Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Menurut Pandangan Islam

1.1 Pemeriksaan Medis Oleh Lawan Jenis


Manusia adalah mahluk yang paling sempurna dibanding ciptaan Allah yang lain.
Manusia mempunyai akal, rasa dan budi. Secara intuitif pasti semua manusia tidak
ingin memperlihatkan auratnya khususnya bagian alat vital. Agama dan asusila
mengajarkan supaya berpakaian yang mampu menutup aurat dan tidak mengundang
syahwat dari lawan jenisnya.

Bila sesorang jatuh sakit maka untuk berobat dia dapat pergi ke dukun yang
melakukan pengobatan tradisional atau ia dapat berobat ke Perawat. Dalam ilmu
kePerawatan untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit dan mengetahui tentang
jenis penyakit yang diderita oleh pasien maka Perawat senantiasa melakukan berbagai
pemeriksaan. Cara untuk mendapatkan data tersebut yaitu:
1. Mengambil anamnesa (riwayat penyakit )
Anamnesa meliputi riwayat pribadi, umur, jenis pekerjaan, status kawin atau tidak,
riwayat penyakit, kapan mulai sakit, sudah berapa lama sakit, penyakit yang
pernah diderita. Dalam anamnesa pasien diharapkan menjawab dengan jujur
2. Melakukan inspektisi
Inspektisi ini terlihat sejak pasien masuk ke kamar kerja Perawat, inspektisi dapat
dilihat melalui gerak gerik, tingkah laku dan tanda-tanda yang dialami pasien.
3. Melakukan palpasi
Palpasi yaitu meraba tubuh menggunakan telapak tangan. Palpasi dilakukan oleh
Perawat atas izin pasien karena dalam melakukan palpasi memerlukan
pemeriksaan di bagian aurat-aurat tubuh. Karena dengan melakukan pemeriksaan
tubuh secara lengkap Perawat tau apa yang menjadi keluhan pasien.
4. Melakukan Perkusi
Pada perkusi ini akan ditemukan batas konfigurasi jantung, paru-paru, dan lainnya.
Apakah ada cairan di daerah rongga dada ataupun perut.

1
5. Melakukan Auskulasi
Tindakan ini dilakukan menggunakan alat stetoskop. Alat stetoskop ini dapat
menunjukkan bagian yang normal ataupun tidak.
6. Pemeriksaan Pelengkap
Menggunakan alat untuk mendeteksi gangguan pada alat gerak dan jantung ,
seperti alat Reflek namer (reflek pada tulang), Elektro Cadiegraf (mendeteksi
aktivitas jantung).
7. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium yang dijalani seperti tes urin, pemeriksaan darah, dan lainnya.

Dari pemeriksaan inilah dapat disimpulkan bahwa:


a. Perawat dan pasien berduaan dalam suatu ruangan.
b. Perawat melihat atau meraba sebagian atau seluruh auratnya.
c. Perawat memeriksa lawan jenis maupun sesama jenis.
Perawat perlu melaksanakan pemeriksaan pada pasien di seluruh tubuhnya baik dari
dalam maupun dari luar sehingga pasien harus bersedia meninggalkan pakaiannya.
Perawat dan tenaga medis lain diwajibkan memelihara kehormatan manusia baik
dalam ruang pemeriksaan maupun ruang perawatan. Secara etis kePerawatan
sebaiknya Perawat waktu memeriksa pasien di temani oleh orang ketiga missal para
tenaga medis atau keluarga pasien. Dimana Perawat harus menyimpan segala rahasia
pasien yang diketahuinya.

1.2 Landasan Hukum Merawat Pasien yang Bukan Muhrimnya


a. Al-Qur’an
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-
Maidah : 2)
Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-An’am : 119)
b. Hadits
ُ‫ع ِم ْن ُك ْم أ َ ْن يَ ْنفَ َع أَخَاهُ فَ ْل َي ْنفَ ْعه‬ َ َ ‫َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬

2
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah
manfaat. (H.R. Muslim)
ُ‫ َع ِل َمهُ َم ْن َع ِل َمهُ َو َج ِهلَهُ َم ْن َج ِهلَه‬، ‫ا َِّن هللاَ لَ ْم يُ ْن ِز ْل دَا ًء اِالَّ ا َ ْنزَ َل لَهُ ِشفَا ًء‬
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya
pula obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui
oleh orang yang tidak mengetahuinya. (H.R. Ahmad)
ِ‫الر ُج ُُل إِلَى َع ْو َرة‬ ُ ‫سلَّ َم َقَا َل َال يَ ْن‬
َّ ‫ُظ ُر‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ َع ْن أَبِي ِه أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن أَبِي‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
ِ‫الر ُج ُِل َو َال ْال َم ْرأَة ُ إِلَى َع ْو َرةِ ْال َم ْرأَة‬
َّ
Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi
SAW. bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang
lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang lain)".
(H.R. Muslim)
c. Pandangan Ulama
Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA. dalam kitab Wa Rasaail
Syaikh Ibnu Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.
‫ ويجوز أن تكشف للطبيب‬، ‫إن ذهاب المرأة إلى الطبيب عند عدم وجود الطبيبة ال بأس به كما ذكر ذلك أهُل العلم‬
‫ ألن الخلوة محرمة‬، ‫كُل ما يحتاج إلى النُظر إليه إال أنه البد وأن يكون معها محرم ودون خلوة من الطبيب بها‬
‫ وما كان تحريمه‬، ‫وهذا من باب الحاجةوَقد ذكر أهُل العلم رحمهم هللا أنه إنما أبيح هذا ألنه محرم تحريم الوسائُل‬
‫تحريم الوسائُل فإنه يجوز عند الحاجة إليه‬
“Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi Perawat lelaki di saat tidak
ditemukan Perawat wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan
oleh para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan
Perawat lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan
harus ditemani mahram tanpa khalwat dengan Perawat lelaki tersebut, sebab
khalwat diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh
para ulama –semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan
karena dia diharamkan dengan sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina)
dan sesuatu yang diharamkan karena dia sebagai wasilah dibolehkan dalam
kondisi dibutuhkan.”

Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati lil


buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal 1/9/1400 H
, ‫إذا تيسر الكشف على المرأة وعالجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها طبيب ولو كان مسلما‬

3
‫ خشية الفتنة‬, ‫وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعالج جاز أن يكشف عليها طبيب مسلم بحضور زوجها أو محرم لها‬
‫ وصلى هللا على نبينا محمد وآله‬. ‫ فإن لم يتيسر المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم‬, ‫أو وَقوع ما ال تحمد عقباه‬
‫وصحبه وسلم‬
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada
Perawat wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya
dan melakukan pengobatan kepada Perawat lelaki meskipun dia seorang
muslim. Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya
karena pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh Perawat lelaki muslim
dengan kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau
terjatuh ke dalam perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan
Perawat lelaki muslim, maka dibolehkan Perawat lelaki kafir dengan syarat
yang telah disebutkan.

Islam sangat menghargai perihal tugas tenaga kesehatan, karena tugas ini
adalah tugas kemanusiaan yang sangat mulia, sebab menolong sesama manusia
yang sedang menderita. Dan menurut Islam, hubungan antara petugas
kesehatan dengan pasien adalah sebagai hubungan penjual jasa dengan
pemakai jasa, sebab si pasien dapat memanfaatkan ilmu, keterampilan,
keahlian petugas kesehatan, sedangkan petugas kesehatan memperoleh
imbalan atas profesinya berupa gaji atau honor. Karena itulah terjadilah akad
ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di mana satu pihak
memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan keahlian pihak lain,
dengan memberi imbalannya. (Sayid Sabiq, 1981)

Namun semua itu ada ukuran dan batasannya. Dalam masalah merawat dan
mengobati pasien di dalam dunia kePerawatan, secara umum Islam
mengizinkan hal itu terjadi walau antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal
ini bisa saja Perawat laki-laki dan pasiennya perempuan, atau sebaliknya.
Kecuali untuk jenis penyakit tertentu dan penanganan tertentu yang
mengharuskan dengan sesama jenis.

4
1.3 Batasan aurat dalam pelayanan kesehatan
Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia lain, karena
Allah sebagai khalika sendiri menghormati manusia, sebagaimana dijelaskan dalam
surat Al-Isra’ ayat 70.
ٍ ِ‫ت َوفَض َّْلنَا ُه ْم َعلَ ٰى َكث‬
‫ير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا‬ َّ ‫۞ َولَقَدْ ك ََّر ْمنَا بَنِي آدَ َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ْالبَ ِر َو ْالبَحْ ِر َو َرزَ َْقنَا ُه ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫ط ِيبَا‬
ً ‫ض‬
‫يال‬ ِ ‫ت َ ْف‬
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”

Maka Perawat maupun tenaga medis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada
pasien, segala tindakanyang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas
keyakinan.

Dalam batasan umum disebutkan bahwa mempertontonkan aurat baik kepada sejenis
maupun berbeda jenis kelamin haram hukumnya. Syariat Islam mewajibkan bahwa
setiap orang menutupi aurat kecuali batas yang diperbolehkan.

Dalam menentukan hukum pengobatan lawan jenis sekurangnya ada 4 hal yang
menjadi pertimbangan yaitu:
1. Yang berhubungan dengan khalwat (menyendiri dengan lawan jenis yang
bukan mahramnya)
2. Berpandangan dengan lain jenis
3. Melihat aurat pasien
4. Terbukanya aib pasien

Dari segi pasien, pasti pasien akan mencari Perawat yang ahli dalam bidangnya dan
dapat menyembuhkan tanpa memandang jenisnya bahkan agamanya. Dari sisi yang
mengobati netral, tidak melihat jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Dari sisi
lain dalam praktik pengobatan Perawat, ia dituntut melakukan inspeksi (pandangan
langsung), palpasi (perabaan), perkusi (memukul jari ke bagian tubuh yang diperiksa).

5
Dalam batasan umum disepakati bahwa berkhalwat dan ‘berpandangan’ lain jenis
dilarang kecuali mahramnya, sebagai mana dalam ayat al-qur’an Qs Al-Nur/24:30-31
‫ظ َه َر ِم ْن َها‬ َ ‫ُظنَ فُ ُرو َج ُه َّن َوال يُ ْبدِينَ ِزينَت َ ُه َّن إِال َما‬ ْ ‫اره َِّن َويَحْ َف‬
ِ ‫ص‬َ ‫ضضْنَ ِم ْن أ َ ْب‬ُ ‫ت َي ْغ‬ ِ ‫َوَقُ ُْل ِل ْل ُمؤْ ِمنَا‬
ِ َ‫َو ْليَض ِْربْنَ بِ ُخ ُم ِره َِّن َعلَى ُجيُوبِ ِه َّن َوال يُ ْبدِينَ ِزينَتَ ُه َّن ِإال ِلبُعُولَ ِت ِه َّن أ َ ْو آبَائِ ِه َّن أ َ ْو آب‬
‫اء بُعُولَ ِت ِه َّن أ َ ْو أ َ ْبنَائِ ِه َّن أَ ْو‬
َ‫َت أ َ ْي َمانُ ُه َّن أ َ ِو التَّا ِبعِين‬
ْ ‫سا ِئ ِه َّن أَ ْو َما َملَك‬
َ ِ‫َاء بُعُولَتِ ِه َّن أ َ ْو ِإ ْخ َوانِ ِه َّن أ َ ْو َبنِي ِإ ْخ َوانِ ِه َّن أَ ْو بَنِي أَخ ََواتِ ِه َّن أ َ ْو ن‬
ِ ‫أ َ ْبن‬
‫اء َوال َيض ِْربْنَ ِبأ َ ْر ُج ِل ِه َّن ِليُ ْعلَ َم‬ ِ ‫س‬َ ‫ت ال ِن‬ ِ ‫ُظ َه ُروا َع َلى َع ْو َرا‬ ْ ‫الط ْف ُِل ا َّلذِينَ َل ْم َي‬
ِ ‫الر َجا ِل أ َ ِو‬ ِ َ‫اإلر َب ِة ِمن‬ ْ ‫َغي ِْر أُو ِلي‬
َ‫َّللاِ َج ِميعًا أَيُّ َها ْال ُمؤْ ِمنُونَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬
َّ ‫َما ي ُْخفِينَ ِم ْن ِزينَ ِت ِه َّن َوتُوبُوا إِلَى‬

Dalam sebuah haditz dijelaskan bahwa aurat adalah bagian tubuh yang wajib di tutup
dan haram dilihat. Wahbah Al-Zuhaili menyatakan bahwa objek keharaman membuka
aurat terbatas pada orang yang dewasa, berakal meskipun tidak disertai rangsangan
dan tidak menimbulkan fitnah.

Ahli fikih sepakat bahwa menutup aurat hukumnya wajib seperti yang dijelaskan
dalam ayat al-Qur’an :
‫اء ْال ُمؤْ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َج َال ِبي ِب ِه َّن ذَلِكَ أَدْنَى أ َ ْن‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اجكَ َو َبنَاتِكَ َون‬ ِ ‫ي َقُ ُْل ِأل َ ْز َو‬
ُّ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب‬
‫ورا َر ِحي ًما يُ ْع َر ْفنَ فَ َُل‬
ً ُ‫َّللاُ َغف‬َّ َ‫ايُؤْ ذَيْنَ َو َكان‬
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-
Ahzab:59)
Ada beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai aurat laki-laki. Ada yang
mengatakan bahwa aurat laki-laki dari pusar sampai lutut namun ada juga yang
mengatakan bahwa pusar dan lutut juga termasuk aurat sehingga harus ditutup.
Pendapat lain juga datang dari Madzhab Maliki bahwa yang dipandang aurat hanya
zakar dan anus. Alasannya pada saat perang Khaibar, Nabi Muhammad pernah
tersingkap kain sarungnya sehingga pahanya kelihatan.

Sedangkan batasan aurat wanita berbeda menurut pandangan fikih. Namun secara
umum dapat disimpulkan bahwa :
1. Saat berhadapan dengan Allah maka seluruh tubuh kecuali telapak tangan
dan muka.

6
2. Saat berhadapan dengan yang bukan mahramnya yaitu seluruh tubuhnya
selain wajah, telapak tangan dan telapak kaki.
3. Saat berhadapan dengan mahramnya yaitu antara pusat dan lutut ( Ulama
Syafi’iyat) dan seluruh badannya kecuali muka, kepala, leher, dan kedua
kakinya (Ulama Malikiyyat ).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegur Asma binti Abu Bakar
Radhiyallahu anhuma ketika beliau datang ke rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan mengenakan busana yang agak tipis. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun memalingkan mukanya sambil berkata :
‫صلُ ْح أ َ ْن ي َُرى ِم ْن َها ِإ َّال َهذَا َو َهذَا‬ َ ‫ت ْال َم ِح‬
ْ ‫يض لَ ْم َي‬ ِ َ‫َيا أ َ ْس َما ُء ِإ َّن ْال َم ْرأَة َ ِإذَا َبلَغ‬
Wahai Asma ! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari
anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak
tangan). [HR. Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218. Hadist ini di shahihkan
oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah wajah, kedua telapak tangan, dan
kedua telapak kaki wanita termasuk aurat atau tidak. Sebagian ulama menyatakan
bahwa wajah, kedua telapak tangan, kedua telapak kaki merupakan aurat namun disisi
lain ada pendapat bahwa seluruh tubuh aurat kecuali wajah.
Dalam batas-batas tertentu, mayoritas Ulama membolehkan berobat kepada lawan
jenis jika sekiranya jenis yang sama tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram
atau orang yang sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan
bersikap pasrah (tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadhilillah). Sandaran
nash yang dirujuk, antara lain, bahwa semua tenaga lascar dan “palang merah” dimasa
Nabi adalah wanita, mereka bertugas mempersiapkan perjalanan, membawa dan
menyiapkan makanan dan air minum, membawa pasukan yang terluka ke tenda-tenda
khusus, dan yang memiliki kemampuan mengobati bertugas mengobati yang terluka
dan yang sakit. Disebutkan dalam atsar: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW,
dengan memberi minum bagi orang-orang luka dan melayaninya, serta membawa
orang-orang yang gugur dan menderita luka-luka ke-Madinah.” ( HR al-Bukhari dan
Muslim).

7
Dalam haditz tersebut dapat diambil makna bahwa disitu cukup banyak laki-laki yang
bukan mahramnya dan hanya disebut wanita kepada laki-laki. Dalam haditz juga tidak
disebutkan bagian tubuh mana yang diobati dan dibalut, itu artinya setiap luka
dibagian tubuh mana saja. Hal ini tidak menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Menurut Ibnu Hajar, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa para wanita
melakukan hal tersebut kepada mahramnya (anak, suami,dll), namun pendapat ini
tidak disertai dengan bukti sehingga masih dapat diperdebatkan lagi. Sedangkan
menurut para ulama hukum pengobatan lawan jenis di luar perang diperbolehkan
dalam keadaan darurat sebatas yang diperlukan.

Ibnu Hajar (773-852 H) menjelaskan, alasan pembolehan wanita mengobati dan


melayani karena keperluan logistik bagi prajurit laki-laki dan itu dalam keadaan
darurat. Pembolehan membuka aurat dikecualikan karena rukhsat sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan. Sebagian ulama memandang batasan pembolehan
tersebut karena alasan istihsan.

Ulama sepakat bahwa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat yaitu
melihat aurat orang lain. Aurat tersebut ada batasnya. Di tegaskan dalam QS. Al-
An’am (6):145: “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena
sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disemebelih selain atas nama
Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya
dan tida (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
Lagi Maha Penyayang.”

Dalam pengobatan, kebolehannya hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan,
dan bagian tubuh lain yang tidak terkait tetap tidak diperbolehkan melihatnya.
Sehingga dalam pengobatan disarankan untuk disertai mahram dan prioritas diobati
oleh yang sejenis.
Tokoh-tokoh Mahdzab Hanbali berikut yang menyampaikan pembolehan:

8
1. Ahmad Ibn Hanbal menyatakan boleh bagi Perawat/tabib laki-laki atau
perempuan melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada
bagian tubuh yang menuntut meskipun alat vitalnya.
2. Ibn Qudamat menjelaskan seorang Perawat wanita boleh melihat aurat
pasien jika dipandang perlu.
3. Ibn Muhlih al-Hanbali berfatwa memperbolehkan untuk menyingkap dada
perempuan yang lengannya terluka dan menyentuhnya karena darurat.

Di Indonesia dalam fatwa MPKS disebutkan bahwa tidak dilarang melihat aurat
perempuan sakit oleh seorang Perawat laki-laki untuk keperluan memeriksa dan
mengobati penyakitnya. Seluruh tubuh boleh diperiksa oleh Perawat laki-laki bahkan
hingga genitaliannya, maka jika pemeriksaan dan pengobatan telah mengenai genitilia
dan sekitarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota keluarga pasien tersebut
atau suaminya jika sudah berkeluarga. Dalam hal ini pasien dianjurkan untuk menutup
bagian tubuh yang lain yang tidak diobati. Demikian pula Perawat harus membatasi
diri untuk tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan langsung.

1.4 Aturan melihat aurat lawan jenis dalam pelayanan kesehatan


Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tentang kebolehan melihat wanita ketika
berobat yaitu pada bagian yang butuh dilihat. Namun perlu diingat bahwa para ulama
juga menerangkan aturan dalam hal ini tidak seenaknya saja hal itu dibolehkan apalagi
sampai bagian aurat yang diperiksa. Karena ingat melihat aurat wanita saat berobat
dibolehkan hanya dalam keadaan hajat (butuh) dan ada kadar atau ukuran dalam
melihatnya. Berikut beberapa aturan dalam melihat aurat lawan jenis saat berobat yang
diringkas dari penjelasan Syaikh Sholih Al Munajjid dalam Fatawa Al Islam Sual wal
Jawab no. 5693:
a. Tetap didahulukan yang melakukan pengobatan pada pria adalah dari
kalangan pria, begitu pula wanita dengan sesama wanita. Ketika aurat
wanita dibuka, maka yang pertama didahulukan adalah Perawat wanita
muslimah, lalu Perawat wanita kafir, lalu Perawat pria muslim, kemudian
Perawat pria kafir. Jika cukup yang memeriksa adalah Perawat wanita
umum, maka jangalah membuka aurat pada Perawat pria spesialis. Jika

9
dibutuhkan Perawat spesialis wanita lalu tidak didapati, maka boleh
membuka aurat pada Perawat spesialis pria.
b. Tidak boleh melebihi dari bagian aurat yang ingin diperiksa. Jadi cukup
memeriksa pada aurat yang ingin diperiksa, tidak lebih dari itu. Si Perawat
juga berusaha menundukkan pandangannya semampu dia. Jika sampai ia
melampaui batas dari yang dibolehkan ketika memeriksa, hendaklah ia
perbanyak istighfar pada Allah Ta’ala.
c. Jika dapat mendeteksi penyakit tanpa membuka aurat, maka itu sudah
mencukupi. Namun jika ingin mendeteksi lebih detail, kalau cukup dengan
melihat, maka jangan dilakukan dengan menyentuh. Jika harus menyentuh
dan bisa dengan pembatas (penghalang seperti kain), maka jangan
menyentuh langsung. Demikian seterusnya.
d. Disyaratkan ketika seorang Perawat pria mengobati pasien wanita janganlah
sampai terjadi kholwat (bersendirian antara pria dan wanita). Hendaklah
wanita tadi bersama suami, mahram atau wanita lain yang terpercaya.
e. Perawat pria yang memeriksa benar-benar amanah, bukan yang berakhlak
dan beragama yang jelek. Dan itu dihukumi secara lahiriyah.
f. Jika auratnya adalah aurat mughollazoh (yang lebih berat dalam perintah
ditutupi), maka semakin dipersulit dalam melihatnya. Hukum asal melihat
wanita adalah pada wajah dan kedua tangan. Melihat aurat lainnya semakin
diperketat sesuai kebutuhan. Sedangkan melihat kemaluan dan dubur lebih
diperketat lagi. Oleh karena itu, melihat aurat wanita saat melahirkan dan
saat khitan lebih diperketat.
g. Hajat (kebutuhan) akan berobat memang benar-benar terbukti, bukan hanya
dugaan atau sangkaan saja.
i. Bentuk melihat aurat saat berobat di sini dibolehkan selama aman dari
godaan (fitnah).
Para Perawat harus memperhatikan aturan ini ketika ingin mengobati lawan jenisnya,
lebih-lebih ketika membuka auratnya.

10
B. Menurut Agama Non-Islam
Dalam agama katholik
Batasan dalam berhubungan antara laki – laki dan perempuan itu diatur. Seorang laki
– laki dan perempuan tidak boleh saling berdekatan satu sama lain kecuali mereka
adalah saudara atau mahramnya. Dalam perwatan antar lawan jenis kelamin
sebenernya tidak boleh atau dilarang, karena keduanya bukan saudara. Tetapi
mengingat pekerjaan seorang perawat maka larangan itu pun akhirnya diperbolehkan
asalkan masih bekerja secara profesionalisme dan benar – benar melakukan tindakan
pemeriksaan atas dasar kesehatan bukan nafsu semata. Dalam keadaan darurat
seorang perawat yang berlawanan jenis kelamin boleh melekukan perwatan karena
unsure darurat dan memang tidak ada perawat lain yang ahli dalam bidang itu selain
yang berlawanan jenis kelamin.

Dala agama kristiani


Perawatan beda lawan jenis boleh dilakukan oleh seorang perawat kepada pasien atau
kliennya, dengan syarat perawat itu menghormati pasien tersebut dengan tidak
melakukan hal yang tidak semestinya menghormati sebuah privasi dan bekerja secara
professional. Jika pasien menginginkan perawat sesame jenis maka perawat harus
menerimanya, namun jika pasien tidak keberatan dengan perawat lawan jenis maka
diperbolehkan.

Hindhu
Dalam agama hindu tidak ada larangan khusus bagi perawatan pasien. Namun seorang
pasien dan perawat tidak boleh berbuat yang menyimpang, perawat harus bekerja
secara professional tanpa melakukan hal yang tak penting dalam perawatan.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan dan Saran


Menurut agama Islam sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi Perawat lelaki
di saat tidak ditemukan Perawat wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang
disebutkan oleh para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan
Perawat lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan harus
ditemani mahram tanpa khalwat dengan Perawat lelaki tersebut, sebab khalwat
diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Intinya adalah islam membolehkan
malakukan tindakan perawatan begitupun pemeriksaan tanda fital tubuh yang
memungkinkan aurat terbuka pada pasien berbeda jenis kelamin jika memang tidak
ada lagi perawat yang sama jenis kelaminya dengan syarat ditemani mahrom.

Dalam agama selain islam pun diatur jarak antara hubungan laki – laki dengan
perempuan. Perawat yang merawat pasien harus mengikuti keinginan pasien, jika
memang pasien tidak menginginkan dirawat oleh seseorang yang bukan sesama jenis
maka perwat itu harus menerima dan mencarikan yang diinginkannya, namun jika
memang dalam kondisi gawat/darurat maka perawatan oleh sesorang yang berlawana
jenis ini di perbolehkan asal perawat bekerja secara professional tanpa maksud lain.
Untuk lebih menjamin sebuah privasi pasien alangkah lebih baik jika seorang pasien
itu didampingi oleh seorang dari kerabat atau keluarganya, sebagai saksi bahwa
pekerjaan perawat tersebut tidak melenceng dari yang seharusnya dilakukan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Zuhroni, Rinni Nur. Nazarudin Nirwan. 2003. Islam Disiplin Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran 2. Jakarta : Departemen Agaman RI Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islma.

Al Fanjari, Ahmad Syauqi. 1999. Nilai Kesehatan dalam Islam. Jakarta : Bumi
Aksara.

13

Anda mungkin juga menyukai