Anda di halaman 1dari 224

LEMBARAN DAERAH

KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0085

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 1 TAHUN 2013

TENTANG

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai hasil


pembangunan daerah yang optimal serta
untuk menjamin konsistensi dan
keberlanjutan pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi secara efisien dan efektif,
diperlukan adanya sistem perencanaan
pembangunan daerah yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4421);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4844);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008
tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4817);
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66
Tahun 2007 tentang Perencanaan
Pembangunan Desa;

2
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 517).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG SISTEM


PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores
Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Flores Timur.
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat
SKPD adalah perangkat daerah pada Pemerintah Daerah.
6. Instansi Perencana adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang melaksanakan urusan Perencanaan Pembangunan di
Daerah.
3
7. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan
tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
8. Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya
yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan
kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan
kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks
pembangunan manusia.
9. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses
penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan
berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada,
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam
suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu
tertentu.
10. Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di daerah.
11. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang
selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan
daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat
Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah.
12. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
yang selanjutnya disingkat RPJPD Provinsi adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun
yang memuat Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah
Provinsi.
13. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Flores Timur yang selanjutnya disingkat RPJMD
adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk
periode 5 (lima) tahun sebagai penjabaran visi, misi dan
program Bupati, arah kebijakan keuangan daerah, strategi
pembangunan Daerah, kebijakan umum dan program
4
SKPD, lintas SKPD dan program kewilayahan disertai
dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif yang
berpedoman pada RPJPD serta memperhatikan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
14. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang
selanjutnya disingkat RPJM-Desa adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat
arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan
keuangan Desa, kebijakan umum, dan program, dan
program Satuan Kerja Peragkat Daerah, lintas Satuan Kerja
Peragkat Daerah dan program prioritas kewilayahan,
disertai dengan rencana kerja;
15. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya
disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah
untuk periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan rencana
pembangunan tahunan daerah yang merupakan
penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah
dan rencana kerja, pendanaan dan prakiraan maju.
16. Rencana Kerja Pembangunan Desa yang selanjutnya
disingkat RKP-Desa adalah dokumen perencanaan untuk
periode 1 (satu) tahun merupakan penjabaran dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa yang memuat
rancangan kerangka ekonomi Desa, dengan
mempertimbangkan kerangka pendanaan yang
dimutahirkan, program prioritas pembangunan Desa,
rencana kerja dan pendanaan serta prakiraan maju, baik
yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah Desa maupun
yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat
dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah
dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa.
17. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
selanjutnya disebut Renstra-SKPD adalah dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk
periode 5 (lima) tahun.

5
18. Rencana Strategis Kelurahan yang selanjutnya disebut
Renstra-Kelurahan adalah dokumen perencanaan
Kelurahan untuk periode 5 (lima) tahun.
19. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
selanjutnya disingkat Renja-SKPD adalah dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk
periode 1 (satu) tahun.
20. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang
selanjutnya disingkat RPJPN adalah dokumen perencanaan
pembangunan Nasional untuk periode 20 (dua puluh)
tahun.
21. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan
pembangunan Nasional untuk periode 5 (lima) tahunan.
22. Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP
adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1
(satu) tahun.
23. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya
disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.
24. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
25. Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang
memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan
pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk
periode 1 (satu) tahun.
26. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya
disingkat PPAS adalah rancangan program prioritas dan
patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada
Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk setiap program
sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.
6
27. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang selanjutnya disingkat RKA-SKPD adalah
dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi
rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan
Satuan Kerja Perangkat Daerah serta rencana pembiayaan
sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
28. Rencana kerja adalah dokumen rencana yang memuat
program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai
sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi
dan kerangka anggaran.
29. Kerangka anggaran adalah rencana kegiatan pengadaan
barang maupun jasa untuk mencapai tujuan pembangunan
daerah yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
30. Isu-isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus
diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan
pembangunan daerah karena dampaknya yang signifikan
bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting,
mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan
tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah di masa yang
akan datang.
31. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang
diinginkan pada akhir periode perencanaan.
32. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang
akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
33. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-
program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
34. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh
pemerintah daerah untuk mencapai tujuan.
35. Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi
satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah atau masyarakat, yang
dikoordinasikan oleh pemerintah daerah untuk mencapai
sasaran dan tujuan pembangunan daerah.

7
36. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan
oleh satu atau beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah
sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu
program, dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan
sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya
manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi,
dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis
sumber daya tersebut, sebagai masukan (input) untuk
menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
37. Kegiatan prioritas adalah kegiatan yang ditetapkan untuk
mencapai secara langsung sasaran program prioritas.
38. Prakiraan maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk
tahun-tahun berikutnya dari tahun anggaran yang
direncanakan, guna memastikan kesinambungan kebijakan
yang telah disetujui untuk setiap program dan kegiatan.
39. Bersifat indikatif adalah data dan informasi, baik tentang
sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan
dampak yang tercantum di dalam dokumen rencana, hanya
merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak kaku.
40. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang
akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan
anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
41. Indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara
kuantitatif dan/atau kualitatif untuk masukan, proses,
keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang
menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu program
atau kegiatan.
42. Sasaran adalah target atau hasil yang diharapkan dari
suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu
kegiatan.
43. Musyawarah perencanaan pembangunan yang selanjutnya
disebut Musrenbang adalah forum antarpemangku
kepentingan dalam rangka menyusun rencana
pembangunan daerah.
44. Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah merupakan wahana
antar pihak-pihak yang langsung atau tidak langsung

8
mendapatkan manfaat atau dampak dari program dan
kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja
Perangkat Daerah.
45. Narasumber adalah pihak pemberi informasi yang perlu
diketahui peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan
untuk proses pengambilan keputusan hasil Musyawarah
Perencanaan Pembangunan.
46. Pagu Wilayah Kecamatan yang selanjutnya disingkat PWK
adalah sejumlah plafon anggaran yang dialokasikan untuk
mendanai program kegiatan prioritas dan mendesak yang
ditetapkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah di Kecamatan yang
wajib diakomodir dalam Rencana Kerja Pembangunan
Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah guna
mendukung percepatan pembangunan dan kesejangan
antarwilayah.
47. Pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang
dimaksudkan untuk menjamin agar suatu
program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan
rencana yang ditetapkan.
48. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan
realisasi masukan (input) dan hasil (outcome) terhadap
rencana dan standar.
49. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan
pelaksanaan rencana pembangunan/mengidentifikasi serta
mengantisipasi permasalahan yang timbul untuk dapat
diambil tindakan sedini mungkin.
50. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya
disingkat RTRW Provinsi adalah hasil perencanaan tata
ruang yang merupakan penjabaran strategi dan arahan
kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi ke dalam
struktur dan pola ruang wilayah.
51. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya
disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang yang
merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijakan
pemanfaatan ruang wilayah Daerah ke dalam struktur dan
pola ruang wilayah.
9
BAB II
TUJUAN, RUANG LINGKUP, PRINSIP DAN PENDEKATAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 2
Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya konsistensi, integrasi, sinkronisasi
dan sinergi baik antarruang, antarwaktu, antarfungsi
Pemerintah Daerah baik di tingkat Desa/Kelurahan,
Kecamatan maupun Kabupaten serta antara Daerah,
Provinsi dan Pusat;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Perencanaan Pembangunan Daerah mencakup
penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi
pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan
secara terpadu yang meliputi tahapan, tata cara
penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaannnya.
(2) Perencanaan Pembangunan Daerah terdiri atas
perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu
oleh SKPD dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah
Desa/Kelurahan sesuai dengan kewenangannya.
(3) Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), menghasilkan:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang;
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah; dan
c. Rencana Pembangunan Tahunan.
10
Bagian Ketiga
Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah

Pasal 4
Prinsip-prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah:
a. merupakan satu kesatuan dalam sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
b. dilakukan Pemerintah Daerah bersama para pemangku
kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-
masing;
c. mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana
pembangunan Daerah; dan
d. dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi Daerah,
sesuai dinamika perkembangan Daerah dan Nasional.

Pasal 5
Perencanaan Pembangunan Daerah dirumuskan secara:
a. transparan;
b. responsif;
c. efisien;
d. efektif;
e. akuntabel;
f. partisipatif;
g. terukur;
h. berkeadilan; dan
i. berwawasan lingkungan.

Bagian Keempat
Pendekatan Perencanaan Pembangunan Daerah

Pasal 6
Perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan:
a. teknokratik;
b. partisipatif;
c. politik; dan
d. top-down dan bottom-up.
11
Pasal 7
(1) Pendekatan teknokratik dalam Perencanaan Pembangunan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh
lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas
untuk itu dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan daerah.
(2) Metoda dan kerangka berpikir ilmiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), merupakan proses keilmuan
untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis terkait
perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data
dan informasi yang akurat serta dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 8
Pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b, dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki, dengan
mempertimbangkan:
a. relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan di setiap tahapan
penyusunan dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah;
dan
b. kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur
pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan
keputusan.

Pasal 9
Pendekatan politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, bahwa program-program pembangunan yang
ditawarkan Bupati dan Wakil Bupati terpilih pada saat
kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD.

Pasal 10
Pendekatan perencanaan pembangunan daerah top-down (atas-
bawah) dan bottom-up (bawah-atas) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d, hasilnya diselaraskan melalui
12
musyawarah yang dilaksanakan mulai dari Desa/Kelurahan,
Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Nasional, sehingga
tercipta sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana
pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah.

BAB III
PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PELAKSANAAN
MUSRENBANG, PERUMUSAN RANCANGAN AKHIR DAN
PENETAPAN RPJPD

Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Awal

Pasal 11
Instansi Perencana menyusun rancangan awal RPJPD
berdasarkan kondisi, karakteristik dan potensi daerah dengan:
a. mengacu pada RPJPN dan RPJPD Provinsi;
b. berpedoman pada RTRW; dan
c. memperhatikan RPJPD dan RTRW Kabupaten lainnya.
Pasal 12
Penyusunan rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. penelaahan RTRW dan RTRW Kabupaten lainnya;
c. analisis gambaran umum kondisi Daerah;
d. perumusan permasalahan pembangunan Daerah;
e. penelaahan RPJPN, RPJPD Provinsi dan RPJPD Kabupaten
lainnya;
f. analisis isu-isu strategis pembangunan jangka panjang
Daerah;
g. perumusan visi dan misi Daerah;
h. perumusan arah kebijakan;
i. pelaksanaan forum konsultasi publik; dan
j. penyelarasan visi, misi, dan arah kebijakan RPJPD.

13
Pasal 13
Sistematika RPJPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. analisis isu-isu strategis;
d. visi dan misi daerah;
e. arah kebijakan daerah; dan
f. kaidah pelaksanaan.
Pasal 14
(1) Rancangan awal RPJPD yang telah disusun dikoordinasikan
oleh Kepala Instansi Perencana kepada para Kepala SKPD
dan dikonsultasikan kepada publik.
(2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk memperoleh masukan penyempurnaan rancangan
awal.
(3) Instansi Perencana mengajukan rancangan awal RPJPD
yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), kepada Bupati dalam rangka memperoleh
persetujuan untuk dibahas dalam Musrenbang RPJPD.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Musrenbang RPJPD

Pasal 15
(1) Musrenbang RPJPD dilaksanakan untuk penajaman,
penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap
rancangan awal RPJPD.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penajaman visi dan misi daerah;
b. penyelarasan sasaran pokok dan arah kebijakan
pembangunan jangka panjang daerah untuk mencapai
visi dan misi daerah;
c. penajaman sasaran pokok pembangunan jangka
panjang daerah;
14
d. klarifikasidan penajaman tahapan dan prioritas
pembangunan jangka panjang daerah; dan
e. membangun komitmen bersama antara pemangku
kepentingan untuk mempedomani RPJPD dalam
melaksanakan pembangunan daerah.
(3) Musrenbang RPJPD dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh
Instansi Perencana.
(4) Pimpinan DPRD atau anggota DPRD, pejabat dari
kementerian/lembaga tingkat pusat, tingkat Provinsi atau
dari unsur lain terkait, dapat diundang menjadi
narasumber dalam Musrenbang RPJPD.

Pasal 16
(1) Hasil Musrenbang RPJPD dirumuskan dalam berita acara
kesepakatan dan ditandatangani oleh wakil dari setiap
unsur pemangku kepentingan yang menghadiri
Musrenbang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
Musrenbang RPJPD diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Perumusan Rancangan Akhir RPJPD

Pasal 17
(1) Hasil Musrenbang RPJPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), menjadi bahan masukan untuk
merumuskan rancangan akhir RPJPD.
(2) Rancangan akhir RPJPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum
RPJPD yang berlaku berakhir.

Pasal 18
(1) Bupati mengkonsultasikan rancangan akhir RPJPD kepada
Gubernur.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
landasan hukum penyusunan, sistematika dan teknis
penyusunan, konsistensi menindaklanjuti hasil

15
Musrenbang RPJPD, sinkronisasi dan sinergi dengan
RPJPN, RTRW Provinsi, RPJPD Provinsi dan RTRW
Kabupaten lainnya.
Bagian Keempat
Penetapan RPJPD

Pasal 19
(1) RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Bupati menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah
tentang RPJPD kepada DPRD untuk dibahas dan
memperoleh persetujuan bersama, paling lama 6 (enam)
bulan sebelum berakhirnya RPJPD.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJPD ditetapkan paling lama 6
(enam) bulan setelah penetapan RPJPN, kecuali ditetapkan
lain dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 20
RPJPD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), menjadi
Pedoman Penyusunan Visi, Misi dan Program calon Bupati dan
Wakil Bupati.

BAB IV
PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PENYUSUNAN
RANCANGAN, PELAKSANAAN MUSRENBANG, PERUMUSAN
RANCANGAN AKHIR DAN PENETAPAN RPJMD
Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 21
Instansi Perencana menyusun rancangan awal RPJMD dengan:
a. memuat visi, misi dan program Bupati dan Wakil Bupati
terpilih;
b. berpedoman pada RPJPD dan RTRW; dan
c. memperhatikan RPJMN, RPJMD Provinsi, RPJMD dan
RTRW Kabupaten lainnya.

16
Pasal 22
Penyusunan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. penelaahan RTRW dan RTRW Kabupaten lainnya;
c. analisis gambaran umum kondisi daerah;
d. analisis pengelolaan keuangan daerah serta kerangka
pendanaan;
e. perumusan permasalahan pembangunan daerah;
f. penelaahan RPJMN, RPJMD Provinsi dan RPJMD
Kabupaten lainnya;
g. analisis isu-isu strategis;
h. penelaahan RPJPD;
i. perumusan penjelasan visi dan misi;
j. perumusan tujuan dan sasaran;
k. perumusan strategi dan arah kebijakan;
l. perumusan kebijakan umum dan program pembangunan
daerah;
m. perumusan indikasi rencana program prioritas yang disertai
kebutuhan pendanaan;
n. penetapan indikator kinerja daerah;
o. pembahasan dengan SKPD;
p. pelaksanaan forum konsultasi publik;
q. pembahasan dengan DPRD untuk memperoleh masukan
dan saran; dan
r. penyelarasan indikasi rencana program prioritas dan
kebutuhan pendanaan.
Pasal 23
Sistematika RPJMD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka
pendanaan;
d. analisis isu-isu srategis;
e. visi, misi, tujuan dan sasaran;
17
f. strategi dan arah kebijakan;
g. kebijakan umum dan program pembangunan daerah;
h. indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan
pendanaan; dan
i. penetapan indikator kinerja daerah.
Pasal 24
(1) Rancangan awal RPJMD yang telah disusun
dikoordinasikan oleh Kepala Instansi Perencana kepada
para Kepala SKPD dan dikonsultasikan kepada publik.
(2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk memperoleh masukan penyempurnaan rancangan
awal.
Pasal 25
Bupati mengajukan kebijakan umum dan program
pembangunan jangka menengah daerah dan indikasi rencana
program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan yang
tercantum dalam rancangan awal RPJMD yang telah
disempurnakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) kepada DPRD untuk dibahas dan memperoleh
kesepakatan.
Pasal 26
(1) Rancangan awal RPJMD menjadi pedoman SKPD dalam
menyusun rancangan Renstra-SKPD.
(2) Rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), menjadi bahan penyusunan rancangan RPJMD.
Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan RPJMD
Pasal 27
(1) Instansi Perencana menyampaikan rancangan awal RPJMD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, kepada para
Kepala SKPD dengan Surat Edaran Bupati.
(2) Kebijakan umum dan program pembangunan jangka
menengah daerah serta indikasi rencana program prioritas
yang disertai kebutuhan pendanaan yang telah disepakati
18
Bupati dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
menjadi acuan Kepala SKPD merumuskan kegiatan dalam
rancangan Renstra-SKPD.
(3) Rancangan Renstra-SKPD yang telah disusun disampaikan
kepada Kepala Instansi Perencana paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak Surat Edaran Bupati diterima.
(4) Instansi Perencana melakukan verifikasi terhadap
rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), untuk mengintegrasikan dan menjamin kesesuaian
dengan rancangan awal RPJMD.
(5) Rancangan Renstra-SKPD yang telah diverifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan bahan
masukan untuk penyempurnaan rancangan awal RPJMD
menjadi rancangan RPJMD.

Pasal 28
Instansi Perencana mengajukan rancangan RPJMD kepada
Bupati untuk memperoleh persetujuan dibahas dalam
Musrenbang RPJMD.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Musrenbang RPJMD

Pasal 29
(1) Musrenbang RPJMD dilaksanakan untuk penajaman,
penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap
rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sasaran pembangunan jangka menengah daerah;
b. strategi dan sinkronisasi arah kebijakan pembangunan
jangka menengah daerah dengan pendekatan atas-
bawah dan bawah-atas, sesuai dengan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
c. kebijakan umum dan program pembangunan jangka
menengah daerah dengan Visi, Misi dan Program Bupati
dan Wakil Bupati;

19
d. indikasi rencana program prioritas pembangunan jangka
menengah daerah yang disesuaikan dengan kemampuan
pendanaan;
e. capaian indikator kinerja daerah pada kondisi saat ini
dan pada akhir periode RPJMD;
f. komitmen bersama antara pemangku kepentingan
untuk mempedomani RPJMD dalam melaksanakan
pembangunan daerah; dan
g. sinergi dengan RPJMN, RPJMD Provinsi dan RPJMD
Kabupaten lainnya.
(3) Musrenbang RPJMD dilaksanakan dan dikoordinasikan
oleh Instansi Perencana.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang
RPJMD diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 30
Hasil Musrenbang RPJMD dirumuskan dalam berita acara
kesepakatan dan ditandatangani oleh wakil dari setiap unsur
pemangku kepentingan yang menghadiri Musrenbang.
Bagian Keempat
Perumusan Rancangan Akhir RPJMD

Pasal 31
(1) Perumusan rancangan akhir RPJMD berdasarkan berita
acara kesepakatan hasil Musrenbang RPJMD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30.
(2) Bupati mengkonsultasikan rancangan akhir RPJMD kepada
Gubernur.
(3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi
landasan hukum penyusunan, sistematika dan teknis
penyusunan, konsistensi menindaklanjuti hasil
Musrenbang RPJMD, sinkronisasi dan sinergi dengan
RPJMN, RTRW Provinsi, RPJMD Provinsi dan RTRW
Kabupaten lainnya.

20
Bagian Kelima
Penetapan RPJMD

Pasal 32
(1) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Bupati menyampaikan rancangan Peraturan Daerah
tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas dan
memperoleh persetujuan bersama paling lama 5 (lima)
bulan setelah dilantik.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6
(enam) bulan setelah Bupati terpilih dilantik, kecuali
ditetapkan lain dengan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 33
RPJMD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
menjadi pedoman penetapan Renstra-SKPD, RPJM-Desa dan
penyusunan RKPD, serta digunakan sebagai instrumen
evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB V
RPJM-DESA

Pasal 34
(1) RPJM-Desa memuat visi, misi, program dan kegiatan
pembangunan desa dengan berpedoman pada RPJMD.
(2) RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat
arah kebijakan keuangan desa, strategi pembangunan desa
dan program kerja desa.

Pasal 35
(1) RPJM-Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa.
(2) Kepala Desa mengkonsultasikan rancangan akhir RPJM-
Desa kepada Instansi Perencana.
(3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
menjamin adanya konsistensi dan sinkronisasi pencapaian
tujuan dan sasaran pembangunan daerah.

21
(4) Peraturan Desa tentang RPJM-Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan
setelah RPJMD ditetapkan.

Pasal 36
(1) Kepala Desa melaksanakan pengendalian dan evaluasi
terhadap RPJM-Desa.
(2) Hasil pengendalian dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.

BAB VI
PENYUSUNAN RANCANGAN, PERUMUSAN RANCANGAN AKHIR
DAN PENETAPAN RENSTRA-SKPD
Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Renstra-SKPD

Pasal 37
Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai
dengan tugas dan fungsi SKPD serta berpedoman pada RPJMD
dan bersifat indikatif.

Pasal 38
Visi, misi, tujuan, strategi dan kebijakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, dirumuskan dalam rangka
mewujudkan pencapaian sasaran program yang ditetapkan
dalam RPJMD.

Pasal 39
(1) Pencapaian sasaran program sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, mempertimbangkan pencapaian standar
pelayanan minimum yang telah ditetapkan sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Dalam hal standar pelayanan minimum belum tersedia,
perumusan sasaran program disesuaikan dengan
kebutuhan pelayanan dan kemampuan SKPD.

22
Pasal 40
(1) SKPD menyusun rancangan Renstra-SKPD, berpedoman
pada rancangan awal RPJMD.
(2) Penyusunan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran pelayanan SKPD;
c. review renstra kementerian/lembaga dan Renstra-SKPD
Provinsi;
d. penelaahan RTRW;
e. analisis terhadap dokumen hasil Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan tugas dan fungsi
SKPD;
f. perumusan isu-isu strategis;
g. perumusan visi dan misi SKPD;
h. perumusan tujuan pelayanan jangka menengah SKPD;
i. perumusan sasaran pelayanan jangka menengah SKPD;
j. mempelajari Surat Edaran Bupati sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1);
k. perumusan strategi dan kebijakan jangka menengah
SKPD, guna mencapai target kinerja program prioritas
RPJMD yang menjadi tugas dan fungsi SKPD;
l. perumusan rencana program, kegiatan, indikator
kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif
selama 5 (lima) tahun, termasuk lokasi kegiatan;
m. perumusan indikator kinerja SKPD yang mengacu pada
tujuan dan sasaran RPJMD; dan
n. pelaksanaan forum SKPD.
(3) Perumusan rancangan Renstra-SKPD merupakan proses
yang tidak terpisahkan dan dilakukan bersamaan dengan
tahap perumusan rancangan awal RPJMD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5).

23
Pasal 41
Sistematika Renstra-SKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran pelayanan SKPD;
c. isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;
d. visi, misi, tujuan dan sasaran, strategi dan kebijakan;
e. rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok
sasaran dan pendanaan indikatif; dan
f. indikator kinerja SKPD yang mengacu pada tujuan dan
sasaran RPJMD.

Pasal 42
(1) Rancangan Renstra-SKPD yang telah disusun, dibahas
bersama dengan pemangku kepentingan sesuai dengan
kebutuhan SKPD.
(2) Pembahasan dengan pemangku kepentingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk memperoleh
masukan dalam rangka penajaman pencapaian sasaran
program dan kegiatan pelayanan SKPD.

Pasal 43
(1) Kepala SKPD menyampaikan rancangan Renstra-SKPD
yang telah dibahas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1) kepada Kepala Instansi Perencana untuk
diverifikasi.
(2) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sebagai bahan penyempurnaan rancangan awal RPJMD
menjadi rancangan RPJMD.

Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan Akhir Renstra-SKPD

Pasal 44
(1) Penyusunan rancangan akhir Renstra-SKPD merupakan
penyempurnaan rancangan Renstra-SKPD, yang
berpedoman pada RPJMD yang telah ditetapkan dengan
24
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (1).
(2) Penyempurnaan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mempertajam visi
dan misi serta menyelaraskan tujuan, strategi, kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan daerah sesuai dengan
tugas dan fungsi SKPD yang ditetapkan dalam RPJMD.

Bagian Ketiga
Penetapan Renstra-SKPD

Pasal 45
(1) Renstra-SKPD ditetapkan dengan Keputusan Kepala SKPD
setelah disahkan oleh Bupati.
(2) Pengesahan rancangan akhir Renstra-SKPD oleh Bupati,
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah Peraturan
Daerah tentang RPJMD ditetapkan.
(3) Penetapan Renstra-SKPD oleh Kepala SKPD paling lama 7
(tujuh) hari setelah Renstra-SKPD disahkan oleh Bupati.

Pasal 46
Renstra-SKPD yang telah ditetapkan menjadi pedoman
penyusunan Renja-SKPD, serta digunakan sebagai instrumen
evaluasi pelaksanaan pembangunan sesuai tugas pokok dan
fungsi SKPD.

BAB VII
PENYUSUNAN RANCANGAN RENSTRA KECAMATAN
DAN RENSTRA KELURAHAN

Pasal 47
Ketentuan mengenai Restra SKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 46 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Renstra Kecamatan dan
Renstra Kelurahan.

25
BAB VIII
PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PENYUSUNAN
RANCANGAN, PELAKSANAAN MUSRENBANG, PERUMUSAN
RANCANGAN AKHIR DAN PENETAPAN RKPD

Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Awal RKPD

Pasal 48
Instansi Perencana menyusun RKPD, dengan:
a. berpedoman pada RPJMD;
b. mengacu pada RPJMD Provinsi; dan
c. mengacu pada RPJMN.

Pasal 49
Penyusunan rancangan awal RKPD, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran umum kondisi daerah;
c. analisis ekonomi dan keuangan daerah;
d. evaluasi kinerja tahun lalu;
e. penelaahan terhadap kebijakan pemerintah;
f. penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD;
g. perumusan permasalahan pembangunan daerah
Kabupaten;
h. perumusan rancangan kerangka ekonomi daerah dan
kebijakan keuangan daerah;
i. perumusan prioritas dan sasaran pembangunan daerah
beserta pagu indikatif;
j. perumusan program prioritas beserta pagu indikatif;
k. pelaksanaan forum konsultasi publik; dan
l. penyelarasan rencana program prioritas daerah beserta
pagu indikatif.

26
Pasal 50
Sistematika RKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu;
c. rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka
pendanaan;
d. prioritas dan sasaran pembangunan; dan
e. rencana program prioritas daerah.

Pasal 51
(1) Rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49, dikoordinasikan oleh Kepala Instansi Perencana kepada
para Kepala SKPD serta dikonsultasikan kepada publik dan
Pemerintah Provinsi.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
memperoleh masukan dalam rangka penyempurnaan
rancangan awal.

Pasal 52
(1) Bupati mengeluarkan Surat Edaran kepada Kepala SKPD
perihal penyampaian rancangan awal RKPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), sebagai bahan
penyusunan rancangan Renja-SKPD.
(2) Surat Edaran Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memuat agenda penyusunan RKPD, pelaksanaan forum
SKPD dan Musrenbang RKPD, sekaligus batas waktu
penyampaian rancangan Renja-SKPD kepada Kepala
Instansi Perencana untuk diverifikasi.

Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan RKPD

Pasal 53
Penyusunan rancangan RKPD merupakan proses
penyempurnaan rancangan awal RKPD.

27
Pasal 54
(1) Rancangan awal RKPD disempurnakan menjadi rancangan
RKPD berdasarkan hasil verifikasi seluruh rancangan
Renja-SKPD.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan berpedoman pada Surat Edaran Bupati
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
mengintegrasikan program, kegiatan, indikator kinerja dan
dana indikatif pada setiap rancangan Renja-SKPD sesuai
dengan rencana program prioritas pada rancangan awal
RKPD.
(4) Apabila dalam verifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ditemukan hal-hal yang perlu disempurnakan,
hasil penyempurnaan rancangan Renja-SKPD disampaikan
kembali kepada Kepala Instansi Perencana paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak SKPD menerima hasil verifikasi.

Pasal 55
(1) Instansi Perencana mengajukan rancangan RKPD kepada
Bupati untuk memperoleh persetujuan dibahas dalam
Musrenbang RKPD.
(2) Batas waktu penyusunan rancangan RKPD diselesaikan
paling lambat minggu kedua bulan Maret sebelum tahun
berkenaan.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Musrenbang

Pasal 56
Pelaksanaan Musrenbang RKPD, terdiri dari:
a. Musrenbang RKPD; dan
b. Musrenbang RKPD di Kecamatan.

Pasal 57
(1) Musrenbang RKPD dilaksanakan untuk penajaman,
penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap
28
rancangan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1).
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. prioritas dan sasaran pembangunan Daerah dengan
arah kebijakan, prioritas dan sasaran pembangunan
daerah Provinsi;
b. usulan program dan kegiatan yang telah disampaikan
masyarakat kepada Pemerintah Daerah pada
Musrenbang RKPD di Kecamatan dan/atau sebelum
Musrenbang RKPD dilaksanakan;
c. indikator kinerja program dan kegiatan prioritas Daerah;
d. prioritas pembangunan daerah serta program dan
kegiatan prioritas daerah; dan
e. sinergi dengan RKP dan RKPD Provinsi.

Pasal 58
(1) Musrenbang RKPD dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh
Instansi Perencana.
(2) Pimpinan atau anggota DPRD, pejabat dari
kementerian/lembaga di tingkat pusat, pejabat SKPD
Provinsi dan pejabat SKPD atau dari unsur lain terkait,
dapat diundang menjadi narasumber Musrenbang RKPD.
(3) Hasil Musrenbang RKPD dijadikan sebagai bahan
penyusunan rancangan akhir RKPD dan bahan masukan
untuk membahas rancangan RKPD Provinsi dalam
Musrenbang RKPD Provinsi.
(4) Pelaksanaan Musrenbang RKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1), dilaksanakan paling lambat pada
akhir bulan Maret sebelum tahun berkenaan.

Pasal 59
(1) Musrenbang RKPD di Kecamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 huruf b, dilaksanakan untuk penajaman,
penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan usulan rencana
kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan, yang

29
diintegrasikan dengan prioritas pembangunan daerah di
wilayah Kecamatan.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. usulan rencana kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan
yang tertuang dalam berita acara Musrenbang
Desa/Kelurahan yang akan menjadi kegiatan prioritas
pembangunan di wilayah Kecamatan yang
bersangkutan;
b. kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan
yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan
pembangunan Desa; dan
c. pengelompokan kegiatan prioritas pembangunan di
wilayah Kecamatan berdasarkan tugas dan fungsi SKPD.
(3) Kegiatan prioritas pembangunan daerah di wilayah
Kecamatan mengacu pada program dalam rancangan awal
RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).

Pasal 60
(1) Pelaksanaan Musrenbang RKPD di Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 huruf b, dilaksanakan paling
lambat minggu kedua bulan Februari sebelum tahun
berkenaan.
(2) Penyelenggaraan Musrenbang RKPD di Kecamatan
dilaksanakan oleh Camat, setelah berkoordinasi dengan
Kepala Instansi Perencana.

Pasal 61
(1) Hasil Musrenbang RKPD di Kecamatan dijadikan sebagai
bahan masukan dalam penyusunan rancangan Renja-
SKPD.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
Musrenbang RKPD diatur dengan Peraturan Bupati.

30
Bagian Keempat
Perumusan Rancangan Akhir RKPD

Pasal 62
(1) Perumusan rancangan akhir RKPD berdasarkan
kesepakatan hasil Musrenbang RKPD, Musrenbang RKPD
Provinsi dan Musrenbang Nasional RKP.
(2) Rancangan akhir RKPD yang telah dirumuskan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibahas oleh seluruh
Kepala SKPD.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
memastikan prioritas program dan kegiatan pembangunan
daerah terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing
SKPD telah tertampung dalam rancangan akhir RKPD serta
merasionalkan pagu anggaran perkegiatan pada masing-
masing SKPD.
(4) Penyelesaian rumusan rancangan akhir RKPD, paling
lambat pada akhir bulan Mei sebelum tahun berkenaan.

Bagian Kelima
Penetapan RKPD

Pasal 63
(1) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(2) Penetapan RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling lambat minggu kedua bulan Juni sebelum tahun
berkenaan dan/atau setelah RKPD Provinsi ditetapkan.
(3) RKPD yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dijadikan pedoman penyempurnaan rancangan
Renja-SKPD.

Pasal 64
Bupati menyampaikan Peraturan Bupati tentang RKPD kepada
Gubernur untuk dievaluasi.

31
Pasal 65
(1) RKPD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati
digunakan sebagai landasan penyusunan KUA dan PPAS
dalam rangka penyusunan Rancangan APBD dan bahan
evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
memastikan APBD telah disusun sesuai dengan RKPD.

BAB IX
RKP-DESA

Pasal 66
Tahapan dan tata cara penyusunan RKP-Desa sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 67
(1) Kepala Desa melaksanakan pengendalian dan evaluasi
terhadap RKP-Desa.
(2) Hasil pengendalian dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.

BAB X
PENYUSUNAN RANCANGAN, PELAKSANAAN FORUM SKPD
DAN PENETAPAN RENJA-SKPD

Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Renja-SKPD

Pasal 68
(1) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman pada RKPD dan
Renstra-SKPD serta mengacu kepada Renstra-SKPD tingkat
Provinsi dan Renstra Kementerian/Lembaga.
(2) Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
a. kebijakan, program dan kegiatan;
b. lokasi kegiatan;
c. indikator kinerja;
d. kelompok sasaran; dan
e. pagu indikatif dan prakiraan maju.
32
Pasal 69
(1) Setiap SKPD menyusun Rancangan Renja-SKPD.
(2) Rancangan Renja-SKPD disusun:
a. mengacu pada rancangan awal RKPD;
b. mengacu pada Renstra-SKPD;
c. mengacu pada hasil evaluasi pelaksanaan program dan
kegiatan periode sebelumnya;
d. untuk memecahkan masalah yang dihadapi; dan
e. berdasarkan usulan program serta kegiatan yang berasal
dari masyarakat.

Pasal 70
Penyusunan rancangan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (2), meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran pelayanan SKPD;
c. mereview hasil evaluasi Renja-SKPD tahun lalu
berdasarkan Renstra-SKPD;
d. penentuan isu-isu penting penyelenggaraan tugas dan
fungsi SKPD;
e. penelaahan rancangan awal RKPD;
f. perumusan tujuan dan sasaran;
g. penelaahan usulan masyarakat; dan
h. perumusan kegiatan prioritas.

Pasal 71
Sistematika Renja-SKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. evaluasi pelaksanaan Renja-SKPD tahun lalu;
c. tujuan, sasaran, program dan kegiatan;
d. indikator kinerja dan kelompok sasaran yang
menggambarkan pencapaian Renstra-SKPD;
e. dana indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju
berdasarkan pagu indikatif;

33
f. sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program
dan kegiatan; dan
g. penutup.

Pasal 72
Rancangan Renja-SKPD dibahas dalam forum SKPD.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Forum SKPD

Pasal 73
(1) Instansi Perencana mengkoordinasikan pembahasan
rancangan Renja-SKPD dalam forum SKPD.
(2) Pembahasan rancangan Renja-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penyelarasan program dan kegiatan sesuai dengan tugas
dan fungsi SKPD berdasarkan usulan program dan
kegiatan hasil Musrenbang RKPD di Kecamatan;
b. penajaman indikator dan target kinerja program dan
kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD;
c. penyelarasan program dan kegiatan antarSKPD dalam
rangka sinergi pelaksanaan dan optimalisasi pencapaian
sasaran RPJMD sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing SKPD; dan
d. penyesuaian pendanaan program dan kegiatan prioritas
berdasarkan pagu indikatif untuk masing-masing SKPD,
sesuai dengan Surat Edaran Bupati sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(3) Penyelenggaraan forum SKPD dilaksanakan paling lambat
minggu terakhir bulan Februari sebelum tahun berkenaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
forum SKPD diatur dengan Peraturan Bupati.

34
Bagian Ketiga
Penetapan Renja-SKPD

Pasal 74
(1) Kepala SKPD menyempurnakan rancangan Renja-SKPD
dengan berpedoman pada RKPD yang telah ditetapkan.
(2) Rancangan Renja-SKPD yang telah disempurnakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada
Kepala Instansi Perencana untuk diverifikasi.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
memastikan rancangan Renja-SKPD telah sesuai dengan
RKPD.
(4) Kepala Instansi Perencana menyampaikan rancangan
Renja-SKPD yang telah sesuai dengan RKPD kepada Bupati
untuk memperoleh pengesahan.

Pasal 75
(1) Renja-SKPD ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD
setelah disahkan oleh Bupati.
(2) Penetapan Keputusan Kepala SKPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling lambat 14 (empat belas) hari setelah
Renja-SKPD disahkan oleh Bupati.
(3) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah RKPD tahun
berkenaan ditetapkan.

BAB XI
RENJA-KECAMATAN DAN KELURAHAN

Pasal 76
Ketentuan mengenai Renja-SKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Renja Kecamatan dan Renja
Kelurahan.

35
BAB XII
PENDANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

Pasal 77
(1) Pendanaan rencana pembangunan daerah disusun
berdasarkan pendekatan kinerja.
(2) Pendanaan rencana pembangunan disusun untuk tahun
yang direncanakan disertai prakiraan maju.

Pasal 78
(1) Pendanaan rencana pembangunan daerah bersumber dari
APBD, APBD Provinsi, APBN, Dana Hibah dan sumber lain
yang sah.
(2) Pendanaan rencana pembangunan daerah didasarkan pada
plafon indikatif meliputi:
a. plafon indikatif untuk program prioritas RPJMD pada
tahun perencanaan;
b. plafon indikatif per SKPD; dan
c. PWK.
(3) Plafon indikatif disusun dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan daerah, prioritas pembangunan
untuk mencapai visi dan misi yang dihitung dengan
beberapa indikator dan target capaian kinerja utama
pembangunan daerah.

Pasal 79
(1) Plafon indikatif program prioritas RPJMD adalah alokasi
dana APBD untuk melaksanakan program prioritas sesuai
tahapan RPJMD.
(2) Plafon indikatif program prioritas RPJMD mengacu pada
Indikator Kinerja Daerah (IKD) RPJMD.

Pasal 80
Plafon Indikatif SKPD merupakan alokasi dana APBD untuk
SKPD yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan beban kerja,
tugas pokok, dan fungsi serta target kinerja dalam RPJMD.

36
Pasal 81
(1) Alokasi PWK ditetapkan berdasarkan variabel utama yaitu
luas wilayah, jumlah Desa/Kelurahan, dan jumlah
penduduk, serta variabel lain.
(2) Penentuan variabel lain, penghitungan alokasi, dan
tatacara penggunaan PWK diatur dengan Peraturan Bupati
setelah dikonsultasikan dengan DPRD.
(3) Konsultasi pengaturan PWK sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan paling lambat akhir Januari tahun n-1
dan/atau sebelum pelaksanaan Musrenbang RKPD di
Kecamatan.

BAB XIII
PENGENDALIAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN, PELAKSANAAN
DAN HASIL PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Bagian Kesatu
Pengendalian dan Evaluasi Kebijakan Perencanaan
Pembangunan Daerah

Pasal 82
Pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah
bertujuan untuk mewujudkan:
a. konsistensi antara kebijakan dengan pelaksanaan dan hasil
rencana pembangunan daerah;
b. konsistensi antara RPJPD dengan RPJPN dan RTRW
Nasional;
c. konsistensi antara RPJMD dengan RPJPD dan RTRW
daerah;
d. konsistensi antara RKPD dengan RPJMD; dan
e. kesesuaian antara capaian pembangunan daerah dengan
indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan.

Pasal 83
Bupati melakukan pengendalian dan evaluasi perencanaan
pembangunan daerah.

37
Pasal 84
Pengendalian dan evaluasi kebijakan perencanaan
pembangunan daerah meliputi kebijakan perencanaan
pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan
daerah.

Pasal 85
(1) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan jangka
panjang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83,
mencakup perumusan visi dan misi serta sasaran pokok
dan arah kebijakan pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan jangka
menengah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83,
mencakup kebijakan perencanaan strategis SKPD dan
RPJMD.
(3) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan
tahunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83,
mencakup perumusan kebijakan Renja-SKPD dan
kebijakan RKPD.

Pasal 86
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan
evaluasi kebijakan perencanaan pembangunan jangka
panjang, jangka menengah dan tahunan daerah.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui pemantauan dan supervisi mulai dari
tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan
penetapan dokumen perencanaan pembangunan jangka
panjang, jangka menengah dan tahunan daerah.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
memastikan konsistensi dan sinkronisasi antardokumen
perencanaan.

38
Bagian Kedua
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah

Pasal 87
Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah.

Pasal 88
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan
daerah meliputi pelaksanaan RPJPD, RPJMD dan RKPD.

Pasal 89
(1) Pengendalian terhadap pelaksanaan RPJPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88, meliputi pelaksanaan sasaran
pokok dan arah kebijakan untuk mencapai misi dan
mewujudkan visi pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui pemantauan dan supervisi pelaksanaan
RPJPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), digunakan untuk mengevaluasi dan
memastikan bahwa visi, misi, sasaran pokok arah kebijakan
pembangunan jangka panjang daerah, telah dilaksanakan
melalui RPJMD.

Pasal 90
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJMD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88, meliputi pelaksanaan Renstra-
SKPD, dan RPJMD.

Pasal 91
(1) Pengendalian pelaksanaan Renstra-SKPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90, mencakup indikator kinerja
SKPD serta rencana program, kegiatan, kelompok sasaran
dan pendanaan indikatif serta visi, misi, tujuan dan sasaran
Renstra-SKPD.
39
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui pemantauan dan supervisi terhadap
pelaksanaan Renstra-SKPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), digunakan untuk mengevaluasi dan
memastikan bahwa indikator kinerja SKPD, rencana
program, kegiatan, kelompok sasaran dan pendanaan
indikatif sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam
upaya mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran Renstra-
SKPD, telah dilaksanakan melalui Renja-SKPD.

Pasal 92
(1) Kepala SKPD melakukan pengendalian dan evaluasi
pelaksanaan Renstra-SKPD.
(2) Kepala SKPD melaporkan hasil pengendalian dan evaluasi
Renstra-SKPD kepada Bupati melalui Kepala Instansi
Perencana.

Pasal 93
(1) Pengendalian pelaksanaan RKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88, mencakup prioritas dan sasaran
pembangunan tahunan daerah, rencana program dan
kegiatan prioritas daerah, serta pagu indikatif.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui pemantauan dan supervisi pelaksanaan
RKPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), digunakan untuk mengevaluasi dan
memastikan bahwa prioritas dan sasaran pembangunan
tahunan daerah, rencana program dan kegiatan prioritas
daerah, serta pagu indikatif telah disusun kedalam
rancangan KUA, PPAS dan APBD.

Pasal 94
Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan RKPD.

40
Bagian Ketiga
Evaluasi Hasil Rencana Pembangunan Daerah

Pasal 95
Evaluasi hasil rencana pembangunan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85, meliputi RPJPD, RPJMD, RKPD

Pasal 96
(1) Evaluasi hasil RPJPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95, mencakup sasaran pokok arah kebijakan dan
pentahapan untuk mencapai misi dan mewujudkan visi
pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
melalui penilaian hasil pelaksanaan RPJPD.
(3) Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi hasil
RPJMD.

Pasal 97
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil
RPJPD.
(2) Hasil evaluasi RPJPD digunakan sebagai bahan bagi
penyusunan RPJPD untuk periode berikutnya.

Pasal 98
(1) Evaluasi hasil RPJMD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 mencakup indikasi rencana program prioritas yang
disertai kebutuhan pendanaan untuk mencapai misi,
tujuan dan sasaran, dalam upaya mewujudkan visi
pembangunan jangka menengah daerah.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk memastikan bahwa visi, misi, tujuan dan sasaran
pembangunan jangka menengah daerah dapat dicapai
untuk mewujudkan visi pembangunan jangka panjang
daerah.
(3) Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi hasil
RKPD.
41
Pasal 99
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil
RPJMD.
(2) Hasil evaluasi RPJMD digunakan sebagai bahan bagi
penyusunan RPJMD untuk periode berikutnya.

Pasal 100
(1) Evaluasi hasil rencana pembangunan tahunan daerah
mencakup hasil RKPD dengan menggunakan evaluasi hasil
Renja-SKPD.
(2) Evaluasi hasil Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi program dan kegiatan, indikator kinerja
dan kelompok sasaran, lokasi, serta dana indikatif.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan
untuk memastikan bahwa indikator kinerja program dan
kegiatan Renja-SKPD dapat dicapai dalam rangka
mewujudkan visi, misi Renstra-SKPD serta prioritas dan
sasaran pembangunan tahunan daerah.
(4) Evaluasi pelaksanaan Renja-SKPD dilakukan setiap
triwulan dalam tahun berkenaan.

Pasal 101
(1) Kepala SKPD melaksanakan evaluasi hasil Renja-SKPD.
(2) Kepala Instansi Perencana melakukan evaluasi hasil
evaluasi Renja-SKPD.

Pasal 102
Kepala SKPD menyampaikan laporan hasil evaluasi Renja-
SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) kepada
Bupati melalui Kepala Instansi Perencana setiap triwulan
dalam tahun berkenaan.

Pasal 103
(1) Evaluasi hasil RKPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95, meliputi prioritas dan sasaran pembangunan
daerah serta rencana program dan kegiatan prioritas
daerah.

42
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk memastikan bahwa target rencana program dan
kegiatan prioritas daerah dalam RKPD dapat dicapai dalam
rangka mewujudkan visi pembangunan jangka menengah
daerah dan mencapai sasaran pembangunan tahunan.
(3) Evaluasi dilaksanakan setiap akhir tahun dengan
menggunakan hasil evaluasi Renja-SKPD.

Pasal 104
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil
RKPD.
(2) Hasil evaluasi RKPD digunakan sebagai bahan bagi
penyusunan RKPD untuk tahun berikutnya.

BAB XIV
PERUBAHAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

Pasal 105
Perubahan RPJPD dan RPJMD hanya dapat dilakukan apabila:
a. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa
proses perumusan, tidak sesuai dengan tahapan dan
tatacara penyusunan rencana pembangunan daerah yang
diatur dalam Peraturan Daerah ini;
b. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa
substansi yang dirumuskan, tidak sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
c. terjadi perubahan yang mendasar antara lain terjadinya
bencana alam, goncangan politik, krisis ekonomi, konflik
sosial budaya, gangguan keamanan, pemekaran Daerah,
atau perubahan kebijakan Nasional; dan/atau
d. merugikan kepentingan Nasional apabila bertentangan
dengan kebijakan Nasional.

Pasal 106
Perubahan RPJPD dan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 105 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

43
Pasal 107
Dalam hal pelaksanaan RPJPD dan RPJMD terjadi perubahan
capaian sasaran tahunan tetapi tidak mengubah target
pencapaian sasaran akhir pembangunan jangka panjang dan
menengah, penetapan perubahan RPJPD dan RPJMD
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 108
(1) RKPD dapat diubah dalam hal tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dalam tahun berkenaan.
(2) Perkembangan keadaan dalam tahun berjalan sebagaiman
dimaksud pada ayat (1), seperti:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi
kerangka ekonomi daerah dan kerangka pendanaan,
prioritas dan sasaran pembangunan, rencana program
dan kegiatan prioritas daerah;
b. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun
anggaran sebelumnya harus digunakan untuk tahun
berjalan; dan/atau
c. keadaan darurat dan keadaan luar biasa sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 109
Sistematika perubahan RKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. evaluasi hasil RKPD sampai dengan triwulan II; dan
c. rencana program dan kegiatan prioritas daerah dalam
perubahan RKPD.

Pasal 110
Perubahan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109,
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 111
(1) Perubahan RKPD yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati
menjadi landasan penyusunan perubahan KUA dan
perubahan PPAS untuk menyusun perubahan APBD tahun
berkenaan.
44
(2) Bupati menyampaikan Peraturan Bupati tentang Perubahan
RKPD kepada Gubernur bersamaan dengan penyampaian
rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
tahun berkenaan untuk dievaluasi dengan tembusan
kepada Menteri Dalam Negeri.

Pasal 112
(1) Perubahan Renstra-SKPD dan Perubahan RPJM-Desa
berdasarkan perubahan RPJMD.
(2) Perubahan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD
berdasarkan pengesahan oleh Bupati terhadap perubahan
Renstra-SKPD.
(3) Perubahan RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Pasal 113
(1) Perubahan Renja-SKPD dan Perubahan RKP-Desa
berdasarkan perubahan RKPD.
(2) Perubahan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD
berdasarkan pengesahan oleh Bupati terhadap perubahan
Renja-SKPD.
(3) Perubahan RKP-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Desa.

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 114
Rencana pembangunan daerah yang telah ditetapkan, tetap
digunakan sampai dengan ditetapkannya rencana
pembangunan daerah sesuai dengan Peraturan Daerah ini.

45
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 115
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini,
ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan
Daerah ini ditetapkan.

Pasal 116
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 1

46
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 1 TAHUN 2013

TENTANG

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

I. UMUM
Bahwa dalam rangka mencapai hasil pembangunan daerah
yang optimal dan untuk menjamin konsistensi serta
keberlanjutan pembangunan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi secara efisien dan
efektif, diperlukan adanya sistem perencanaan
pembangunan daerah.
Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis, transparan, responsive, efisien, efektif,
akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan diperlukan adanya Sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah yang disusun dengan
menggunakan pendekatan teknokratis, partisipatif, dan
politis, sehingga sistem perencanaan pembangunan daerah
merupakan bentuk integrasi perencanaan bagi semua
pemangku kepentingan dan tidak terpisahkan dari sistem
perencanaan pembangunan Nasional.
Sistem perencanaan pembangunan daerah juga harus
dapat menjamin konsistensi usulan program dan kegiatan
pada semua tingkatan perencanaan. Dengan kata lain
sistem perencanaan pembangunan daerah disusun untuk
memberikan peran yang lebih besar kepada berbagai
elemen masyarakat dalam rangka ikut berpartisipasi
menentukan program dan kegiatan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

47
Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan
daerah bertujuan untuk:
1. mewujudkan alur dan tata cara perencanaan
pembangunan daerah yang berkeadilan dan
terstruktur;
2. menjamin konsistensi penyusunan rencana,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengendalian serta
pengawasan pembangunan daerah;
3. meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
perencanaan pembangunan daerah;
4. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan pembangunan; dan
5. meningkatkan akses dan penyerapan aspirasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan
daerah mencakup proses atau tahapan perencanaan
dimulai dari:
1. penyusunan rancangan awal;
2. pelaksanaan Musrenbang;
3. penyusunan rancangan akhir; dan
4. penetapan rencana.
Tahapan tersebut meliputi perencanaan jangka panjang,
perencanaan jangka menengah, perencanaan tahunan.
Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan
daerah juga menjamin dapat dilaksanakannya rencana
program dan kegiatan pembangunan melalui rencana
pendanaan serta monitoring dan evaluasi rencana
pembangunan.
Pelaksanaan Musrenbang merupakan satu tahapan
penting untuk mengintegrasikan seluruh pandangan,
aspirasi, dan masukan dari berbagai pemangku
kepentingan dalam rangka memperoleh rumusan rencana
pembangunan yang aspiratif.
Musrenbang dilaksanakan mulai dari tingkat
Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten dengan
48
melibatkan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang
ada, maka berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud diatas, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Mengintegrasikan rencana tata ruang dengan
rencana pembangunan daerah bertujuan untuk
mencapai pemenuhan hak-hak dasar masyarakat
sesuai dengan urusan dan kewenangan
pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan transparan adalah
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
49
Huruf b
Yang dimaksud dengan responsif adalah dapat
mengantisipasi berbagai potensi, masalah dan
perubahan yang terjadi di daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Efisien adalah pencapaian
keluaran tertentu dengan masukan terendah atau
masukan terendah dengan keluaran maksimal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan efektif adalah kemampuan
mencapai target dengan sumber daya yang
dimiliki, dengan cara atau proses yang paling
optimal.
Huruf e
Yang dimaksud dengan akuntabel adalah setiap
kegiatan dan hasil akhir dari perencanaan
pembangunan daerah harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan partisipatif adalah hak
masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses
tahapan perencanaan pembangunan daerah dan
bersifat inklusif terhadap kelompok masyarakat
rentan termarginalkan, melalui jalur khusus
komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi
kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses
dalam pengambilan kebijakan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan terukur adalah penetapan
target kinerja yang akan dicapai dan cara-cara
untuk mencapainya.

50
Huruf h
Yang dimaksud dengan berkeadilan adalah prinsip
keseimbangan antarwilayah, sektor, pendapatan,
gender dan usia.
Huruf i
Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan
adalah untuk mewujudkan kehidupan adil dan
makmur tanpa harus menimbulkan kerusakan
lingkungan yang berkelanjutan dalam
mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan
sumber daya manusia, dengan cara menserasikan
aktivitas manusia dengan kemampuan sumber
daya alam yang menopangnya.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.

51
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.

52
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.

53
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan penelaahan pokok-pokok
pikiran DPRD adalah penelaahan kajian
permasalahan pembangunan daerah yang
diperoleh dari DPRD berdasarkan hasil rapat
dengan DPRD, seperti rapat dengar pendapat
dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui
reses. Pokok-pokok pikiran DPRD memuat
pandangan dan pertimbangan DPRD mengenai
arah prioritas pembangunan serta rumusan
usulan kebutuhan program/kegiatan yang
bersumber dari hasil penelaahan pokok-pokok
pikiran DPRD tahun sebelumnya yang belum
terbahas dalam Musrenbang dan agenda kerja
DPRD untuk tahun rencana. Penelaahan
dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan
dijadikan sebagai masukan dalam perumusan
54
kebutuhan program dan kegiatan pada tahun
rencana berdasarkan prioritas pembangunan
daerah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
55
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.

56
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud usulan program serta kegiatan
yang berasal dari masyarakat adalah usulan
program kegiatan yang diajukan pada
Musrenbang RKPD Kabupaten di Kecamatan.
SKPD wajib mengakomodir usulan masyarakat
yang selaras dengan program prioritas yang
tercantum dalam rancangan awal RKPD untuk
menjadi acuan perumusan kegiatan dalam
rancangan Renja-SKPD.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.

57
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.

58
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.

59
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 0085

60
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 2, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0086

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 2 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN


TAHUN 2013-2023

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa Sektor Kepariwisataan merupakan


salah satu sektor unggulan yang harus
dikembangkan dan dibangun secara terarah,
terpadu dan berkesinambungan dengan
melibatkan semua komponen masyarakat
untuk meningkatkan penerimaan daerah
dan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, maka perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan;

61
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan
Tahun 2013-2023;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);

62
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR

dan

BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA


INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
TAHUN 2013-2023..

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores
Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Flores Timur.
5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten
Flores Timur yang melaksanakan urusan di bidang
kepariwisataan.
6. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten
Flores Timur yang selanjutnya disingkat RIPKKA adalah
petunjuk dan/atau pedoman umum dalam melaksanakan
Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan di
Kabupaten Flores Timur.

63
7. Kebudayaan adalah keseluruhan perilaku manusia yang
diatur oleh tata laku dan harus diperoleh melalui belajar
dan tersusun dalam kehidupan bermasyarakat.
8. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
9. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait
dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta
multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap
orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan pengusaha.
10. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
11. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
12. Kesenian adalah karya artistik hasil perwujudan kreatifitas
daya cipta, rasa karya, karya yang hidup dan berakar di
daerah atau wisata tradisional atau kontemporer.
13. Kepurbakalaan adalah semua peninggalan kebudayaan
masyarakat masa lalu yang bercorak Pra Sejarah, Kerajaan
Hindu, Kerajaan Budha, Kerajaan Islam maupun Kolonial.
14. Kesejarahan adalah dinamika peristiwa yang terjadi di
masa lalu dalam berbagai aspek kehidupan dari aspek
rekontruksi dari peristiwa-peristiwa tersebut serta
peninggalan-peninggalan masa lalu dalam bentuk
pemikiran tertulis maupun tidak tertulis yang merupakan
tradisi lisan.
15. Nilai Tradisi adalah konsep abstrak mengenai masalah
yang tercermin dalam sikap dan perilaku yang selalu
berpegang pada adat istiadat.
16. Tinggalan Budaya adalah temuan benda bergerak dan
tidak bergerak yang menjadi objek wisata budaya.
64
17. Bahasa Daerah adalah Bahasa Daerah Flores Timur.
18. Sastra Daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam
bahasa daerah baik lisan maupun tulisan.
19. Aksara Daerah adalah sistem otografi hasil masyarakat di
daerah yang meliputi aksara dan sistem pengaksaraan
untuk menuliskan bahasa daerah.
20. Folklore adalah bentuk kesenian yang lama dan
merupakan kekayaan rakyat banyak dan diwarisi secara
turun-temurun yang diakui sebagai milik aslinya yang
ditampilkan secara lisan (oral) atau dengan contoh
perbuatan.
21. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang
dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata.
22. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki
keunikan, keindahan dan nilai berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang
menjadi sasaran/tujuan kunjungan wisatawan.
23. Kawasan Strategis Pariwisata yang selanjutnya disingkat
KSP adalah kawasan yang memiliki fungsi utama
pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan
pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu
atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan
budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
24. Satuan Kawasan Wisata yang selanjutnya disingkat SKW
adalah satu daerah wisata yang memiliki kelengkapan
produk wisata yang dapat dikembangkan secara terpadu.
25. Kawasan Budaya adalah kawasan bercirikan dan
bertumpu pada lingkungan dan kehidupan masyarakat
yang dapat dipertahankan dari pola hidup, budaya, adat
istiadat, kebiasaan dan pengaruh bawaan yang masih
dapat ditolerir sebagai pelengkap atau penunjang yang
tidak dapat dihindari.
26. Sumber Daya Manusia yang selanjutnya disingkat SDM
adalah orang yang mengabdikan dirinya dalam pekerjaan
di bidang pariwisata, Instansi atau Lembaga yang bergerak
65
di bidang pariwisata yang sesuai dengan potensi dan cagar
budaya pendidikan.
27. Museum adalah institusi permanen nirlaba melayani
kebutuhan publik dengan sifat terbuka dengan cara
melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset,
mengkomunikasikan dan memamerkan benda yang nyata
kepada masyarakat untuk kebutuhan pendidikan dan
kesenangan.
28. Rumah Adat adalah bangunan rumah yang
mencirikan/kas bangunan suatu daerah yang
melambangkan kebudayaan dan ciri kas masyarakat
setempat.
29. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-
Undang.
30. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui
bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
31. Badan Promosi Pariwisata Daerah yang selanjutnya
disingkat BPPD adalah Lembaga Swadaya yang bersifat
mandiri yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai mitra
Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan promosi
dan pemasaran kepariwisataan daerah.

BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT

Pasal 2
Maksud ditetapkan RIPKKA, adalah:
a. menjabarkan visi dan misi Daerah;
b. menyatukan pandangan antara sektor pembangunan
lainnya di Daerah akan pentingnya kebudayaan dan
kepariwisataan dalam konteks pembangunan daerah;
66
c. memudahkan dan membudayakan masyarakat untuk
berperan aktif dalam pembangunan kebudayaan dan
periwisata di Daerah; dan
d. memudahkan pelaku kebudayaan dan pariwisata dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi
Pembangunan Kepariwisataan.

Pasal 3
Tujuan ditetapkan RIPKKA, yaitu:
a. memberikan gambaran secara komprehensif mengenai
pengembangan potensi kebudayaan dan pariwisata Daerah
yang meliputi objek dan daya tarik wisata, usaha sarana
wisata dan usaha jasa pariwisata;
b. memberikan pedoman tentang perencanaan yang
dibutuhkan dalam pembangunan kebudayaan dan
kepariwisataan di Daerah;
c. menyikapi peluang pembangunan kebudayaan dan
pemasaran kepariwisataan di Daerah yang sejalan dengan
perkembangan pariwisata; dan
d. memberikan arah kebijakan dalam membangun
kebudayaan dan kepariwisataan yang didasari pada
kebijakan perencanaan pembangunan Daerah.

Pasal 4
Manfaat ditetapkan RIPKKA, yaitu:
a. untuk memberikan kemudahan bagi para penanam modal
atau investor dalam upaya pembangunan kebudayaan dan
kepariwisataan di Daerah;
b. alat monitoring dan evaluasi bagi langkah-langkah
pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan di Daerah;
c. alat pembinaan dan koordinasi lintas sektoral yang
berdasarkan kepada perencanaan partisipatif; dan
d. data kepustakaan dalam penyusunan karya ilmiah
penelitian oleh perguruan tinggi dan masyarakat pada
umumnya.

67
BAB III
ASAS, KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 5
RIPKKA disusun berasaskan:
a. asas manfaat;
b. asas keterbukaan;
c. asas keterpaduan;
d. asas berkelanjutan; dan
e. asas keterkaitan.

Pasal 6
RIPKKA berkedudukan sebagai:
a. penjabaran dari visi dan misi pembangunan Daerah serta
kebijakan pembangunan lainnya;
b. dasar pertimbangan dalam penyusunan program satuan
kerja perangkat daerah; dan
c. dasar pelaksanaan pembangunan kebudayaan dan
kepariwisataan Daerah.

Pasal 7
(1) Ruang lingkup RIPKKA meliputi Pembangunan Kebudayaan
dan Kepariwisataan dengan tetap memperhatikan
perkembangan kepariwisataan Internasional, Nasional,
Regional dan lokal.
(2) RIPKKA meliputi Buku RIPKKA sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

BAB IV
SASARAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN

Pasal 8
Sasaran ditetapkan RIPKKA adalah:
a. tersusunnya RIPKKA yang partisipatif dan memiliki
wawasan pembangunan sekarang dan di masa yang akan
68
datang yang berdasarkan kepada pemanfaatan Sumber
Daya Alam, SDM, Kebudayaan, Letak Geografis,
Pertumbuhan Usaha Pariwisata dan Koordinasi Lintas
Sektoral;
b. tersusunnya penyebaran produk wisata yang didukung oleh
terbentuknya infrastruktur di Daerah;
c. tersusunnya kawasan-kawasan pariwisata yang dapat
menunjukan jumlah kunjungan dan lama tinggal, belanja
wisata serta pendapatan daerah;
d. tersusunnya pembinaan kebudayaan dan kepariwisataan
yang berwawasan lingkungan;
e. tersusunnya Investasi Pembangunan Kebudayaan dan
Kepariwisataan di Daerah;
f. terkoordinasinya RIPKKA dengan tata ruang wilayah; dan
g. tersusunnya Pedoman Pemasaran Kebudayaan dan
Pariwisata Daerah.

Pasal 9
RIPKKA ditetapkan berdasarkan Strategi Pelaksanaan:
a. pengembangan Kebudayaan dan Kepariwisataan yang
berdasarkan pendekatan struktur atau perencanaan
partisipatif yang mengikutsertakan seluruh stakeholder baik
di bidang Kebudayaan maupun Kepariwisataan;
b. memahami karakteristik, sikap, perilaku dan kebutuhan
wisatawan yang berguna untuk menyusun kebijakan dalam
manyediakan produk wisata;
c. penyebaran produk wisata yang dapat menopang aspek-
aspek kehidupan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan
masyarakat serta pendapatan daerah;
d. pemanfaatan seni budaya untuk pariwisata merupakan
alternatif utama untuk memperkaya atraksi wisata,
terselenggaranya program seni budaya selektif yang mampu
mengembangkan nilai tambah bagi para pelaksana seni
dalam mengembangkan pemuliaan, bisnis dan pemasaran;
e. pemberdayaan masyarakat merupakan tolok ukur
perkembangan dan keberhasilan kebudayaaan pariwisata di
69
daerah yang akan memberikan dampak untuk
terselenggaranya Pembangunan Kebudayaan dan
Kepariwisataan untuk kebutuhan dan kepentingan
masyarakat;
f. pengembangan kepariwisataan berwawasan lingkungan (eco
tourism) merupakan kegiatan pembangungan kebudayaan
dan kepariwisataan untuk kepentingan pengendalian dan
manfaat lingkungan guna kelanjutan Pembangunan
Kebudayaan dan Kepariwisataan di masa mendatang;
g. pengembangan kawasan wisata merupakan strategi
terintegrasi dalam penyediaan prasarana dan sarana upaya
memudahkan pembinaan, pelayanan dan mendorong
peningkatan lama tinggal, belanja wisatawan dan
kunjungan wisatawan;
h. penanaman modal (investasi) strategi ini mendorong
terwujudnya kemudahan investasi melalui penyederhanaan
regulasi, penataan dan kepemilikan lahan untuk
menghindari terjadinya benturan kepentingan;
i. pengembangan SDM merupakan strategi untuk
mewujudkan SDM kebudayaan dan kepariwisataan yang
memiliki kompetensi suatu potensi yang dimilikinya; dan
j. Pemasaran kebudayaan dan kepariwisataan untuk
membentuk keseimbangan permintaan dan pemenuhan
kebutuhan (supply and demand) serta citra pariwisata
Daerah.

BAB V
KAWASAN STRATEGIS PARIWISATA

Pasal 10
KSP Daerah meliputi:
a. KSP Larantuka;
b. KSP Waiklibang;
c. KSP Ritaebang;
d. KSP Menanga; dan
e. KSP Sagu.
70
Pasal 11
(1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, merupakan
pusat pelayanan dan pengembangan pariwisata.
(2) Pusat pelayanan dan pengembangan kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
a. KSP Larantuka meliputi wilayah Kecamatan Larantuka,
Ile Mandiri dan Demon Pagong;
b. KSP Waiklibang meliputi wilayah Kecamatan Tanjung
Bunga, Lewolema dan Titehena;
c. KSP Ritaebang meliputi wilayah Kecamatan Solor Barat,
Solor Selatan, Wulanggitang dan Ile Bura;
d. KSP Menanga meliputi wilayah Kecamatan Solor Timur,
Adonara Timur, Ile Boleng dan Wotan Ulumado; dan
e. KSP Sagu meliputi wilayah Kecamatan Adonara,
Adonara Tengah, Adonara Barat, Klubagolit dan
Witihama.

BAB VI
UNSUR-UNSUR DAN WUJUD KEBUDAYAAN

Pasal 12
Penggolongan unsur-unsur kebudayaan, meliputi:
a. bahasa;
b. sistem teknologi;
c. sistem mata pencaharian hidup;
d. organisasi sosial;
e. sistem pengetahuan;
f. religi; dan
g. kesenian.

Pasal 13
Unsur-unsur Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, dikembangkan dalam wujud:
a. kepurbakalaan;
b. kesenian;
71
c. nilai-nilai tradisi kesejarahan;
d. bahasa daerah, aksara daerah dan sastra daerah;
e. museum; dan
f. rumah adat.

Pasal 14
Pengembangan Kepurbakalaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a, dilakukan melalui:
a. pendataan, pencatatan, pendokumentasian terhadap
peninggalan budaya;
b. penyelamatan terhadap penemuan situs benda cagar
budaya dan benda kepurbakalaan lainnya yang masih
berada di dalam tanah dan yang sudah berada di
permukaan tanah;
c. pengkajian ulang terhadap penemuan peninggalan budaya;
d. pengaturan pemanfaatan untuk kepentingan sosial,
budaya, pendidikan dan pariwisata; dan
e. pensosialisasian peninggalan budaya secara berkala kepada
masyarakat.

Pasal 15
Pengembangan Kesenian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b, dilakukan melalui:
a. pendataan, pencatatan, pendokumentasian
keanekaragaman kesenian daerah baik yang telah punah,
hampir punah dan yang saat ini keberadaanya masih hidup
dan dipertahankan di tengah masyarakat;
b. pemeliharaan, perlindungan dan pengembangan kesenian
yang hidup di tengah masyarakat untuk pengembangan
kepariwisataan;
c. pengembangan berbagai unsur folklore untuk mendorong
apresiasi masyarakat terhadap kesenian; dan
d. penyusunan jadwal festival pagelaran kesenian.

72
Pasal 16
Pengembangan Nilai-nilai Tradisi Kesejarahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, dilakukan melalui:
a. pendataan, pencatatan dan pendokumentasian sumber-
sumber sejarah;
b. penulisan kesejarahan dalam berbagai bidang kajian;
c. pemilihan dan pemeliharaan hasil-hasil penulisan sejarah;
d. pemeliharaan nilai-nilai sejarah dan nilai-nilai tradisi yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman;
e. pemanfaatan hasil penulisan sejarah melalui jalur
pendidikan, media masa dan pariwisata;
f. perlindungan terhadap masyarakat yang memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai tradisi dalam kehidupan; dan
g. pengkajian dan pembangunan nilai-nilai tradisional yang
dipedomani oleh berbagai aspek kehidupan masyarakat,
baik masa lalu dan saat ini.

Pasal 17
Pengembangan Bahasa Daerah, Aksara Daerah dan Sastra
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d,
dilakukan melalui:
a. pengembangan kurikulum pendidikan bahasa, sastra dan
aksara di sekolah dan ditengah-tengah masyarakat;
b. pengembangan kehidupan berbahasa daerah yang lebih
baik dan bermutu;
c. pengembangan apresiasi masyarakat terhadap bahasa,
sastra dan aksara daerah; dan
d. pengembangan peran serta masyarakat dalam upaya
pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah.
Pasal 18
Pengembangan Museum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf e, dilakukan melalui:
a. penyediaan sarana bangunan museum;
b. pengelolaan museum berlandaskan kepada kerjasama
antara Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat;
73
c. pengamanan benda-benda museum baik yang berada dan
dimiliki oleh perorangan, kelompok dan Pemerintah Daerah;
d. pengumpulan benda yang menjadi koleksi museum; dan
e. sosialisasi fungsi dan manfaat museum kepada lapisan
masyarakat.

Pasal 19
Pengembangan Rumah Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf f, dilakukan melalui pemugaran bangunan
rumah adat, rumah jaga dan pelataran rumah adat.

BAB VII
ARAH PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN

Bagian Kesatu
Pengembangan Kawasan Budaya

Pasal 20
Pengembangan Kawasan Budaya bertumpu pada lingkungan
dan kehidupan masyarakat yang dapat dipertahankan dari sisi
pola hidup, budaya, adat istiadat, kebiasaan dan pengaruh
bawaan yang masih dapat ditolerir sebagai pelengkap atau
penunjang yang tidak dapat dihindari.

Pasal 21
Pengembangan dan Penataan Kawasan Budaya, melalui:
a. penataan fisis meliputi tanah, air dan areal;
b. pengembangan biotis meliputi pola hidup masyarakat,
penciptaan suasana pedesaan/pesisir, kelestarian flora dan
fauna lingkungan pedesaan/pesisir;
c. pengembangan sosial meliputi penduduk, pola usaha,
kehidupan budaya masyarakat dan suasana gotong-royong;
d. pengembangan tipologis meliputi penataan, struktur
lanskap sebagai aksentuasi bentangan alam;
e. penataan ruang meliputi letak, luas, batas, lingkungan dan
jalan;

74
f. konsep dasar rumah adat meliputi tipe rumah adat
memiliki arsitektur rumah adat setempat dan elemen
penunjang lingkungan adat;
g. penataan lingkungan penunjang tanah rakyat, persawahan
rakyat dan kebun rakyat;
h. pengembangan budaya meliputi kesenian, upacara adat dan
ornamen upacara adat; dan
i. lokasi pengembangan kawasan budaya adalah rumah adat
dan lokasi yang memenuhi kriteria.

Bagian Kedua
Pengembangan Sarana Pertunjukan Kesenian dan Hiburan

Pasal 22
Pengembangan Sarana Pertunjukan Kesenian dan Hiburan,
meliputi:
a. sanggar seni dan tempat kesenian yang dibangun dan/atau
diorganisir oleh masyarakat; dan
b. gedung kesenian yang dibangun oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 23
Pengembangan sanggar seni dan tempat kesenian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, dilakukan di setiap KSP.

Pasal 24
Pengembangan gedung kesenian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf b, dilakukan di ibukota Daerah.

Bagian Ketiga
Pengembangan Kawasan Seni Budaya

Pasal 25
Konsep dasar pengembangan kawasan seni budaya memiliki
filosofi dan strategi yaitu keseimbangan pemanfaatan alam dan
budaya serta pelestarian alam dan nilai-nilai budaya
masyarakat setempat.

75
Pasal 26
Kriteria perwujudan Kawasan Seni Budaya, antara lain:
a. penataan fisis meliputi bentangan alam menunjang,
persediaan air cukup berlimpah, konservasi lahan
terkendali;
b. pengembangan sosial-budaya meliputi penduduk, potensi
seni, pola usaha dan kehidupan adat-budaya yang masih
terpelihara baik;
c. pengembangan tipologis meliputi penataan struktur lanskap
sebagai aksentuasi suasana pedesaan;
d. pemanfaatan ruang meliputi letak, luas, batas, lingkungan,
jalan utama, jalan penghubung;
e. konsep dasar bangunan-bangunan berlandaskan kepada
tipe rumah adat setempat sebagai ruang pertunjukan dan
pameran masing-masing kecamatan;
f. pengembangan biotis meliputi kekayaan fauna dan flora
yang menunjang kawasan seni budaya; dan
g. tipologi meliputi daya dukung rekreasi alam, memiliki jarak
jangkau strategis dan efesien, terletak pada jalur wisata
kabupaten yang jauh dari kegiatan industri.

Bagian Keempat
Pengembangan Pariwisata

Pasal 27
Pengembangan Kepariwisataan partisipatif membutuhkan
peran serta:
a. pemerintah daerah;
b. dunia Usaha; dan
c. masyarakat.

Pasal 28
(1) Peran Pemerintah Daerah dalam pengembangan
kepariwisataan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf a, meliputi:
a. pengendalian, pengaturan dan pembinaan
pembangunan kepariwisataan untuk mewujudkan iklim
76
yang kondusif untuk kelancaran dunia usaha pariwisata
dan masyarakat;
b. penyedia prasarana daerah yang dibutuhkan oleh
investor;
c. mengolah sistem informasi data yang up to date untuk
kepentingan berbagai usaha;
d. mengembangkan citra pariwisata di dalam maupun luar
negeri; dan
e. menjembatani usaha kemitraan baik di dalam maupun
luar negeri dalam pembangunan wisata.
(2) Peran Dunia Usaha dalam pengembangan kepariwisataan
partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b,
meliputi:
a. mengembangkan sarana usaha ke arah pengelolaan
secara profesional dan berdasarkan prinsip
kewirausahaan sejati;
b. mendorong dan mendukung falsafah kebudayaan dan
kepariwisataan;
c. mengembangkan usaha pariwisata untuk mewujudkan
peningkatan ekonomi daerah, kehidupan sosial dan
menghindari kerusakan lingkungan;
d. mendukung dan berperan aktif dalam melaksanakan
kebijakan dan program kepariwisataan; dan
e. menciptakan lapangan kerja dan pemasaran.
(3) Peran Masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan
partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c,
meliputi:
a. mewujudkan suasana sapta pesona dalam lingkungan
kehidupan sehari-hari di obyek dan daya tarik wisata
dan di tempat yang menarik untuk pengunjung;
b. menciptakan suasana lingkungan standar wisata;
c. berperan aktif dalam menciptakan dan menumbuhkan
kehidupan ekonomi, sosial, seni budaya di lingkungan
masyarakat untuk menunjang perkembangan
kebudayaan dan kepariwisataan; dan
77
d. memberikan masukan, saran pendapat dalam
perencanaan, pengembangan dan pengawasan
kebudayaan dan kepariwisataan.

Bagian Kelima
Pengembangan Kawasan Wisata

Pasal 29
(1) Perwujudan Kawasan Wisata didukung oleh beberapa
kriteria yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan
satu kawasan terpadu dalam satu kesatuan pengembangan
seperti wisata budaya, Agro wisata, wisata alam, wisata tirta
dan geo wisata.
(2) Lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai daerah wisata dalam
mencakup lokasi wisata yang kerena potensi dan
lingkungannya menunjang terhadap kebutuhan fasilitas
bagi wisatawan.

Pasal 30
Penetapan jenis Kawasan Wisata, meliputi:
a. wisata alam, pantai dan tirta;
b. wisata budaya;
c. wisata religius; dan
d. wisata agro.

Pasal 31
Wisata Alam, Pantai dan Tirta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 huruf a, merupakan wisata yang mendayagunakan
keindahan panorama pantai, pasir putih, pulau-pulau terpencil
dan terluar, keindahan biota laut, taman laut, aneka hayati
yang hidup di laut, keindahan gelombang dan arus pantai,
panorama matahari terbenam dan matahari terbit yang dapat
digunakan untuk menyelam, berenang, mendayung, selancar,
memancing, spa dan wisata minat khusus untuk peningkatan
pendapatan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata.

78
Pasal 32
Tujuan Pengembangan Wisata Alam, Pantai dan Tirta, meliputi:
a. menjaga, memelihara dan melestarikan kehidupan biota
laut yakni jenis ikan dan terumbuh karang serta biota laut
lainnya;
b. memanfaatkan kehidupan biota laut, terumbuh karang dan
potensi laut lainnya untuk pengembangan pariwisata sesuai
kebutuhan wisatawan dalam peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan/pesisir pantai di kawasan wisata;
c. mencegah usaha-usaha ke arah pengrusakan biota laut
melalui konservasi keanekaragaman hayati, perikanan
berkelanjutan dan pariwisata berkelanjutan; dan
d. pendidikan ekowisata, pendidikan agro wisata, pendidikan
geo wisata, penyediaan pasar wisata sayur-mayur dan
buah-buahan dan pengelolaan lingkungan yang
berdasarkan kepada pemanfaatan alam sebagai konversi,
rekreasi dan edukasi.

Pasal 33
(1) Lokasi Wisata Alam, Pantai dan Tirta di daerah yang
ditetapkan sebagai kawasan kepariwisataan yang dapat
dilanjutkan pengembangannya pada lokasi lainnya meliputi:
a. KSP Waiklibang yaitu Danau Waibelen, Sumber Air
Panas Waiplatin dan Wai Dan, Goa Ular dan Goa
Kelelawar, Danau Rana dan Budidaya Mutiara, Pantai
Painghaka, Batu Payung, Labawaing, Nipa (Sunset),
Teluk Hading, Pulau Sarabete, Leworahang, Kawaliwu,
Lato, Teluk Kelambu, Pulau Konga dan Taman Laut;
b. KSP Larantuka yaitu Pantai Wai Watololong, Pulau
Waibalun, Weri, Pantai Baun Boting dan Pantai Ikan
Koten, Gunung Ile Mandiri, Sumber Air Panas Wai
Plating Oka dan Sumber Air Panas di Demon Pagong.
c. KSP Sagu yaitu Danau Kota Kaya, Taman Laut Pulau
Meko, Pulau Bani, Pulau Watan Peni, Pulau Knawe,
Pulau Kroko dan Pulau Ipet;

79
d. KSP Menanga yaitu Pantai Semara, Watotena, Ene
Burak, Werah Meang, Werah Botok, Taman Laut Deri,
Pantai Longot dan Taman Laut Watohari; dan
e. KSP Ritaebang yaitu Pantai Rako, Pantai Oa, Taman
Laut Pantai Oa, Air Terjun Waipoar, Air Terjun
Nileknohing dan Gunung Berapi Lewotobi.
(2) Pengembangan sarana dan prasarana Wisata Alam, Pantai
dan Tirta diarahkan untuk:
a. penyediaan sarana untuk berbagai kegiatan olahraga,
pendakian, lari, lintas alam dan ketangkasan alam;
b. penyediaan sarana out bound;
c. penyediaan sarana transportasi untuk resort tour;
d. prasarana di masing-masing obyek wisata; dan
e. penyediaan sarana wisata tirta yaitu menyelam,
berenang, memancing, selancar, dayung dan spa.

Pasal 34
Wisata Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf b, merupakan wisata yang mengoptimalkan potensi
budaya masyarakat lokal, kehidupan sosial budaya dan tradisi,
mata pencarian, aktifitas dan siklus hidup masyarakat,
pranata sosial, upacara adat, ritual dan ungkapan tradisi,
kesenian dan musik etnis, ornamen ritual dan upacara serta
semua tinggalan sejarah budaya yang hidup dan berkembang
dalam aktifitas dan budaya masyarakat.

Pasal 35
Tujuan Pengembangan Wisata Budaya, meliputi:
a. menggali, menemukan, mengembangkan dan melestarikan
potensi budaya masyarakat melalui pengalaman, penelitian,
pengetahuan dan teknologi dalam seluruh pola hidup
masyarakat;
b. membina dan menjaga tatanan budaya masyarakat dan
memelihara aktifitas budaya masyarakat;
c. mempromosikan semua hasil aktifitas budi dan daya
masyarakat serta tradisi kehidupan budaya sebagai sebuah
80
tinggalan sejarah yang dapat mengungkapkan kehidupan
masa lalu masyarakat melalui penilitian dan pengkajian,
penggalian dan dokumentasi penulisan sejarah;
d. meningkatkan kunjungan wisata pada kawasan wisata
budaya melalui usaha menjaga keaslian budaya, pola
hidup, struktur mata pencarian, lingkungan alam, ritual
dan upacara, tatakrama dan adat istiadat dan atraksi
budaya yang berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat; dan
e. menjaga dan memelihara kelestarian aset budaya
masyarakat meliputi rumah adat, tempat upacara ritual
adat dan budaya serta asesoris lainnya yang memberi kesan
asli, tradisi, seni, antik dan atraktif.

Pasal 36
Lokasi Wisata Budaya di Daerah yang ditetapkan sebagai awal
pengembangan kepariwisataan yang dapat dilanjutkan
pengembangannya pada lokasi lain, yaitu:
a. KSP Waiklibang meliputi Batu bertulis Nopin Jaga, atraksi
Pau Horobubu, Pesta Kebun Polo Ma’ang;
b. KSP Larantuka meliputi Istana Raja, Budaya Adat, Upacara
Adat, Tarian Adat dan Rumah Adat tradisonal;
c. KSP Sagu meliputi Benteng Adonara, Istana Raja Sagu,
Meriam Kuno, Tugu Belanda Van der Bergh, Situs
Peninggalan Portugis, Kapela Senyor, Desa Nusatadon serta
Upacara Adat dan Pakaian Adat.
d. KSP Menanga meliputi Tarian Beku, Rumah Adat/Koke
Bale, Perkampungan Nelayan Terong, Pembuatan Ikat
Tenun, Taman Budaya Tadon Boleng, Pesta Adat Toben
Lewo, Upacara Adat Brauk/Pesta Panen, Benteng Portugis
Fort Henriques, Upacara Wu’un Lolon dan Atraksi Budaya
Lekot Tenoda; dan
e. KSP Ritaebang meliputi Musik Suling Tradisonal, Atraksi
Budaya Ritus Tikus, Rumah Adat dan Tarian Adat Tanah
Lein.

81
Pasal 37
Wisata Religius sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf
c, merupakan wisata ritual keagamaan sebagai sebuah warisan
tradisi masa lalu, ekspresi nilai-nilai iman, situs sejarah,
ornamen, ritual, pelaku, ikatan kultur budaya dalam ritual
keagamaan.

Pasal 38
Tujuan Pengembangan Wisata Religius, meliputi:
a. memelihara, menjaga, melindungi dan melestarikan wisata
religius keagamaan, pengembangan dan pelestarian iman
umat, meningkatkan kerjasama semua pemangku
kepentingan, keamanan, kenyamanan dan keramahan
kawasan wisata religius, meningkatkan keaslian dan peran
serta semua komponen SDM dalam kawasan wisata
religius;
b. mempromosikan Kawasan Budaya Religius Semana Santa
sebagai icon destinasi unggulan daerah, memelihara
ornamen upacara, dokumentasi dan publikasi sejarah,
tradisi religius umat untuk meningkatkan kunjungan
wisata dan peningkatan ekonomi masyarakat di kawasan
wisata religius;
c. menjaga dan melestarikan upacara religius dan aset
tinggalan sejarah masa lampau di kawasan wisata religius;
dan
d. membina dan melestarikan ikatan sejarah tradisi
keagamaan umat di kawasan wisata religius di daerah
dengan wisata regional, nasional dan mancanegara.

Pasal 39
Lokasi wisata religius di daerah yang ditetapkan sebagai awal
pembangunan kepariwisataan yang dapat dilanjutkan
pengembangannya pada lokasi lainnya meliputi:
a. ritual Semana Santa di KSP Larantuka;
b. ritual Semana Santa di KSP Sagu; dan
c. ritual Semana Santa di KSP Ritaebang

82
Pasal 40
Wisata Agro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d,
merupakan wisata yang memanfaatkan potensi pertanian,
pemandangan alam, kawasan pertanian, keanekaragaman,
aktifitas produksi dan teknologi pertanian serta budaya
masyarakat petaninya.

Pasal 41
Tujuan pengembangan Wisata Agro, meliputi:
a. memperluas kawasan pengetahuan, pengalaman, rekreasi
dan hubungan usaha dibidang pertanian yang meliputi
tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan dan
peternakan;
b. mempromosikan pariwisata sejalan dengan fungsi budi
daya pertanian dan pemukiman pedesaan; dan
c. meningkatkan lama tinggal wisatawan dan belanja
wisatawan yang berdampak pada pendapatan masyarakat
melalui pengembangan ekonomi rakyat.

Pasal 42
Lokasi Wisata Agro di Daerah sebagai kawasan pengembangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.

Bagian Keenam
Peran Pelaku Wisata

Pasal 43
Setiap Pelaku Usaha Wisata berkewajiban:
a. menyediakan restourant dengan struktur dan arsitektur
bangunan khas Rumah Adat Daerah;
b. menyediakan sarana akomodasi pada zona pelayanan
pengunjung dalam bentuk cottage atau drive in motel
dengan bentuk bangunan khas Rumah Adat Daerah;
c. menyediakan sarana bangunan informasi dengan ruang
presentasi, pemutaran video atau film yang berhubungan
dengan alam dan lingkungan alam Daerah;

83
d. menyediakan taman rekreasi untuk anak-anak dengan
perlengkapannya; dan
e. menyediakan rest area yang dibangun dengan arsitektur
setempat dan menggunakan bahan bangunan yang ramah
lingkungan.

BAB VIII
PENGEMBANGAN JALUR WISATA DAN PERSINGGAHAN WISATA

Pasal 44
Pengembangan jalur wisata, meliputi:
a. penyediaan terminal;
b. penataan jalur-jalur wisata;
c. penyediaan angkutan wisata; dan
d. penyediaan tenaga pramuwisata.

Pasal 45
(1) Penyediaan Persinggahan Wisata diarahkan pada semua
KSP di Daerah.
(2) Persinggahan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perlu mempertimbangkan syarat-syarat antara lain:
a. bangunan persinggahan untuk memberikan pelayanan,
rumah makan atau ruang cafe, ruang pramuwisata,
pelayanan toilet umum, mushola dan ruang customer
information center pariwisata;
b. lahan parkir yang dipergunakan untuk parkir angkutan
wisata dan kendaraan pribadi.
c. pelayanan dan penyediaan jasa perjalanan wisata
melalui jalur-jalur wisata;
d. pelayanan dan penyediaan jasa perjalanann wisata
untuk pelayanan kepada wisatawan; dan
e. menyediakan sarana kesehatan, sarana penukaran
uang, keamanan, kenyamanan dan keselamatan
perjalanan wisata.

84
Pasal 46
Pengelolaan Persinggahan Wisata merupakan:
a. pengembangan dan pengelolaan persinggahan wisata dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Swasta; dan
b. kerjasama pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan
persinggahan wisata antara Pemerintah Daerah dan Swasta
berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

BAB IX
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 47
Pengembangan masyarakat melalui:
a. pendidikan dan pelatihan masyarakat dalam bidang
pariwisata;
b. pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi
masyarakat melalui Pembangunan Kepariwisataan;
c. optimalisasi pengarusutamaan gender melalui
Pembangunan Kepariwisataan;
d. peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal
melalui pengembangan usaha produktif di bidang
pariwisata;
e. penyusunan regulasi dan pemberian insentif untuk
mendorong perkembangan industri kecil dan menengah dan
Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah
yang dikembangkan masyarakat lokal sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
f. penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha di bidang
Kepariwisataan;
g. perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan
menengah dan Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil
dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal;
h. peningkatan akses dan dukungan permodalan dalam upaya
mengembangkan produk industri kecil dan menengah dan

85
Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah
yang dikembangkan masyarakat lokal;
i. peningkatan kesadaran dan peran masyarakat serta
pemangku kepentingan terkait dalam mewujudkan sapta
pesona untuk menciptakan iklim kondusif Kepariwisataan
setempat; dan
j. peningkatan motivasi dan kemampuan masyarakat dalam
mengenali dan mencintai bangsa dan tanah air melalui
perjalanan wisata nusantara.

Pasal 48
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pola kemitraan,
meliputi:
a. pola kemitraan inti plasma;
b. pola kemitraan bersama; dan
c. pola tenaga kerja terdidik.

BAB X
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN

Pasal 49
(1) Pengelompokan SDM Pariwisata, meliputi:
a. kelompok yang berada di garis depan berhubungan
langsung dengan wisatawan;
b. kelompok spesialis yang tidak berhubungan langsung
dengan wisatawan; dan
c. kelompok birokrat yang bekerja pada Dinas.
(2) Kelompok-kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 50
Program pengembangan SDM dapat dilaksanakan dalam
bentuk pendidikan dan pelatihan untuk para karyawan serta
pimpinan yang bekerja pada usaha jasa pariwisata dan

86
karyawan, pimpinan dan staf yang bekerja di Instansi
Pemerintah.

Pasal 51
Pelatihan berdasarkan kompetensi spesifikasi teknis bidang
kebudayaan dan pariwisata dapat dilakukan oleh Dinas
bekerjasama dengan asosiasi pariwisata, lembaga pendidikan
pariwisata untuk mendapatkan tingkat keberhasilan.

Pasal 52
(1) Kelompok Penggerak Pariwisata merupakan kelompok
penggerak pariwisata yang bertindak sebagai motivator dan
komunikator kepariwisataan tehadap masyarakat sekitar
obyek dan daya tarik wisata atau obyek dan tempat
menarik lainnya yang menjadi perhatian
wisatawan/pengunjung.
(2) Kegiatan Kelompok Penggerak Pariwisata antara lain:
a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bidang
kerajinan dan makanan khas daerah;
b. menyelenggarakan bakti wisata di obyek dan daya tarik
wisata;
c. menyeberluaskan informasi tentang kepariwisataan;
d. membentuk/mendirikan koperasi;
e. menyelenggarakan kegiatan hiburan melalui kerjasama
dengan usaha kepariwisataan;
f. memelihara dan mengembangkan sapta pesona di
lingkungan obyek dan daya tarik wisata; dan
g. memelihara keamanan dan ketertiban lingkungan
sekitar obyek wisata.
(3) Pembentukan Kelompok Penggerak Pariwisata dilakukan
oleh masyarakat dan bersifat partisipatif oleh kelompok
masyarakat yang berada di sekitar obyek dan daya tarik
wisata atau tempat/obyek wisata lain yang menjadi
perhatian pengunjung atau wisatawan.
(4) Tata cara pembentukan Kelompok Penggerak Pariwisata
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
87
Pasal 53
Kelompok Swadaya Masyarakat di bidang seni budaya,
meliputi:
a. penyelenggara pagelaran kesenian;
b. pengelola makanan khas daerah; dan
c. pemelihara seni budaya.

BAB XI
USAHA PARIWISATA DAN PENGEMBANGAN PEMASARAN

Bagian Kesatu
Usaha Pariwisata

Pasal 54
Usaha Pariwisata, meliputi:
a. usaha daya tarik wisata.
b. usaha kawasan wisata.
c. usaha jasa transportasi pariwisata.
d. usaha jasa perjalanan wisata.
e. usaha jasa makanan dan minuman.
f. usaha jasa penyediaan akomodasi.
g. usaha jasa penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
h. usaha jasa penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi dan pameran;
i. usaha jasa informasi pariwisata;
j. usaha jasa konsultan pariwisata;
k. usaha jasa pramuwisata;
l. usaha jasa wisata tirta; dan
m. spa.

Pasal 55
(1) Pengelolaan usaha daya tarik wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf a, meliputi:
a. membangun dan mengelola obyek dan daya tarik
wisata;

88
b. membangun prasarana dan sarana yang diperlukan;
dan
c. mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada.
(2) Usaha daya tarik wisata meliputi :
a. pengelolaan daya tarik wisata alam;
b. pengelolaan daya tarik wisata budaya;
c. pengelolaan daya tarik wisata religi; dan
d. pengelolaan rekreasi dan hiburan umum.

Pasal 56
(1) Pengelolaan usaha kawasan wisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf b, meliputi membangun dan
mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi
kebutuhan pariwisata.
(2) Unsur-unsur usaha kawasan wisata, meliputi:
a. penataan, pembangunan, pengembangan dan
pelestarian kawasan;
b. penyediaan sarana akomodasi dan tempat wisata;
c. penyediaan makanan dan minuman;
d. penyediaan sarana angkutan wisata;
e. penyediaan sarana kawasan wisata; dan
f. memulihkan keberlangsungan hidup fauna dan flora
serta kehidupan biota dan ekosistem kawasan wisata.

Pasal 57
(1) Pengelolaan usaha jasa transportasi pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c, meliputi
sarana transportasi pariwisata sesuai karakteristik
kawasan dan tema pengembangan kawasan wisata.
(2) Unsur-unsur usaha jasa transportasi wisata, meliputi:
a. usaha jasa transportasi darat, jalan raya dan rel kereta
api;
b. usaha jasa transportasi laut, sungai dan penyeberangan;
dan
c. usaha jasa transportasi udara.

89
Pasal 58
(1) Pengelolaan usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf d, meliputi usaha biro
perjalanan dan usaha agen perjalanan wisata.
(2) Unsur-unsur usaha jasa perjalanan wisata, meliputi:
a. penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan jasa
pelayanan;
b. penyelenggaraan perjalanan wisata termasuk perjalanan
ibadah; dan
c. agen perjalanan wisata, pemesanan tiket, akomodasi
dan urusan dokumen perjalanan.

Pasal 59
(1) Pengelolaan usaha makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf e, meliputi penyediaan
makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan
dan perlengkapan untuk proses pembuatan.
(2) Unsur-unsur usaha jasa makanan dan minuman meliputi
restoran, cafe, jasa boga, bar/kedai minum dan depot.

Pasal 60
(1) Pengelolaan usaha penyediaan akomodasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf f, meliputi usaha yang
menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi
dengan pelayanan pariwisata lainnya.
(2) Unsur-unsur usaha penyediaan akomodasi meliputi hotel,
vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan
karavan dan akomodasi lainnya.

Pasal 61
(1) Pengelolaan usaha penyelenggara kegiatan hiburan dan
rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf g,
merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa
hiburan dan rekreasi untuk pariwisata.
(2) Unsur-unsur usaha penyelenggara kegiatan hiburan dan
rekreasi, meliputi:
a. seni pertunjukan;

90
b. arena permainan dan ketangkasan;
c. karaoke; dan
d. bioskop.
Pasal 62
Pengelolaan usaha penyelenggara pertemuan, perjalanan
insentif, konferensi dan pameran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf h, merupakan usaha untuk memberikan
jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang,
menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha
sehingga imbalan atas prestasinya serta penyelenggaraan
pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan
promosi suatu barang dan jasa yang berskala regional,
nasional dan internasional.

Pasal 63
(1) Pengelolaan usaha jasa informasi pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf i, merupakan usaha jasa
informasi kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk
bahan cetak dan/atau elektronik.
(2) Jenis-jenis usaha jasa informasi pariwisata meliputi data,
berita, feature, video dan hasil-hasil penelitian.

Pasal 64
Pengelolaan usaha jasa Konsultan pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf j, merupakan usaha yang
menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi
kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian dan
pemasaran dibidang kepariwisataan.

Pasal 65
Pengelolaan usaha jasa pramu wisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf k, merupakan usaha yang menyediakan
dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro
perjalanan wisata.

91
Pasal 66
Pengelolaan usaha jasa wisata tirta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf l, merupakan usaha yang
menyelenggarakan wisata dan olahraga air termasuk
penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang
dikelola secara komersial di perairan laut, pantai sungai danau
dan waduk.

Pasal 67
Pengelolaan spa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf
m, merupakan bagian dari fasilitas hotel.

Pasal 68
(1) Setiap Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54, wajib memperoleh izin.
(2) Syarat-syarat perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(3) Setiap pengusaha pariwisata yang melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi
administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
berupa:
a. teguran;
b. peringatan; dan
c. pencabutan izin usaha.

Bagian Kedua
Pengembangan Pemasaran

Pasal 69
Pemasaran Pariwisata merupakan kegiatan pokok yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mempertahankan
dan mengembangkan produk pariwisata daerah serta
kelangsungan hidup usaha pariwisata.

92
Pasal 70
(1) Pengembangan pemasaran dilakukan dengan cara
merencanakan, mengusahakan, melaksanakan, mengelola
dan membuat bahan-bahan pemasaran dan promosi.
(2) Pengembangan pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. menentukan kebijaksanaan produk wisata, penentuan
harga, saluran distribusi dan promosi;
b. menentukan pasar wisata yang sesuai dengan segmen
pasar baik di dalam maupun di luar negeri;
c. menentukan dan memperkenalkan produk wisata yang
baru kepada pasar wisata potensial;
d. menentukan kegiatan dan biaya promosi dalam upaya
menciptakan permintaan terhadap produk wisata; dan
e. menentukan perkiraan kebutuhan, pasar potensial,
segmen pasar dan pembiayaan.

Pasal 71
Tujuan Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
yaitu menarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata
dan daya tarik wisata pada satu daerah tujuan wisata untuk
menggunakan seluruh pelayanan yang diberikan oleh para
pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha obyek dan daya
tarik wisata, usaha sarana wisata dan usaha jasa pariwisata.

Pasal 72
Penyelenggaraan Pemasaran dilakukan dengan cara
pengiklanan usaha dan obyek daya tarik wisata, usaha sarana
wisata, usaha jasa pariwisata dan daerah tujuan wisata.

Pasal 73
(1) Peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72,
meliputi:
a. menyediakan biaya pemasaran sesuai dengan
kewenangannya dalam mendorong pemasaran daerah
tujuan wisata;
93
b. menciptakan citra daerah tujuan wisata yang memiliki
nilai-nalai dan unsur-unsur sapta pesona;
c. mendorong pengusaha di bidang pariwisata untuk
mengembangkan dan melaksanakan pemasaran; dan
d. melakukan hubungan masyarakat dan membangun
komunikasi.
(2) Peran Dunia Usaha dalam penyelenggaraan pemasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi:
a. menyediakan biaya untuk kepentingan berbagai
kegiatan pemasaran baik di dalam maupun di luar
negeri;
b. membuat berbagai bentuk bahan pemasaran
perusahaan sesuai dengan bidang usahanya;
c. membantu kegiatan pemasaran produk wisata lainnya
yang berada di luar kegiatan usaha; dan
d. mengikuti berbagai kegiatan pemasaran baik yang
diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan pemasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi:
a. menjaga citra daerah tujuan wisata melalui
pengembangan sapta pesona;
b. menyediakan dan mengikutsertakan kegiatan
pemasaran yang dilaksanakan sesuai bidang
kegiatannya; dan
c. mendukung berbagai kegiatan pemasaran yang
dilaksanakan pemerintah, dunia usaha pariwisata.
(4) Peran Lembaga dan Instansi terkait dalam penyelenggaraan
pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72,
meliputi:
a. membantu pemasaran pariwisata sesuai dengan bidang
kegiatannya;
b. menyediakan biaya pemasaran untuk menunjang
berbagai kegiatan yang ada dikaitannya dengan bidang
tugasnya; dan

94
c. meneliti berbagai kegiatan pemasaran pariwisata
sesuai dengan bidang kegiatannya.

BAB XII
KOORDINASI

Pasal 74
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan
kepariwisataan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi
strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program dan
kegiatan kepariwisataan.
(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian dan
karantina;
b. bidang keamanan dan ketertiban;
c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air
bersih, listrik, telekomunikasi dan kesehatan
lingkungan;
d. bidang transportasi darat, laut dan udara; dan
e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.

Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme dan
hubungan koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB XIII
BPPD

Pasal 76
(1) Pemerintah Daerah wajib membentuk BPPD yang
berkedudukan di Ibukota Daerah.
(2) BPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3) Pembentukan BPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
95
Pasal 77
(1) BPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 berjumlah 11
(sebelas) orang, terdiri atas:
a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c. pakar/akademisi di bidang pariwisata 2 (dua) orang; dan
d. wakil unsur Pemerintah Daerah 3 (tiga) orang.
(2) Keanggotaan BPPD ditetapkan dengan Keputusan Bupati
untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun.
(3) BPPD dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua
yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan
oleh anggota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan,
serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian BPPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 78
(1) BPPD mempunyai tugas:
a. meningkatkan citra kepariwisataan Daerah;
b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan
penerimaan devisa;
c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan
pembelanjaan;
d. menggalang pendanaan dari sumber selain APBN dan
APBD sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan
e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha
dan industri pariwisata.
(2) BPPD mempunyai fungsi:
a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia
usaha di pusat dan daerah; dan
b. mitra kerja Pemerintah Daerah.

96
Pasal 79
(1) Sumber pembiayaan BPPD berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari APBN dan APBD
bersifat hibah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

BAB XIV
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Kesatu
Hak

Pasal 80
Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola kepariwisataan di
Daerah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 81
(1) Setiap orang berhak:
a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. melakukan usaha pariwisata;
c. menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan
d. berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar
destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas:
a. menjadi pekerja/buruh;
b. konsinyasi; dan
c. pengelolaan.

Pasal 82
Setiap wisatawan berhak memperoleh:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standard;
97
c. perlindungan hukum dan keamanan;
d. pelayanan kesehatan;
e. perlindungan hak pribadi; dan
f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang
berisiko tinggi.

Pasal 83
Wisatawan yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut
usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan
kebutuhannya.

Pasal 84
Setiap pengusaha pariwisata berhak:
a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di
bidang kepariwisataan;
b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. mendapatkan fasilitas sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 85
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban:
a. menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan
hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada
wisatawan;
b. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan
usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan
yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan
memberikan kepastian hukum;
c. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset
Nasional dan Daerah yang menjadi daya tarik wisata dan
aset potensial yang belum tergali; dan

98
d. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan
dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai
dampak negatif bagi masyarakat luas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan
pengendalian kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 86
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan
b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih,
berperilaku santun dan menjaga kelestarian lingkungan
destinasi pariwisata.

Pasal 87
Setiap wisatawan berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat,
budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
setempat;
b. memelihara dan melestarikan lingkungan;
c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan;
dan
d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang
melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.

Pasal 88
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat,
budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan
keamanan dan keselamatan wisatawan;

99
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata
dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan
koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat
dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat,
produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada
tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan
dan pendidikan;
i. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan
program pemberdayaan masyarakat;
j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang
melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum
di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih dan asri;
l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui
kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab;
dan
n. menerapkan standard usaha dan standard kompetensi
sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Larangan

Pasal 89
Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik
daya tarik wisata, seperti merusak fisik daya tarik wisata
dengan cara melakukan perbuatan mengubah warna,
mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu,
mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil,
menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata
sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan,
keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata.

100
BAB XV
PENDANAAN

Pasal 90
Sumber dana untuk kegiatan pembangunan kepariwisataan
Daerah berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,
pengusaha dan sumber lain yang tidak mengikat.

Pasal 91
Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
publik.

Pasal 92
Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi
usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.

BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 93
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pariwisata,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang Pariwisata agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana Pariwisata;

101
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
Pariwisata;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Pariwisata;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan
bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
Pariwisata;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
indentitas orang, benda dan/atau dokumen yang
dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
pidana Pariwisata;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana di bidang Pariwisata sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

102
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 94
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 89 dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan pelanggaran.

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 95
RIPKKA yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
ini dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan
kepentingan pembangunan daerah dalam waktu paling lama 5
(lima) tahun sekali.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 96
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling
lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan.

103
Pasal 97
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN
2013 NOMOR 0086

104
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 2 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN


KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013-2023

I. UMUM
Kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan Daerah yang dilakukan secara sistematis,
terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai
agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian
dan mutu lingkungan hidup.
Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi Daerah ini
kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kekayaan berupa
letak geografis yang strategis, keanekaragaman bahasa dan
suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna, peninggalan
purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya
merupakan sumber daya dan modal untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana
terkandung dalam Pancasila dan dicita-citakan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sumber daya dan modal tersebut perlu dimanfaatkan
secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan
yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan Daerah,
memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan
lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah,
memperkenalkan dan mendayagunakan daya tarik wisata
dan destinasi di Daerah.
105
Kecenderungan perkembangan kepariwisataan dunia
dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang
sangat pesat. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh
perubahan struktur sosial ekonomi negara di dunia dan
semakin banyak orang yang memiliki pendapatan lebih
yang semakin tinggi. Selain itu, kepariwisataan telah
berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi
kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi
manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Dalam
menghadapi perubahan global dan penguatan hak pribadi
masyarakat untuk menikmati waktu luang dengan
berwisata, perlu dilakukan pembangunan kepariwisataan
yang bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan
kekhasan bangsa dengan tetap menempatkan kebhinekaan
sebagai suatu yang hakiki dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Untuk itu, dalam rangka menjamin pengembangan
kepariwisataan di Kabupaten Flores Timur secara
sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan
bertanggung jawab maka Pemerintah memandang perlu
untuk membentuk Peaturan Daerah tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Hal ini dimaksudkan
agar Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan
masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar
berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan
sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan
martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta
persahabatan antarbangsa dalam rangka mewujudkan
perdamaian dunia.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.

106
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Asas Manfaat yakni semua kepentingan secara
terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang, lestari dan berkelanjutan.
Huruf b
Asas Keterbukaan yakni perencanaan dilakukan
secara terbuka dan melibatkan semua elemen
masyarakat;
Huruf c
Asas Keterpaduan (integrated) yakni memiliki
keterpaduan dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan makro yang telah ditetapkan baik
pada tingkat Nasional Regional dan Daerah;
Huruf d
Asas Berkelanjutan (suistanable) yakni
memperhatikan keseimbangan “balance of life”
(hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam) dalam prinsip
pembangunan yang berkelanjutan; dan
Huruf e
Asas Keterkaitan yakni antara wilayah dengan
melihat keterkaitan antar wilayah yang diikat
kesamaan sejarah, kondisi alam atau sumber
daya yang diharapkan akan mendorong terjalin
kerjasama antar daerah.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
107
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.

108
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.

109
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Pola Kemitraan Inti Plasma merupakan kerjasama
antara pihak masyarakat yang memiliki usaha
tertentu sebagai plasma dengan pihak swasta
berdasarkan perjanjian dan kesepakatan
bersama.
Huruf b
Pola Kemitraan Bersama yakni masyarakat yang
memiliki aset baik berupa lahan, rumah atau
aset-aset lain yang digunakan sebagai modal
usaha untuk berkerja sama dengan pemberi
modal atau perusahaan.
110
Huruf c
pola tenaga kerja terdidik yakni masyarakat
setempat dilibatkan sebagai tenaga kerja yang
bekerja pada usaha pariwisata.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.

111
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.

112
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Yang dimaksudkan dengan wisatawan yang
berkebutuhan khusus adalah wisatawan yang
mempunyai kelainan mental dan fisik.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.

113
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN KABUPATEN KABUPATEN FLORES


TIMUR NOMOR 0086

114
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 3, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0087

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG
PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
DINAS-DINAS DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka sinkronisasi tugas


pokok dan fungsi jabatan pada jajaran
kesehatan dan dalam rangka
melaksanakan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah maka Susunan
Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten
Flores Timur dan Susunan Organisasi
Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah Kabupaten Flores Timur
yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 6
Tahun 2008 tentang Pembentukan

115
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas-dinas Daerah, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6
Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas
Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia

116
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4741);
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penataan Organisasi Perangkat Daerah,
sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penataan Organisasi Perangkat
Daerah;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2008
Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 0026),
sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2011
Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 0066);

117
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR

dan

BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG
PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA
KERJA DINAS–DINAS DAERAH.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0026),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0066), diubah sebagai
berikut:

118
1. Ketentuan angka 3, angka 4, angka 5, dan angka 6 ayat (1)
dan ayat (2) Pasal 23 diubah sehingga Pasal 23 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 23
(1) Susunan Organisasi Dinas Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, terdiri dari:
1. Kepala Dinas.
2. Sekretariat, terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. Sub Bagian Keuangan; dan
c. Sub Bagian Penyusunan Program dan Pelaporan.
3. Bidang Pelayanan Kesehatan, terdiri dari:
a. Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar;
b. Seksi Rujukan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat; dan
c. Seksi Perbekalan dan Sarana Prasarana
Kesehatan.
4. Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah
Kesehatan, terdiri dari:
a. Seksi Pencegahan Penyakit Menular;
b. Seksi Penyehatan Lingkungan; dan
c. Seksi Wabah dan Surveylans.
5. Bidang Kesehatan Masyarakat, terdiri dari:
a. Seksi Kesehatan Ibu dan Anak;
b. Seksi Kesehatan Remaja dan Usia Lanjut; dan
c. Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat.
6. Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan
Peran Serta Masyarakat, terdiri dari:
a. Seksi Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Registrasi dan Akreditasi;
b. Seksi Promosi Kesehatan; dan
c. Seksi Pengembangan Peran Serta Masyarakat.
119
7. Kelompok Jabatan Fungsional.
8. Unit Pelaksana Teknis (UPT).
(2) Bagan Struktur Organisasi Dinas Kesehatan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

2. Ketentuan Pasal 51 diubah, sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 51
(1) Susunan Organisasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 12, terdiri dari:
1. Kepala Dinas
2. Sekretariat, terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. Sub Bagian Keuangan; dan
c. Sub Bagian Penyusunan Program dan
Pelaporan.
3. Bidang Anggaran dan Perbendaharaan, terdiri dari:
a. Seksi Anggaran dan Otorisasi;
b. Seksi Perbendaharaan dan Kas Daerah; dan
c. Seksi Gaji.
4. Bidang Akutansi, terdiri dari:
a. Seksi Akuntansi Belanja dan Pembiayaan;
b. Seksi Akuntansi Pendapatan; dan
c. Seksi Evaluasi dan Pelaporan.
5. Bidang Pendapatan Asli Daerah Lainnya, terdiri
dari:
a. Seksi Pendataan;
b. Seksi Penetapan; dan
c. Seksi Penagihan.

120
6. Bidang Pengelolaan Aset, terdiri dari:
a. Seksi Analisa dan Pengadaan;
b. Seksi Inventarisasi dan Pendistribusian; dan
c. Seksi Evaluasi Aset.
7. Bidang Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Dana
Perimbangan.
a. Seksi Pelayanan dan Penyuluhan;
b. Seksi Pendataan, Penilaian dan Penetapan; dan
c. Seksi Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
dan Dana Perimbangan.
8. Kelompok Jabatan Fungsional.
9. Unit Pelaksana Teknis (UPT).
(2) Bagan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
3. Ketentuan Pasal 57A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 57A
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pejabat yang
diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 0026), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 15,
121
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 0066), tetap menduduki jabatan sampai dengan
diangkatnya pejabat baru berdasarkan Peraturan Daerah
ini.

Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013

BUPATI FLORES TIMUR,


CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


TAHUN 2013 NOMOR 3

122
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 3 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2008
TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI
DAN TATA KERJA DINAS-DINAS DAERAH

I. UMUM
Reformasi Birokrasi bertujuan untuk mewujudkan
birokrasi yang bersih, profesional, berintegritas tinggi,
akuntabel, dan melayani. Makna tersebut sangat mudah
dipahami karena harus diakui bahwa peran birokrasi dalam
implementasi berbagai sektor pembangunan memang
sangat besar dengan sasarannya adalah perubahan
kelembagaan (struktur organisasi) menuju organisasi yang
tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
Kondisi imperik menunjukan bahwa Struktur Organisasi
Dinas Kesehatan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah dari aspek
tugas pokok dan fungsi terjadi tumpang tindih (overlapping),
oleh karen itu, dalam rangka efisiensi dan efektivitas perlu
dilakukan perubahan tugas pokok dan fungsi dan
numenklatur Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Flores Timur.
Perubahan tugas pokok dan fungsi dan nomenklatur
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Flores Timur dilakukan untuk penyesuaian
dengan jajaran kesehatan di tingkat yang lebih tinggi,
123
sehingga dalam melaksanakan tugas ada kesinambungan
antara jajaran kesehatan mulai dari Daerah, Provinsi dan
Pusat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Dinas-Dinas Daerah perlu disesuaikan.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES
TIMUR NOMOR 0087

124
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 4, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0088

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 4 TAHUN 2013

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan


Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja dan Pasal 8 ayat (3) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Satuan Polisi Pamong Praja maka Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang
semula sudah diatur dalam Peraturan Daerah

125
Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
126
Praja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5094);
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40
Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi
dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja
(Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 590);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 0067);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN


ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA
INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH DAN LEMBAGA
TEKNIS DAERAH.

127
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0067), diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Paragraf 3
Susunan Organisasi
Pasal 39
(1) Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, terdiri
dari:
a. Kepala Satuan;
b. Sekretariat, terdiri dari:
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
2. Sub Bagian Keuangan; dan
3. Sub Bagian Penyusunan Program dan Pelaporan.
c. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah,
terdiri dari:
1. Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan;
dan
2. Seksi Penyelidikan dan Penyidikan.
d. Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat, terdiri dari:
1. Seksi Operasi dan Pengendalian; dan
2. Seksi Kerjasama.
e. Bidang Sumber Daya Aparatur, terdiri dari:
1. Seksi Pelatihan Dasar; dan
2. Seksi Teknis Fungsional.
128
f. Bidang Perlindungan Masyarakat, terdiri dari:
1. Seksi Satuan Perlindungan Masyarakat; dan
2. Seksi Bina Potensi Masyarakat.
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
h. Unit Pelaksana Satuan Polisi Pamong Praja
Kecamatan
(2) Bagan Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

2. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 58
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pejabat yang
diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0067),
tetap menduduki jabatan sampai dengan diangkatnya
pejabat baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.

129
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013

BUPATI FLORES TIMUR,


CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


TAHUN 2013 NOMOR 0088

130
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 4 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
INSPEKTORAT KABUPATEN, BADAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH

I. UMUM
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, merupakan salah satu wujud reformasi otonomi
daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberdayakan
daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika
kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era
globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman
dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan
suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk
meningkatkan mutu kehidupannya.
Berdasarkan amanat Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas membantu
Bupati untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang
tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan
131
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman.
Oleh karena itu, di samping menegakkan Peraturan Daerah,
Satuan Polisi Pamong Praja juga dituntut untuk
menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu
Peraturan Bupati.
Untuk mengoptimalkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja
perlu dibangun kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja
yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang
tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan
Satuan Polisi Pamong Praja tidak hanya
mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk di
suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab
yang diemban, budaya, sosiologi, serta resiko keselamatan
polisi pamong praja.
Klasifikasi kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja di
tingkat Kabupaten berdasarkan ketentuan Pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan
Polisi Pamong terdiri atas Tipe A dan Tipe B yang ditetapkan
berdasarkan klasifikasi besaran organisasi perangkat
daerah berdasarkan variabel dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah; dan
c. jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Berdasarkan perhitungan variabel besaran organisasi
perangkat daerah Kabupaten Flores Timur berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah di atas, telah mencapai
nilai lebih dari 60 (enam puluh). Sejalan dengan itu maka
Pemerintah memandang perlu untuk meningkatkan status
Satuan Polisi Pamong Praja dari yang semula Tipe B ke
Tipe A melalui Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.

132
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 0088

133
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 5, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0089

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 5 TAHUN 2013

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan adanya


penambahan objek retribusi pelayanan
kesehatan dan penyesuaian klasifikasi
pasar, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 12
Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa
Umum, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi
Jasa Umum;
134
Mengingat : a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
e. Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2011
Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 0063);

135
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR

dan

BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN


ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG RETRIBUSI JASA UMUM.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
(Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011
Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0063), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (2) Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 9
(2) Struktur dan besarnya tarif retribusi yang dikenakan
meliputi jasa pelayanan dan jasa sarana, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

2. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 28
(2) Kelas pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
adalah:
a. Kelas I, adalah Pasar Inpres Larantuka.

136
b. Kelas II, adalah Pasar Inpres Waiwerang;
c. Kelas III, terdiri dari:
1. Pasar Boru;
2. Pasar Waiwadan;
3. Pasar Weri; dan
4. Pasar Lamawalang.
d. Kecuali Kelas I, Kelas II dan Kelas III sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c adalah
Kelas IV.
3. Ketentuan Pasal 30 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Struktur dan besarnya tarif retribusi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


TAHUN 2013 NOMOR 0089
137
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 5 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA UMUM

I. UMUM
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang
nyata, luas dan bertanggungjawab, maka perlu digali
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah guna mendukung
pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan dan
pelaksanaan Pembangunan menuju kemandirian Daerah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
maka salah satu sumber pendapatan Daerah adalah
penetapan dan pemungutan retribusi.
Retribusi Jasa Umum semula diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011
tentang Retribusi Jasa Umum. Akan tetapi berdasarkan
pengamatan terhadap aktivitas pasar maka pembagian
kelas pasar berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (2)
Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12
Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum perlu dilakukan
penyesuaian.
Disamping penyesuaian atas retribusi berdasarkan volume
aktivitas Pasar, masih terdapat sejumlah obyek pelayanan
pada Rumah Sakit Umum Daerah Larantuka yang belum
dikenakan pungutan dalam pelayanannya. Sejalan dengan
itu maka Lampiran I Peraturan Daerah Kabupaten Flores
138
Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa
Umum yang mengatur tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan, perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 0089

139
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 6, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0090

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 6 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA USAHA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan adanya


penambahan objek Retribusi Jasa Usaha,
maka Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011
tentang Retribusi Jasa Usaha, perlu
disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi
Jasa Usaha;
140
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
(4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
(5) Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Tahun 2011
Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 0068);

141
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18
TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI JASA
USAHA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha
(Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011
Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0068), diubah sebagai berikut:

4. Di antara huruf e dan huruf f ayat (1) Pasal 4 disisipkan 1


(satu) huruf, yakni huruf ea sehingga Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Objek retribusi adalah jasa pelayanan pemakaian
kekayaan Daerah yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah meliputi:
a. tanah;
b. bagunan atau gedung;
c. ruangan;
d. kendaraan;
e. alat berat;
ea. jasa penyiaran radio; dan
f. fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.
142
5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 8
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


TAHUN 2013 NOMOR 6

143
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 6 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA USAHA

I. UMUM
Kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan,
dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan
rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara
bertanggungjawab, selaras dan seimbang antara kebebasan
dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
telah melahirkan masyarakat yang makin besar
tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk
mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan
pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas
penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut
telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran,
termasuk penyiaran di Kabupaten Flores Timur. Penyiaran
sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat
umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam
mengembangkan alam demokrasi di Daerah. Penyiaran
telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi
masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan
pemerintah.

144
Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran
Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur didirikan
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendirian Lembaga Penyiaran
Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten
Flores Timur dan merupakan media publik lokal yang
memiliki peranan penting dalam mengembangkan
pendidikan, informasi, hiburan yang sehat dan pelestarian
budaya Daerah.
Dalam penyelenggaraan siaran, Lembaga Penyiaran
Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten
Flores Timur memberikan ruang atau durasi waktu untuk
layanan siaran iklan baik siaran iklan niaga maupun iklan
layanan masyarakat yang bersumber dari Pemerintah,
BUMN, BUMD, lembaga masyarakat serta perorangan. Akan
tetapi Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran
Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur tidak dapat
melakukan pungutan atas jasa layanan siaran iklan
dimaksud. Hal ini disebabkan karena Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Retribusi Penggantian Biaya Administrasi yang merupakan
dasar pungutan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio
Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur, telah
dicabut sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Sementara itu, ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
mengamanatkan bahwa salah satu sumber pembiayaan
lembaga penyiaran publik berasal dari siaran iklan di
samping iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan usaha lain
yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Mengingat aset yang digunakan pada Lembaga Penyiaran
Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten
Flores Timur merupakan aset Pemerintah Daerah yang
belum dipisahkan maka pengaturan pungutan atas jasa

145
siaran merupakan salah satu objek pungutan Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah dalam Retribusi Jasa Usaha.
Di samping itu, mengingat ada beberapa objek
retribusi pada Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya
dalam pemanfaatan sarana PPI oleh pihak ketiga yang belum
terakomodir dalam objek Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, perlu
disesuaikan dengan menambah objek pungutan Jasa
Penyiaran dan objek pungutan atas pemanfaatan sarana PPI
di Amagarapati.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 0090

146
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 7, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0091

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2011
TENTANG PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,


Menimbang : a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi Menteri
Keuangan terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 22
Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan
dalam rangka mencapai efektivitas dan
efisiensi sistem pemungutan dan
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
maka Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah

147
Kabupaten Flores Timur Nomor 22
Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (L Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Tahun 2011 Nomor 22,

148
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 0073);
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 22
TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 0073), diubah sebagai berikut:

6. Ketentuan huruf e Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20
Besarnya tarif pajak untuk setiap jenis hiburan adalah:
a. untuk jenis pertunjukan dan keramaian umum yang
menggunakan sarana film di bioskop ditetapkan
sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
b. penyelenggaraan pertandingan olah raga adalah
sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
c. penyelenggaraan hiburan kesenian berupa show,
pergelaran musik, pergelaran busana, kontes

149
kecantikan, dan sejenisnya adalah 15% (lima belas
persen) dari harga tanda masuk;
d. penyelenggaraan hiburan kesenian berupa kesenian
tradisional seperti drama, puisi, dan sejenisnya yang
bertujuan untuk melestarikan budaya nasional adalah
sebesar 5% (lima persen) dari harga tanda masuk;
e. penyelenggaraan klub malam, diskotik, karaoke, bar,
pab dan sejenisnya adalah sebesar 15% (lima belas
persen) dari jumlah yang dibayar konsumen;
f. permainan ketangkasan adalah sebesar 10% (sepuluh
persen) dari harga tanda masuk;
g. permainan bilyard dan sejenisnya adalah sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah pembayaran yang diterima
penyelenggara;
h. penyelenggaraan permainan bowling adalah sebesar 5%
(lima persen) dari pembayaran yang diterima
penyelenggara;
i. penyelenggaraan hiburan berupa panti pijat
sebesar 15% (lima belas persen) dari pembayaran yang
diterima penyelenggara;
j. mandi uap (stembath) mandi sauna dan sejenisnya
sebesar 15% (lima belas persen) dari pembayaran yang
diterima penyelenggara;
k. pertunjukan dan keterampilan umum yang
menggunakan elelktronik ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen);
l. panggung terbuka dipungut pajaknya sebesar 10%
(sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
m. panggung tertutup dipungut pajaknya sebesar 15%
(lima belas persen) dari harga tanda masuk; dan
n. pasar seni dan pameran dipungut pajaknya sebesar 10%
(sepuluh persen) dari harga tanda masuk.

150
7. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga Pasal 57 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 57
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
ditetapkan sebagai berikut:
a. di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen); dan
b. di bawah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).

Pasal II
Peraturan Daerah ini mulaiberlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN


2013 NOMOR 0091
151
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 7 TAHUN 2013

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK
DAERAH

I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan pendapatan Daerah
dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan dan peningkatan pelayanan
serta pemberdayaan masyarakat, Daerah berhak
mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah
satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa
penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan
Peraturan Perundang-undangan.
Pengaturan mengenai perpajakan di Kabupaten Flores
Timur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas sistem
pemungutan dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
maka berdasarkan perhitungan tarif Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22
Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, perlu dilakukan
perubahan.

152
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 0091

153
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 8, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0092

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 8 TAHUN 2013

TENTANG

PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES


TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN
PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH GEMOHING
FLORES TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa Perusahan Daerah Gemohing yang


didirikan berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 18
Tahun 2001 tentang Pendirian dan
Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing
tidak dapat melanjutkan kelangsungan
usaha karena permasalahan manajemen
dan likuiditas berdasarkan laporan hasil
audit BPK Perwakilan Nusa Tenggara Timur;
b. bahwa Perusahaan Daerah Gemohing,
ternyata tidak dapat berfungsi sebagai alat
bantu Pemerintah Daerah untuk

154
memberdayakan ekonomi rakyat yang
dimanifestasikan dalam bentuk turut
mengembangkan berbagai sektor
pembangunan dan memberikan kontribusi
bagi Pendapatan Asli Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam tujuan pendirian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Pencabutan Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18
Tahun 2001 tentang Pendirian dan
Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing
Flores Timur;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan

155
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR

dan

BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PENCABUTAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18
TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN
PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH
GEMOHING FLORES TIMUR.

Pasal 1
Peraturan Daerah Kabupten Flores Timur Nomor 18
Tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan
Daerah Gemohing Flores Timur (Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 18 Tahun 2001 Seri D Nomor 14) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

156
Pasal 2
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 8

157
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 8 TAHUN 2013
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES
TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN
PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH GEMOHING
FLORES TIMUR

I. UMUM

Perusahaan Daerah Gemohing yang didirikan


berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flore Timur
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pendirian dan
Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing Flores
Timur, merupakan aset daerah yang keberadaanya
diharapkan dapat berfungsi sebagai alat bantu
Pemerintah Daerah untuk memberdayakan ekonomi
rakyat yang dimanifestasikan dalam bentuk turut
mengembangkan berbagai sektor pembangunan dan
memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah
sebagaimana diamanatkan dalam tujuan pendirian.
Sejak akhir tahun 2004 sampai dengan saat ini, sudah
tidak beroperasi sehingga mengakibatkan akumulasi
defisit yang besar. Kondisi ini berdampak merugikan
Pemerintah Daerah dan tidak dapat memberikan
kontribusi terhadap penerimaan Asli Daerah.
Berdasarkan rekomendasi Laporan Hasil Audit
BPK Perwakilan Nusa Tenggara Timur menyatakan
bahwa Perusahaan Daerah Gemohing tidak dapat
melanjutkan kelangsungan usaha (going concern) karena
permasalahan manajemen dan likuiditas sehingga
menyarakan agar perlu membubarkan Perusahaan
Daerah Gemohing. Sehubungan dengan hal tersebut,

158
maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor
18 tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan
Perusahaan Daerah Gemohing Flores Timur perlu
dicabut.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES


TIMUR NOMOR 0092

159
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 9, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0093

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 9 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN


FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA
PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN
DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menampung


perkembangan keadaan hukum yang
berkaitan dengan tata cara pencalonan,
pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan
pemberhentian Kepala Desa maka
Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan,
Pengangkatan, Pelantikan dan
Pemberhentian Kepala Desa, perlu
disesuaikan;

160
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2
Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan,
Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005
161
Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4587);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan,
Pengangkatan, Pelantikan dan
Pemberhentian Kepala Desa (Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur
Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0022);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG TATA CARA PENCALONAN,
PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN
DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA.

Pasal I
Beberapa ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian
Kepala Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur
Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 0022), diubah sebagai berikut:

162
1. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 3, disisipkan 1 (satu)
ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) BPD membentuk Panitia pemilihan Kepala Desa
dengan Keputusan BPD.
(2) Pembentukan Panitia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan selambat-lambatnya 4 (empat)
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa
dengan atau tanpa surat permohonan pengunduran
diri dari Kepala Desa.
(2a) Apabila sampai batas waktu empat bulan sebelum
berakhirnya masa jabatan Kepala Desa, Panitia
Pemilihan Kepala Desa belum dibentuk maka Camat
wajib membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa
melalui musyawarah Desa.
(3) Panitia Pemilihan Kepala Desa terdiri dari:
a. unsur Perangkat Desa;
b. pengurus lembaga kemasyarakatan; dan
c. tokoh masyarakat.
(4) Jumlah anggota Panitia ditetapkan dengan jumlah
ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling
banyak 11 (sebelas) orang dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. jumlah penduduk sampai dengan 1000 (seribu)
orang sebanyak 5 (lima) orang;
b. jumlah penduduk 1001 (seribu satu) orang sampai
dengan 1250 (seribu dua ratus lima puluh) orang
sebanyak 7 (tujuh) orang;
c. jumlah penduduk 1251 (seribu dua ratus lima
puluh satu) orang sampai dengan 1500 (seribu lima
ratus) orang sebanyak 9 (sembilan) orang; dan
d. jumlah penduduk lebih dari 1500 (seribu lima
ratus) orang sebanyak 11 (sebelas) orang.

163
(5) Rincian unsur panitia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), adalah:
a. bagi Desa yang jumlah Panitianya 5 (lima) orang
maka:
1) unsur Perangkat Desa 1 (satu) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 2 (dua)
orang; dan
3) tokoh masyarakat 2 (dua) orang.
b. bagi Desa yang jumlah Panitianya 7 (tujuh) orang
maka:
1) unsur Perangkat Desa 2 (dua) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 3 (tiga)
orang; dan
3) tokoh masyarakat 2 (dua) orang.
c. bagi Desa yang jumlah Panitianya 9 (sembilan)
orang maka:
1) unsur Perangkat Desa 3 (tiga) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 3 (tiga)
orang; dan
3) tokoh masyarakat 3 (tiga) orang.
d. bagi Desa yang jumlah Panitianya 11 (sebelas)
orang maka:
1) unsur Perangkat Desa 3 (tiga) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 4 (empat)
orang; dan
3) tokoh masyarakat 4 (empat) orang.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 6
Persyaratan Calon Kepala Desa adalah sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

164
dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
Pemerintah;
c. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama dan atau sederajat;
d. apabila Desa-desa yang tidak memiliki sumber daya
manusia yang berpendidikan sebagaimana dimaksud
pada huruf c maka dapat menyesuaikan dengan kondisi
yang senyatanya;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. sekurang-kurangnya telah berumur 25 (dua puluh lima)
tahun;
g. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
h. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima)
tahun;
i. belum pernah menjabat sebagai Kepala Desa paling
lama 2 (dua) periode baik secara berturut-turut maupun
tidak berturut-turut;
j. mendapat dukungan 10% dari jumlah penduduk
setempat bagi putera desa yang bukan penduduk Desa;
k. bersedia berdomisili di Desa setempat bagi putera Desa
yang bukan penduduk Desa;
l. telah menyampaikan Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Akhir Masa jabatan Kepala Desa
dalam rapat paripurna BPD dan juga telah
menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa kepada Bupati bagi Bakal Calon yang sebelumnya
memangku jabatan Kepala Desa;
m. mendapat dukungan 5% dari jumlah penduduk
setempat bagi putera Desa yang merupakan penduduk
Desa; dan
n. tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatan Kepala Desa.

165
3. Ketentuan Pasal 8 ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf l,
sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8
Calon Kepala Desa hasil penyaringan harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Panitia dengan
melengkapi bahan-bahan sebagai berikut:
a. surat Pernyataan setia dan taat kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dan kepada Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. surat Pernyataan kesedian menjadi calon dan tidak
mengundurkan diri;
c. surat Keterangan Sehat yang dikeluarkan oleh Dokter
Pemerintah;
d. surat Keterangan tidak pernah dihukum dengan
hukuman Penjara paling singkat 5 (lima) tahun dari
Pengadilan;
e. surat Keterangan tidak dicabut hak pilihnya
berdasarkan Keputusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
f. foto copy ijasah terakhir yang dilegalisir oleh
Pejabat/Lembaga berwenang dan/rekomendasi dari
lembaga berwenang;
g. foto copy KTP yang masih berlaku;
h. surat keterangan catatan kepolisian;
i. surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan bagi
calon yang menduduki salah satu jabatan di tingkat
Desa;
j. surat pernyataan dukungan paling sedikit 10% dari
jumlah penduduk setempat bagi putera Desa yang
bukan penduduk Desa;
k. pas photo ukuran 3 x 4 sebanyak 4 (empat) lembar; dan
l. bukti dukungan hasil penjaringan paling sedikit 5% dari
jumlah penduduk setempat bagi putera Desa yang
merupakan penduduk Desa.
166
4. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 ditambah 1 (satu) Pasal
yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A
Tata cara pembentukan panitia penjaringan, penyaringan
dan kampanye pemilihan, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon
yang mendapatkan suara terbanyak.
(2) Hasil penghitungan suara dimuat dalam Berita Acara
Penghitungan Suara.
(3) Panitia Pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil
Pemilihan Kepala Desa kepada BPD.
(4) Calon Kepala Desa Terpilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan
Laporan dan Berita Acara Penghitungan Suara dari
Panitia Pemilihan.
(5) Apabila dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
pelaksanaan pemungutan suara BPD belum
menetapkan Kepala Desa terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dianggap telah ada Keputusan
BPD dan Panitia wajib melanjutkan proses pengesahan
pengangkatan Kepala Desa terpilih.
6. Ketentuan Pasal 22 ayat (1), ayat (5) dan ayat (6) diubah,
sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; dan
c. diberhentikan.

167
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, karena:
a. berakhir masa jabatan;
b. berhalangan tetap;
c. meninggalkan tugas selama 6 (enam) bulan berturut-
turut;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan;
e. tidak melaksanakan kewajiban Kepala Desa; dan
f. melanggar larangan bagi Kepala Desa sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d,
disampaikan kepada Bupati melalui Camat
berdasarkan Keputusan musyawarah BPD yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota BPD.
(4) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e, ditetapkan oleh Bupati tanpa
melalui usulan BPD.
(5) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), huruf a adalah pemberhentian dengan
hormat.
(6) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e adalah
pemberhentian tidak dengan hormat.
(7) Usul Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Bupati
melalui Camat untuk ditetapkan pengesahan
pemberhentiannya.
(8) Pengesahan pemberhentian Kepala Desa sebagimana
dimaksud pada ayat (6), ditetapkan dengan Keputusan
Bupati paling lama 15 (lima belas) hari sejak usul
diterima.

168
(9) Setelah pengesahan pemberhentian Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Bupati
mengangkat Penjabat Kepala Desa.
7. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
Tata cara pemberhentian dan pemberhentian sementara
Kepala Desa, diatur dengan Peraturan Bupati.
8. Ketentuan ayat (3) Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27
(1) Bupati dapat mengangkat Penjabat Kepala Desa yang
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Pengangkatan Penjabat Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh BPD.
(3) Masa jabatan Penjabat Kepala Desa adalah paling
lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan
dan dapat diperpanjang oleh Bupati.
(4) Tugas dan kewenangan Penjabat Kepala Desa adalah
memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa
dan melaksanakan tugas pokok dan kewenangan Kepala
Desa kecuali mengangkat dan memberhentikan
Perangkat Desa.
9. Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27A
Tata cara dan Syarat-syarat pengangkatan penjabat Kepala
Desa diatur dengan Peraturan Bupati.
10. Ketentuan Pasal 28 ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2)
dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a)
sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

169
Pasal 28
(1) Anggaran biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada
APBDesa.
(2) Penggunaan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diusulkan oleh Panitia kepada Kepala Desa.
(2a)Penggunaan anggaran biaya pemilihan Kepala Desa
dilakukan sesuai tahapan pemilihan.
(3) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan biaya
pemilihan Kepala Desa disesuaikan dengan
kemampuan keuangan Daerah.

11. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga Pasal 29 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 29
(1) Pertanggungjawaban pengelolaan anggaran pemilihan
Kepala Desa oleh Panitia disampaikan kepada Kepala
Desa.
(2) Pertanggungjawaban pengelolaan anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat(1), dilakukan paling
lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak pelantikan
Kepala Desa terpilih.
12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 30
(1) Desa yang sedang melaksanakan proses pemilihan
Kepala Desa sampai pada tahap penjaringan
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan
Pemberhentian Kepala Desa dihentikan dan melakukan
proses pemilihan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Daerah ini.
(2) Desa yang sedang melaksanakan proses pemilihan
Kepala Desa sampai pada tahap penyaringan
170
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan
Pemberhentian Kepala Desa maka proses selanjutnya
disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Daerah ini.
13. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan
Daerah ini ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
Peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal, 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN
2013 NOMOR 0093
171
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA
PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN
DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

I. UMUM
Proses dan tahapan pencalonan, pemilihan,
pengangkatan, pelantikan dan pemberhantian kepala desa
dalam kurun waktu pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 2 tahun 2008 tentang
Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan,
Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa sering
menimbulkan sejumlah permasalahan baik yang
bersumber dari pengaturan peraturan Daerah maupun
pada tataran pelaksananaan. Permasalahan dimaksud
meliputi proses pembentukan panitia pemilihan,
penjaringan, penyaringan, penetepan calon terpilih,
pengesahan pengakatan dan pemberhentian Kepala Desa.
Selain itu penjabaran teknis yang berkaitan dengan
pelaksanaan peraturan daerah melalui Peraturan Kepala
Daerah belum mendapatkan delegasi pengaturan dari
Peraturan Daerah. Permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan proses Pencalonan, Pemilihan,
Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa menimbulkan disharmonisasi penyelanggaran
pemerintahan Desa dan kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan kondisi ini maka dibutuhkan kebijakan
legislasi Peraturan Daerah yang mampu memberikan
payung hukum bagi keseluruhan tahapan proses
pemilihan Kepala Desa sebagai guna menciptakan tata
172
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang tertib dan
teratur dengan melakukan perubahan terhadap Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 tahun 2008
tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan,
Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Lingkup perubahan dalam peraturan daerah ini
meliputi:
1. Pembentukan Panitia;
2. Persyaratan calon;
3. Penjaringan dan Penyaringan dan penetapan calon
terpilih;
4. Pemberhentian Kepala Desa;
5. Pengangkatan Penjabat Kepala Desa; dan
6. Pembiayaan.
Pada tahapan pembentukan panitia perlu
dirumuskan kewenangan Camat untuk membentuk
panitia pemilihan melalui musyawarah Desa apabila
sampai batas waktu empat bulan sebelum berakhirnya
masa jabatan Kepala Desa, Panitia Pemilihan Kepala
Desa belum dibentuk. Pada verifikasi persyaratan calon
perlu ditambahkan syarat dukungan minimal bagi calon
Kepala Desa yang merupakan penduduk Desa dan
syarat tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat
dari jabatan Kepala Desa. Penambahan syarat dimaksud
bertujuan untuk menjamin kredibilitas calon Kepala
Desa dalam proses pemilihan selanjutnya. Pada tahap
penetapan calon terpilih perlu dirumuskan jalan keluar
manakala terdapat kebuntuhan dalam proses penetapan
oleh BPD.
Perubahan terkait pemberhentian Kepala Desa
dilakukan dengan merumuskan ulang atribut
pemberhentian baik dengan hormat maupun tidak
dengan hormat. Penegasan terhadap atribut
pemberhentian ini menjadi penting karena berkaitan
dengan kemungkinan pencalonan Kepala Desa yang
telah diberhentikan. Terhadap pengangkatan Penjabat
173
Kepala Desa perlu diberikan wewenang kepada Bupati
untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat
pengangkatan termasuk wewenang yang bersifat diskresi
untuk memperpanjang masa jabatan Penjabat Kepala
Desa. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menjamin
keberlangsungan kelanjutan jalannya pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.
Perubahan terhadap pengaturan pembiayaan dilakukan
untuk menyesuaikan dengan mekanisme dan tata kelola
keuangan Desa secara tertib dan bertanggung jawab.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES


TIMUR NOMOR 0093

174
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 10, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0094

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 10 TAHUN 2013

TENTANG

PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL


DAN MENENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan


Menengah di Kabupaten Flores Timur
baik sebagai gerakan ekonomi rakyat
maupun sebagai Badan Hukum memiliki
peran serta kedudukan yang sangat
strategis dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, sejahtera, adil dan makmur;
b. bahwa Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah perlu dibangun menjadi lebih
kuat dan mandiri sehingga mampu
berperan sebagai sokoguru perekonomian
baik lokal maupun nasional dan

175
sekaligus sebagai wahana penciptaan
lapangan kerja;
c. bahwa sumber daya manusia pada
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah di Kabupaten Flores Timur
belum disertai dengan kemampuan yang
memadai dalam bidang organisasi,
manajemen, permodalan, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta
kemampuan berkompetisi sehingga perlu
diberdayakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b dan huruf c, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II dalam wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggarara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang

176
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG


PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA
MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores
Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten
Flores Timur yang melaksanakan urusan di bidang
Perkoperasian.
5. Dewan Koperasi Indonesia Daerah yang selanjutnya
disingkat DEKOPINDA adalah Dewan Koperasi Indonesia
Daerah Kabupaten Flores Timur, yang didirikan dari dan
oleh gerakan koperasi untuk memperjuangkan
kepentingan dan menyalurkan aspirasi koperasi.

177
6. Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan
pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal
untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan
kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial dan budaya
sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
7. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan Koperasi.
8. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi koperasi
dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju
tercapainya cita-cita dan tujuan koperasi.
9. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha,
baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip
saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan
menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
10. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan secara
individu atau yang bergabung dalam Koperasi yang
memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak sebesar
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
11. Usaha Kecil adalah usaha produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha
Menengah atau Usaha Besar, dan memiliki kekayaan
bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
178
12. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahan atau
cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan
usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan
bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan
tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
13. Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
yang selanjutnya disebut Pemberdayaan adalah upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan
masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan
iklim dan pengembangan usaha terhadap Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan
berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
14. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan oleh
Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, secara sinergis melalui
penetapan berbagai Peraturan Perundang-undangan dan
kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh
pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan dan
dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
15. Pelaku usaha adalah setiap orang, badan usaha dan/atau
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan serta
melakukan kegiatan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah atau bentuk usaha lain di Daerah.
16. Jaringan Usaha adalah suatu sistem usaha terpadu yang
dibentuk oleh para pelaku usaha untuk mendukung
keberhasilan usaha secara sinergis dan saling
menguntungkan.

179
17. Perlindungan Usaha adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada pelaku usaha dari adanya praktek monopoli dan
pemusatan kekuatan ekonomi oleh pihak lain.

BAB II
PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Tujuan dan Prinsip Pemberdayaan
Paragraf 1
Tujuan Pemberdayaan

Pasal 2
Tujuan pemberdayaan di Daerah adalah:
a. meningkatkan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara
komprehensif, terpadu dan berkelanjutan sehingga mampu
menghadapi persaingan;
b. meningkatkan kualitas produk Koperasi, Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah dalam rangka menghadapi era pasar bebas;
c. meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha
dalam upaya menumbuhkan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah;
d. memberikan rangsangan kepada masyarakat agar tertarik
untuk menjadi wirausaha baru;
e. meningkatkan kerjasama antar gerakan Koperasi dan antar
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta antara gerakan
Koperasi dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
maupun dengan pihak lain dalam rangka alih teknologi;
dan
f. meningkatkan peran Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang
tangguh, mandiri dan profesional sehingga mampu menjadi
sokoguru pertumbuhan perekonomian di Daerah.

180
Paragraf 2
Prinsip Pemberdayaan

Pasal 3
Pemberdayaan dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. efektif;
b. efisien;
c. adil;
d. akuntabel;
e. transparan;
f. terpadu;
g. profesional;
h. berkelanjutan;
i. kemandirian;
j. etika usaha;
k. ramah lingkungan; dan
l. peduli kemiskinan.

Bagian Kedua
Pelaksanaan dan Koordinasi Pemberdayaan
Paragraf 1
Pelaksanaan Pemberdayaan

Pasal 4
(1) Pelaksanaan Pemberdayaan dilakukan oleh:
a. Pemerintah Daerah;
b. Dunia Usaha;
c. Masyarakat; dan
d. Dekopinda.
(2) Tata Cara pelaksanaan Pemberdayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

181
Pasal 5
(1) Pelaksanaan Pemberdayaan dilakukan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
secara teknis dilaksanakan oleh Dinas.
(2) Dinas yang secara teknis melakukan Pemberdayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan
dana pembinaan di dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.

Pasal 6
(1) Dunia Usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c, menciptakan
iklim usaha yang kondusif bagi terlaksananya
Pemberdayaan.
(2) Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta
dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian
laba tahunan perusahaan yang dialokasikan kepada
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam bentuk
pemberian pinjaman, penjaminan, pembiayaan lainnya
serta hibah.

Paragraf 2
Koordinasi Pemberdayaan

Pasal 7
(1) Pelaksanaan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), wajib dikoordinasikan dengan Dinas.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai
sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pelaporan.

182
Bagian Ketiga
Bentuk-Bentuk Pemberdayaan dan Pelaporan
Paragraf 1
Pemberdayaan Koperasi

Pasal 8
(1) Pemberdayaan terhadap Koperasi dapat dilakukan dalam
bentuk:
a. pembinaan dan pendataan Lembaga Koperasi;
b. pembinaan/pemantauan data administrasi dan
pelaporan;
c. pembinaan manajemen keuangan;
d. pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis;
e. perkuatan permodalan;
f. pemasaran produk;
g. fasilitasi kemitraan; dan
h. fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual.
(2) Tata Cara Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 9
Dalam melaksanaan pengawasan, pemeriksaan dan
pengendalian, Pemerintah Daerah membentuk Lembaga
Pengawasan Koperasi.

Pasal 10
Dalam hal pemberdayaan Koperasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), maka kepada DEKOPINDA dapat diberi
peran sebagai berikut:
a. menyerap dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan
masyarakat;
c. melakukan pendidikan perkoperasian;

183
d. mengembangkan kerjasama antar Koperasi dan antara
Koperasi dengan badan usaha lain;
e. membantu Pemerintah Daerah dalam proses pendataan
Koperasi; dan
f. meningkatkan penataan kelembagaan dan pengembangan
usaha Koperasi.

Paragraf 2
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Pasal 11
(1) Pemberdayaan terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
dilakukan dalam bentuk:
a. pembinaan dan pendataan kelembagaan;
b. pembinaan manajemen keuangan;
c. pendidikan dan pelatihan serta bimbingan teknis;
d. perkuatan permodalan;
e. magang;
f. pameran dan pemasaran produk;
g. fasilitasi kemitraan;
h. fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual; dan
i. pemantauan dan evaluasi perkembangan.
(2) Tata Cara Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3
Pelaporan

Pasal 12
(1) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah wajib
menyampaikan laporan kinerja secara berkala kepada
Bupati.

184
(2) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang tidak
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenakan sanksi administrasi, berupa:
a. Teguran tertulis dari pelaksana pemberdayaan; dan
b. Penghentian pemberdayaan.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB III
KEMITRAAN DAN JARINGAN USAHA
Bagian Kesatu
Kemitraan

Pasal 13
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat
melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain dalam bentuk
kemitraan berdasarkan kesetaraan dan saling menguntungkan.

Pasal 14
Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertujuan
untuk:
a. mewujudkan kemitraan antara Koperasi, Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dan Perusahaan Swasta;
b. mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pelaksanaan
transaksi usaha dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dan Perusahaan Swasta;
c. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi
tawar Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap
Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta;
d. mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah
kepada terjadinya persaingan tidak sehat dalam bentuk
monopoli, dan oligopoli; dan
e. mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan
usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang
185
dapat merugikan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.

Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi Koperasi, Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah untuk melakukan hubungan
kemitraan dalam berbagai bidang usaha.
(2) Dunia Usaha dan masyarakat memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah untuk melakukan hubungan kemitraan
dalam berbagai bentuk bidang usaha dengan pihak lain.

Pasal 16
Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. dagang umum;
e. distributor/keagenan;
f. kerjasama operasional;
g. usaha patungan (joint venture); dan
h. penyumberluaran (outsourching).

Bagian Kedua
Jaringan Usaha

Pasal 17
(1) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat
membentuk jaringan usaha.
(2) Jaringan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi berbagai bidang usaha yang mencakup bidang
yang disepakati oleh para pihak dan tidak bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan.

186
BAB IV
IKLIM USAHA DAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Iklim Usaha

Pasal 18
(1) Dinas memfasilitasi penciptaan iklim usaha yang kondusif
dalam rangka pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah melalui penerapan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang meliputi aspek:
a. permodalan;
b. persaingan;
c. perlindungan;
d. prasarana;
e. perjanjian usaha;
f. informasi; dan
g. kemitraan.
(2) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang
memasarkan produk usahanya harus bisa memberikan
jaminan kualitas produk.
(3) Dunia Usaha dan masyarakat berperan aktif untuk
menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.

Pasal 19
Dinas wajib melakukan pemantauan, evaluasi dan
pengendalian terhadap pelaksanaan program pemberdayaan
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Bagian Kedua
Perlindungan Usaha

Pasal 20
Perlindungan usaha kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah meliputi:
a. memfasilitasi pendirian dan perizinan usaha;

187
b. persaingan usaha yang sehat;
c. kemitraan usaha; dan
d. perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 10

188
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 10 TAHUN 2013

TENTANG

PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO,


KECIL DAN MENENGAH

I. UMUM

Potensi masyarakat produktif di Daerah terutama yang


bergerak di bidang usaha Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah sangat besar. Berdasarkan data yang ada,
jumlah Koperasi di Daerah sampai dengan Desember 2012
mencapai 166 (seratus enam puluh enam) koperasi,
Jumlah Anggota sebanyak 44.835 (empat puluh empat ribu
delapan ratus tiga puluh lima) orang, Pengurus 537 (lima
ratus tiga puluh tujuh) orang, Pengawas 471 empat ratus
tujuh puluh satu) orang, Manajer 26 (dua puluh enam)
orang, Karyawan 256 dua ratus lima puluh enam) orang,
Modal Sendiri Rp. 66.160.658.726,00 (enam puluh enam
miliar seratus enam puluh juta enam ratus lima
puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam rupiah),
Modal Luar Rp. 201.182.475.319,00, (dua ratus satu miliar
seratus delapan puluh dua juta empat ratus tujuh puluh
lima ribu tiga ratus sembilan belas rupiah), Volume Usaha
Rp. 93.381.721.646,00 (sembilan puluh tiga miliar tiga
ratus delapan puluh satu juta tujuh ratus dua puluh
satu ribu enam ratus empat puluh enam rupiah), Asset
Rp. 267.553.914.802,00 (dua ratus enam puluh tujuh
miliar lima ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus empat
belas ribu delapan ratus dua rupiah), Sisa Hasil Usaha
(SHU) Rp. 5.640.850.82,00 (Lima miliar enam ratus empat
puluh juta delapan ratus lima puluh ribu delapan puluh

189
dua rupiah), sedangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
sebanyak 460 (empat ratus enam puluh) orang, Modal
Sendiri Rp. 4.750.834.725,00 (empat miliar tujuh ratus lima
puluh juta delapan ratus tiga puluh empat ribu tujuh ratus
dua puluh lima rupiah), Modal Luar Rp. 12.897.923.000,00
(dua belas miliar delapan ratus sembilan puluh tujuh juta
sembilan ratus duapuluh tiga ribu rupiah), Volume Usaha
Rp. 2.538.856.000,00 (dua miliar lima ratus tiga puluh
delapan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah),
Asset Rp. 11.168.496.559,00 (sebelas miliar seratus enam
puluh delapan juta empat ratus sembilan puluh enam ribu
lima ratus lima puluh sembilan rupiah).
Sebagai salah satu tulang punggung dan sokoguru
perekonomian Nasional maupun daerah pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan
sebuah pilihan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah bersama masyarakat. Langkah-langkah
pemberdayaan ini sangat penting mengingat banyaknya
hambatan dan permasalahan yang dihadapi oleh para
pelaku usaha di dalam mengembangkan usahanya,
sehingga untuk memperlancar dan mengoptimalkan upaya
pemberdayaan diperlukan adanya regulasi yang mampu
menjadi payung hukum dan memberi perlindungan
terhadap dunia usaha, khususnya Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
“Efektif” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah harus sesuai dengan

190
kebutuhan dan dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan.
Huruf b
“Efisien” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah harus diusahakan
dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas
untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf c
“Adil” berarti pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua calon Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang hendak
diberdayakan dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara
dan atau dasar apapun.
Huruf d
“Akuntabel” artinya pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus
mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun
manfaat sesuai prinsip-prinsip pemberdayaan.
Huruf e
“Transparan” artinya pemberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus
dilakukan secara terbuka khususnya pada
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang
dipilih serta pihak lain pada umumnya.
Huruf f
“Terpadu” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah yang dilakukan tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan permberdayaan
yang dilakukan oleh dinas / atau pihak lain yang
diwujudkan dalam bentuk koordinasi lintas
sektor.
191
Huruf g
“Profesional” artinya pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus
dilaksanakan oleh pihak yang memiliki
kompetensi dan pengalaman yang memadai
dibidangnya sesuai kebutuhan.
Huruf h
“Berkelanjutan” artinya pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus memiliki
keterkaitan dengan pemberdayaan yang
dilakukan sebelumnya atau yang akan datang.
Huruf i
“Kemandirian” artinya pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dilakukan
harus bertumpu dan ditopang kekuatan
sumberdaya internal yang dikelola dengan sistem
ekonomi kerakyatan sehingga tidak tergantung
pada kekuatan ekonomi diluar ekonomi rakyat itu
sendiri dan tidak boleh menjadi objek belas
kasihan tetapi ditempatkan sebagai pelaku
ekonomi.
Huruf j
“Etika Usaha” artinya pemberdayaan Koperasi,
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dapat
menumbuhkan kesadaran atas perilaku berusaha
yang sportif melalui persaingan yang sehat, etos
kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Huruf k
“Ramah Lingkungan” artinya pemakaian produk
dan metode yang tidak berdampak pada
pencemaran lingkung.
Huruf l
“Peduli Kemiskinan” artinya pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
harus dilakukan dengan mempertimbangkan

192
dampak positifnya terhadap upaya pengentasan
kemiskinan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
“Pembinaan/pemantauan data administrasi dan
pelaporan” dilakukan dengan maksud agar tata
administrasi koperasi berjalan tertib dan laporan
kegiatan koperasi dibuat secara benar dikirim
tepat waktu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
“Pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis”
dilakukan guna meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan kualitas sekaligus kuantitas
hasil produksi bagi Koperasi dan Usaha Mikro,
kecil dan Menengah.
Huruf e
“Perkuatan permodalan” ditujukan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
kualitas sekaligus kuantitas hasil produksi bagi
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

193
Huruf f
“Pemasaran Produk” dilakukan melalui fasilitasi
pada pameran produk unggulan, Smesco, promosi
produk unggulan dan fasilitasi pada event
lainnya.
Huruf g
“Fasilitasi Kemitraan” dilakukan dengan maksud
membantu dan memperlancar hubungan
kerjasama antar koperasi maupun antara
koperasi dengan dunia usaha (perbankan atau
BUMN/BUMD).
Huruf h
Dinas memberikan penyuluhan dan fasilitasi
kepada koperasi dalam rangka memperoleh Hak
Kekayaan Intelektual.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Monopoli” adalah
berdagang sendiri, orang lain atau kongsi lain
tidak boleh ikut serta; untuk seorang atau
segolongan saja; hak monopoli mempunyai hak
berdagang sendiri; penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas

194
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “Oligopoli”, adalah
keadaan pasar dengan produsen pembekalan
barang yang berjumlah sedikit sehingga mereka
atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi
harga pasar.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
“Inti Plasma” adalah hubungan kemitraan antara
Usaha kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha
Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau
Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil
selaku plasma, perusahaan inti melaksanakan
pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi,
bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil
produksi.
Huruf b
“Sub Kontrak” adalah hubungan kemitraan antara
Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau usaha
Besar, yang didalamnya Usaha Kecil memproduksi
komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah
atau Usaha Besar sebagai bagian dari Produksinya.
Huruf c
“Waralaba” adalah adalah hubungan kemitraan,
yang didalamnya pemberi waralaba memberikan
hak penggunaan licenci, merek dagang dan saluran
distribusi perusahaannya kepada penerima
waralaba dengan disertai bantuan bimbingan
manajemen.
Huruf d
”Dagang Umum” adalah hubungan kemitraan
antara Usaha Kecil dengan Usaha Menegah atau
Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah
195
atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi
Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan
yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha
Besar mitranya.
Huruf e
“Distribusi/keagenan” adalah hubungan
kemitraan, yang didalamnya Usaha Kecil diberi hak
khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha
Menengah atau Usaha besar mitranya.

Huruf f
“Kerjasama operasional” adalah perjanjian anatara
dua pihak atau lebih dimana masing-masing
sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama
dengan menggunakan dan/atau hak usaha yang
dimiliki dan secara bersama menanggung resiko
usaha tersebut.
Huruf g
“Usaha patungan (joint venture)” adalah sebuah
kesatuan yang dibentuk antara dua pihak atau
lebih yang menjalankan aktivitas ekonomi bersama.
Pihak-pihak itu setuju untuk berkelompok dengan
menyumbang keadilan kepemilikan satuan dalam
penerimaan, biaya dan control perusahaan.
Huruf h
“Penyumberluaran (outsourching)” adalah
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang
sifatnya non-care atau penunjang oleh suatu
perusahaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa kerja/buruh (Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
196
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 0094

197
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR

No. 11, 2013 Penjelasan dalam Tambahan


Lembaran Daerah Kabupaten Flores
Timur Nomor 0095

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
INDONESIA ASAL KABUPATEN FLORES TIMUR
DI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI FLORES TIMUR,

Menimbang : a. bahwa setiap orang mempunyai hak dan


kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan
keahlian, ketrampilan, bakat, minat, dan
kemampuan termasuk Tenaga Kerja
Indonesia asal Kabupaten Flores Timur;
b. bahwa dalam rangka menjamin dan
melindungi hak asasi Tenaga Kerja
Indonesia asal Kabupaten Flores Timur di
luar negeri berdasarkan prinsip persamaan
hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan
dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan
198
anti perdagangan manusia, perlu diatur
penempatan dan perlindungan terhadap
Tenaga Kerja Indonesia dimaksud;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal
Kabupaten Flores Timur di Luar Negeri;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958
tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 4844);

199
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA
KERJA INDONESIA ASAL KABUPATEN
FLORES TIMUR DI LUAR NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores
Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Daerah.
5. Kepala Dinas adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Daerah.
6. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut
calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja
di luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
7. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan
TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja
untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
200
8. Keluarga Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya
disebut Keluarga Calon TKI adalah suami atau isteri, anak,
orang tua dan orang lain yang masih ada hubungan
keluarga yang diakui sebagai anggota keluarga.
9. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi
kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya
pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun
sesudah bekerja.
10. Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih
baik dalam rangka memberikan dan meningkatkan
perlindungan TKI di luar negeri.
11. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk
mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan
kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang
meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan
dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan,
persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke
negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
12. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang
selanjutnya disingkat PPTKIS adalah Badan Usaha yang
berbentuk Perseroan Terbatas yang mendapat izin dari
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja asal
Kabupaten Flores Timur ke Luar Negeri.
13. Kantor Cabang Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta yang selanjutnya disebut Kantor Cabang
adalah Perwakilan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta yang terdaftar di Dinas yang
melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Kabupaten Flores
Timur yang bertindak atas nama Pelaksana Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang bersangkutan.
14. Perwakilan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta yang selanjutnya disebut Perwakilan adalah Badan
Hukum atau Perseorangan yang bertindak untuk dan atas

201
nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta di Luar Negeri.
15. Asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut
Asuransi adalah suatu bentuk perlindungan bagi Tenaga
Kerja Indonesia dalam bentuk santunan berupa uang, yang
meliputi kematian, kecelakaan dan kerugian material.
16. Perjanjian Kerjasama Penempatan yang selanjutnya
disingkat PKP adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta dengan mitra
usaha atau pengguna di negara tujuan yang memuat hak
dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka
penempatan serta perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri.
17. Perjanjian Penempatan yang selanjutnya disingkat PP
adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Swasta dengan calon Tenaga Kerja
Asal Kabupaten Flores Timur yang memuat hak dan
kewajiban dalam rangka penempatan tenaga kerja ke Luar
Negeri.
18. Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PK adalah
perjanjian tertulis antara Calon Tenaga Kerja Indonesia dan
pengguna (user) yang memuat tentang syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
19. Perjanjian Rekrutmen yang selanjutnya disingkat PR adalah
perjanjian tertulis antara Pemerintah Daerah melalui Dinas
yang menangani urusan Ketenagakerjaan dengan Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang memuat
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
rangka penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten
Flores Timur.
20. Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
yang selanjutnya disingkat SIPPTKI adalah izin tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan
menjadi pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta.

202
21. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP
adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana
penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta untuk
merekrut calon Tenaga Kerja Indonesia dari daerah
tertentu, untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan
pada calon pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.
22. Surat Penempatan Tenaga Kerja Indonesia atau Job Order
adalah surat yang berisi permintaan Tenaga Kerja Indonesia
dari pengguna atau mitra usaha di Luar Negeri.
23. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat
yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang
memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan
pekerjaan di negara yang bersangkutan.
24. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disingkat
KTKLN adalah kartu identitas bagi Tenaga Kerja Indonesia
yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di
luar negeri.
25. Pendataan adalah upaya pengumpulan identitas seseorang
untuk didaftar sebagai Calon Tenaga Kerja Indonesia.
26. Rekrutmen adalah keseluruhan proses dari pendataan,
melengkapi dokumen, pendaftaran, seleksi hingga pelatihan
dan pemberangkatan ke Luar Negeri.
27. Pendidikan dan Pelatihan adalah seluruh kegiatan untuk
memberikan, meningkatkan, mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan keahlian Calon Tenaga Kerja
Indonesia asal Kabupaten Flores Timur, sesuai dengan
kebutuhan dan pekerjaan yang akan dijalani, termasuk di
dalamnya pengetahuan hukum, bahasa serta budaya
negara tujuan penempatan.
28. Purna Penempatan adalah masa di mana seseorang setelah
menyelesaikan pekerjaannya di Luar Negeri kembali tinggal
di Daerah.
29. Sistem Informasi adalah keseluruhan proses dari
pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan serta
umpan balik data yang berkenaan dengan penyelenggaraan

203
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores
Timur.
30. Bantuan Hukum adalah segala upaya untuk melakukan
advokasi termasuk pelayanan, pendampingan atau
pembelaan hukum kepada Tenaga Kerja Indonesia asal
Kabupaten Flores Timur.

BAB II
AZAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penempatan dan perlindungan Calon TKI/TKI berdasarkan
azas persamaan hak, keterpaduan, demokrasi, keadilan sosial
dan kesetaraan Gender, anti diskriminasi dan anti
perdagangan manusia.

Pasal 3
Penempatan dan perlindungan TKI merupakan upaya
pembinaan TKI dan keluarganya bertujuan untuk:
a. menjamin hak-hak ekonomi, budaya, politik, hak
keselamatan kerja dan syarat kondisi kerja, serta hak
kesehatan dan hak reproduksi bagi perempuan;
b. memberdayakan dan mendayagunakan TKI secara optimal
dan manusiawi;
c. menjamin dan melindungi Calon TKI/TKI sejak pra
penempatan, penempatan sampai dengan purna
penempatan;
d. mewujudkan pemerataan dan kesempatan kerja serta
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pasar kerja di Luar Negeri; dan
e. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

204
BAB III
TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN
PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Tugas

Pasal 4
Pemerintah Daerah bertugas mengatur, membina,
melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan
dan perlindungan TKI di luar negeri.

Bagian Kedua
Tanggung jawab

Pasal 5
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penempatan dan
upaya meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri.

Bagian Ketiga
Kewajiban

Pasal 6
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Pemerintah Daerah
berkewajiban:
a. menjamin terpenuhinya hak-hak Calon TKI/TKI, baik yang
berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun
yang berangkat secara mandiri;
b. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c. membentuk dan mengembangkan sistem informasi
penempatan calon TKI di luar negeri;
d. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa
sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa
purna penempatan; dan
e. menyediakan anggaran untuk pelaksanaan penempatan
dan perlindungan TKI di luar negeri.

205
BAB IV
PELAKSANA PENEMPATAN TKI DI LUAR NEGERI

Pasal 7
Penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah Daerah; dan
b. PPTKIS.

Pasal 8
(1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, hanya dapat
dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara
Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna atau
Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
(2) Tata cara penempatan TKI di luar Negeri oleh Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.

Pasal 9
Penempatan TKI oleh PPTKIS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b, dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

BAB V
TATA CARA PENEMPATAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10
(1) Penempatan TKI di luar Negeri hanya dapat dilakukan ke
Negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat
perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia.
(2) Penempatan TKI di luar Negeri diarahkan pada jabatan yang
tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat,
dan kemampuan.

206
(3) Penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), dilaksanakan dengan memperhatikan harkat,
martabat, hak azasi manusia, perlindungan hukum,
pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga
kerja.

Bagian Kedua
Pra Penempatan
Paragraf 1
Informasi

Pasal 11
(1) Pemerintah Daerah dan PPTKIS wajib mengembangkan
sistem informasi pasar kerja di Luar Negeri secara lengkap
dan benar, serta dapat diakses secara mudah dan terbuka
oleh Calon TKI.
(2) Pemerintah Daerah dan PPTKIS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bertanggung jawab atas penyebaran informasi
pasar kerja kepada masyarakat.
(3) Informasi pasar kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. tata cara perekrutan dan penempatan;
b. dokumen-dokumen yang diperlukan oleh Calon TKI;
c. hak dan kewajiban TKI;
d. situasi, kondisi dan budaya negara tujuan;
e. resiko bekerja di negara tujuan;
f. komponen pembiayaan yang ditanggung oleh TKI;
g. komponen pembiayaan yang ditanggung oleh PPTKIS;
h. mekanisme perlindungan; dan
i. mekanisme pembayaran gaji kepada TKI.
(4) Komponen pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf f dan huruf g, untuk calon TKI di sektor
informal ditetapkan dengan Keputusan Bupati setelah
mendapatkan masukan dari PPTKIS.

207
Paragraf 2
Pendataan

Pasal 12
(1) Pendataan Calon TKI dilakukan oleh Dinas dan/atau
PPTKIS bekerjasama dengan Pemerintah Desa atau
Kelurahan melalui Camat.
(2) Untuk kepentingan pendataan, Calon TKI harus
menyerahkan:
a. foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dilegalisir;
b. foto copy Kartu Keluarga yang dilegalisir;
c. foto copy Ijazah Terakhir yang dilegalisir;
d. foto copy Akte Kelahiran yang dilegalisir; dan
e. foto copy Sertifikat Ketrampilan (jika ada) yang
dilegalisir.
(3) Pelaksanaan pendataan Calon TKI tidak dipungut biaya.

Paragraf 3
Pendaftaran dan Perekrutan

Pasal 13
Calon TKI yang berminat bekerja ke luar Negeri harus terdaftar
pada Dinas.

Pasal 14
(1) Pendaftraan Calon TKI dilakukan secara terbuka, langsung
dan sukarela.
(2) Pada saat pendaftaran, Dinas dan/atau PPTKIS harus
menjelaskan kepada Calon TKI hal-hal sebagai berikut:
a. lowongan pekerjaan yang tersedia beserta uraian tugas;
b. syarat kerja, antara lain memuat besarnya gaji, jaminan
sosial, waktu kerja, waktu istirahat dan cuti;
c. peraturan perundang-undangan di Negara tujuan
penempatan;
d. kondisi sosial dan budaya di Negara tujuan penempatan;
208
e. hak dan kewajiban Calon TKI;
f. prosedur dan kelengkapan dokumen; dan
g. biaya-biaya yang dibebankan kepada Calon TKI.
(3) Seseorang yang didaftar menjadi Calon TKI, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun
atau sudah menikah, kecuali Calon TKI yang akan
dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-
kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
b. memiliki Kartu Tanda Penduduk;
c. sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya tamat SD;
e. memiliki Surat Izin suami atau istri, izin orang tua, atau
izin wali;
f. memiliki ketrampilan atau keahlian yang dibuktikan
dengan sertifikat ketrampilan;
g. memiliki rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa atau Lurah; dan
h. menunjukan 2 (dua) atau lebih Rekening Tabungan
Bank, 1 (satu) atas nama TKI dan yang lainnya atas
nama Keluarga TKI.

Pasal 15
(1) PPTKIS yang dapat melakukan perekrutan Calon TKI di
daerah, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. mempunyai Surat Izin PPTKIS; dan
b. memiliki Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan di
Daerah.
(2) Kantor Cabang PPTKIS atau Kantor Perwakilan di Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus
memenuhi persyaratan:
a. terdaftar di Dinas;
b. kepala Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan wajib
berdomisili tetap di Daerah;
209
c. memiliki alamat tetap dan lengkap yang dibuktikan
dengan Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah;
dan
d. memiliki fasilitas minimal perkantoran, seperti fasilitas
ruangan kerja, kursi, meja, lemari arsip dan mesin ketik
atau komputer.

Pasal 16
(1) Untuk dapat melakukan perekrutan Calon TKI, PPTKIS
wajib memiliki dokumen:
a. salinan PKP yang dilegalisir oleh pejabat yang
berwenang;
b. salinan surat permintaan TKI atau Job Order/Demmand
Letter atas nama PPTKIS yang bersangkutan, yang telah
dilegalisir;
c. perjanjian kerja induk;
d. persetujuan PP TKI; dan
e. PR.
(2) Dinas wajib melakukan verifikasi terhadap dokumen-
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17
Perekrutan Calon TKI dilarang dilakukan terhadap anak di
bawah usia kerja, ibu hamil, ibu yang sedang menyusui dan
ibu yang mempunyai anak di bawah lima tahun (balita),
penduduk yang masih duduk di bangku Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama atau sederajat dan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas atau sederajat.

Paragraf 4
Pendidikan dan Pelatihan

Pasal 18
(1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai
dengan persyaratan jabatan.

210
(2) Dalam hal calon TKI belum memiliki sertifikat kompetensi
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah atau PPTKIS wajib melakukan pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

Pasal 19
(1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
(2) Pendidikan dan Pelatihan bagi calon TKI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk:
a. membekali, meningkatkan, dan mengembangkan
kompetensi kerja calon TKI;
b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi,
kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja
di luar negeri;
c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
negara tujuan; dan
d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan
kewajiban calon TKI/TKI.

Pasal 20
(1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2), dilaksanakan oleh Pemeritah Daerah,
PPTKIS atau Lembaga Pelatihan Kerja yang telah
memenuhi persyaratan.
(2) Dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah
dapat bekerjasama dengan Lembaga lain yang
berkompeten.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pelatihan.

Pasal 21
Calon TKI Wanita wajib diperlakukan secara layak dalam hal
memperoleh fasilitas dalam pendidikan dan pelatihan.
211
Paragraf 5
Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi

Pasal 22
Setiap calon TKI wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan dan
psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan
Lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang
ditunjuk oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 23
Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, bertujuan untuk
mengetahui derajat kesehatan dan tingkat kesiapan psikis
serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang
akan dilakukan di Negara tujuan.

Bagian Ketiga
Penempatan Tenaga Kerja
Paragraf 1
Umum

Pasal 24
Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus
memiliki dokumen-dokumen:
a. Kartu Tanda Penduduk;
b. ijazah terakhir;
c. akte kelahiran atau surat kenal lahir;
d. surat keterangan status perkawinan yang dikeluarkan oleh
Kepala Desa atau Lurah, dan bagi yang telah menikah
melampirkan foto copy Akta Perkawinan atau Buku Nikah;
e. surat izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali
yang ditandatangani di atas meterai dan mengetahui Kepala
Desa atau Lurah;
f. sertifikat kompetensi kerja;
g. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan dan psikologi;

212
h. pasport yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
i. visa kerja;
j. PP TKI;
k. PK;
l. KTKLN; dan
m. Kartu AK1 (Kartu Kuning).

Paragraf 2
Pelaksanaan Penempatan
Pasal 25
Penempatan Calon TKI hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah atau PPTKIS yang telah memiliki izin dan terdaftar di
Kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan.

Pasal 26
(1) PPTKIS wajib membuat PP dengan Calon TKI.
(2) PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
a. nama dan alamat PPTKIS;
b. nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan
alamat calon TKI;
c. nama dan alamat calon Pengguna;
d. hak dan kewajiban para pihak dalam rangka
penempatan TKI di luar negeri yang harus sesuai dengan
kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh
calon Pengguna tercantum dalam PKP;
e. jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan
Pengguna;
f. jaminan PPTKIS kepada calon TKI dalam hal Pengguna
tidak memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai PK;
g. waktu keberangkatan calon TKI;
h. biaya penempatan yang harus ditanggung oleh calon
TKI dan cara pembayarannya;
i. tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah;

213
j. akibat atas terjadinya pelanggaran PP TKI oleh salah
satu pihak; dan
k. tanda tangan para pihak dalam PP TKI.
(3) PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dilarang memuat ketentuan yang bertentangan dengan
Peraturan Daerah ini dan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 27
(1) Apabila terjadi sengketa yang berkaitan dengan PP maka
diselesaikan secara Negosiasi antara PPTKIS dan calon TKI
atau Mediasi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Apabila Negosiasi dan Mediasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak mencapai kesepakatan maka penyelesaian
sengketa dilakukan melalui gugatan di Pengadilan Negeri
Larantuka.

Pasal 28
(1) PPTKIS wajib melakukan monitoring secara berkala
terhadap perkembangan TKI dan melaporkan setiap 6
(enam) bulan sekali kepada Kepala Dinas.
(2) Kepala Dinas setelah menerima laporan perkembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 1 (satu)
minggu wajib menginformasikan perkembangan tenaga
kerja kepada keluarga dan masyarakat.

Bagian Keempat
Masa Tunggu di Penampungan

Pasal 29
(1) PPTKIS dapat menampung calon TKI sebelum
pemberangkatan.
(2) Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan
dan/atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan di negara
tujuan.

214
(3) Selama masa penampungan, PPTKIS wajib memperlakukan
calon TKI secara wajar dan manusiawi.
(4) PPTKIS yang tidak memperlakukan calon TKI secara wajar
dan manusiawi.
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi
administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pencabutan rekomendasi.

Bagian Kelima
Masa Penempatan

Pasal 30
(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan
melapor pada Dinas dan Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
(3) Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan
kewajiban melapor kedatangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh PPTKIS.

Pasal 31
PPTKIS dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan PK yang
disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan.

Bagian Keenam
Purna Penempatan

Pasal 32
(1) Mekanisme dan prosedur pemulangan TKI sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) TKI wajib melakukan pemeriksaan kesehatan setelah
mengalami purna penempatan di sarana kesehatan yang
215
ditunjuk Pemerintah Daerah yang dibiayai oleh Pemerintah
Daerah dan/atau PPTKIS.
(3) Tata cara pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 33
Bupati melaksanakan koordinasi untuk memberikan
perlindungan kepada TKI yang mengalami purna penempatan.

BAB VI
PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 34
(1) Masyarakat dapat berperanserta dalam proses penempatan
dan perlindungan bagi TKI.
(2) Tata cara peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 35
(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap setiap
kegiatan yang berhubungan dengan Penempatan Tenaga
Kerja.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
mengikutsertakan PPTKIS dan pihak terkait lainnya.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), dilakukan secara terpadu, terkoordinasi dan
berkelanjutan.
Pasal 36
Pembinaan Tenaga Kerja dimulai sejak pra penempatan,
selama penempatan hingga purna penempatan.

216
Pasal 37
Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 38
Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap PPTKIS
yang melakukan perekrutan dan penempatan tenaga kerja.

BAB VIII
PERLINDUNGAN

Pasal 39
(1) Pemerintah Daerah dan PPTKIS bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa
penempatan sampai dengan purna penempatan.
(3) Bentuk perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. Perlindungan Hukum;
b. Perlindungan Sosial; dan
c. Perlindungan Ekonomi.
(4) Perlindungan Tenaga Kerja dilakukan melalui:
a. PKP;
b. Perjanjian kerjasama rekrutmen antara Dinas dan
PPTKIS;
c. Pembuatan Perjanjian Penempatan Tenaga Kerja;
d. Pembuatan Perjanjian Kontrak Kerja;
e. Pertanggungan Asuransi;
f. Pengaturan biaya penempatan;
g. Penyediaan bantuan kredit biaya penempatan oleh
Pemerintah Daerah; dan
217
h. Pemberian bantuan hukum/pembelaan bagi TKI.

Pasal 40
Tata cara perlindungan oleh Pemerintah Daerah diatur dengan
Peraturan Bupati.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41
Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini
ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah
ini ditetapkan.

Pasal 42
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.

Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN

Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 0095

218
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
INDONESIA ASAL KABUPATEN FLORES TIMUR
DI LUAR NEGERI

I. UMUM
Hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang
layak merupakan hak konstitusional warga Negara yang
telah mendapat jaminan pemenuhan dan perlindungan baik
dalam konstitusi maupun Peraturan Perundang-undangan.
Jaminan pemenuhan dan perlindungan dimaksud
menimbulkan konsekuensi bagi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk menyediakan kesempatan kerja yang seluas-
luasnya tanpa diskriminasi berdasarkan prinsip persamaan
hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan
gender terhadap tenaga kerja domestik maupun yang
bekerja di luar negeri. Keberaadaan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri dan Undang-
Undang Ratifikasi Convensi Internasional tentang
perlindungan Buruh Migrant (Migrant Workers) lebih
menekankan perlindungan terhadap buruh migrant yang
berkerja di luar negeri melalui skema penempatan
Pemerintah, PPTIKS dan Perusahaan. Keberadaan buruh
migrant di Kabupaten Flores Timur yang didominasi oleh
buruh migrant swadaya perlu mendapat perhatian dalam
kebijakan penempatan dan perlindungan. Buruh migrant
swadaya ini, bekerja di luar negeri atas prakarsa dan
inisiatif sendiri di luar skema penempatan yang seringkali
menimbulkan kompleksitas permasalahan berkaitan
dengan mekanisme penempatan dan perlindungan.
Berdasarkan data Pemerintah Daerah pada Tahun 2012,
219
jumlah buruh migrant swadaya pada 25 (dua puluh lima)
Desa dari 229 (dua ratus dua puluh sembilan) Desa dan 2
(dua) Kelurahan dari 21 (dua puluh satu) Kelurahan se-
Kabupaten Flores Timur berjumlah 1291 (seribu dua ratus
sembilan puluh satu), terdiri dari buruh migrant laki-laki
berjumlah 883 (delapan ratus delapan puluh tiga) dan
buruh migrant perempuan berjumlah 408 (empat ratus
delapan) yang tersebar pada 6 (enam) Kecamatan yang
dijadikan sampel dari 19 (Sembilan belas) Kecamatan
dengan sistem pengambilan sampel bertahap (system
stratified random sampling).
Bertitik tolak dari kondisi dimaksud maka Daerah
berkewajiban untuk merumuskan Kebijakan legislasi yang
berpihak kepada buruh migrant swadaya dimaksud.
Lingkup perlindungan yang diberikan oleh daerah melaui
Peraturan Daerah ini meliputi perlindungan hukum,
perlindungan sosial dan perlindungan ekonomi dalam
keseluruhan tahapan dimulai dari pra penempatan,
penempatan dan purna penempatan.
Lingkup Pemerintah Peraturan Daerah ini meliputi:
1. Asas danTujuan;
2. Tugas, Tanggung Jawab dan Kewajiban pemerintah
Daerah;
3. PelaksanaPenempatan TKI diluar Negeri;
4. Tata Cara Penempatan;
5. Peran serta masyarakat;
6. Pembinaan dan Pengawasan; dan
7. Perlindungan.
Asas penempatan dan perlindungan tenaga kerja
berdasarkan Peraturan Daerah meliputi asas persamaan
hak, keterpaduan, demokrasi, keadilan sosial, kesamaan
gender, anti trafficking. Pemilihan asal ini selaras dengan
asas-asas dalam peraturan perundang-undangan nasional
sebagai satu kesatuan system hukum. Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores
Timur yang bekerja di luar Negeri bertujuan untuk
220
menjamin pemenuhan hak-hak sebagai warga Negara
beserta keluarganya. Tugas, tanggung jawab dan kewajiban
Pemerintah Daerah dimaksud bertujuan untuk
mempertegas dan memperkuat posisi Pemerintah Daerah
dalam penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia asal Kabuapaten Flores Timur dengan
merumuskan tugas, tanggung jawab dan kewajiban
Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak-hak tersebut.
Peraturan Daerah ini memberikan wewenang
penempatan kepada Pemerintah Daerah dan PPTKIS untuk
menyelenggarakan kegiatan penempatan dan perlindungan
yang meliputi pra penempata, penempatan dan purna
penempatan berdasarkan asas dan tujuan penempatan
Tenaga Kerja Indonesia. Disamping itu, peraturan daerah
ini mengatur pelembagaan terhadap partisipasi masyarakat
dalam proses penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia. Pengaturan partisipasi masyarakat dimaksudkan
diarahkan untuk menjamin hak-hak publik sebagai
pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap isu
perlindungan buruh migrant baik dalam bentuk kolaborasi
maupun pengawasan terhadap proses penempatan dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah maupun PPTKIS. Peraturan Daerah
ini mengatur juga pelembagaan wewenang pembinaan dan
pengawasan kepada Pemerintah Daerah bersama PPTKIS
sesuai skema penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal
Kabupaten Flores Timur yang bekerja di luar Negeri untuk
memberikan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.

221
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.

222
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.

223
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 0095

224

Anda mungkin juga menyukai