- PECC -
PROVIDER MANUAL
Edisi 1, Cetakan 1
Penyunting:
Saptadi Yuliarto
Penyusun:
Dyahris Kuntartiwi
Kurniawan Taufiq Kadafi
Renny Suwarniaty
Saptadi Yuliarto
UK Emergensi dan Rawat Intensif Anak
UK Kardiologi Anak
Malang
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah, Penguasa semesta alam, karena berkat ridha-Nya kami
dapat menyelesaikan buku, serta menyelenggarakan Pediatric Emergency Cardiac
Care (PECC) Course yang pertama. Buku dan pelatihan ini dibuat untuk menjawab
kebutuhan tenaga medis dan paramedis dalam menangani kasus henti jantung,
bradikardia, dan takiaritmia yang mengancam nyawa. Sebagian besar gangguan irama
dan henti jantung anak adalah sekunder akibat asfiksia/hipoksia, yang dapat dicegah
dengan deteksi dan tatalaksana kegawatan yang cepat dan adekuat. Namun,
meningkatnya kasus penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, miokarditis, kelainan
genetik, dan kasus pasca bedah jantung, menyebabkan henti jantung mendadak
(sudden cardiac arrest) dan gangguan irama makin meningkat. Tak pelak, dibutuhkan
keahlian tim resusitasi dalam penanganan kegawatan jantung.
Agar pelatihan ini berjalan optimal, seyogyanya peserta telah memiliki
keahlian (atau sertifikasi) bantuan hidup dasar (basic life support, BLS). Selain itu,
untuk meningkatkan validitas pelatihan, seluruh isi materi didasarkan pada algoritma
pediatric advanced life support (PALS) dari American Heart Association (AHA) tahun
2016. Beberapa modifikasi dibuat untuk meningkatkan keberhasilan tatalaksana
gawat jantung, antara lain penggunaan ultrasonografi pada kasus henti jantung anak.
Luaran yang diharapkan adalah peserta memahami dan mampu menangani kasus
kegawatan jantung sebagai leader tim resusitasi.
Masih banyak kekurangan dalam buku dan pelatihan ini. Kritik dan saran kami
perlukan demi perbaikan ke depan. Kami berharap, melalui buku dan pelatihan ini,
seluruh rumah sakit mampu memberikan penanganan optimal dan menurunkan
kematian akibat gawat jantung. Kami selalu berusaha untuk meng-update panduan
yang ada pada pelatihan-pelatihan berikutnya.
Salam hormat,
Saptadi Yuliarto
Course Director
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................ i
ii
1
ELEKTROKARDIOGRAFI PRAKTIS DASAR
TUJUAN PEMBELAJARAN
b. Mampu menghitung heart rate, P-P interval, R-R interval, P-R interval, QRS complex, dan
QT interval
PENDAHULUAN
Pada kegawatan jantung karena gangguan irama, deteksi awal dan terapi cepat
menjadi kunci keberhasilan penanganan pasien. Terapi spesifik sangat bergantung
pada jenis gangguan irama sehingga dibutuhkan kemampuan membaca
elektorkardiografi (EKG) secara cepat. Kemampuan yang dibutuhkan adalah
menghitung frekuensi denyut jantung dan menentukan sumber aktivitas listrik.
Penentuan aksis jantung tidak dibahas dalam bab ini karena pada sebagian besar
kasus tidak mempengaruhi terapi emergensi.
Jantung memiliki sistem khusus untuk: (1) menghasilkan impuls elektrik ritmis
yang menyebabkan kontraksi ritmis miokardium, dan (2) mengkonduksikan impuls
elektrik secara cepat ke seluruh jantung. Bila sistem ini berfungsi normal, atria akan
berkontraksi 1/6 detik sebelum ventrikel, yang memungkinkan pengisian ventrikel
sebelum memompa darah ke seluruh tubuh. Selain itu, sistem ini memungkinkan
1
seluruh bagian ventrikel berkontraksi secara simultan, yang penting dalam
menghasilkan tekanan ventrikel secara efektif.1
Secara normal, impuls elektrik jantung dimulai dari sinoatrial node (SA node),
melewati jalur internodal menuju atrioventricular node (AV node), titik perlambatan
impuls sebelum menuju ventrikel. Selanjutnya, impuls yang telah diperlambat akan
melewati atrioventricular bundle (AV bundle) atau bundle of His yang akan
meneruskan impuls menuju cabang kanan dan kiri serabut Purkinje, untuk
selanjutnya diteruskan ke seluruh ventrikel (gambar 1.1).
Gambar 1.1. Perjalanan impuls elektrik jantung dan gelombang yang terbentuk
SA node yang terletak pada dinding atas atrium kanan merupakan pacu
jantung utama. SA node menghasilkan detak jantung sebesar 60-100 kali per menit
dan dipengaruhi oleh kedua tonus simpatis dan parasimpatis. Depolarisasi pada otot
atrium cukup memproduksi gelombang yang menyebabkan defleksi pada EKG berupa
gelombang P. Gelombang depolarisasi berlanjut ke AV node yang berlokasi dekat
dengan perbatasan septum atrium dan ventrikel. Irama intrinsik pada AV node adalah
40-60 kali per menit. Gelombang melambat pada AV node sehingga menghasilkan
interval PR. Dengan perlambatan ini terjadi kontraksi atrium (sehingga pengisian
ventrikel komplit).
2
Gelombang kemudian keluar dari nodus AV ke AV bundle (bundle of His) yang
bercabang menjadi kanan dan kiri. Depolarisasi awal septum interventrikular berawal
dari bagian kiri ke bagian kanan. Gelombang berjalan secara simultan melalui cabang
kanan dan kiri serabut Purkinje ke arah miokardium ventrikel dan terbentuklah
gelombang QRS complex. Irama intrinsik pada serabut Purkinje adalah 15-40 kali per
menit.Setelah itu terjadi repolarisasi ventrikel yang memproduksi gelombang T pada
EKG.2
Konfigurasi Elektrokardiografi
R
Interval R-R
T
Segmen
Segmen
P PR
S-T
Interval P-R
Q
S
Interval Q-T
Kompleks QRS
Gambar 1.2. Konfigurasi Elektrokardiogram
Terdapat beberapa gelombang dan jarak yang penting untuk dibaca dan
diinterpretasikan dalam elektrokardiogram (EKG) (gambar 1.2).
• Gelombang P : depolarisasi atrium
• Gelombang Q : defleksi negatif pertama saat depolarisasi ventrikel
• Gelombang R : defleksi positif pertama setelah Q pada depolarisasi ventrikel
3
• Gelombang S : defleksi negatif pertama setelah R pada depolarisasi ventrikel
• Gelombang R’ : defleksi positif kedua pada depolarisasi ventrikel
• Gelombang S : defleksi negatif kedua pada depolarisasi ventrikel
• Gelombang T : defleksi akibat repolarisasi ventrikel
• Gelombang U : defleksi setelah gelombang T sebelum gelombang P
• Interval P-R : waktu dari awal P sampai awal kompleks QRS
• Interval R-R : waktu antara 2 puncak R yang berurutan
• Durasi QRS : diukur dari awal gelombang Q sampai akhir gelombang S; merupakan
waktu depolarisasi ventrikel
• Interval Q-T : diukur dari awal gelombang Q sampai akhir gelombang T, merupakan
waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel
• Interval Qo-T : diukur dari awal Q sampai awal T, merupakan waktu dari awal
depolarisasi sampai awal repolarisasi ventrikel
Gelombang P
Irama jantung yang normal pada semua umur dikenal dengan irama sinus.
Karakteristik irama sinus adalah apabila gelombang P diikuti oleh kompleks QRS dan
aksis P yang normal berada pada 0 sampai +90 derajat. Perhitungan aksis P dengan
hasil aksis P normal berada di kuadran satu menentukan irama jantung sinus atau
tidak sinus. Pada irama sinus interval P-R regular tapi tidak harus berada pada
interval yang normal. Contohnya pada Blok AV derajat satu didapatkan pemanjangan
interval PR.
4
Gambar 1.3. Gambaran gelombang p berdasarkan sumber impus elektrik. Tampak perbedaan
antara irama sinus yang berasal dari high right atrial (A) dan irama non sinus yang berasal
dari fokus ektopik di low atrial (B).
Pada aksis P normal yang berada antara 0 sampai +90 derajat, gelombang P
harus positif pada sandapan I dan aVF (gambar 1.3). Inspeksi sederhana pada kedua
sandapan ini cukup memadai. Pada aksis P normal didapatkan gelombang P positif di
sandapan II dan gelombang P terbalik pada aVR.
Durasi QRS
5
Interval P-R
Interval P-R adalah jarak antara awal gelombang P sampai awal kompleks QRS,
yaitu awal gelombang Q atau awal gelombang R jika Q tidak ada. Nilai normal lihat
Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Interval PR dengan laju jantung dan umur dan nilai batas atas
6
Interval Q-T, QoT, dan QoTc.
Interval Q-T adalah waktu antara awal gelombang Q sampai akhir T, jadi
menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Interval
Qo-T adalah waktu antara awal gelombang Q sampai awal gelombang T, sehingga
hanya menggambarkan depolarisasi ventrikel kiri. Interval Qo-Tc adalah interval Qo-T
setelah dibagi dengan akar interval R-R pada tempat yang sama. Nilai normal Qo-Tc
tidak lebih dari 0,2 detik. Interval Qo-Tc memanjang pada:
1. Hipokalsemia.
2. Karditis reumatik.
3. LVH/RVH
4. Iskemia miokardium.
5. Pemberian kuinidin.
Interval Qo-Tc memendek pada:
1. Pemberian digitalis.
2. Hiperkalsemia.
Ada berbagai cara untuk menghitung frekuensi denyut jantung, namun semua
tergantung skala dan waktu yang dipakai pada kertas EKG. Kertas EKG terdiri dari
kotak kecil, kotak sedang, kotak besar. Sumbu horizontal menunjukkan waktu dan
sumbu vertikal menunjukkan amplitudo. Rekaman standar dibuat dengan kecepatan
25 mm/detik, dan defleksi vertikal setinggi 10 mm menunjukkan perbedaan potensial
sebesar 1 milivolt. Kecepatan kertas maupun besarnya defleksi dapat diatur pada
mesin EKG. Setiap penyimpangan dari standar harus dicantumkan oleh pembuat
rekaman EKG. Bila tidak ada keterangan, berarti kecepatan EKG adalah 25 mm/detik,
dan defleksi 10 mm menunjukkan beda potensial sebesar 1 milivolt. Dengan demikian
setiap kotak kecil waktunya adalah 0.04 detik (gambar 1.4).
7
Gambar 1.4. Gelombang berbentuk kotak pada awal adalah tanda kalibrasi dengan besaran 1 mV.
Ukuran 10 mm pada kertas setara dengan 1 mV. Kecepatan EKG 25 mm.detik. Setiap 1 mm = 0,04 detik
dan setiap kotak besar (5 mm) = 0,2 detik. Waktu antara dua defleksi positif atau antara 2 gelombang R
disebut dengan interval RR.
Gambar 1.5. Frekuensi denyut jantung 166 kali per menit. Interval R-R (jarak antara kedua puncak R)
adalah 9 kotak kecil, berarti frekuensi denyut jantung adalah 1500/9 = 166
8
Gambar 1.6. Estimasi cepat penentuan frekuensi denyut jantung. Bila interval R-R adalah 5 mm, detak
jantung 300 kali per menit. Bila interval R-R 10 mm, detak jantung 150 kali per menit dan seterusnya.
RINGKASAN
1. Irama jantung normal adalah irama sinus, dengan karakteristik:
a. gelombang P diikuti oleh kompleks QRS
b. aksis P normal berada pada 0 sampai +90 derajat.
2. Frekuensi denyut jantung dihitung dengan rumus: 1500/jumlah kotak kecil
antara 2 puncak R.
3. Durasi QRS adalah waktu (detik) antara permulaan gelombang Q (R bila Q
tidak ada) sampai akhir gelombang S. Biasanya dinilai pada lead V1 dan V6
4. Interval R-R adalah waktu anatar 2 puncak R yang berturutan
5. Interval P-R adalah jarak antara awal gelombang P sampai awal kompleks QRS,
yaitu awal gelombang Q atau awal gelombang R jika Q tidak ada.
6. Interval QT adalah jarak antara awal gelombang Q sampai akhir gelombang T,
merupakan waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel.
REFERENSI
1. Guyton AC, Hall JE. Rhythmical Excitation of the Heart. In: Textbook of Medical
Physiology. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
2. Park MK. Electrocardiography. In: Park: Pediatric Cardiology for Practitioners.
Texas: Mosby Elsevier; 2008.
9
2
TATALAKSANA HENTI JANTUNG PADA ANAK
Saptadi Yuliarto
TUJUAN PEMBELAJARAN
PENDAHULUAN
Berbeda dengan orang dewasa, henti jantung (cardiac arrest) pada bayi dan
anak-anak biasanya tidak disebabkan oleh kelainan jantung primer, namun
merupakan tahap akhir syok atau kegagalan pernapasan progresif; sehingga dapat
disebut pula sebagai hypoxic, asphyxial, atau hypoxic-ischemic arrest. Henti jantung
mendadak akibat aritmia ventrikel terjadi hanya pada 5-15% dari seluruh henti
jantung anak. Meskipun shockable rhythm (ventricular fibrillation [VF] atau pulseless
ventricular tachycardia [pVT]) hanya terjadi pada 14% kasus anak, kejadiannya
meningkat seiring dengan usia dan harus dicurigai pada pasien dengan kolaps
mendadak. Beberapa penelitian menunjukkan kematian mendadak pada remaja
berkaitan dengan penyakit jantung primer.1
Angka kesintasan henti jantung pada anak bervariasi tergantung pada lokasi
serangan dan irama jantung yang mendasari. Berdasarkan lokasinya, angka
kesintasan lebih tinggi pada henti jantung di dalam rumah sakit (in-hospital cardiac
arrest, IHCA) sebesar 43%, dibandingkan dengan di luar rumah sakit (out-hospital
cardiac arrest, OHCA) sebesar 8%. Sedangkan, berdasarkan irama yang mendasari,
shockable rhythm memiliki angka kesintasan lebih tinggi (25-34%) dibandingkan
dengan asistole (7-24%).2
Karena rendahnya angka kesintasan dan tingginya sekuel neurologis, 3 hal
yang harus diperhatikan pada kasus kegawatan jantung adalah: (1) pencegahan
10
perburukan penyakit, (2) pengenalan dan tatalaksana dini kegawatan napas dan
sirkulasi, dan (3) tindakan resusitasi jantung paru yang cepat dan adekuat.
DEFINISI
FAKTOR PEMICU
Respirasi Sirkulasi Aritmia
Gagal napas
Gagal kardiorespirasi
HENTI JANTUNG
Gambar 2.1. Jalur terjadinya henti jantung pada anak. (Dikutip dan dimodifikasi dari Pediatric Advanced
Life Support. American Heart Assosciation)
ETIOLOGI
11
Henti jantung mendadak jarang dijumpai pada anak; seringkali disebabkan
oleh ventricular fibrillation (VF) dan pulseless ventricular tachycardia (pVT). Penyakit
yang mendasari antara lain: kardiomiopati, anomali arteri koroner, sindrom long-QT,
channelopathy, miokarditis, dan intoksikasi obat (digoksin, efedrin, kokain).Untuk
mempermudah deteksi penyebab henti jantung reversibel, digunakan mnemonic: 6H
dan 5T, yaitu:
H T
Hipovolemia Tension pneumothorax
Hipoksia Tamponade
Hidrogen (asidosis) Toksin
Hipoglikemia Trombosis koroner
Hipo-/hiperkalemia Trombosis pulmonal
Hipotermia
Tatalaksana henti jantung pada anak meliputi: (1) deteksi dini, (2) bantuan
hidup dasar dengan high-quality cardiopulmonary resuscitation (CPR), (3) penilaian
irama jantung, (4) pemasangan akses vaskular, (5) defibrilasi, (6) terapi
medikamentosa, dan (7) tatalaksana jalan napas lanjut.
Henti jantung harus dicurigai pada anak yang menunjukkan tanda-tanda klinis:
a. Kehilangan kesadaran atau tidak responsif
b. Tidak bernapas atau napas gasping
c. Tidak teraba nadi sentral (penilaian kurang dari 10 detik)
Jika anak tidak sadar, tidak bernapas, atau gasping, raba nadi sentral (brakial pada
bayi, karotis atau femoral pada anak). Bila dalam waktu 10 detik tidak teraba nadi
sentral atau tidak yakin adanya pulsasi nadi sentral, segera lakukan RJP, dimulai
dengan kompresi dada (gambar 2.2 dan 2.3).
12
Pastikan lokasi aman
RJP
1 penolong: 30 kompresi 2 ventilasi
(rasio 15:2 bila penolong kedua datang)
Gunakan AED secepatnya
Berikan 1 shock. Ulangi RJP secepatnya Ulangi RJP secepatnya selama 2 menit
selama 2 menit (sampai diperintahkan (sampai diperintahkan oleh AED untuk
oleh AED untuk analisis irama). analisis irama).
Lanjutkan sampai bantuan tiba atau Lanjutkan sampai bantuan tiba atau
korban mulai menujukkan tanda korban mulai menujukkan tanda
kehidupan kehidupan
Gambar 2.7. Algoritme Bantuan Hidup Dasar untuk Henti Jantung Anak untuk satu penolong. (Dikutip
dengan modifikasi dari Pediatric basic life support and cardiopulmonary resuscitation quality: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care).
13
Pastikan lokasi aman
RJP
1 penolong: 30 kompresi 2 ventilasi.
Bila penolong kedua datang, gunakan
rasio 15:2 (kompresi : ventilasi)
Gunakan AED secepatnya
Berikan 1 shock. Ulangi RJP secepatnya Ulangi RJP secepatnya selama 2 menit
selama 2 menit (sampai diperintahkan (sampai diperintahkan oleh AED untuk
oleh AED untuk analisis irama). analisis irama).
Lanjutkan sampai bantuan tiba atau Lanjutkan sampai bantuan tiba atau
korban mulai menujukkan tanda korban mulai menujukkan tanda
kehidupan kehidupan
Gambar 2.8. Algoritme Bantuan Hidup Dasar untuk Henti Jantung Anak untuk dua atau lebih
penolong. (Dikutip dengan modifikasi dari Pediatric basic life support and cardiopulmonary
resuscitation quality: 2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care)
Kunci keberhasilan bantuan hidup dasar dan lanjut adalah resusitasi jantung
paru (RJP) berkualitas tinggi (high-quality CPR), yang meliputi: kecepatan dan
kedalaman yang cukup, rekoil komplit, interupsi minimal, dan menghindari ventilasi
berlebihan (tabel 2.1).
14
Tabel 2.1. Komponen RJP Berkualitas tinggi (High Quality CPR)
Push fast Kecepatan kompresi 100-120 kali/menit atau 15-18 detik tiap
siklus
Push hard Kedalaman kompresi minimal 1/3 diameter anteroposterior dada
pasien:
• Sekitar 1,5 inch (4 cm) pada bayi (<1 tahun)
• Sekitar 2 inch (5 cm) pada anak (≥1 tahun – pubertas)
• Minimal 2 inch (5 cm) dan tidak lebih dari 2,4 inch (6 cm)
pada pubertas/remaja
Allow Complete Recoil Memberi kesempatan dinding dada kembali ke posisi semula
setiap kompresi untuk meningkatkan aliran darah balik vena
Minimize Interruption Membatasi interupsi kompresi dada ≤10 detik, pada saat
memberikan ventilasi, memeriksa nadi, dan memberikan shock
Avoid Excessive Ventilation Setiap rescue breath diberikan selama kurang lebih 1 detik dan
cukup ditandai oleh kenaikan dinding dada. Bila alat jalan napas
lanjut (endotrachal tube, supraglottic airway) telah dipasang,
berikan 10 ventilasi tiap menit (1 napas tiap 6 detik).
Anak Bayi
Komponen Remaja dan Dewasa (usia 1 tahun sampai (usia di bawah 1 tahun, kecuali
pubertas) neonatus)
• Pada satu penolong • Kejadian kolaps disaksikan (witnessed collapse):
tanpa telepon Ikuti langkah-langkah seperti pada korban remaja
genggam, tinggalkan dan dewasa
korban untuk • Kejadian kolaps tidak disaksikan (unwitnessed
mengaktivasi sistem collapse), 1 penolong: Lakukan RJP selama 2 menit,
tanggap darurat dan kemudian tinggalkan korban untuk mengaktivasi
mengambil AED sistem tanggap darurat dan mengambil AED.
Aktivasi sistem sebelum memulai RJP Selanjutnya segera kembali ke korban untuk
tanggap darurat • Pada 2 penolong, satu melakukan RJP dan menggunakan AED
orang mengaktivasi
sistem tanggap
darurat dan
mengambil AED, satu
orang segera
melakukan RJP
Rasio kompresi : 1 atau 2 penolong 30:2 1 penolong 30:2
ventilasi tanpa 2 penolong atau lebih 15:2
alat jalan napas
lanjut (advanced
airway)
15
Rasio kompresi : Kompresi dengan kecepatan 100-120 kali per menit
ventilasi dengan Ventilasi 1 napas tiap 6 detik (10 kali ventilasi per menit)
alat jalan napas
lanjut (advanced
airway)
Minimal 2 inch (5 cm), Minimal 1/3 diameter Minimal 1/3 diameter
Kedalaman
tidak lebih dari 2,4 inch anteroposterior dada anteroposterior dada
kompresi
(6 cm) (sekitar 2 inch [5 cm]) (sekitar 1,5 inch [4 cm])
2 tangan pada bagian 2 atau 1 tangan pada 1 penolong two-fingers
separuh bawah sternum bagian separuh bawah technique: 2 jari (telunjuk
sternum dan tengah) pada mid-
sternum, di bawah garis
Penempatan
putting susu
tangan
2 penolong atau lebih two
thumbs-encircling technique:
2 ibu jari pada mid-sternum,
di bawah garis putting susu
Ventilasi tanpa 1 ventilasi tiap 5-6 detik 1 ventilasi tiap 3-5 detik (12-20 kali per menit)
kompresi (10-12 kali per menit)
16
Tabel 2.3. Karakteristik Fibrilasi Ventrikel (Ventricular Fibrillation, VF)
Gelombang p Tidak ada
Gelombang QRS Tidak jelas, hanya tampak gelombang yang tidak beraturan
dengan berbagai bentuk dan ukuran
Gelombang T Tidak ada
Frekuensi denyut jantung Tidak dapat dihitung
(A)
(B)
Gambar 2.4. Gambaran Fibrilasi Ventrikular (Ventricular Fibrillation, VF). (A) Coarse VF, tampak
gambaran gelombang tidak beraturan dengan berbagai ukuran dan bentuk. Tidak terdapat gelombang
p, QRS, dan T. (B) Fine VF, gambaran VF dengan amplitudo yang lebih kecil. Gelombang ini sering
dianggap sebagai asistole. Untuk memperjelas, sangat dianjurkan analisis ulang dengan memperbesar
amplitudo pada alat monitor atau EKG.
VF primer jarang pada anak; seringkali merupakan irama awal pada 5-15%
henti jantung dan merupakan irama yang terjadi di tengah resusitasi pada 27% kasus.
Penyebab tersering adalah kelainan bawaan atau channelopathy, seperti sindrom
Long-QT. Perlu dipertimbangkan pula kelainan reversibel 6H dan 5T.Luaran dan
kesintasan VF lebih baik dibandingkan dengan asistole dan PEA. Luaran dipengaruhi
oleh kecepatan deteksi, RJP, dan defibrilasi.
VT dapat disertai dengan nadi atau tanpa nadi. Karena perbedaan tatalaksana,
pada setiap kasus VT harus diperiksa nadi sentral. VT dengan nadi akan dibahas pada
bab “takiaritmia”. Berbeda dengan VF, VT ditandai oleh gelombang QRS lebar yang
terorganisasi.
17
pVT dapat berupa gelombang monomorfik atau polimorfik. Torsades de pointes
merupakan salah satu contoh polimorfik pVT, yang sering dijumpai sebagai akibat
pemanjangan interval QT, keracunan obat, dan gangguan elektrolit (hipomagnesemia,
hipokalemia). Karakteristik dan gambaran VT dapat dilihat pada tabel 2.4 dan gambar
2.5.
Tabel 2.4 Karakteristik Takikardia Ventrikel (Ventricular Tachycardia, VT)
Gelombang p Seringkali tidak dapat diidentifikasi. Bila ada, sering tidak
berhubungan dengan QRS (AV dissociation)
Gelombang QRS Kompleks QRS lebar (>0,09 detik)
Gelombang T Tidak ada atau arah berlawanan dengan gelombang QRS
Frekuensi denyut jantung Regular, lebih dari normal sesuai usia (120 - >200 kali per menit)
(A)
(B)
Gambar 2.5. Gambaran Takikardia Ventrikel (Ventricular Tachycardia, VT). (A) VT monomorfik, dengan
frekuensi 250 kali/menit, tidak tampak gelombang p dan T; gelombang QRS lebar (>0,09 detik, dengan
bentuk gelombang yang sama. (B) VT polimorfik, gelombang QRS lebar namun bentuk gelombang
bervariasi. Pada jenis ini, tampak QRS berubah bentuk pada 1 titik (turning on a point), sehingga
disebut gelombang Torsades de pointes.
Asistole
Asistole adalah suatu keadaan jantung tidak bergerak dan tidak ada aktivitas
listrik. Gambaran berupa garis lurus pada EKG atau monitor (gambar 2.6); namun,
harus dipastikan bahwa elektrode EKG menempel sempurna pada tubuh pasien.
18
Gambar 2.6. Gambaran asistole berupa garis lurus (flat line) pada EKG
19
Mulai RJP
• Beri oksigen
• Pasang monitor/defibrilator
Ya Tidak
Rhythm
shockable?
VF/pVT Asistole/PEA
7 Shock
RJP 2 menit
• Akses IV/IO
Tidak
Rhythm
shockable?
Ya
7 Shock
RJP 2 menit
RJP 2 menit • Akses IV/IO
• Epinefrin tiap 3-5 menit • Epinefrin tiap 3-5 menit
• Pertimbangkan advanced airway • Pertimbangkan advanced airway
Tidak Ya
Rhythm Rhythm
shockable? shockable?
Ya
7 Shock Tidak
Ya
Rhythm
shockable?
Tidak
20
Akses Vaskular
Defibrilasi
Alat defibrilasi untuk anak adalah: (1) Automated external defibrillation (AED)
dan (2) Manual cardioverter/defibrillator.
Beberapa AED didesain untuk anak dan dewasa. AED ini mengalirkan dosis
shock lebih rendah bila pad anak digunakan. Gunakan pad anak pada korban usia <8
tahun. Bila tidak ada pad anak, gunakan pad dewasa. Pastikan pad tidak saling
bersinggungan atau bersentuhan pada penempatan di dada. Pad dewasa mengalirkan
dosis shock lebih tinggi, namun ini lebih baik daripada tidak dilakukan shock.
Ikuti instruksi penempatan pad sesuai petunjuk alat. Terdapat 2 cara
penempatan pad (sesuai petunjuk alat), yaitu: anterolateral dan anteroposterior
(gambar 2.8). Penempatan anteroposterior sering digunakan pada pasien anak.
21
A B
Gambar 2.8. Penempatan pad tipe anterolateral (A) dan anteroposterior (B)
22
Manual Cardioverter/Defibrillator
Dosis energi optimal untuk defibrilasi anak belum diketahui secara pasti,
namun dosis inisial 2-4 J/kg dianggap efektif. Self-adhesive electrode pad atau paddle
digunakan untuk mengalirkan energi shock kepada pasien. Self-adhesive pad lebih
disarankan karena penggunaan mudah, risiko lompatan listrik lebih rendah, dan
dapat digunakan untuk monitor. Gunakan ukuran self-adhesive pad terbesar yang
mencakup dinding dada tanpa ada sentuhan antara kedua pad. Jika menggunakan
paddle, berikan sejumlah gel, krim, atau pasta untuk mengurangi impedasi trans-
torasik. Gunakan ukuran paddle sesuai berat badan atau usia (tabel 2.5).
Tabel 2.5. Ukuran paddle sesuai berat badan atau usia
23
b. Lanjutan: >4 J/kg (tidak lebih dari 10 J/kg atau dosis standar dewasa)
6. Nyatakan “STAY CLEAR!”
7. Letakkan paddle atau pad di dada pasien (bila perlu, nyatakan “PADDLE ON THE
CHEST!”)
a. Anterolateral: dada kanan atas (infra mid-klavikula) dan dada kiri bawah (di
bawah puting susu, garis aksilaris anterior.
b. Anteroposterior: mid-sternum anterior dan mid-vertebra posterior
c.
8. Nyatakan “CHARGING DEFIBRILLATOR!” dan tekan tombol charge pada alat defibrilator
atau ujung paddle. Bila diperkirakan charging membutuhkan waktu >10 detik, lanjutkan
kompresi dada
9. Bila energi defibrilator terisi penuh, nyatakan “I AM GOING TO SHOCK ON 3!” kemudian
hitung dalam 3 hitungan dan pastikan:
a. Irama masih merupakan shockable rhythm
b. Aliran oksigen sudah dimatikan
10. Nyatakan “EVERYBODY CLEAR?” atau “CLEAR FOR SHOCK!” Bila tim resusitasi sudah
mengkonfirmasi dan kita mengamati bahwa tidak ada satupun yang memegang pasien,
lakukan shock dengan cara menekan kedua tombol shock di kedua paddle secara
bersamaan.
11. Setelah melakukan shock, segera letakkan paddle di mesin defibrilator, dan tim resusitasi
segera melanjutkan kompresi.
Terapi Medikamentosa
Terdapat 3 obat yang dapat diberikan pada henti jantung, yaitu: epinefrin,
amiodaron, dan lidokain. Dua obat terakhir hanya digunakan pada shockable rhythm.
Epinefrin
24
Tabel 2.6. Rute, Dosis, dan Cara Pemberian Epinefrin pada Henti Jantung
Obat Lain
Obat Dosis
Amiodaron 5 mg/kg IV/IO bolus (maksimum dosis tunggal 300 mg);
dapat diulang 5 mg/kg IV/IO bolus sampai total dosis 15
mg/kg (dosis maksimal 2,2 g) IV dalam 24 jam
Lidokain 1 mg/kg IO/IV
Magnesium 25-50 mg/kg IO/IV bolus, dosis maksimal 2 g
Berikan obat IO/IV selama kompresi dada
25
Ringkasan Tatalaksana Henti Jantung
Secara ideal, RJP hanya terhenti dalam waktu yang singkat (<10 detik) untuk
ventilasi, pemeriksaan denyut nadi sentral, dan pemberian shock. Persiapan dan
pemberian obat tidak membutuhkan interupsi RJP dan tidak harus menunda
pemberian shock. Berikut ringkasan tatalaksana pada henti jantung (gambar 2.9 dan
2.10).
Henti Defibrilator
jantung datang Epinefrin Anti-aritmia
A
26
Henti Defibrilator
jantung datang
Epinefrin, cari etiologi
RINGKASAN
1. Penyebab henti jantung terbanyak pada anak adalah hipoksia/asfiksia
2. Henti jantung dapat berupa shockable atau non-shockable rhythm
3. Shockable rhtyhm terdiri atas: VF dan pVT
4. Non-Shockable rhtyhm terdiri atas: asistole dan PEA
5. Kunci keberhasilan tatalaksana henti jantung adalah RJP berkualitas
tinggi (high-quality CPR):
a. Push fast: 100-120 kompresi per menit
b. Push hard: kedalaman 1/3 diameter AP dinding dada
c. Allow complete recoil
d. Minimize interruption: interupsi <10 detik
e. Avoid excessive ventilation: tiap tiupan 1 detik dan cukup dada
terangkat
6. Pada kasus shockable rhythm, defibrilasi harus segera dilakukan
a. Dosis awal 2-4 J/kg
b. Dosis lanjutan: >4 J/kg (tidak lebih dari 10 J/kg atau dosis standar
dewasa)
7. Obat-obatan dapat diberikan pada henti jantung anak:
a. Epinefrin pada kasus shockable dan non-shockable rhythm
b. Antiaritmia (amiodaron, lidokain, magnesium) pada kasus
shockable rhythm
27
REFERENSI
1. Atkins DL, Berger S, Duff JP, et al. Part 11: Pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association guidelines
update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation 2015;132(18):S519–25.
2. De Caen AR, Berg MD, Chameides L, et al. Part 12: Pediatric advanced life support: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation 2015;132(18):S526–42.
28
3
TATALAKSANA TAKIARITMIA PADA ANAK
Saptadi Yuliarto
TUJUAN PEMBELAJARAN
PENDAHULUAN
PATOFISIOLOGI
29
DEFINISI
Takikardia adalah denyut jantung yang cepat, melebihi normal sesuai usia
(tabel 3.1). Takiaritmia adalah takikardia yang disertai oleh irama abnormal, yang
bersumber dari atrium atau ventrikel.
Tabel 3.1. Nilai Normal Denyut Jantung Anak
KLASIFIKASI
ST adalah laju depolarisasi SA node yang lebih cepat daripada normal. Irama
ini sering terjadi pada kondisi tubuh yang memerlukan peningkatan curah jantung
atau hantaran oksigen, sehingga irama ini merupakan respon fisiologis normal (bukan
termasuk aritmia). Etiologi tersering adalah: aktivitasi fisik, nyeri, ansietas, hipoksia
jaringan, hipovolemia, syok, demam, stres metabolik, cedera, toksin/obat, dan anemia.
Karakterisitik dan gambaran ST dapat dilihat pada tabel 3.3 dan gambar 3.1.
30
Tabel 3.3. Karakteristik Takikardia Sinus (Sinus Tachycardia, ST)
Frekuensi denyut jantung Bervariasi pada tiap denyut, tergantung pada kadar aktivitas dan
stress (<220 kali/menit pada bayi, <180 kali/menit pada anak)
Gelombang p Ada, normal
Interval PR Konstan, durasi normal
Interval R-R Bervariasi
Gelombang QRS Kompleks QRS sempit (≤0,09 detik)
Gambar 3.1. Takikardia Sinus (Sinus Tachycardia, ST). Tampak denyut jantung 136 kali per menit,
gelombang P ada dan selalu diikuti oleh kompleks QRS sempit. Interval P-R selalu konstan dan normal.
Pada kasus ini interval R-R juga konstan.
SVT adalah irama jantung yang bersumber dari atas ventrikel, dengan
frekuensi sangat cepat. Penyebab tersering adalah mekanisme re-entry yang terjadi di
jalur aksesoris atau di dalam AV node. Penyebab lainnya adalah atrial flutter dan
ectopic atrial focus. Terminologi lama membagi SVT menjadi paroxysmal atrial
tachycardia dan paroxysmal supraventricular tachycardia. SVT disebut paroksismal
karena terjadi secara episodik, dan terjadi dan berhenti dengan tiba-tiba.
Selama episode SVT, fungsi kardiopulmonal dipengaruhi oleh usia, durasi SVT,
fungsi ventrikel sebelumnya, dan frekuensi denyut ventrikel. Pada bayi dengan fungsi
ventrikel normal, SVT dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala apapun dalam waktu
yang lama, sampai curah jantung menurun. Namun, pada pasien yang mengalami
gangguan miokardium (penyakit jantung bawaan atau kardiomiopati), SVT dapat
menimbulkan gejala syok dalam waktu yang cepat.
Gejala pada bayi meliputi: iritabilitas, malas minum, takipneu, mengantuk,
muntah, pucat, kulit mottled, atau sianosis. Sedangkan gejala pada anak, antara lain:
31
palpitasi, distress napas, nyeri dada, pusing, atau sinkop. Karateristik dan gambaran
SVT dapat dilihat pada tabel 3.4 dan gambar 3.2.
Tabel 3.4. Karakteristik Takikardia Supraventrikel (Supraventricular Tachycardia, SVT)
Frekuensi denyut jantung Tidak ada variabilitas pada tiap denyut (≥220 kali/menit pada
bayi, (≥180 kali/menit pada anak)
Gelombang p Tidak ada atau abnormal (dapat muncul setelah kompleks QRS)
Interval PR Karena gelombang p seringkali tidak ada, interval PR tidak dapat
ditentukan. Pada ectopic atrial tachycardia dapat ditemukan
interval PR memendek
Interval R-R Konstan
Gelombang QRS Kompleks QRS sempit (≤0,09 detik)
Gambar 3.2. Takikardia Supraventrikular (Supraventricular Tachycardia, SVT). Tampak denyut jantung
250 kali/menit, tidak ada gelombang p, interval R-R konstan, dan kompleks QRS sempit.
Lebih dari 90% anak dengan SVT menunjukkan kompleks QRS sempit (≤0,09
detik); sebagian kecil (sekitar 10%) menunjukkan SVT dengan konduksi
intraventrikular aberans dengan gambaran kompleks QRS lebar. Bentuk SVT ini
sering timbul sebagai akibat bundle branch block intraventrikel; dapat juga timbul
akibat jalur aksesori yang menghubungkan atria dan ventrikel tanpa melewati AV
node. Selanjutnya, impuls listrik kembali ke atria melalui AV node atau melalui jalur
aksesoris yang lain.
Sangat sulit membedakan SVT konduksi aberans dengan VT; keduanya dapat
menimbulkan gangguan hemodinamik, memiliki frekuensi denyut jantung sama dan
kompleks QRS lebar. Pada pasien anak, kecuali ada riwayat SVT dengan konduksi
aberans, gambaran kompleks QRS lebar lebih baik diasumsikan sebagai VT.
32
Takikardia Ventrikel (Ventricular Tachycardia, VT)
VT adalah takiaritmia yang berasal dari ventrikel, dengan ciri gelombang QRS
lebar. Aritmia ini jarang pada anak; sebagian besar memiliki riwayat penyakit jantung,
pasca pembedahan jantung, sindrom long-QT, channelopathy, miokarditis, atau
kardiomiopati. Beberapa penyebab lain adalah: hiperkalemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, dan keracunan obat (antidepresan trisiklik, kokain, metamfetamin).
Bila terjadi VT dengan nadi, laju ventrikular dapat bervariasi dari mendekati
nilai normal sampai >200 kali/menit. Hal ini menyebabkan gangguan waktu
pengisian, volume sekuncup, dan curah jantung sehingga dapat jatuh ke kondisi pVT
atau VF. Karateristik dan gambaran VT dapat dilihat pada tabel 3.5 dan gambar 3.3.
Tabel 3.5. Karakteristik Takikardia Ventrikel (Ventricular Tachycardia, VT)
Frekuensi denyut jantung Regular, lebih dari normal sesuai usia (120 - >200 kali per menit)
Gelombang p Seringkali tidak dapat diidentifikasi. Bila ada, sering tidak
berhubungan dengan QRS (AV dissociation)
Gelombang QRS Kompleks QRS lebar (>0,09 detik)
Gelombang T Tidak ada atau arah berlawanan dengan gelombang QRS
B
Gambar 3.3. Gambaran Takikardia Ventrikel (Ventricular Tachycardia, VT). (A) VT monomorfik, dengan
frekuensi 250 kali/menit, tidak tampak gelombang p dan T; gelombang QRS lebar (>0,09 detik, dengan
bentuk gelombang yang sama. (B) VT polimorfik, gelombang QRS lebar namun bentuk gelombang
bervariasi. Pada jenis ini, tampak QRS berubah bentuk pada 1 titik (turning on a point), sehingga
disebut gelombang Torsades de pointes.
33
TATA LAKSANA
Prinsip tatalaksana takiaritmia sama dengan kasus kegawatan lain, yaitu: beri
tunjangan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi, serta terapi penyakit yang
mendasari. Namun, untuk terapi aritmia harus dibedakan 3 hal, yaitu:
1. Ada tidaknya nadi sentral
2. Ada tidaknya gangguan hemodinamik/perfusi
3. Kompleks QRS lebar atau sempit
Algoritme takiaritmia dapat dilihat pada gambar 3.4.
Takiaritmia
Tidak Ya
Nadi sentral
teraba?
Tidak Ya
Gangguan
hemodinamik?
Tidak Ya
Kompleks
QRS lebar?
Algoritme takiaritmia
Algoritme takiaritmia
kompleks QRS sempit:
kompleks QRS lebar: VT
ST atau SVT
Gambar 3.4. Algoritme Pemilihan Tatalaksana Takiaritmia
Tatalaksana Awal
Bila menjumpai takiaritmia pada anak, nilai apakah pasien mengalami syok
atau gangguan hemodinamik. Selanjutnya, lakukan langkah-langkah berikut:
34
1. Berikan tunjangan jalan napas, pernapasan, dan oksigen
2. Pasang monitor dan oksimeter
3. Pasang akses vaskular
4. Nilai status neurologis
5. Periksa laboratorium: elektrolit, glukosa, analisis gas darah
6. Siapkan obat-obatan anti-aritmia
7. Cari dan terapi penyebab takiaritmia
Tatalaksana spesifik pada kondisi takiaritmia meliputi: (1) manuver vagal, (2)
kardioversi, dan (3) terapi medikamentosa.
Manuver Vagal
Pada anak normal, denyut jantung dapat dikurangi dengan cara stimulasi
nervus vagus. Pada pasien SVT, stimulasi vagal dapat menghentikan takikardia
dengan memperlambat konduksi melalui AV node. Cara yang sering dilakukan adalah
meletakkan es (dalam kantong plastik) di wajah pasien selama 15-20 detik. Saat
melakukan tindakan, jangan sampai menutupi hidung dan mulut. Anak yang lebih
besar dan kooperatif dapat menggunakan metode lain, yaitu dengan meniup melalui
sedotan kecil atau dengan cara pemijatan sinus karotikus. Jangan melakukan tekanan
pada bola mata karena dapat mengakibatkan cedera retina.
Kardioversi
35
ini, mesin akan memberikan shock saat gelombang R pada kompleks QRS. Tujuannya
adalah mencegah VF yang dapat terjadi bila shock diberikan saat gelombang T.
Beberapa hal harus diperhatikan pada saat melakukan kardioversi
tersinkronisasi, yaitu:
• pada sebagian besar mesin, tombol “sync” harus diaktifkan setiap melakukan
kardioversi
• jika gelombang R saat takikardia sulit dibedakan atau amplitudonya rendah,
sensor monitor tidak mampu mengidentifikasi sehingga mesin tidak
memberikan shock. Bila ini terjadi, tingkatkan ukuran amplitudo EKG, atau
pilih sandapan yang lain
Dosis energi untuk kardioversi, lebih rendah daripada defibrilasi. Berikan dosis
inisial 0,5-1 J/kg. Bila tidak efektif, tingkatkan dosis sampai 2 J/kg.
Langkah-langkah Melakukan Defibrilasi
1. Nyalakan defibrilator
2. Putar tombol ke arah “paddle”
3. Pastikan kabel paddle dan pad tersambung di defibrilator
4. Bila menggunakan paddle, berikan gel atau pasta
5. Pertimbangkan pemberian sedasi
6. Pilih modus synchronized (tekan tombol “sync”)
7. Lihat penanda pada gelombang R yang menunjukkan modus sync telah bekerja. Jika
perlu, naikkan amplitudo monitor
8. Pilih dosis energi:
a. Awal: 0,5-1 J/kg
b. Lanjutan: 2 J/kg
9. Nyatakan “STAY CLEAR!”
10. Letakkan paddle atau pad di dada pasien (bila perlu, nyatakan “PADDLE ON THE
CHEST!”)
a. Anterolateral: dada kanan atas (infra mid-klavikula) dan dada kiri bawah (di
bawah puting susu, garis aksilaris anterior.
b. Anteroposterior: mid-sternum anterior dan mid-vertebra posterior
11. Nyatakan “CHARGING DEFIBRILLATOR!” dan tekan tombol charge pada alat defibrilator
atau ujung paddle.
12. Bila energi defibrilator terisi penuh, nyatakan “I AM GOING TO SHOCK ON 3!” kemudian
hitung dalam 3 hitungan dan pastikan:
a. Irama masih takiaritmia
b. Aliran oksigen sudah dimatikan
13. Nyatakan “EVERYBODY CLEAR?” atau “CLEAR FOR SHOCK!” Bila tim resusitasi sudah
36
mengkonfirmasi dan kita mengamati bahwa tidak ada satupun yang memegang pasien,
lakukan shock dengan cara menekan kedua tombol shock di kedua paddle secara
bersamaan. Tahan paddle di dada pasien sampai mesin memberikan shock.
14. Setelah melakukan shock, segera letakkan paddle di mesin defibrilator.
15. Evaluasi irama, bila masih terdapat takiaritmia, pertimbangkan kardioversi berikutnya.
Terapi Medikamentosa
37
Peringatan:
• Dapat meningkatkan risiko
torsades de pointes akibat
pemanjangan interval QT
• Efek samping lain: bradikardia,
hipotensi
• Hati-hati pada pasien gagal hati
Prokainamid Indikasi: Dosis:
• SVT yang gagal dengan adenosin, • 15 mg/kg diberikan dalam waktu
obat-obatan lain, dan vagal 30-60 menit dengan pemantauan
manuver EKG dan tekanan darah
• VT
Mekanisme:
• Menghambat kanal natrium
sehingga memperpanjang periode
refrakter atria dan ventrikel, serta
menekan kecepatan konduksi di
dalam sistem konduksi
• Memperlambat konduksi
intraventrikel (memperpanjang
QT, QRS, dan interval PR)
Peringatan:
• Dapat menyebabkan hipotensi
melalui efek vasodilator kuat
• Hati-hati pada pasien gagal ginjal
dan gangguan fungsi jantung
• Dapat meningkatkan risiko
torsades de pointes akibat
pemanjangan interval QT
38
Algoritme Takiaritmia dengan Perfusi Adekuat
Ventricular
Supraventricular
Supraventricular tachycardia
Sinus tachycardia tachycardia
tachycardia
• P ada, normal • P tidak ada atau dengan konduksi
• R-R variabel abnormal aberans
• P-R konstan • R-R konstan
• HR <220 (bayi) • R-R regular
• HR konstan
• HR <180 (anak) • Morfologi QRS
• HR ≥220 (bayi)
uniform
• HR ≥180 (anak)
39
Algoritme Takiaritmia dengan Gangguan Perfusi
Ventricular
Supraventricular
tachycardia
Sinus tachycardia tachycardia
• P ada, normal • P tidak ada atau
• R-R variabel abnormal
• P-R konstan • R-R konstan
• HR <220 (bayi) • HR konstan
• HR <180 (anak) • HR ≥220 (bayi)
• HR ≥180 (anak)
40
RINGKASAN
1. Takiaritmia terdiri atas SVT dan VT
2. Pada kasus takiaritmia perhatikan:
a. Nadi sentral
b. Gangguan hemodinamik
c. Durasi kompleks QRS
3. Pada takiaritmia tanpa nadi sentral, ikuti algoritme henti jantung
4. Takiaritmia dengan kompleks QRS sempit (≤0,09 detik) pikirkan SVT,
sedangkan kompleks QRS lebar (>0,09 detik) pikirkan VT
5. Pada takiaritmia tanpa gangguan hemodinamik, berikan terapi
medikamentosa
6. Pada takiaritmia dengan gangguan hemodinamik, berikan
synchronized cardioversion (dan terapi medikamentosa)
REFERENSI
1. Atkins DL, Berger S, Duff JP, et al. Part 11: Pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association guidelines
update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation 2015;132(18):S519–25.
2. De Caen AR, Berg MD, Chameides L, et al. Part 12: Pediatric advanced life support: 2015
American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation 2015;132(18):S526–42.
41
4
TATALAKSANA BRADIKARDIA PADA ANAK
Dyahris Kuntartiwi
TUJUAN PEMBELAJARAN
DEFINISI
Bradikardia merupakan tanda yang sangat jelas adanya ancaman henti jantung
pada bayi dan anak, terutama bila berhubungan dengan hipotensi atau tanda perfusi
jaringan yang jelek. Apabila setelah ventilasi dan oksigenasi adekuat, frekuensi denyut
jantung tetap kurang dari 60 kali per menit disertai tanda perfusi jaringan buruk,
resusitasi jantung paru (RJP) harus segera dimulai.2
Saat menilai frekuensi dan irama jantung pada anak sakit kritis atau trauma
berat, lakukan evaluasi karakteristik detak jantung, irama baseline, derajat aktifitas
42
anak, dan kondisi klinis (termasuk fungsi jantung awal). Anak-anak dengan penyakit
jantung bawaan dapat memiliki abnormalitas sistem konduksi. Anak dengan fungsi
jantung dasar yang buruk, lebih cepat menunjukkan gejala akibat bradikardia,
daripada anak dengan fungsi jantung yang baik.
Bradikardia diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Etiologi
bradikardia primer adalah kondisi penyakit jantung bawaan atau didapat, yang
memperlambat rerata depolarisasi spontan pacu jantung normal dan sistem konduksi.
Penyebab bradikardia primer antara lain: abnormalitas pacu jantung kongenital atau
sistem konduksi, trauma pembedahan yang mengenai sistem konduksi,
kardiomiopati, dan miokarditis. Bradikardia sekunder disebabkan oleh kondisi non-
kardiak, antara lain: hipoksia, asidosis, hipotensi, hipotermia, dan efek obat.
Curah jantung (cardiac output, CO) merupakan jumlah volume darah yang
dipompa oleh jantung per menit. Curah jantung dihasilkan dari volume sekuncup
(stroke volume, SV) dan frekuensi denyut jantung. Bila detak jantung menurun, curah
jantung dipertahankan dengan cara meningkatkan isi sekuncup. Namun, keterbatasan
meningkatkan volume sekuncup pada anak dan bayi, menyebabkan curah jantung
menurun akibat bradikardia. Tanda kegawatan kardiovaskular yang berkaitan dengan
bradikardia antara lain hipotensi, perubahan status mental (penurunan derajat
kesadaran atau gelisah), syok (perfusi organ yang buruk dengan atau tanpa
hipotensi). Gejala tambahan berupa distress atau gagal napas, nyeri dada, dan kolaps
mendadak.
KARAKTERISTIK ELEKTROKARDIOGRAM
43
Interval R-R Bervariasi
Gelombang QRS Kompleks QRS sempit (≤0,09 detik) atau lebar (>0,09 detik)
Gelombang P dan kompleks QRS Dapat tidak berhubungan (Disosiasi AV)
Tipe Bradiaritmia
Sinus Bradycardia
AV Block
44
• Infark miokard
• Bedah jantung
• Obat (penghambat
kanal kalsium, beta
bloker, digoksin)
• Demam rematik akut
• Penyakit AV node
intrinsik
Derajat 2 • Bisa terjadi pada anak Pemanjangan progresif Jarang, dapat
Mobitz tipe 1 sehat interval PR hingga gelombang menyebabkan
(Wenckebach • Obat (penghambat P tidak diikuti gelombang QRS presinkop (light
phenomenon) kanal kalsium, beta kompleks dan siklusnya headedness)
bloker dan digoksin) sering berulang
• Segala kondisi yang
menstimulasi vagal
(parasimpatis)
• Infark miokard
Derajat dua • Pada umumnya karena Beberapa namun tidak Dapat menyebabkan:
Mobitz tipe 2 sistim konduksi semuanya, gelombang P • Palpitasi
abnormal terhalang sebelum sampai ke • Presinkop
• Jarang disebabkan ventrikel. • Sinkop
tonus simpatis atau Interval PR konstan. Kadang,
obat tidak setiap gelombang P
• Bedah jantung dikonduksikan (Blok 2:1)
• Infark miokard
Derajat 3 • Sistem konduksi • Tidak ada hubungan antara Gejala tersering
ekstensif penyakit atau gelombang P dan • Fatigue
trauma termasuk gelombang QRS kompleks • Light headedness
miokarditis • Tidak ada impuls atrial • Sinkop
• Bedah jantung mencapai ventrikel
• Total AV block • Irama ventrikel
kongenital dipertahankan oleh pacu
• Infark miokard jantung yang lebih lambat
• Dapat disebabkan oleh
tonus parasimpatis,
efek toksik obat, atau
hipoksia berat/asidosis
45
Gambar 3.1. AV Block derajat 1. Pemanjangan interval PR yang menunjukkan konduksi yang melambat
melalui nodus AV.
Gambar 3.2. AV Block derajat 2. Mobitz tipe 1 atau Wenckebach phenomenon. Tipe ini seringkali
terjadi pada AV node. Pemanjangan progresif dari interval PR hingga impuls dari atrium tidak
dilanjutkan ke ventrikel. Siklus progresif makin memperpanjang interval PR, hingga terjadi kegagalan
konduksi dari impuls atrium ke ventrikel dan berulang.
Gambar 3.3. Blok AV derajat 2. Mobitz tipe 2. Blok ini terjadi di bawah AV node. Karakteristik blok ini
adalah adanya non-konduksi beberapa impuls atrial ke ventrikel tanpa ada perubahan interval PR.
Pada umumnya terjadi konsisten rasio atrial dibanding depolarisasi ventrikular, pada umumnya 2
gelombang P dan 1 gelombang QRS.
Gambar 3.4. AV Block derajat 3 atau total AV Block atau henti jantung total. Tidak ada satupun
impuls atrial dikonduksikan ke ventrikel.
46
TATALAKSANA
Epinefrin
47
Identifikasi dan Terapi Penyebab
• Jaga patensi jalan napas, bantuan ventilasi bila perlu
• Oksigen
• Monitor jantung untuk identifikasi irama; monitor tekanan darah dan oksimetri
• Pasang akses IO/IV
• EKG 12 sandapan jika ada; jangan menunda terapi
Gangguan
Tidak kardiopulmonal?
• Hipotensi
• Perubahan status mental
• Tanda syok
Ya
• Tunjangan ABC
• Oksigen Tidak Bradikardia
• Observasi menetap?
• Pertimbangkan
konsultasi ahli
Ya
• Epinefrin
• Atropin pada kasus peningkatan tonus vagal
atau AV block
• Pertimbangkan pacing transtorasik/transvena
• Terapi kausa
48
Pada bradikardi persisten, pertimbangkan pemberian infus kontinyu epineprin
(0.1-0.3 mcg/kg per menit). Infus kontinyu epineprin mungkin berguna, terutama bila
respon anak membaik setelah bolus epinefrin. Dosis infus bisa dititrasi tergantung
respons klinis.
Atropin
Rute Dosis
IV/IO 0.02 mg per kg; minimum 0,1 mg; maksimum 0,5 mg
Dosis dapat diulang satu kali dalam 5 menit
Catatan: Dosis yang lebih besar mungkin dibutuhkan pada keracunan organofosfat
ET 0.04 sampai 0.06 mg/kg
Catatan: Pemberian obat IV/IO sangat dipilih; namun bila tidak tersedia, atropin bisa diberikan via ETT.
Namun karena dengan rute endotrakeal belum jelas, dosis yang lebih besar dibutuhkan (2-3 kali dosis
IV).
49
Pacu jantung
RINGKASAN
1. Bradikardia pada anak seringkali disebabkan oleh: sinus bradycardia dan AV block
2. Pada pasien bradikardia harus ditentukan adanya gangguan hemodinamik
3. Bila frekuensi jantung <60 kali per menit disertai gangguan hemodinamik, segera
lakukan RJP
4. Bila bradikardia menetap, berikan:
a. Epinefrin pada kasus sinus bradycardia
b. Atropin pada kasus peningkatan tonus vagal, keracunan organofosfat, dan AV
block
c. Pacu jantung bila terapi medikamentosa tidak efektif
REFERENSI
1. De Caen AR, Berg MD, Chameides L, et al. Part 12: Pediatric advanced life
support: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation
2015;132(18):S526–42.
2. Atkins DL, Berger S, Duff JP, et al. Part 11: Pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association
guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation 2015;132(18):S519–25.
50
5
PERAN ULTRASONOGRAFI PADA HENTI JANTUNG ANAK
Saptadi Yuliarto
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui spesifikasi alat ultraonografi yang digunakan pada kasus henti jantung anak
2. Memahami langkah-langkah pemindaian pada protokol SESAME
3. Mengetahui pandangan (view) setiap langkah pemindaian
4. Mengetahui interpretasi pada setiap langkah pemindaian
PENDAHULUAN
Dengan resusitasi jantung paru (RJP) yang baik, angka kesintasan henti jantung
anak yang terjadi di dalam rumah sakit adalah sebesar 43%, sedangkan di luar rumah
sakit hanya sebesar 8%. Sebagian besar henti jantung pada anak terjadi akibat gagal
napas atau syok yang progresif; hanya sedikit kasus yang terjadi mendadak (seperti
pasien dewasa) akibat aritmia. Oleh karena itu, henti jantung pada anak dapat dicegah
dan mendapatkan terapi spesifik selain tindakan resusitasi jantung paru (RJP).
Pemeriksaan fisik mempunyai keterbatasan dalam menemukan penyebab
henti jantung. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) pun hanya memberikan
informasi tentang irama jantung. Sedangkan pemeriksaan laboratorium juga memiliki
keterbatasan dalam kecepatan dan interpretasi hasil, serta tidak selalu dapat
menggambarkan kelainan yang sedang berlangsung.1
Ultrasonografi (USG) memiliki kelebihan karena dapat digunakan secara cepat,
bedside, valid, dan reliabel dalam menentukan penyebab berbagai kasus kegawatan.
Penggunaan dan pemahaman yang luas dalam pemeriksaan paru, jantung, abdomen,
dan vaskular meningkatkan daya guna USG dalam kasus henti jantung. Salah satu
panduan yang digunakan adalah protokol SESAME. Tidak hanya deteksi pada
gangguan jantung, protokol ini juga menapis adanya pnemotoraks, emboli paru, syok
perdarahan, dan tamponade jantung; sehingga sangat tepat digunakan pada kasus
henti jantung anak.2
51
PROTOKOL SESAME
Spesifikasi Alat
Alat USG yang digunakan untuk protokol SESAME harus berukuran kecil agar
dapat dimobilisasi dengan mudah dan ditempatkan di sisi pasien dengan baik.
Disarankan pula, menggunakan alat beroda agar mobilisasi lebih cepat.
Transduser (probe) harus dapat digunakan untuk memindai paru, abdomen,
vaskular, dan jantung sekaligus. Hal ini untuk mempersingkat waktu karena tidak
diperlukan penggantian tranduser di tengah pemeriksaan. Jenis mikrokonveks dengan
52
jangkauan area pemindaian 0,6-17 cm merupakan tranduser yang disarankan.
Pemindaian juga harus diatur dengan kedalaman 85 mm untuk seluruh langkah.
Keyboard juga harus sederhana. Pada pemeriksaan pasien kritis (selain henti
jantung), seringkali hanya digunakan 3 tombol: gain, depth, dan B/M mode; namun
untuk kasus henti jantung, direkomendasikan untuk “tidak menyentuh tombol
apapun”, artinya tidak perlu mengubah pengaturan selama pemindaian.
Langkah-langkah Pemindaian
53
Kedalaman Waktu Tahap Temuan Diagnosis/Tindakan
54
Gambar 5.2. Tahap dan Area Pemindaian.
Tahap 1 adalah pemindaian paru, 2 adalah vena femoralis untuk mencari deep vein thrombosis (DVT), 3 adalah
abdomen untuk mengetahui cairan bebas intraabdomen dan efusi pleura, 4 adalah subkostal untuk mencari
tamponade, dan 5 adalah transtorakal untuk melihat patologi jantung. Pada tahap 1 dan 5, kompresi dada
dihentikan kurang dari 10 detik, sedangkan pada tahap 2,3, dan 4, kompresi dada dilanjutkan. (Dikutip dengan
modifikasi dari Critical care ultrasound in cardiac arrest. Technological requirements for performing the SESAME-
protocol — a holistic approach).2
1. Ultrasonografi Paru
55
Gambar 5.3. BLUE-point.
Untuk menentukan titik BLUE (BLUE –point), dua tangan seukuran tangan pasien diletakkan di dada pasien, tangan
atas menyentuh klavikula, tangan bawah menutupi ibu jari tangan atas. Titik BLUE berada di tengah punggung
tangan. Titik merah adalah titik BLUE atas (upper BLUE-point), titik biru adalah titik BLUE bawah (lower BLUE
point). (Dikutip dengan modifikasi dari Critical care ultrasound in cardiac arrest. Technological requirements for
performing the SESAME-protocol — a holistic approach).2
Gambar 5.4. Gambaran paru normal atau A-profile. Gambaran paru normal pada USG B-mode (kiri) dan M-
mode (kanan). Pada B-mode, tampak bat sign (garis merah, dibentuk oleh pleural line dan 2 kosta) dan A-line. Lung
sliding dapat dilihat secara real time pada saat melakukan pemindaian, atau dengan M-mode yang memperlihatkan
seashore sign.
56
Pleural line
A line
Gambar 5.5. Gambaran A’-profile. Pada B-mode (kiri), gambaran seperti paru normal, yaitu adanya
pleural line dan A line; namun pada M-mode (kanan) tampak gambaran barcode atau stratosphere sign,
yang menunjukkan hilangnya pergerakan paru (lung sliding). (Dikutip dengan modifikasi dari Lung
Ultrasound in the Critically Ill).3
Pleural
lines
A lines
B lines
Gambar 5.6. Gambaran B-profile. Tampak B-lines berasal dari pleural line, yang menunjukkan hilangya
aerasi alveoli. Kadang A-line masih tampak.
2. Ultrasonografi Vena Femoralis
Secara tidak langsung, adanya trombosis atau klot vena femoralis (deep vein
thrombosis, DVT) mengarahkan kemungkinan emboli paru. Transduser diletakkan
pada V-point untuk mendeteksi DVT (gambar 5.7).
57
Gambar 5.7. Lokasi V-point dan gambaran pembuluh darah femoralis (panah, gambar tengah). Klot atau
trombus tampak sebagai bayangan hyperechoic di dalam vena (gambar kanan). (Dikutip dengan
modifikasi dari Critical care ultrasound in cardiac arrest. Technological requirements for performing the
SESAME-protocol — a holistic approach).2
3. Ultrasonografi Abdomen
Gambar 5.8. Gambaran USG abdomen pada daerah hepatorenal (Morrison’s pouch) menunjukkan
kondisi normal (a) dan adanya cairan intraabdominal (b). (Dikutip dengan modifikasi dari Bedside
ultrasound in the pediatric emergency department).4
58
Gambar 5.9. Gambaran USG menunjukkan efusi pleura pada paru kanan. Gambar diambil pada
perbatasan paru dan diafragma menunjukkan gambaran jelly fish sign (gambaran jaringan paru yang
melayang pada cairan/daerah hipoekoik).
Gambar 5.10. Gambaran vena cava inferior (inferior vena cava, IVC) berdiameter kecil dan kolaps saat
fase inspirasi (small kissing IVC) menunjukkan kondisi hipovolemik.
4. Ultrasonografi Subkostal
59
X
Gambar 5.11.Gambaran efusi perikardium (tamponade jantung) pada pandangan subkostal. Tampak
area hipoekoik di sekeliling jantung (tanda X).
5. Ultrasonografi Jantung
REFERENSI
1. Atkins DL, Berger S, Duff JP, et al. Part 11: Pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association guidelines
update for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation 2015;132(18):S519–25.
2. Lichtenstein D, Malbrain MLNG. Critical care ultrasound in cardiac arrest.
Technological requirements for performing the SESAME-protocol — a holistic
approach. Anaesthesiol Intensive Ther 2014;47(5):471–81.
3. Lichtenstein D. Lung Ultrasound in the Critically Ill. Ann Intensive Care 2014;4:1–12.
4. Levy J, Bachur R. Bedside ultrasound in the pediatric emergency department. Curr Opin
Pediatr 2008;20(3):242–352.
61