagian atas. Pelindung metal ini sangat cukup melindungi kaki sampai
pergelanagan kaki.
- Sepatu boot keselamatan yaitu sepatu yang dilengkapi dengan nonferrous yang akan
mereduksi kemungkinan adanya gesekan dari pecahan ketika dilokasi dengan bahaya
ledakan api.
6. Tali Pengaman (Safety Harness)
Berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian. Diwajibkan menggunakan alat ini di
ketinggian lebih dari 1,8 meter.
7. Jas Hujan
APD ini berfungsi untuk melindungi diri dari percikan air saat bekrja, misalnya bekerja pada
saat turun hujan.
8. Pelindung Wajah
Alat ini berfungsi untuk menutupi wajah dari percikan benda-benda berbahaya yang
mungkin akan mengenai wajah. APD ini biasa digunakan oleh orang yang bekerja
menggerinda besi.
9. Tangan
Sarung tangan merupakan alat pelindung diri yang banyak digunakan, fungsinya untuk
melindungi tangan dari luka lecet, luka teriris, luka terkena bahan kimia dan terhadap
temperature ekstrim.
- Kelvar-trated gloves untuk perlindungan dari kebakaran
- Metal-mesh gloves untuk perlindungan dari benda tajam dan pukulan
- Rubber gloves untuk perlindungan dari listrik
- Rubber neoprene or viniyl gloves untuk perlindungan dari korosi kimia
- Leather gloves untuk tahan terhadan suhu yang sedang,api serta benda tajam
- Catton or fabric gloves digunakan untuk tempat kotor
- Chrome-tanned cowhide leathe untuk pengecoran baja
- Coated fabric gloves untuk melindungi dari bahan kimia,biasanya digunakan di tempat
pengalengan ikan.
- Heated industrial gloves di gunakan untuk perlindungan suhu rendah
- Hand leathers untuk bantalan tangan
10. Pakaian Pelindung
- Flame resistant catton atau duck
Untuk bahaya panas atau percikan api yang sedang.
- Special flame- resistant and heat resistant synthetic fabrics
Untuk memadamkan api atau untuk pekerjaan-pekerjaan disekeliling api yang terbuka.
- Rubber, neoprene, vinyl or other protective material
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang basah atau menanggulangi asam, korosi dan zat-zat
kimia.
11. Sabuk pengaman
Dapat dipakai dengan maksimal berat tubuh 80 kg.

C) KURATIF
Penanggulangan Penyakit Agroindustri
Sebagian besar penyakit akibat kerja sukar disembuhkan, tetapi potensial untuk
dicegah. Prinsip penanggulangan: meniadakan paparan atau menghindarkan orang yang
berisiko tinggi terhadap paparan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menanggulangi
penyakit akibat kegiatan agroindustri, yaitu:
A) Teknik (engineering)
1) Substitusi; asbes diganti dengan fiberglass
2) Vokalisasi local (local exhauster)
B) Administrasi
Dapat dilakukan berupa:
i. Ketatarumah-tanggaan (housekeeping) yang baik:
5S, singkatan dari Bahasa Jepang, yaitu seiri, seiton, seiso, seiketsu dan
shitsuke. Definisi 5S adalah suatu sistem managemen tata graha atau managemen
ketatarumahtanggaan (good house keeping management) yang di lakukan dalam
rangka mengelola tempat kerja (perkantoran, gudang, area kerja bengkel, area
kerja laboratorium, area kerja produksi atau pembangkit dan lain-lain).
5S mengandung arti bahwa bagaimana kita mengkondisikan tempat kerja agar
menjadi bersih, aman dan nyaman sehingga kegiatan pekerjaan kita tidak
terganggu yang pada akhirnya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dapat
dipenuhi.
ii. Menempatkan pekerja pada job yang sesuai dengan keadaan fisik/mental
iii. Higiene individu
iv. Pemeriksaan kesehatan berkala/khusus
v. Alat Pelindung Diri (APD)
Yang harus diperhatikan dalam pemilihan alat pelindung diri (APD) adalah:
b) Bentuknya cukup menarik
c) Dapat diapakai secara fleksibel
d) Tahan untuk pemakaian yang cukup lama
e) Seringan mungkin dan tidak menyebabkan rasa ketidak nyamanan yang lebih
f) Dapat memberiakn perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik
yang dihadapi oleh pekerja
g) Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakaiannya yang dikarenakan
bentuk dan bahayanya tidak tepat atau salah dalam penggunaannya.
h) Suku cadang mudah diperoleh untuk mempermudah pemeliharaan

D) REHABILITATIF
▪ Tujuan mengembalikan fungsi
Dilakukan dengan cara fisioterapi atau konsultasi psikologi

Anda mungkin juga menyukai