Anda di halaman 1dari 18

JENDELA

Prolog

Bukankah kematian itu tetap bernama kematian?


Semua makhluk hidup yang bernyawa akan mati, kan? Sebuah kepastian mutlaq yang
tentunya sudah ditentukan bahkan sebelum kehidupan itu sendiri ada.
Tapi, bagaimana dengan kehilangan harapan?
Bisa lebih menyakitkan dibandingkan sebuah akhir. Seumpama pohon yang dengan
susah payah tumbuh dari sebuah biji yang terjatuh. Ia meranggas. Dahan-dahan mulai tumbuh
dan daun-daun semakin banyak dan rimbun. Hingga suatu hari—tanpa sebab—daun-daun itu
berguguran. Meninggalkan dahan kosong yang mencoba meraihnya kembali.
Pohon itu tak lagi ditumbuhi tunas-tunas baru. Dan dalam kepastian yang diberikan oleh
waktu, pohon itu akan mati. Segera.
Ahh..
Mungkinkah pohon itu memikirkan kehidupan yang panjang jika setiap detik dalam
waktu yang berjalan selalu menggores luka-luka baru? Karena kehilangan harapan persis
seperti sebilah pedang yang menikam. Mengiris batang-batang yang tersiasa. Takkan ada lagi
yang tertinggal. Bahkan hanya untuk sebuah kenangan.
Dalam keputusasaan yang menyesak. Entah, apakah pohon itu masih mau menunggu
hari esok. Menunggu sebuah harapan. Setitik saja. Agar ia masih bisa memikirkan setidaknya
kenangan indah yang pernah ia miliki dalam hidup yang dulu pernah ia miliki. Kenangan
yang membuat ia mampu menjalani kehidupannya yang tersisa. Walau kenangan
itusebetulnyabisa menjadi pisau bermata dua yang meninggalkan bekas luka yang lain.
***
Detak jam itu terus mengentak pelan. Tek-tek-tek. Tak ada lagi suara lain yang
meningkahi ruangan berukuran sedang itu. Bahkan dari lorong dibalik pintu yang sedikit
terbuka itu. Samar, gumam pelan terdengar sangat jauh. Kemudiankembali menghilang.
Pasien yang terbaring diatas kasur itu sebetulnya sudah terbangun. Bahkan sejak
beberapa jam yang lalu. Tapi, matanya masih terpejam. Memikirkan banyak hal. Kebosana;
Kejenuh; Kemuakkan ;Dan—tentu saja ,—kematian.
Pemuda itu bergerak gelisah, berfikir mungkin sudah saatnya ia terbangun. Ia pun
menarik nafas sangat dalam dan mengembuskannya kembali. Dengan perlahan membuka
mata.

1
Satu lagi hari yang telah ia lewati.
Tak terhitung lagi sudah berapa lama ia terbaring diatas kasur yang keras itu. Empat
bulan? Lima bulan? Atau mungkin satu tahun?.
Entah. Ia malas menghitung hari. Yang jelas setiap hari selalu sama. Menatap ruangan
dengan dinding kusam itu. Tirai tua berwarna hijau mint menggantung menutupi sebagian
jendela yang tertutup. Pagi ini, sinar matahari menerobos menembus kisi-kisi, membentuk
anak cahaya yang mengukir hingga ke lantai. Tampak partikel debu terbang perlahan.
Dua hari terakhir, ia terbaring sendirian di ruangan itu. Pasien yang sebelumnya
menempati kasur sebelah,—meninggal karena penyakit darah. Dokter menyebutnya leukimia.
Pasien itu bernama Andre. Semuanya sudah dilakukan. Terapi biologi; Radiasi sinar X;
Herbal; bahkan yang paling menyakitkan: Kemotrapi, yang membuat rambut hitamnya tak
bersisa. Semua perjuangan itu akhirnya usai dua hari lalu ketika Andre akhirnya meninggal
dalam pelukan ibunya. Tepat di sana. Di atas kasur yang kini kosong itu. Ketika melihat
wajah Andre yang terbebas dari rasa sakitsaat itu, membuat pemuda itu semakin
menginginkan akhir hidupnya segera datang.Kematian selalu menjadi obat mujarab semua
kesusahan dan rasa sakit.
Pagi tadi, perawat yang biasa mengurusnya sudah mengganti cairan infus. Sekaligus
membersihkan ruangan, membuang sampah dan mengganti pengharum ruangan yang
mestinya telah diganti seminggu yang lalu. Perawat itu mengendap. Berhati-hati. Namun,
setelah beberapa menit yang seperti beberapa jam itu. Perawat itu gagal ketika ia dengan
ceroboh menyenggol nampan alumunium yang tadi ia simpan di atas nakas. Nampan itu
terjatuh dengan suara berdentang nyaring diikuti oleh suara pekikan tertahan perawat itu.
Sekilas pemuda itu melihat raut wajah perawat itu. Dan saat itu juga ia ingin tertawa. Tertawa
sepuasnya. Tertawa melihat ekspresi ketakutan yang ia rasa tidak perlu. Bagaiamana jadinya
apabila perawat itu tahu arti sebuah ketakutan yang sesungguhnya?
Dan, yah. Tentu saja ia tidak melakukannya. Itu sama saja bunuh diri. Menambah
serentetan alasan yang akan membuat ia mendekam dirumah sakit jiwa. Pasti.
Terdengar derit pintu dibuka. Seorang dokter masuk diikuti oleh beberapa perawat yang
mendorong sebuah kasur beroda. Pasien baru?
Terdengar gumam pelan dokter dan seorang suster.
“Hari ini kau ada teman baru, Ryan!” Bisik salah seorang suster, berbalik mengarah
pada kasurnya. Menjawab pertanyaan yang bahkan tidak ia lontarkan. Ryan hanya
mengangkat bahu, tidak peduli.

2
Beberapa menit kemudian, dokter dan semua suster itu akhirnya berbalik dan melewati
pintu itu. Meninggalkan dua orang yang terbaring di atas kasur. Ryan melirik pasien di
sampingnya. Seorang perempuan. Mungkin, awal duapuluhan. Tapi tentu saja ia tidak bisa
memastikan. Wajah perempuan itu terpejam. Tertidur dengan wajah tenang yang menurutnya
asing. Semua pasien yang pernah ia lihat biasanya berwajah sedih atau kesakitan. Tapi
kenapa perempuan itu berbeda?
Entahlah..
Ketenangan yang kembali datang dan dilatar belakangi oleh tarikan nafas pasien di
sebelahnya itu, membuat pemuda itu tertarik untuk kembali memejamkan mata. Menit
selanjutnya, ia kembali terlelap. Dengan bayang wajah perempuan itu dalam mimpinya.
***
Pemuda itu menarik nafas. Sangat dalam. Sebelum dengan perlahan ia membuka
kelopak matanya yang bergetar dan terbangun.
“Kau sudah bangun?” Suara itu persis genta angin bernada sofrano yang tinggi. Pemuda
itu menoleh ke arah asal suara itu. Asing. Tapi tidak dengan wajah pemilik suara itu.
Wajah itu..
Beberapa saat, ia menyadari bahwa suara itu milik pasien yang baru saja masuk tadi
pagi.
“Namaku Marry, kau?” Tanya perempuan itu dengan senyum membentuk busur panah
yang cantik, menampilkan sederet gigi berwarna putih cemerlang dengan dua gigi besar
mendominasi di depan. Seperti kelinci.
Hanya terdengar suara detak jam di dinding,
“Hei! Kau melamun?” perempuan itu mengibaskan lengannya.
“Oh, Sorry! Kau bilang apa tadi? Ee.. tadi nama mu.... Marry, kan? Eehh. Dan kau
bertanya namaku?—Kau bisa memanggilku Ian, atau Ryan. Ehh, tidak! Panggil saja Ryan.”
Jawab Ryan tergagap. Marry tersenyum menatap kecanggungan itu.
“Senang berkenalan dengan mu, Ryan” Jawab Marry dan kembali tersenyum.
***
Hari itu terasa berbeda bagi Ryan. Keceriaan yang Marry tunjukan melalu caranya
berbicara, sangat menular. Ryan mendapati dirinya tersenyum, bahkan sesekali tertawa
mendengar celoteh Marry. Untuk beberapa saat juga ia sempat melupakan hari-hari
menyesakkan yang sering membuat ia ingin mati akhir-akhir ini. Ia juga menceritakan semua
hal tentang dirinya. Semuanya. Tanpa sedikitpun nada trauma atau putusasa seperti yang
biasanya terjadi. Menceritakan kelumpuhan yang timbul akibat kecelakaan beberapa tahun

3
yang lalu. Menceritakan perceraian orang tuanya. Menceritakan hari-hari membosankannya
selama di rumah sakit.
“Kau tidak tahu betapa membosankannya hari-hari yang telah aku lalui” Ryan
menunduk dan menarik nafas dalam saat itu, kemudian berkata, “Aku sering sekali berharap,
tak ada lagi yang namanya hari esok.” Ryan mendesah.
Ruangan berukuran sedang itu mendadak sunyi. Beberapa saat sebelum akhirnya Marry
berkata,
“Kau tak menginginkan hari esok?” Suara Marry menghilang. Ryan mengangkat
dagunya dan menoleh menatap wajah gadis itu. Ia merasakan perubahan yang kentara pada
nada suara Marry. Bahkan, dalam beberapa saat ia melihat kesedihan di mata Marry,
sebelumakhirnya ekspresi ‘terluka’ itu digantikan oleh senyum yang berusaha Marry
tunjukan. Kamuflase.
Marry kemudian berkata “Tadi kau bilang kau tidak pernah melihat keluar jendela itu?”
Marry bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri jendela di sebrang ruangan. Perubahan
topik pembicaraan ini tak luput dari perhatian Ryan.
Jeda sejenak sebelum akhirnya Ryan mengangguk. “Aku tak bisa memfungsikan tulang
belakangku lagi.” Jawabnya ringan.
“Mau aku ceritakan apa yang ada diluar sana?” Suara Marry kembali seringan kertas.
Ryan hanya mengangguk, merasa tak peduli pada hal apapun yang ada di balik jendelan di
seberang ruangan itu.
***
Di luar, angin membelai daun-daun yang esnya kini mulai mencair. Sisa musim dingin
masih menggantung pada udara yang masih terasa menusuk, walau kini tak lagi kentara
karena terik matahari menghangatkan udara yang membeku. Ada banyak layang-layang
yang menghiasi langit pagi itu. Suara tawa anak-anakyang berlari-lari terdengar sangat
renyah dan menyenangkan, dengan sesekali terdengar omelan orang tua mereka yang
khawatir anak mereka tercebur ke danau.
Selain itu, matahari terus menanjak semakin tinggi, memantulkan kilau perak keemasan
ditengah danau seukuran lapangan bola. Ada banyak tempat duduk disana yang semuanya
dinaungi oleh pohon maple yang daunnya mulai muncul dan kehijauan.
Segerombolan angsa mulai berenang santai di atas danau itu. Menyebabkan air yang
beriak hingga membuat sinar matahari memantul pada rumput-rumput yang masih
menggantungkan sisa embun. Indah. Tak adalagi kosakata lain yang bisa mewakili
pemandangan ini selain kata 'indah' itu. Dan tak jauh dari kawanan angsa itu, tampak

4
seorang penjaga taman berpakaian merah bergaris dengan tong sampah yang selalu
dibawanya kemana-mana. Dengan sesekali membungkuk membawa sampah yang sedikit
berserakan.
Dibawah bayangan matahari. Tampak seorang pemuda menggandeng tangan seorang
gadis. Sepasang kekasih yang sepertinya sedang menikmati romantisme bulan Februari.
Pasangan itu berhenti berjalan. Hingga sang pria secara mengejutkan menekuk lutut sebelah
kanannya dengan tangan masih mengenggam lengan sang gadis. Menyuguhkan kotak
beludru berwarna merah dengan pita senada. Pemuda itu membukanya. Dan tampak sang
gadis terkejut dangan apa yang sedang dilakukan atau diberikan oleh kekasihnya. Ada air
mata disana. Namun, air mata bahagia. Sang gadis mengangguk dan menerima sebuah
cincin yang berkilau keemasan untuk dipakaikan oleh sang pemuda. Pasangan itu kemudian
berlalu dengan gurat bahagia yang tak bisa ditutupi sedikitpun.
Dua blok dari taman berdanau itu tampak sebuah taman bermain yang sangat luas.
Ada banyak wahana di sana. Namun yang paling menarik di sana adalah sebuah kincir ria
raksasa yang berdiri tepat di tengah taman bermain itu. Tampak mendominasi dengan warna
merah mencolok dengan dihiasi landscape pegunungan beku yang memiliki salju bahkan di
musim panas. Apapun akan terlihat dari sana. Pemandangan kota, pegunungan, lapangan
golf, bahkan langit yang berwarna sangat biru itu.

Hening. Marry tampak tersengal dengan sebelah tangan memegang dada. Ryan yang
merasa terkejut dengan situasi tak terduga itu panik dan bingung harus melakukan apa.
“Tak usah khawatir! Aku baik-baik saja” Ucap Marry tersengal seraya menghampiri
tempat tidurnya. “Aku hanya perlu sedikit istirahat” Tambah Marry sambil memaksakan
seulas senyum.
Ryan hanya menatap wajah Marry yang terlihat pucat. Butir-butir keringat membasahi
wajahnya.
“Sebetulnya engkau sakit apa?” Tanya Ryan setelah melihat kondisi Marry lebih
tenang. “ Sepertinya sakitmu cukup parah.”
“Hanya kelelahan. Bukan apa-apa” Jawab Marry. Nafasnya masih sedikit tersengal.
Tapi, senyum itu tak pernah meninggalkan wajahnya.
“Sampai harus dirawat di rumah sakit?”
“Kakek ku terlalu protektif, mungkin karena aku cucu satu-satunya”
“Memang orang tua mu kemana? Apakah mereka sedang diluar kota?”
“Itu ...mereka sudah—meninggal ketika aku masih sangat belia. Karena kecelakaan”

5
“Ohh.. Maaf.” Ryan tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Ia tak tega menambah
kesedihan Marry dengan pertanyaan-pertanyaannya lagi, terlebih dengan kondisi Marry yang
hampir pingsan seperti tadi. Marry memejamkan mata. Sepertinya ia memang butuh sedikit
istirahat seperti yang dikatakannya tadi.
Saat suasana berubah hening. Tarikan nafas Marry terdengar pelan dan menenangkan.
Wajah Marry tampak bercahaya, seperti purnama yang dulu sering ia lihat sebelum kejadian
nahas itu terjadi. Wajah itu berubah menjadi wajah tenang yang asing, yang sama seperti
pertama kali Ryan menatap wajah itu.
Ketenangan yang panjang itu membuat Ryan memikirkan banyak hal. Tentang
kenyataan betapa menyenangkannya suasana yang ada di balik jendela rumah sakit itu.
Taman dengan danau seukuran lapangan bola, romantisme pasangan kekasih, layang-layang,
anak yang berlari-lari, kawanan angsa, kincir ria, lapangan golf. Membuat ia tersadar, begitu
banyaknya hal yang sudah ia lewati. Ia bahkan tak pernah memikirkan kebahagiaan lain yang
ada diluar sana. Yang ia tahu hanyalah dinding putih kusam dengan tirai tua berwarna hijau
mint.
Dan—tanpa disadari—harapan itupun mulai muncul. Walau masih seperti kelip samar
dilangit ketika malam tiba. Ryan mulai mengharapkan seandainya ia dapat melihat itu semua
dengan mata kepalanya sendiri. Merasakan udara dingin itu membelai kulitnya. Mendengar
tawa riang anak-anak yang berlari mengarak layang-layang. Ia ingin melihat itu. Sangat!
Ryan bisa menduga alasan mengapa ia mulai berharap tak lain karena seseorang yang kini
sedang ia lihat itu. Yang kini terpejam dengan nafas yang terdengar menenangkan. Senyum
itu selalu menggantung di wajahnya bahkan ketika sedang tertidur, seperti saat ini.
***
Hari ini, daun-daun pada pohon maple itu telah berubah kekuningan. Burung-burung
merpati terbang rendah diantara pengunjung taman yang mulai ramai. Pasangan kekasih
yang tampak beberapa bulan lalu, telah melangsungkan pernikahan mereka tepat di tempat
yang sama ketika sang pria bertekuk lutut tempo hari. Tentang kawanan angsa yang dulu
terlihat berjumlah tujuh. Kau tahu! Kini sudah menjadi sembilan. Dan kebetulan yang
menarik, dua anggota baru pada kawanan itu ternyata mulai bergabung tepat pada hari
yang sama ketika pasangan kekasih itu melangsungkan janji pernikahan mereka dibulan
April.
Selain itu, bunga-bunga yang ditanam diawal musim pada bulan Februari mulai
menghiasi taman dengan warna-warna khas yang cantik. Ungu, merah, toska, merah jambu,
kuning. Menambah keceriaan taman itu melebihi hari-hari yang lain. Ditambah dengan

6
beberapa burung nectar dan kupu-kupu yang tak pernah mau jauh dari bunga-bunga itu.
Taman itu bermetamorfosis menjadi taman musim semi yang indah.
Suasana ramai terlihat sangat kontras pada taman bermain sejauh dua blok itu.
Mungkin karena hari ini hari libur. Spanduk dan balon raksasa tampak mengambang di
udara. View pagi ini menjadi sangat kontras karena rangkaian pegunungan dengan salju
abadi menjadi background dari pemandangan itu.
Di tenggara, sebuah lapangan rumput terbentang luas. Hegemoni disana tak kalah
semarak dibanding taman bermain yang terletak cukup jauh dari lapangan rumput itu. Ya, di
sana sedang berlangsung tournament golf kelas dunia. Terlihat—walau samar—sebuah bola
terpental membentuk kurva melengkung yang menakjubkan. Terlempar sangat jauh namun
dengan perhitungan dan akurasi yang luar biasa mengagumkan. Tampaknya ia pemain baru.
Namanya bukan nama yang sering di gandrungi. Tapi— Hei! lihat. Dia sangat piawai dan
tak kalah hebat dengan senior-seniornya. Dia akan menjadi pemain hebat. Pasti!
***
Marry akhirnya menghembuskan nafas yang beberapa saat lalu ia tahan. Syal merah
melilit dileher Marry yang jenjang. Kulit zaitunnya terlihat semakin pucat setiap harinya.
“Aku tidak menyangka bisa bertahan sejauh ini.” Gumam Marry berbisik dengan
tatapan kosong setengah melamun.
“Maksudmu?” Respon Ryan begitu saja.
“Eee.. Apa?—Tidak, tidak!—Aku hanya melantur.” Jawab Marry tergagap.
Ryan hanya memandangi wajah Marry yang kini sedang tersenyum itu. Ia tahu ada hal
yang selalu Marry sembunyikan darinya. Dua bulan membuat ia mengenali Marry. Tapi,
sekaligus membuat ia bertanya-tanya siapa Marry sesungguhnya. Terkesan paradoks
memang. Tapi itu memang benar.
Marry mungkin gadis yang ceria. Ahh. Sepertinya bukan itu. ‘ceria’ bukan kosakata
yang tepat. Karakter Marry tidak seperti itu. Mungkin, Gadis yang berusaha untuk bahagia?
Ya. Kalimat panjang itu bisa mewakili Marry yang ia tahu dua bulan ini. Ada sorot keteguhan
sekaligus kerapuhan di mata Marry yang sering menunjukan lintasan intuisinya. Itu sebabnya
Marry tidak bisa disebut gadis ceria. Orang yang sepintas mengenalnya akan menyangka ia
gadis yang memiliki antusiasme tinggi, ceria dan sering tersenyum. Tapi, orang yang sudah
mengenalnya cukup jauh akan tahu ada banyak kesedihan dan kerapuhan dalam sorot
matanya itu. Seperti sebuah keramik retak dan nyaris pecah. Jadi, Ya! Marry adalah gadis
yang—setidaknya—berusaha bahagia.

7
Ryan sering melihat Marry melamun dan menghela nafas panjang. Bahkan sesekali ia
melihat tubuh Marry bergetar ketika berbaring membelakanginya dan diiring dengan isak
tertahan. Semua orang akan tahu ia menangis. Tapi ketika beberapakali Ryan tanyakan
mengapa, Marry selalu menjawab dengan senyum dan berkata ”Tidak apa-apa” Jawaban
yang selalu menjadi misteri terbesar Marry bagi Ryan.
Tapi,—terlepas dari Marry sebagai gadis ceria atau gadis yang berusaha bahagia—
Ryan akan selalu mengakui bahwa keberadaan Marry adalah anugrah yang langsung
diturunkan Tuhan dari surga. Karena melalui Marry, harapan yang dulu seperti kelip samar
itu kini telah memenuhi hari-harinya. Memenuhi seluruh hidupnya menjadi ribuan harapan
yang terus tumbuh bahkan hingga saat ini. Ia selalu menunggu saat-saat Marry bercerita
kemudian membayangkannya. Menyimpan di benaknnya dan mulai bertanya apa yang akan
terjadi esok. Esoknya lagi, dan esoknya lagi. Selalu seperti itu.
Disisi lain. Ryan juga mulai mengharapkan hal-hal lain ketika ia terpejam di malam
hari. Ingin menatap wajah Marry, mendengar suaranya, tawanya, senyumnya bahkan melihat
wajah Marry yang masih terpejam di pagi hari. Wajah yang dulu pernah ia anggap asing. Ya.
Wajah Marry ketika tertidur adalah refleksi kehidupannya yang selalu menginginkan
kebahagiaan. Dan Ryan tahu Marry telah mendapatkannya.
***
Pagi itu, dingin masih menggantungi hawa pagi—walaupun kenyataannya sekarang ini
penghujung musim semi. Membuat jendela di sebrang ruangan itu tampak menguap dari
dalam. Ryan terbangun oleh suara lirih yang ia kenal namun anehnya terkesan asing.
Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Marry tidak derada di tempat tidurnya. Melainkan di
koridor antara ranjang Marry dan ranjang miliknya. Terduduk.
“Kenapa kau mengenakan itu?” Tunjuk Ryan mengarah pada kepala Marry. Sebuah
kain melingkari wajah gadis itu dan menutupi seluruh tubuhnya.
Marry tidak langsung menjawab, kemudian “Ya. Aku seorang muslim” Jawab Marry
setenagah berbisik. Degh. Jantung Ryan berdetak dua kali lebih cepat.
”Tapi, Namamu… Kusangka kau seorang…”
“Namaku—Marriana Ahmed Dupont. Aku keturunan mulim Maroko. Ibuku muallaf
perancis. Ia yang memberikan nama itu dan memanggilku Marry. Sebagai sebuah harapan…”
Marry tampak melamun. Namun, tak beberapa lama ia mengangkat dagunya dan berkata,
“Boleh ku katakan sesuatu padamu?”

8
Ryan bergeming. Ia masih sedikit terkejut menerima kenyataan itu. Marry seorang
muslim? Tapi, ia muslim yang baik. Jauh dari bayangan dan penilaian nya selama ini tentang
agama samawi itu.
“Maafkan aku karena tak mengatakan ini sejak awal.—Benar. Aku seorang muslim.
Dan aku bangga. Tapi bagaimanapun, banyak orang yang menghakimiku karena kepercayaan
ku ini.” Marry menarik nafas. ”Maksudku. Banyak yang mengasingkan ku dan menjauhiku
ketika orang-orang tahu aku seorang muslim. Orang-orang terlanjur mengenali agamaku
sebagai agama terror. Tapi, seandainya mereka mengenali agama ini—bukan dari opini yang
di besar-besarkan media—mereka akan tahu bahwa agama inipun menginginkan dan
mengajarkan kedamaian dan kebahagiaan. Pada saat aku memasuki ruangan ini, aku ragu
apakah aku harus mengatakan padamu atau tidak tentang agamaku. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk menyembunyikannya—hingga saat ini. Aku tahu kau terkejut. Dan aku
tahu, akan lebih buruk seandainya aku mengatakannya pada hari pertama itu.” Ryan terpekur
mendengar jawaban panjang itu. Ya. Ia tak bisa menyangkal hal itu. Sebelumnya pun—
sebelum ia mengenal Marry—ia menganggap muslim adalah agama perang. Agama penuh
terror. Tapi sekarang, setelah ia mengenal Marry…
Hening. Marry tampak ingin mengatakan sesuatu namun mengurungkannya lagi.
Hingga beberapa saat tak ada suara apapun selain helaan nafas.
“Tadi kau membaca apa?” Tanya Ryan memecah kesunyian.
“Ini Mushaf Al-Qur’an.” Marry menunduk menatap sebuah buku yang ia sebut Mushaf
itu. “Hatiku selalu merasa tenang ketika membacanya.” Jawab Marry mengangkat dagunya
dan tersenyum.
“Boleh aku membacanya?” Tanya Ryan ragu. Marry sempat terkejut mendengar
pertanyaan itu.
“Tentu.” Sebelah tangan Marry menyorongkan mushaf itu ke tangan Ryan. “Jika kau
mau akan aku berikan Mushaf itu untuk mu.”
“Sungguh?” Tanya Ryan terdengar antusias.
“Ya, tentu saja” Jawab Marry tak kalah bersemangat.
Tadinya Ryan hanya ingin menghilangkan kecanggungan diantara mereka. Ia tahu. Naïf
bila menilai seseorang hanya dariluarnya saja. Dan benar kata Marry, seandainya orang-orang
mengenali islam itu secaara keseluruhan. Maka mereka akan sepakat bahwa islam adalah
agama damai dan agama yang mengajarkan tentang penyerahan terhadap Tuhan. Seperti
Marry yang ia kenal. Maka ia pun bertanya apa gerangan yang sedang Marry baca. Karena ia
tadi sempat melihat Marry menangis, tapi sorot wajahnya bahagia. Ekspresi yang sering

9
muncul ketika seseorang sedang terharu. Tapi ketika mendengar jawaban Marry. Ia pun
tertegun, dan menjadi sangat senang ketika Marry menawarkan Mushaf itu untuknya. Dan
jelas ia bahagia menatap mushaf itu kini ada di tangannya.
***
Hari ini Ryan menjalani tes dengan seorang dokter bedah ketika mendapati dirinya
tidak bisa menggerakan tangan kanannya. Dan hasilnya sangat mengejutkan. Dokter itu
menyebutkan bahwa Ryan harus segera melakukan transplantasi sumsum tulang belakang.
Walaupun kelumpuhan Ryan tidak diakibatkan oleh virus, tapi efek samping dari cedera yang
timbul karena kecelakaan itu terus menyebar karena daya imun yang terus menurun seiring
berjalannya waktu. Dokter memprediksikan apabila dalam waktu beberapa hari kedepan
Ryan tidak melakukan transplantasi itu, selain tangan kanannya maka akan menyusul tangan
kiri dan kakinya. Dua hari selanjutnya, cedera itu akan menyebar hingga ke otak kecil,
bagian otak yang mengatur semua gerak reflek tubuh. Apabila itu terjadi, bukan hanya
lumpuh total. Ryan juga takkan bisa merasakan sakit apabila terluka. Dan yang paling buruk.
Ryan akan mengalami fase selanjutnya yakni lumpuhanya keseluruhan otak. Dan pada saat
itu Ryan akan koma dan akan sangat sulit untuk disembuhkan.
Sepasang air mata mengalir di pipinya. Bukankah ia seharusnya bahagia karena ia akan
segera mati? Seperti yang sering ia harapkan dulu. Bukankah dengan kondisinya yang seperti
itu akan memudahkannya untuk meninggalkan kehidupan yang menurutnya dulu menyiksa?
Tidak akan ada rasa sakit, karena kelumpuhan otak itu akan membuat ia takkan
merasakannya. Dan lambat laun ia akan mati karena koma. Bukankah seharusnya ia senang
akan hal itu?
Tidak. Ia tidak senang dan Ia tidak ingin mati. Ia tidak pernah mengaharapkan hal itu
lagi sejak… Sejak Marry mengenalkan kehidupan bahagia dengan cara yang sederhana dua
bulan terakhir ini. Ya. Sejak itulah ia mulai berharap dan kini ia tahu ia tidak ingin mati. Ia
ingin mendengar cerita Marry lagi, melihat sorot wajahnya, mendengar tawanya, celotehnya,
senyumnya, suaranya, dan… Tunggu. Apakah keinginannya untuk tetap hidup ini tidak lain
karena perasaan lain yang mulai terasa ketika ia menatap senyum Marry itu? Mungkinkah ia
menyukai Marry?
Ryan tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi tak bisa menampiknya juga. Karena..
“Kau tidak mendengarkan apa kataku, Ryan?” Ryan seperti tersedot dalam lubang
hitam kesadarannya.
“Apa?” Ryan langsung menjawab. Ia tersadar sedang berada di ruang dokter bedah.

10
“Kau membutuhkan donor sumsum tulang belakang, Ryan. Dan rumah sakit tidak
memiliki itu.—Tapi jangan khawatir, akan kami usahakan untuk mencarinya sebelum
cederamu semakin parah.”
***
Ryan melamun ketika memasuki ruangan tempat biasa ia di rawat. Bagaimana
seandainya donor itu tak pernah ada? Apakah kehidupannya akan berakhir begitu saja? Ya.
Mungkin saja. Tapi, apakah itu adil? Mengapa ketika ia berharap untuk tetap hidup ia justru
dinyatakan akan mati beberapa hari lagi?
Ryan mendesah. Dadanya berat.
Mengapa tidak dari dulu—sebelum ia berharap seperti ini—kematian itu datang? Ia
memikirkan kembali gagasannya ketika ia sedang berada di ruang dokter bedah itu. Apakah
alasannya menjalani hidup ini karena ia menyukai Marry?—Kenapa rasanya pertanyaan itu
tidak tepat baginya?
Fikiran Ryan kembali terfokus. Ia tidak sadar sudah memasuki ruangan.
“Istirahatlah Ryan.” Suara suster itu setelah membaringkan Ryan di atas kasur. Ryan
mengangguk dan menoleh kesampingnya. Mencari Marry.
“Suster, dimana pasien yang tidur di kasur sebelah itu?” Tanya Ryan setelah mendapati
kasur Marry kosong.
“Ia dialihkan ke ruang ICU. Pasien itu ditemukan pingsan di lobi ketika kau diruangan
dokter bedah tadi. ”Jawab suster itu kemudian berbalik melewati pintu itu.
Ryan tertegun. Apa yang sudah terjadi? Apakah Marry baik-baik saja? Ryan mencoba
meyakini dirinya bahwa Marry akan baik-baik saja. Tapi, gagal. Berbagai macam
kemungkinan terburuk berseliweran dalam benaknya. Bagaimana seandainya Marry tidak
tertolong? Bagaiman kalo Marry ma-ti? Ryan memejamkan mata. Ia tidak bisa berfikir jernih
saat ini. Ia menjadi paranoid dengan yang namanya kematian. Ia harus menenangkan diri.
Tepat pukul dua lebih lima menit seorang mengetuk pintu dan memasuki ruangan.
“Setelah waktu yang sangat lama akhirnya kau mendapatkan donor Ryan. Kau siap
untuk operasi hari ini.” Ungkap dokter bedah itu, bersemangat. “ Ini keajaiban. Bukankah
sudah ku katakana kau tidak perlu khawatir. Lihat, wajahmu pucat begitu. Sekarang, kita
bergegas untuk operasi”
***
Seperti melayang pada sebuah dimensi asing yang tak pernah ia lihat. Dalam dimensi
itu terdapat danau seukuran lapangan bola, bangku taman yang dinaungi pohon maple,
kawanan angsa, merpati, layang-layang, kincir ria, pegunungan salju, lapangan golf. Ia sadar

11
ini adalah sebuah ingatan. Ingatan dari sebuah imajinasi. Semua ini tampak nyata. Sinar
matahari yang menghangatkan kulit dan terpaan angin yang membelai kulit yang terbuka. Ia
mendengarkan gemerisik angin yang meniup daun-daun yang tepat di atasnya. Mimpi. Mimpi
ini indah. Dan ia tak ingin terbangun.
Seseorang membelai wajahnya.
“Apa ia akan sadar?” Suara itu bertanya dengan nada khawatir. Mama?
“Tentu saja. Ibu lihat kelopak matanya yang bergetar? Sepertinya sebentar lagi ia akan
segera terbangun.” Suara dokter bedah itu menimpali.
Ryan membuka kelopak matanya perlahan.
“Kau sudah sadar, Nak? Syukurlah Tuhan. Apa yang kau rasakan, Nak? Apa kau
merasa baik-baik saja?”
“Haus, Ma.” Suara Ryan serak.
“Oh. Sebentar—Sini mama angkat kepala mu.” Ibu Ryan pun mendekatkan gelas pada
mulutnya.
“Punggungku sakit, Ma.” Ryan meringis menahan sakit.
“Itu berarti keajaiban, Ryan, punggungmu sudah berfungsi lagi. Kau sedang masa
penyembuhan setelah operasi” Jawab dokter bedah itu di belakang mama.
“Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“Tidak lama, Sayang. Hanya empat hari”
“Aku ingin pindah ke ruangan lama ku, Ma. Bisa kan?”
“Bagaimana dok? Bisa tidak?” Mama balik bertanya.
“Bisa. Tapi, tidak sekarang. Ryan harus menjalani serangakain tes pasca operasi
terlebih dahulu”
***
Ryan menghampiri rungan itu dengan mengenakan kursi roda. Ada kerinduan sebelum
ia membuka pintu itu. Beberapa hari tak bertemu dengan gadis itu seperti ikan yang tak
bertemu dengan air. Megap-megap. Tapi, ia bukan ikan. Jadi tentunya Ryan tidak megap-
megap seperti itu. Tapi kerinduan tertahan ini sulit di ungkapkan. Seperti ada yang hilang.
Tapi tak tahu apa itu yang hilang. Ia harus mencari. Dan ia tahu bahwa ia akan
menemukannya pada perempuan itu.
Ryan tersenyum. Apa jadinya apabila Marry tahu ia sudah sembuh? Ia pasti akan
senang. Bayangan pertama yang muncul ketika ia sembuh adalah mengajak Marry ke taman
di luar jendela itu. Menikmati teriknya sinar matahari musim panas. Main layang-layang.
Kemudian menaiki kincir ria. Pasti menyenangkan.

12
Ryan pun menyentakan pintu yang ada di hadapannya dan berseru, “Marry?” Suara
Ryan terdengar jernih bahkan di telinganya sendiri.
Tak ada jawaban.
“Marry apa kau ada di dalam?” Ryan kembali menyeru dengan suara yang cukup keras
untuk didengar dan direspon. Masih tidak ada jawaban. Ryan pun menggelindingkan roda
kursinya dan memasuki pintu itu. Apakah Marry…?
Benar. Marry—tidak ada. Ryan terhenyak ditempatnya duduk sekarang. Berbagai
spekulasi mulai berhamburan. Kemana Marry? Apakah ia masih di ruang ICU? Atau apakah
Marry sudah sembuh dan pulang ke rumahnya? Tanpa memberi tahunya dulu? Tanpa pamit?
Tanpa memberi alamat atau nomor kontak?
Ryan pun berbalik. Dan dengan tergesa menuju konter resepsionis untuk menanyakan
hal itu. Ketika resepsionis itu membuka beberapa dokumen, Ryan tertegun ketika tak ada
satupun pasien yang terdaftar dengan nama Marry atau Marriana Ulfa Dupont. Ryan mulai
panik. Kenapa ini bisa terjadi? Ryan pun bertanya siapa yang mendiamai ruangan yang sama
dengannya itu. Dan jawaban resepsionis itu membuat Ryan geram. Dokumen yang di cari
ternyata tidak ada. Bagaimana ini? Kemana lagi Ryan harus mencari Marry? Ryan pun
berbalik dengan pundak yang terkulai lemas. Marry, kenapa kau tega melakukan ini
kepadaku.
***
Butuh waktu tiga minggu hingga Ryan dinyatakan sembuh. Dan Ryan memutuskan
untuk tidak pindah ke ruangan sebelumnya. Bagaimana Ryan bisa melakukan itu?
Seandainya bayangan Marry yang meninggalkannya tanpa—setidaknya—pamit itu terus
membuat dirinya tertekan.
Ia menarik nafas dalam. Ryan merasa kalah. Alasan sesungguhnya kenapa ia menolak
untuk pulang dua hari lalu, tak lain karena ia masih berharap Marry akan menjenguknya.
Setidaknya untuk sedikit kata-kata perpisahan. Hanya itu. Tapi, bagaimana ini? Sudah tiga
minggu Ryan menunggu, dan Marry tak pernah datang.
Sebelumnya Ryan sudah menduga bahwa perasaanya tidak sesederhana itu terhadap
Marry, ketika ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku menyukai Marry? Ia terus
mengulang pertanyaan itu. Walau ia tak pernah menjawabnya secara langsung, tapi ia tahu
perasaannya lebih daripada hanya sekedar suka.
Dan sekarang Ryan mulai cemas. Perlahan harapan-harapan yang pernah ia miliki
berangsur hilang. Marry tak pernah kembali. Dan ia takut. Bagaimana seandainya hari-hari

13
terburuknya kembali datang? Bayangan ketika ia tidak berdaya dengan perasannya. Putusasa,
ketakutan, kecemasan, rasa muak.
Ryan pun memejamkan matanya. Ini sulit. Benar-benar sulit. Ia membutuhkan
ketenangan untuk menjernihkan fikirannya yang mulai melantur dan membuatnya frustasi.
Dan setiap kali Ryan terpejam, bayangan itu ada disana—dalam benaknya. Baik ia sedang
tersadar seperti ini maupun sedang tertidur di malam hari. Membiarkan bayangan itu seperti
ini rasanya seperti memakan buah simalakama. Ia tahu ia membutuhkan bayangan itu—
bayangan sorot wajah Marry, tawa cerianya, celotehnya, suaranya yang seperti genta angin—
setidaknya untuk membuat Ryan tenang karena ia yakin bahwa Marry benar-benar ada.
Pernah hadir dalam bagian hidupnya yang paling bahagia. Tapi, apabila ia terus menerus
memikirkan bayangan itu, maka itu hanya akan membuatnya binasa. Ia akan hanyut oleh rasa
rindu yang mulai menggores bilik hatinya. Seperti saat ini. Dan itu sakit.
Tapi bagaimana seandainya dalam fase hidupnya nanti ia memutuskan untuk
melupakan Marry?—Ryan tak sanggup memikirkan kemungkinan itu. Tapi bukankah ia
harus melakukan hal itu seandainya Marry memang tak peduli lagi terhadapnya?
Tanpa sadar Ryan menangkupkan tangannya di depan dada. Sesuatu rasanya seperti
mengoyak dadanya. Ryan meringis.
Seandainya suatu saat ia melakukan itu. Ia takan lagi memiliki suatu hal yang akan
membuat ia menyadari bahwa Marry benar-benar ada. Ia akan kehilangan Marry bahkan
untuk sebuah kenangan yang tersisa.
Dan butir bening itu pun akhirnya terjatuh.
Ia takkan sanggup melakukan itu. Ia harus berpaling untuk tidak memikirkan hal itu
lagi. Ia harus terus menunggu. Dan selama menunggu itu ia harus tetap memiliki Marry
dalam benaknya. Memang akan sulit. Tapi ia tak memiliki pilihan lain. Ia harus memikirkan
kenangan sepele yang tak akan mengahancurkannya. Seperti memikirkan obrolan-obrolan
yang dulu sering ia lakukan dengan Marry. Itu cukup mudah. Obrolan itu mungkin suatu hal
yang tidak penting saat itu, seperti: genre film yang mereka sukai; kartun favorit mereka;
beberapa tempat yang masing-masing ingin mereka kunjungi; buku-buku yang pernah
mereka baca—Ryan tertegun. Ah. Ia ingat Marry suka sekali membaca Al-Qur’an. Ia suka
sekali menatap wajah Marry ketika ia sedang membaca Al-Qur’an. Ryan menemukan
kedamaian itu benar-benar nyata pada wajah Marry ketika Marry melantunkan ayat-ayat suci
itu—Tunggu... Al-Qur’an itu sekarang dimana, ya? Ah, Ryan ingat. Ia pun langsung berbalik
menghadap lemari di samping tempat tidurnya dan menyentakan laci yang paling atas.

14
“Ketemu!” Pekik Ryan setengah berbisik. Ia bahkan sudah lupa kapan ia menyimpan mushaf
itu di sana.
Sesaat Ryan hanya menatap mushaf itu. Ia seolah dapat melihat wajah Marry ketika ia
menatap sampulnya yang berwarna kuning keemasan itu. Benar-benar menatap wajah Marry.
Ia mengingat hari ketika ia menerima mushaf itu. Hari itu Marry tersenyum. Tapi senyum itu
berbeda dengan senyum yang sering ia lihat sebelumnya.
Ryan pun membuka kaitan mushaf itu dan membuka halaman pertama. Disana tergores
sebuah tulisan tangan.
Ayse Yousef, sebuah nama sebuah makna.
Bukankah ini milik Marry? Ia yakin itu. Mengapa disana tertulis nama lain? Ayse
Yousef. Nama itu asing. Mungkinkah nama keluarganya? Ibunya? Atau sepupunya? Ah,
tidak mungkin. Bukankah Marry bilang mushaf ini adalah hadiah ulang tahun dari Ayahnya
ketika ia mulai belajar membaca Al-Qur’an dulu?
Sebelum memikirkannya terlalu jauh sebuah kertas terjatuh dalam pangkuan Ryan.
Sebuah surat. Tertulis dengan nama yang sama pada halaman pertama itu. Ayse
Yousef. Ryan bisa saja berfikir bahwa surat itu bisa ditujukan untuk siapapun. Tapi ketika ia
mendapati tulisan itu—To : Ryan Daniel Brown—dibaliknya. Ryan kini yakin bahwa surat
itu adalah surat yang ditujukann untuknya.
Dengan tangan bergetar. Ryan mulai membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca
kalimat pertama.
Dear Ryan.
Semoga Allah menjagamu dalam dekapan-Nya malam ini. Saat ini aku hanya sanggup
melihatmu dalam bayangan ku saja. Tapi, ku tahu itu sudah cukup untuk ku.
Aku ingat sebelumnya kau pernah bertanya padaku, apa penyakitku sesungguhnya. Cukup sulit
untuk ku menjawabnya. Tapi aku tahu sudah terlalu banyak yang aku sembunyikan dari mu.
Sebenarnya aku... mengidap kelainan jantung bawaan. Dan semakin hari jantungku semakin terasa
sesak. Dokter mengatakan bahwa itu dikarenakan beban jantungku yang kian bertambah. Dokter juga
mengatakan bahwa lama kelamaan beban jantung ini akan menyebabkan kerusakan otot jantung
sehingga akan membuat ku cepat lelah.
Kau tahu? Sebetulnya dokter sudah menetapkan tanggal kematian ku sejak dulu? Saat aku kelas
lima SD? Dokter itu juga mengatakan bahwa bagaimanapun semua penyakit jantung itu akan berujung
pada kematian. Tak ada lagi harapan. Aku takut. Sangat. Tapi bukankah semua makhluk hidup itu
akan mati? Itu adalah taqdir yang sudah ditetapkan Tuhan bahkan sebelum kehidupan ini sendiri di

15
ciptakan? Aku tak ingin menyerah. Itu sebabnya aku bisa bertahan hingga sejauh ini dan bisa
mengenalmu.
Ryan.
Seandainya kau membaca surat ini. Berarti kau sudah sembuh dari penyakitmu. Mungkin kau
bertanya kenapa aku tahu? Percayalah karena aku mengenalmu. Oleh karena itu kumohon jangan
mencari ku. Karena aku ada di dekatmu. Akan selalu ada di dekatmu. Lihatlah keluar jendela kamar
itu, maka aku akan melihat apa yang kau lihat. Dan kaupun akan tahu. Semua yang ingin kau lihat
tidak bisa menjadi apapun yang kau lihat.
Ryan. Je t’aime.
***
Ryan berlari menuju konter resepsionis itu. Tanpa sedikitpun memikirkan rambutnya
yang berantakan. Air matanya mulai mengaliri pipinya. Ayse Yousef. Nama itu... Ia pernah
mendengar nama itu sebelumnya. Itu sebabnya ia berlari. Ia harus memastikannya.
Ketika Ryan sampai pada konter resepsionis itu. Dadanya tersengal. Untuk beberapa
saat tak ada suara apapun selain tarikan nafasnya yang memburu.
“Apakah sebelumnya pernah ada pasien yang mendaftar dengan nama Ayse Yousef di
rumah sakit ini?” Ryan bertanya disisa sengalnya yang masih terdengar.
“Tunggu sebentar, saya cek terlebih dahulu.” Resepsionis itu tampak membuka
beberapa dokumen, kemudian berseru,”Ada! Atas nama Ayse Yousef. Pasien itu mulai
terdaftar pada pertengahan Februari di rumah sakit ini karena kelainan jantung.”
Benar. Itu dia!
“Dimana ia sekarang? Apakah ia sudah sembuh dan pulang? Bolehkah saya meminta
alamatnya?” Ryan tampak antusias. Ia bisa bertemu dengan Marry ketika ia mendapatkan
alamatnya.
“Sebentar. Dokumennya dimana ya?” Resepsionis itu menggumam dan mencari
beberapa dokumen lain di tumpukan buku-buku arsip itu. ”Ini dia. Ayse Yousef? Ahh. Ia
sudah meninggal sejak sebulan lalu, tuan. Kelainan jantungnya sudah sangat kronis. Tapi,
sebelum ia meninggal. Ia mendonorkan sumsum tulang belakangnya pada pasien kami yang
bernama—Ryan Daniel Brown.”
Degh. Ryan tak bisa mendengar detak jantungnya. Semua yang ada di sekitarnya
berubah buram dan semakin gelap. Terpilin. Pandangan Ryan berputar. Telinganya
berdenging memilukan, ia tak bisa mendengar suara apapun lagi di kepalanya. Bahkan
teriakan resepsionis yang menjerit di balik konter. Ia merasakan rasa dingin menyentuh lutut

16
kakinya, kemudian telapak tangannya, sebelum akhirnya rasa dingin itu menyentuh
wajahnya. Air mata itu mengalir. Dan Ryan pun tak sadarkan diri.
***

17
Epilog
Setiap ia mengingat senyum itu, ia akan menangis.
Ayse Yousef. Siapa yang mengira Marry akan menggunakan nama kecilnya ketika ia
mendaftar di rumah sakit saat itu? Nama yang diberikan oleh Ayahnya. Ayse Yousef, sore
itu—menjelang operasi—dokter bedah itu menyebutkan nama itu untuk pertama kalinya.
Sebagai orang mulia yang sudah menjadi seorang pendonor. Ayse Yousef. Ryan kini tahu saat
itu pemilik nama itu pun memasuki ruangan yang sama. Hanya saja terhalangi oleh
ketidaksadaran karena obat bius yang segera membuat ia tidak sadarkan diri. Padahal sudah
sedekat itu. Untuk melihat senyumnya lagi ketika ia sedang menutup mata. Senyum yang
begitu familier. Senyum yang takkan pernah ia lihat lagi.
Ryan mengusap air matanya. Tubuhnya masih bergetar dan hidungnya terus
mengeluarkan isak yang terus coba ia redam. Ia kembali berbalik untuk menatap keluar
jendela itu. Sudah ratusan kali ia melihat keluar sana. Membayangkan bahwa kini Marry pun
sedang melihat apa yang ia lihat. Ia tahu apa yang kini dimaksud Marry untuk tidak
mencarinya dalam surat itu. Ia sangat faham. Tapi tak urung ia pun kembali terisak.
Apapun yang pernah ia bayangkan: Taman dengan danau seukuran lapangan bola, kursi
taman yang dinaungi poho-npohon maple, layang-layang, kawanan angsa, kincir ria, bunga
musim semi, lapangan golf, pegunungan, semuanya.—Tidak pernah ada. Ryan mendapati
dibalik jendela itu hanyalah dinding tinggi sebuah gedung bertingkat. Tak ada apapun lagi.
Apakah Ryan mestinya marah karena merasa dibohongi? Tidak—lebih dari apapun ia
sangat bersyukur. Karena Tuhan mengirim Marry untuknya. Mengirim Marry untuk menjadi
semangat baru hidupnya. Mengirim Marry menjadi bagian dirinya. Marry takkan pergi dari
sisinya, sampai kapanpun. Karena Marry adalah anugrah Tuhan yang khusus diciptakan
untuknya.
Ia mengulangi kalimat terakhir surat yang sudah ribuan kali ia baca itu. Je t’aime. Ia
tahu persis apa arti kalimat itu. Dan ia pun tahu sejak dulu ia sudah merasakan hal yang sama.
Tapi keraguannya-lah yang membuat ia tak pernah mengakui hal itu. Dan sekarang, apalagi
yang bisa ia lakukan? Selain menjalani hidup seperti yang diharapkan oleh Marry untuknya?
Sepasang air mata kembali mengalir di pipinya. Marry, Je t’aime—Aku mencintaimu.

Diselesaikan pada 6 juni 2015


Pukul 2.14 WIB
Asrama Atas
18

Anda mungkin juga menyukai