Anda di halaman 1dari 6

MERUNTUHKAN KLAIM BUDAYA ASLI

Oleh: Abahe Ramona

Beberapa waktu lalu, salah seorang Hakim MK, Hidayat Arif,


mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia menyatakan sebuah celetukan,
‘Agama-agama yang berasal dari luar aja diterima, masak dari leluhur sendiri
tidak diterima?’. Celetukan itu menanggapi maraknya protes disahkannya aliran
kepercayaan sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia. Pernyataan
tersebut, mendapatkan respon sangat positif di beberapa kalangan, misalnya,
Sosiolog UI (Universitas Indonesia), Dr. Thamrin Tomagola, yang sangat
menyukai kalimat yang dilontarkan oleh Hidayat Arif. 1 Pernyataan tersebut
kemudian disebarkan oleh media Online partisan, seword, dan mendapat beragam
tanggapan positif dari ‘like, ‘share’, maupun komentar.
Klaim Budaya Asli, Agama Leluhur, atau sejenisnya, mempunyai jejak
rekam yang sangat panjang dalam Sejarah Indonesia. Mereka pada umumnya
menghadapkan entitas keislaman dengan entitas kebudayaan. ‘Pandangan hidup
luar’ dihadapkan dengan ‘pandangan hidup domestik’ yang katanya orisinil. Jejak
rekam tertua dapat dilihat pada pemikiran Raffles yang tertuang dalam History of
Java, yang menyatakan bahwa Hindhu merupakan budaya yang melandasi
peradaban Jawa. Kemudian, beberapa etnolog Barat, seperti Van Valenhoeven,
mempertentangkan antara hukum syariah, dengan hukum adat yang sudah hidup
di tengah masyarakat. kemudian kelompok misionaris Kristen sejak akhir abad 19
membenturkan keislaman di tengah penduduk, dengan ‘agama asli’ yang dianut
oleh bagian besar suatu masyarakat.2 Di era selanjutnya, digunakan oleh
kelompok sosialis (Komunis & Marhaenisme) untuk menunjukkan sikap bahwa
mereka anti terhadap kepercayaan asing.3 Jejak rekam pembenturan ini lah yang

1 Sosiolog UI: Agama Impor Kita akui, Masa Agama Leluhur tidak? Sebagaimana yang
termuat dalam Jawa Pos Online, https://www.jawapos.com/nasional/08/11/2017/sosiolog-ui-
agama-impor-kita-akui-masa-agama-leluhur-tidak/ , diakses pada tanggal 13 September 2019

2 Emanuel Garrith Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Yogyakarta: Kanisius, 2013),


hlm. 121-122
3 Hal ini dapat dilihat dari catatan Cliffored Geertz tentang perkumpulan acara Permai,
tentang pentingnya membuang agama-agama asing, terutama islam. Clifford Geertz, Agama Jawa:
menjadi salah satu alasan yang digunakan oleh Muh. Natsir menulis sebuah surat
terbuka kepada Ketua MPR pada tahun 1978.4
Dilihat dari ilmu Anthropologi, tidak ada sesuatu yang disebut dengan
‘asli’, karena kebudayaan senantiasa berubah. Menurut Muji Sutrisno dalam buku
Teori-teori Kebudayaan, unsur dari kebudayaan yang tetap hanya lah perubahan
itu sendiri.5 sedangkan dalam Ilmu Anthropologi (Etnologi), dinamika sebuah
masyarakat selalu ditentukan oleh berbagai hal, yang berhubungan dengan
perpindahan tempat dan persentuhan dengan budaya luar. Hal ini diperkuat
dengan munculnya kebudayaan popular, sebuah kebudayaan yang muncul karena
semakin derasnya persentuhan dengan budaya luar. Semakin banyak informasi
yang diterima dengan keadaan luar teritori, semakin cepat sebuah kebudayaan
berubah. Karena salah satu watak dasar dari manusia adalah melakukan imitasi
atau peniruan.6
Dilihat secara logika, Titik tolak untuk menentukan keaslian sebuah
budaya merupakan hal yang absurd. Misalnya untuk menentukan ‘leluhur’ atau
‘keaslian’ kebudayaan Jawa, titik tolaknya berasal dari Mataram II, sebagaimana
ciri-ciri kebudayaan Jawa yang sering diperlihatkan, seperti kebaya, blangkon,
keris, batik, kereta garudha, dst. Atau, jika menilik titik tolaknya kepada kerajaan
pra-Islam, maka hanya dijumpai sebuah ‘peradaban’ yang belum mengenal
adanya pakaian, sistem kasta yang kaku, dan pengorbanan rakyat yang ditujukan
untuk memenuhi selera kaum bangsawan.7 Jika ‘titik tolak’ keaslian dari budaya,
ditentukan pada masa pra Hindhu-Budha, maka hanya dijumpai kehidupan
manusia Jawa masih nomaden, tidak mengenal huruf, dan kehidupan primitif

Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, (terj. Aswab Mahasn & Bur Basuanto, (Jakarta
: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 159
4 Mas’oed Abidin, Gagasan Dan Gerak Dakwah Mohammad Natsir, (Yogyakarta:
GrePublishing, 2016), hlm. 343
5 Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed, Teor-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), hlm. 7
6 Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Anthropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.
114
7 Tanthra merupakan identik dengan upacaara ritual pada zaman raja Hindhu terdahulu,
yang diisi dengan acara minum, pesta seksual, dan beragam bentuk lainnya, termasuk
pengorbanan. Dan mencapai puncaknya pada masa Raja Adhityawarman (sebagaimana dilihat dari
patung yang ada di museum Nasional, Jakarta).
karena belum bersentuhan dengan budaya mana pun.8 Karena, lintasan waktu
budaya itu membentang sangat panjang sampai ribuan tahun, yang tidak
memungkinkan mengambil satu titik dari lintasan sangat panjang ini sebagai
bentuk ‘keaslian’.
Pada umumnya, Titik pangkal budaya sebuah daerah, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh para pakar anthropologi fisik, adalah dengan mengurai asal
usul pertama manusia, dengan menggunakan Teori Evolusi9. Pada kasus di Jawa,
terkenal dengan penemuan nenek moyang Jawa yang ditemukan di daerah
Sangiran (10 km di utara Kota Surakarta), dengan nama Homo Soloensis. Tetapi,
teori evolusi yang digunakan untuk menentukan ‘leluhur Jawa’ ini merupakan
sebuah Theory in Crissis, sebuah penjelasan yang tidak pernah terbukti
kebenarannya, tetapi dirasa ‘paling masuk akal’, daripada mengambil teori
‘penciptaan langsung’ (creation theory), yang tidak mungkin diterima oleh
paradigma keilmuan sekuler.10
Ketika Teori Evolusi dipertanyakan kebenarannya, perkembangan
kontemporer diwarnai dengan penemuan-penemuan yang memastikan bahwa
seluruh umat manusia di dunia, berasal dari sepasang manusia, dengan melacak
DNA yang dimiliki oleh semua manusia di dunia. Beberapa penemuan tersebut
antara lain adalah Steve Olson, dalam Best seller –nya, Mappinng Human
History: Gen, Ras, dan Asal Usul Manusia, yang memperkirakan pasangan itu
hidup sekitar 150 ribu tahun yang lalu.11 Selain Steve Olson, penelitian dengan
hasil yang hampir serupa dilakukan oleh Mark Stoeckle dan David Tholer, yang

8 Menurut catatan Thomas Raffles, sebgaimana yang dinukil oleh Dennys Lombard,
jumlah penduduk Jawa pada awal abad ke 19 sebanyak 4 juta orang, dan pada abad ke 16 hanya
berjumlah 1-2 juta orang (Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 1: Batas Pembaratan,
(Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 22)
9 Hal ini juga dapat dilihat dari buku Guru Besar yang sering dijadikan rujukan dalam
ilmu Anthropologi di Indonesia, yaitu karya Prof. Koentjoroningrat, Pengantar Ilmu Anthropologi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 49
10 Bahkan dalam berbagai fakta sejarah keilmuan, teori evolusi dipenuhi oleh berbagai
skandal penipuan, yang seharusnya menurunkan tingkat kepercayaan terhadap teori ini. Amin
Setyo Leksono, Sejarah Kehidupan: Perspektif Evolusi dan Kreasi, (Malang: Universitas
Brawijaya Press, 2012), hlm. 83
11 Steve Olson, Mapping Human History: Gen, Ras, Dan Asal Usul Manusia, (Jakarta:
Serambi, 2006), hlm. 44
mengungkapkan perbedaan ras milyaran manusia, berasal dari satu pasang.12 Jika
teori ini digunakan, maka sangat dimungkinkan untuk mengaitkan pasangan homo
sapiens ini dengan Adam dan Hawa.
Tetapi penemuan-penemuan tentang manusia awal ini juga terdapat
kelemahan, karena masih berpijak juga dengan paradigma evolusionis. Yaitu
perubahan bentuk dari satu ras ke ras lainnya, karena dipengaruhi oleh faktor
adaptasi terhadap lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat secara kasat mata,
misalnya migrasi orang China dan Arab ke Indonesia dari ribuan tahun tahun lalu,
tidak tampak adanya perubahan. Karena hidung mancung, rambut kriting, mata
lebar atau sipit, tidak mempunyai hubungan dengan kondisi alam. Orang Jawa
masih memiliki tipe fisik yang sama sebagaimana yang tergambar di relief Candi
Borobudur, sedangkan etnis keturunan China atau Arab, masih sama seperti ras di
daerah asalnya.
Pernah suatu saat Rasulullah ditanya tentang bagaimana asal mula
perbedaan ras manusia, maka rasulullah menjawabnya:
Sungguh, Allah menciptakan Adam dari suatu genggaman yang Ia
ambil dari seluruh bumi, lalu keturunan Adam muncul sepenuh bumi,
diantaranya ada yang berkulit putih, merah, hitam dan campuran antara
semua warna itu, ada yang berwatak lembut dan menurut, dan ada yang
berwatak keras, juga ada yang wataknya campuran di antara keduanya, ada
yang buruk dan ada yang baik, ada juga campuran di antara keduanya13

Hadits tersebut jika ditafsirkan secara bil ilmi, maka Adam memiliki
‘kelainan’ genetika yang tidak dimiliki oleh para keturunannya, yaitu mengandung
beberapa penurunan sifat bermacam-macam, sehingga melahirkan variasi
keturunan, dari hitam, putih, atau campuran. Sehingga, masing-masing ras
memiliki satu pasang nenek moyang yang merupakan anak dari Nabi Adam.

12 Reza Gunanda, Ilmuwan Temukan DNA Manusia Berasal dari Sejoli Adam dan
Hawa,
https://www.suara.com/news/2018/11/26/160618/ilmuwan-temukan-dna-manusia-berasal-dari-
sejoli-adam-dan-hawa, diakses pada tanggal 10 September 2019
13 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Hadits yang berisi matan serupa, jua
diriwayatkan oleh beberapa perawi hadits lainnya, seperti Abu Dawin, At Tirmidzi dan Ibn Hibban
dalam masing-masing Shahihnya, dengan jalur periwayatan yang berbeda.
Penjelasan ‘agama’ ini jauh lebih masuk akal, dibandingkan penjelasan tentang
asal-usul manusia dari para anthropolog fisik.
Dalam Islam sendiri, hal yang ghaib bukan hanya berbentuk makhluk
bereksistensi (seperti setan, iblis, malaikat, dst). Hal yang ghaib, punya cakupan
makna yang sangat luas, yaitu meliputi segala sesuatu yang tidak diketahui oleh
manusia, termasuk sejarah masa lampau dari umat manusia itu sendiri. Dalam
Islam, untuk urusan yang tidak diketahui (hal yang ghaib), maka wajib
mendahulukan wahyu dibandingkan spekulasi-spekulasi yang bersifat pseudo-
science (seperti Teori Evolusi). Ilmu pengetahuan hanya bisa menjangkau hal-hal
yang nampak. Dalam hal asal mula manusia, ilmu pengetahuan memang bisa
membuktikan bahwa manusia berasal dari pasangan manusia, tetapi lewat wahyu,
dapat diketahui nama pasangan tersebut (Adam dan Hawa) dan tujuan
diciptakannya (yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt).
Sehingga dengan wahyu, tidak saja diketahui asal usul keaslian manusia,
tetapi juga diketahui hakekat/keaslian dari tujuan diciptakan manusia itu sendiri.
Keaslian manusia diasalkan dari Allah dengan manusia pertama Adam, dan para
keturunan Adam diberikan syariat, agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai
hamba Allah.14 sedangkan Syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah
syariat yang bersifat Universal, bukan partikular. Jika teori-teori spekulasi, seperti
teori evolusi, demokrasi, Trias Politica (termasuk MK masuk dalam bagan Trias
Politica), Nation-State, dianut dan dijadikan landasan sistem bernegara, maka
pertanyaan selanjutnya: kenapa prinsip Universal yang berasal dari terciptanya
langsung umat manusia, harus ditolak dengan tegas, sedangkan konsep dari
Barat yang belum terbukti kebenarannya diterima dan dijalankan sepenuh hati?
Dari penjabaran di atas maka, yang disebut budaya asli, jika ditelisik
secara mendalam, tidak ada. Jika yang dinamakan budaya asli adalah tentang asal-
usul manusia itu sendiri, maka hanya bertemu pada Nabi Adam. Dan terciptanya
Nabi Adam dan keturunannya, adalah untuk beribadah kepada Allah. dan untuk

14 Dalam beberapa ayat, mengindikasikan bahwa Allah mengirimkan rasul dan Nabi
pada semua umat (Al Isra’ 15, Al Fathir: 24). Dan dalam suatu hadits dikatakan bahwa Allah
mengirim 124 ribu Nabi yang disebarkan ke seluruh dunia, di sepanjang sejarah umat manusia,
sebelum kedatangan Nabi Muhammad (HR Ahmad).
beribadah kepada Allah, diperlukan syariat, dan syariat terakhir dibawa oleh Nabi
Muhammad. Sifat Syariat ini adalah Universal, bahkan lebih Universal dan tetap,
daripada konsep-konsep yang dipercaya universal lainnya, seperti ‘demokrasi’ ,
‘HAM’ ataupun ‘Nation State’. Sebagai suatu konsep yang universal, maka tidak
perlu dipertentangkan dengan aspek-aspek lokalitas.

Anda mungkin juga menyukai