Anda di halaman 1dari 22

Hubungan Lokasi Lesi Stroke dan Gangguan Tidur

A. Definisi Tidur
Tidur adalah salah satu fungsi kehidupan. Bagaimana proses yang terjadi saat
tidur masih terus dipelajari. Saat ini diketahui berbagai kelainan dalam bidan medis
dapat memengaruhi fungsi tidur dan gangguan pola tidur sendiri dapat memengaruhi
kualitas hidup manusia bahkan mengganggu kesehatan yang dapat mengancam jiwa.
Definisi tidur adalah bentuk fisiologis dan berulang dari penurunan kesadaran
secara reversible dimana terjadi penurunan fungsi kognitif secara global sehingga ptak
tidak merespon secara penuh terhadap stimulus sekitar (Islamiyah, 2018).

B. Arsitektur Tidur
Berdasarkan kriteria fisiologis, tidur dibagi menjadi dua stadium: NREM dan
REM. Tidur NREM dibagi lagi menjadi tiga tahap, terutama atas dasar kriteria EEG.
Stadium NREM dan REM, dengan setiap siklus berlangsung selama kurang lebih 90
hingga 100 menit. Empat hingga enam siklus terjadi selama periode tidur normal. Dua
pertama siklus didominasi oleh gelombang lambat tidur (tahap N3), tetapi di siklus
selanjutnya, tahapan-tahapan ini dicatat hanya sebentar dan kadang-kadang tidak
semuanya. Sebaliknya, durasi tidur siklus REM meningkat dari siklus pertama ke siklus
terakhir, dan menuju akhir malam, siklus REM terpanjang dapat berlangsung selama 1
jam. Dengan demikian sepertiga pertama dari episode tidur yang normal didominasi
oleh tidur gelombang lambat, dan tidur REM mendominasi yang sepertiga terakhir
(Darrof dkk, 2011).
Dalam kriteria 1968, Rechtschaffen dan Kales (RK) membagi tidur NREM
menjadi tahap 1, 2, 3, dan 4. Pada tahun 2007, pernyataan ini dimodifikasi sedikit oleh
American Academy of Sleep Medicine (AASM) Task Force, dan tidur NREM sekarang
dibagi menjadi tiga tahap: N1, N2, dan N3 (tidur gelombang lambat). Di modifikasi
kriteria pementasan yang diadopsi oleh AASM, tidur RK tahap 1 NREM tradisional
diberi label N1, RK tahap 2 diberi label N2, dan RK tahap 3 dan 4 digabungkan menjadi
satu tahap, N3 (Darrof dkk, 2011).

1
Stadium NREM mengambil jumlah 75-80% waktu tidur. Pada stadium N1,
sebesar 3-8% waktu tidur, dominan gelombang alpha (8-13 Hz) dengan karakteristik
badan merasa lemas. Berkurang kurang dari 50% dalam satu stadium (segmen 30 detik
dari polisomnografi). dengan kecepatan kertas atau monitor 10 mm / dtk), dan
campuran irama theta yang lebih lambat (4-7 Hz) dan gelombang beta (> 13 Hz)
muncul. Aktivitas EMG menurun sedikit, dan lambat, gerakan memutar mata dapat
dicatat. Gelombang tajam Vertex dicatat menjelang akhir tidur tahap N1. Tahap tidur N2
dimulai setelah sekitar 10 hingga 12 menit setelah tahap N1. Temuan EEG yang khas
tahap tidak N2 termasuk spindle tidur (12-18 Hz, sebagian besar sering 14 Hz) dan
kompleks K bercampur dengan titik yagng tajam gelombang. Rekaman EEG berisi
aktivitas theta dan lebih rendah dari gelombang lambat 20% (0.5-2 Hz). Tahap tidur N2
berakhir selama 30-60 menit. Selama stadium N3 gelombang lamabat mencapai 20-
100% fase tidur (Terzano, 2002).
Tahap REM pertama (R sleep) tercatat 30-60 menit.Tahapan REM terjadi
dalam 20-25% waktu tidur. Berdasarkan EEG, EMG dan EOG, tahapan REM dapat
dibagi menjadi 2: tonik dan fasik. Namun pembagian ini tidak diketahui dalam
pembagian terkini. Gambaran EEG selama fase REM menunjukkan gambaran ritme
cepat dan aktivitas theta, terkadang didapatkan gelombang tajam seperti gergaji.
Desinkronasi EEG, hipotonia, atonia, atau depresi monosinap dan polisinap adalah
karakteristik dari fase tonik. Fase phasic memiliki karakteristik gerakan mata cepat ke
segala arah, dengan perubahan fluktuatif pada tekanan darah dan nadi, pernafasan
ireguler, gerakan lidah. Didapatkan sedikit periode apnea dan hypopnea juga bisa
terjadi (Darrof dkk, 2011).

C. Fisiologi Tidur
Tidur merepresentasikan dasar ritme sirkadian selama 24 jam, data ini
didapatkan dari hasil penelitian terhadap mamalia, ungags, dan reptile. Control neural
pada irama sirkardian dipegang olrh region ventroanterior hipotalamuas, elbih spesifik
lagi pada nucleus suprachiasma. Lesi pada nucleus ini akan menyebabkan
disorganisasi pada siklus bangun-tidur, aktivitas istirahat, suhu, dan irama makan.
(Ropper dkk, 2004)

2
Kantuk fisiologis tergantung pada dua proses: homeostatis faktor dan fase
sirkadian. Faktor homeostasis mengacu pada periode sebelumnya dari bangun dan
tidur hutang. Setelah berkepanjangan periode terjaga, ada kecenderungan yang
meningkat tidur. Pemulihan dari utang tidur dibantu oleh tambahan jumlah tidur, tetapi
pemulihan ini tidak linier. Jadi, sebuah eksak jumlah jam tidur tidak diperlukan untuk
membayar hutang tidur; sebaliknya, tubuh membutuhkan cukup tidur gelombang lambat
untuk pemulihan. Interaksi antara sirkadian dan drive homeostatic yang menghasilkan
kewaspadaan. Faktor sirkadian menentukan kecenderungan tubuh untuk kantuk
maksimal antara 3:00 pagi dan 5:00 pagi. Itu periode kedua kantuk maksimal (3:00 PM
hingga 5:00 PM) adalah tidak sekuat yang pertama. Tidur dan terjaga dan sirkadian alat
pacu jantung memiliki hubungan timbal balik: biologis jam dapat mempengaruhi tidur
dan terjaga, dan tidur dan terjaga dapat mempengaruhi jam. Ada dua variabel yang
sepertinya berperan dalam mengatur waktu tidur. Pertama adalah homeostasis
drive tidur, yang meningkat seiring berjalannya hari dan semakin lama seseorang
terjaga. Yang kedua adalah informasi waktu dari nukleus suprachiasmatic. Dalam
model dua proses ini, SCN mempromosikan kesadaran dengan merangsang jaringan
gairah. Aktivitas sistem sirkadian tampaknya menentang bahwa dari drive tidur
homeostasis, dan dengan demikian memperingatkan dimediasi oleh SCN meningkat
sepanjang hari. Kecenderungan untuk bangun atau tidur kapan saja berhubungan
dengan homeostasis drive tidur dan sinyal peringatan SCN yang berlawanan. Pada
normal waktu tidur, baik drive peringatan dan drive tidur berada di mereka level
tertinggi. Dua reseptor melatonin, MT1 dan MT2 subtipe reseptor, terlibat langsung
dalam pengaturan pengaturan tidur dan sirkadian. Stimulasi reseptor MT1 diyakini
menurunkan sinyal peringatan dari SCN, sementara Stimulasi MT2 dianggap terlibat
dalam sinkronisasi sistem sirkadian (Darrof dkk, 2011).
Berbagai faktor tidur telah diidentifikasi, tetapi peran mereka dalam
mempertahankan homeostasis belum jelas.Beberapa sitokin, seperti interleukin-1,
interferon-α, dan tumor necrosis factor, mempromosikan tidur. Lain faktor tidur
meningkat dalam konsentrasi selama berkepanjangan terjaga dan infeksi. Telah terbukti
bahwa adenosine di otak depan basal dapat memenuhi kriteria utama untuk faktor tidur
neural yang memediasi efek somnogenik bangun berkepanjangan dengan bertindak

3
melalui adenosine A1 dan Reseptor A2A. Beberapa senyawa endogen lainnya mungkin
berfungsi sebagai faktor tidur, termasuk peptida yang mengganggu tidur, peptida
muramil, cholecystokinins, arginine vasotocin, vasoaktif peptide usus, faktor pelepas
hormon pertumbuhan, dan somatostatins.

D. Peranan Neurotransmitter
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam
keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin
dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada
nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis
dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat
mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi
peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan penurunan yang jelas
pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena
dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik
sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi,
sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine)

4
yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan
pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone
seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara
teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara
teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin
yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun.

E. Klasifikasi Gangguan Tidur


Berbagai gangguan tidur masuk dalam klasifikasi International Cassification of
Sleep Disorder, yang terbaru adalah ICSD-III, Appendix A adalah gangguan tidur
berkaitan dengan kelainan medis umum dan kelainan neurologis, Appendix B meliputi
kelainan tidur yang diinduksi substansi khusus (alcohol, opioid, cannabia, cocaine, obat
anxiety, nicotin, inhalant, obat psycoaktif). Ada 7 kategori besar gangguan tidur, terdiri
dari: Insomnia, Sleep-breathing disorder, central disorder of hypersomnolence,
Circardian rhythm sleep disorder, parasomnia, sleep-related movement disorder, dan
other sleep disorder (Darrof dkk, 2011).

5
6
F. Gangguan Tidur
Berbagai gangguan tidur masuk dalam klasifikasi International Cassification of
Sleep Disorder, yang terbaru adalah ICSD-III, Appendix A adalah gangguan tidur
berkaitan dengan kelainan medis umum dan kelainan neurologis, Appendix B meliputi
kelainan tidur yang diinduksi substansi khusus (alcohol, opioid, cannabia, cocaine, obat
anxiety, nicotin, inhalant, obat psycoaktif). Ada 7 kategori besar gangguan tidur, terdiri
dari: Insomnia, Sleep-breathing disorder, central disorder of hypersomnolence,
Circardian rhythm sleep disorder, parasomnia, sleep-related movement disorder, dan
other sleep disorder.
1. Insomia
Definisi Insomnia merujuk pada kondisi ketidakmampuan kronis untuk tidur,
meskipun banyak kesempatan untuk tidur. Dapat merujuk pada kondisi sulit
mengawali tidur, sulit mempertahankan tidur, atau terbangun lebih awal dan
tidak bisa tidur lagi, atau kombinasi diantara ketiga kondisi ini. Insomnia dibagi
menjadi 2, primer dan sekunder (Islamiyah, 2018).
a. Insomnia primer menunjukkan kondisi gangguan tidur malam untuk
jangka waktu yang lama tanpa disertai gejala cemas, depresi, nyeri, dan
kelainan psikiatri maupun medis lainnya
b. Insomnia sekunder merupakan jenis insomnia yang sering terjadi,
bersifat transien. Dapat disebabkan karena adanya nyeri maupun
kelainan pada tubuh. Namun lebih sering disebabkan oleh kecemasan,
khawatir, dan depresi. Kelainan medis juga sering menyebabkan
insomnia, seperti adanya nyeri sendi, nyeri perut akibat ulkus peptikum,
nyeri sendi atau tulang belakang, keganasan, kelainan jantung dan paru,
adanya “restless leg syndrome” dan “periodic leg movement” juga dapat
menyebabkan insomnia. (Ropper dkk, 2004)
2. Hipersomnia
Tidur yang berlebih di siang hari (Excessive Daytime Sleepiness) sering
disebabkan karena waktu tidur yang kurang, kelainan tidur primer, kelainan
medis dan neurologis yang mengganggu tidur (Islamiyah, 2018). Apabila EDS

7
terjadi kronis dan persisten, tanpa ada penyebab yang jelas, maka
dikategorikan sebagai hypersomnia esensial atau idiopatik (Ropper dkk, 2004).
3. Restless Legs Syndrome, Leg Movement of Sleep dan kelainan terkait
“restless leg syndrome” sering menunda onset tidur. Sering terjadi pada
stadium awal. Kelainan ini mengenai 2% dari populasi. Pasien mungkin
mengeluh kram dan nyeri pada otot-otot. Gejalanya diperberat dengan istirahat.
Kelelahan akan memperberat RLS (Ropper dkk, 2004).
RLS adalah kelainan saraf yang ditandai dengan dorongan atau kebutuhan
yang tidak tertahankan untuk menggerakkan tungkai. RLS biasanya
berhubungan dengan sensasi tungkai yang tidak menyenangkan yang
bertambah berat selama berkurangnya aktivitas. Keluhan akan berkurang
ketika penderita menggerakkan tungkai atau jari dan bangkit dari tempat tidur.
RLS lebih merupakan sekumpulan gejala dengan etiologi yang berlainan
(Islamiyah, 2018).
4. Parasomnia
Parasomnia adalah kejadian yang terjadi dengan terbangunnya tidur saat
awal tidur ataupun selama tidur yang tidak merubah kualitas maupun kuantitas
tidur. Parasomnia dibagi menjadi kelompok yang muncul dari tidur non-REM
(confusional arousal) dan kelompok muncul saat tidur REM. Dua kelompok
parasomnia tersebut biasanya dapat dibedakan melalui waktu terjadinya, adaya
dream recall saat bangun, status mental saat bangun, durasi, derajat amnesia
saat kejadian, dan aktivitas otonom yang berhubungan (Islamiyah, 2018).
Somnolescent (sleep, hypnic, myoclonic)aktivitas motoric segera muncul
setelah pasien tidur, pada perekaman PSG menunjukkan gerakan jerks
terekam pada saat pasien mulai tertidur dan selama fase awal tidur.
Sensory sleep paroxysimal. Pusat sensorik tubuh mulai terganggu pada
awal pasien tidur, saat pasien mulai tertidur, mungkin muncul rasa seperti
sensasi terjatuh, terdengar suara gemuruh, nyeri kepala berat, sensasi seoerti
diangkat dan dijatuhkan,

8
Nocturnal Frontal lobe Epilepsy. Beberapa gejala epilepsy akan prominen
saat tidur. Salah satu gejala epilepsy isolated yang muncul berupa gejala
choreaatetose, balismus, distonik general yang muncul pada fase NREM
Sleep paralysis sering terjadi pada pagi hari dan jarang muncul pada fase
awal tidur. Fungsi respirasi, diafragma, dan gerakan mata sering tidak
terganggu. IWeakness paralysis disebabkan karena disosiasi atonia pada fase
REM
Night terrors dan Nightmare sering terjadi pada anak, terjadi segera setelah
pasien mulai tertidur selama stadium 3 dan 4 tidur. Anak akan terbangun
secara mendadak, ketakutan, berteriak, dan mengerang disertai takikardi (Hr
150-170 kali per menit). Anak dengan gangguan nightmare sering disertai
dengan sleepwalking
Somnambulisme, kondisi yang sering terjadi pada anak usia 4-6 tahun,
sering disebabkan karena anak mengompol di malam hari. Gejala abnormal
yang sering muncul adalah tiba-tiba bangu dan duduk tanpa berjalan secara
factual. (Ropper dkk, 2004)
5. Gangguan tidur yang berkaitan dengan kelainan pernapasan
Obstructive Sleep Apnea merupakan gangguan tidur yang sering
dijumpai,namun belum banyak dikenal oleh kalangan masyarakat. OSA adalah
kelaianan gangguan tidur berkaitan dnegan kelainan pernapasan yang paling
banyak terjadi.
OSA merupakan penyakit gangguan tidur yang ditandai oleh tersumbatnya
sebagian atau seluruh saluran napas yang menyebabkan apnea dan hypopnea
pada saat tidur. Apnea dan hypopnea akan diikuti oleh deaturasi oksigen dan
biasanya diakhiri dengan arousal singkat. Kejadian apne hypopnea sedikitya
berlangsung 10 detik.
Gejala OSA dapat berupa tidur mendengkur, henti napas waktu tidur, rasa
tercekik atau tersedak, mengantuk berlebihan sepanjang hari, nokturia, nyeri
kepala di pagi hari, insomnia, gangguan konsentrasi dan daya ingat,
emnurunnya libido, dan iritabilitas (Islamiyah, 2018).

9
6. Gangguan tidur yang berkaitan dengan irama sirkardian didefinisikan
sebagai abnormalitas onset tidu, lama tidur, dan atau tidak sesuainya siklus
tidur-bangun relative terhadap siklus tidur siang-malam. Menurut ICHD-3
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
-adanya gangguan irama tidur-bangun kronis atau berulang, disebabkan
oleh perubahan system waktu sirardian endogen, atau ketidaksesuaian
antara ritme sirkardian endogen dan jadwal tidur-bangun yang diinginkan
atau dibutuhkan oleh lingkungan fisik atau jadwal kerja/sosial seseorang
-gangguan irama sirkardian menyebabkan insomnia, mengantuk berlebihan
atau keduanya
-gangguan tidur bangun menyebabkan distress yang signifikan secara klinis
atau gangguan mental, fisik, sosial, pekerjaan, atau hal fungsional lainnya
(Islamiyah, 2018).

G. Definisi Stroke
Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi
secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menyebabkan kematian,disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak. Tingkat insidensi stroke meningkat dengan
pertambahan usia yang lebih sering pada pria dibandingkan wanita. Dengan beberapa
faktor resiko hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, merokok, konsumsi alkohol, and
oral contraceptive use ( Mc Phee dkk,2006).
Stroke adalah istilah klinis untuk hilangnya perfusi di otak secara akut sesuai
dengan teritorial vaskular. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa stroke adalah:
1. Menimbulkan kelainan saraf yang bersifat mendadak.
2. Kelainan saraf yang ada harus sesuai dengan daerah atau bagian mana
dari otak yang terganggu. Dengan manifestasi timbulnya gejala seperti
defisit motorik,defisit sensorik,atau kesukaran dalam berbahasa menurut
Wiyoto 2002 dalam Layanto (2014).

10
Stroke termasuk salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian teratas di
dunia. Berdasarkan laporan terbaru WHO terdapat 6,7 juta kematian terjadi akibat
stroke dari total kematian yang disebabkan penyakit tidak menular (WHO, 2014).
Pada profil statistik WHO yang diperbaharui pada Januari 2015, stroke
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama di Indonesia.
Pada tahun 2012 terdapat 328.500 kematian akibat stroke di Indonesia. Laporan ini
sejalan dengan Hasil Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan terjadi peningkatan
prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan wawancara jawaban responden yang
pernah didiagnosis tenaga kesehatan dan gejalanya meningkat dari 8,3 per1000 di
tahun 2007 menjadi 12,1 per1000 di tahun 2013 (Riskesdas, 2013).
Stroke dibagi dalam dua kelompok utama yaitu stroke iskemik dengan
presentase kurang lebih 80% dan sisanya 20% adalah stroke hemoragik. Subtipe dari
stroke iskemik berupa stroke trombotik disebabkan oleh agregasi dari faktor-faktor
darah pada tempat dimana pembuluh darah menyempit. Jenis lain stroke embolik,
disebabkan tersumbatnya secara mendadak arteri di otak akibat gumpalan darah benda
asing yang terbawa alirah darah.
Subtipe stroke hemoragik adalah pendarahan intraserebral yang disebabkan
oleh banyak faktor dan pendarahan subarachnoid yang umumnya karena pecahnya
kantong aneurisma intrakranial atau pecahnya AVM (arterivenous malformation)
(Martono,2009).
Angka kejadian Stroke dalam 1 tahun sekitar 2-18 tiap 1.000 penduduk, dan
disebutkan sebagai penyebab kematian kedua terbanyak dan penyebab utama
terjadinya kecacatan (Bonita, 1992). Stroke memiliki risiko berulang 13-14% pada tahun
yang sama dan risiko berulang 6% pada tahun berikutnya (Hankey,2000).

H. Faktor Risiko Stroke


Menurut Stroke Association tahun 2012 faktor-faktor risiko untuk terjadinya
stroke dapat dikategorikan sebagai berikut :

11
Faktor yang tidak dapat dirubah adalah :
Usia :Risiko stroke menjadi berlipat ganda pada usia di atas 55 tahun.
Hereditas :Risiko terkena stroke akan lebih besar jika terdapat riwayat stroke
pada keluarga.
Ras :Ras Afrika-Amerika lebih rentan terkena stroke karena memiliki
risiko hipertensi, diabetes, dan obesitas lebih tinggi.
Jenis kelamin :Stroke lebih sering menyerang pria dibanding wanita,
namun kematian akibat stroke lebih banyak terjadi pada wanita.
Riwayat stroke sebelumnya, TIA, atau serangan jantung. Risiko stroke akan
meningkat pada orang yang telah mengalami stroke atau serangan jantung
sebelumnya, atau pada orang yang mengalami TIA risiko akan meningkat 10 kali ,
karena itu merupakan peringatan akan kejadian stroke.

Faktor yang dapat dirubah :


Hipertensi :Hipertensi merupakan penyebab penting dan paling banyak
terjadinya stroke. Pengobatan yang efektif terhadap hipertensi adalah kunci untuk
menurunkan angka kejadian stroke dan kematian akibat stroke.
Merokok :Beberapa tahun terkahir, banyak studi menunjukkan bahwa
merokok adalah faktor risiko penting untuk stroke. Nikotin dan karbon monoksida dari
merokok membahayakan sistem kardiovaskular.
Diabetes melitus :Diabetes merupakan faktor risiko independen untuk
stroke. Orang dengan diabetes umunya disertai dengan hipertensi, hiperkolesterolemia,
dan berat badan berlebih sehigga meningkatkan risiko terjadinya stroke.
Penyakit arteri karotis atau arteri lainnya :Arteri karotis berperan untuk
menyuplai darah ke otak, jika terjadi pendangkalan arteri akibat aterosklerosis atau
penyakit stenosis arteri karotis, maka suplai darah ke otak akan terganggu dan risiko
terjadinya stroke akan meningkat.
Penyakit jantung :Penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung,
penyakit jantung bawaan, atau kardiomegali dapat meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Keadaan atrial fibrilasi juga dapat mengakibatkan stroke jika terjadi

12
pembentukan bekuan darah yang memasuki aliran darah dan menyumbat pada arteri
yang menyuplai darah ke otak.
Sickle-cell disease :Pada penderita Sickle-cell disease kemampuan sel
darah merah untuk membawa oksigen akan menurun. Sickle-cell ini juga dapat melekat
pada dinding pembuluh darah dan dapat memblok arteri menuju otak sehingga
menyebabkan stroke.
Hiperkolesterolemia :Kadar kolesterol yang tinggi dalam darah adalah
risiko untuk kejadian aterosklerosis, yang juga akan meningkatkan risiko kejadian
stroke.
Asupan makanan yang buruk :Diet yang tingggi lemak jenuh, lemak trans,
dan kolesterol dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kemudian diet tinggi
sodium atau garam juga berperan terhadap peningkatan tekanan darah. Selain itu,
kalori berlebih juga berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Jadi, asupan makanan
yang buruk akan menghasilkan keadaan dengan risiko tinggi terhadap stroke.
Physical inactivity dan Obesitas :Ketidakatifan fisik, obesitas, atau
keduanya akan meningkatkan risiko hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan stroke.
Cobalah aktif beraktivitas minimal 30 menit setiap hari. (Sidharta , 2004).

Faktor yang lainnya :


Faktor sosioekonomi :Beberapa bukti menyatakan bahwa stroke lebih
sering terjadi pada orang dengan pendapatan rendah.
Penyalahgunaan alkohol :Penyalahgunaan alkohol dapat menyebabkan
banyak komplikasi medis, termasuk stroke.
Penyalahgunaan obat-obatan :Kecanduan obat-obatan seperti kokain,
amphetamin, dan heroin memiliki hubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
pada populasi yang lebih muda. (Sedoyo dkk, 2006).

I. Gangguan Tidur dan Stroke


Lesi pada system saraf pusat baik itu fokal atau difuse akan menyebabkan
ganguan struktur dan pola tidur, dapat digambarkan pada pemeriksaan
Electroencephalography (EEg) dan Polysomnography (PSG) (Ferre dkk, 2013). Di sisi

13
lain, angguan tidur juga merupakan faktor risiko terjadinya Stroke melalui beberapa
mekanisme langsung multiple atau mekanisme tidak langsung, serta adanya gangguan
tidur yang tidak tertangani akan mengganggu proses rehabilitasi stroke. Seperti contoh
Obstructive Sleep Apnea (OSA) meningkatkan risiko terjadinya hipertensi, obesitas dan
memicu terjadinya stroke iskemik (Wallace dkk, 2012).
Mengorok, mengantuk di siang hari, dan sleep disorder breathing sering
disebutkan sebagai faktor risiko independen terjadinya stroke. Dalam berbagai studi
disebutkan bahwa pasien dnegan OSA memiliki angka kejadian Stroke yang tinggi.
Namun mekanisme bagaimana OSA dapat menjadi faktor risiko stroke belum dipahami
secara jelas. Beberapa mekanisme yang diduga terjadi adalah; 1)terjadinya kenaikan
tekanan intrathoracal pasien apneau akan menurunkan aliran darah ke otak, kejadian
berulang dapat memicu terjadinya iskemik terutama pada area watershed, 2) pasien
OSA dapat memicu terjadinya hipertensi, penyakit jantung, patent foramen ovale,
perubahan fungsi endotel, atherogenesis, perubahan protrombin, proinflamasi, dan
agregasi platelet 3) OSA dapat memicu terjadinya stroke.
Pasien dengan riwayat penyakit infark serebri sering mengeluhkan gangguan
memori, konsentrasi, instabilitas emosi, kebutuhan tidur yang meningkat, serta tampak
kelelahan. Gejala-gejala ini akan menyerupai kerusakan struktur dan jaringan saraf
yang bersifat luas. Salah satunya adalah munculnya gangguan tidur berupa
kontinyuitas dan arsitektur tidur, dikarenakan hampir kebanyak pusat control tidur
berada di system saraf pusat. Di samping itu pusat control pernafasan juga berada di
system saraf pusat (brainstem), sehingga pasien dengan stroke dapat pula dijumpai
dengan kelainan pola nafas, maupun pernafasan. Dalam sebuah studi disebutkan
pasien post stroke dnegan kelainan hemisfer berkembang memiliki gangguan Sleep
disorder breathing. Obstructive sleep apnea juga cukup bayak didapatkan pada pasien
post stroke. Karena ada pengulangan periode apnea dan desaturasi oksigen dapat
menyebabkan terbangun dan sadar berulang selama tidur sehingga dapat
menyebabkan perubahan arsitektur tidur. Perjadi pemendekan fase SWS dan REM
dibanding control. Pada penelitian lain juga didapatkan pemendekan fase SWS dan
REM pada pasien dengan kejadian stroke sumbatan arteri cerebri media. (Mohsenin
dan Valor, 1995).

14
Dalam beberapa literature disebutkan bahwa Sleep related movement disorder
(Restless leg syndrome dan Periodic limb movement) dapat ditemui pada pasien
dnegan stroke iskemik. RLS dan PLm dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi
dan kelainan kardiovaskuler. Sebanyak 48% kejadian PLM didapatkan setelah
terjadinya onset stroke, dan 13% tanpa kejadian stroke sebelumnya . sedangkan pada
RLS didapatkan angka 12% setelah kejadian stroke. Lokasi stroke paling sering
menyebabkan RLS dan PLm adalah di area subcortex (basal ganglia/corona radiate)
dan area brainstem (traktus piramidalis/pons), yang memiliki fungsi dalam koordinasi
system motoric dan transisi siklus tidur-bangun (Wallace, 2012).
Pasien dengan stroke menunjukkan gambaran pola EEG yang berbeda-beda
berdasarkan lokasi Stroke-nya stroke pada area kortikal-subkortikal akan menunjukkan
gambaran disfungsi neuronal diffuse dengan burst intermitten pada gelombang delta
baik itu ipsilateral maupun bilateral. Infark pada area thalamus maupun brainstem akan
menunjukkan gambaran EEG abnormal (coma alpha, coma spindle, coma theta),
sednagkan infark kecil di area capsula interna mungkin menunjukkan gambaran EEG
yang normal, atauhanya aktivitas fokal theta. Yang berbeda bila didapatkan infark luas,
maka dapat ditemukan gambaran attenuasi fokal aktivitas serebral tanpa adanya
aktivitas delta).

J. Lokasi Lesi Stroke dan Gangguan Tidur


Pasien stroke menunjukkan perbedaan pola EEG berdasarkan lokasinya.
Stroke pada area kortikal atau subkortikal biasanya menimbulkan disfungsi neuronal
fokal dengan aktivitas delta fokal (1-4 Hz) yang berkaitan dengan aktivitas alfa yang
lebih cepat (Jordan, 2004). Lesi stroke di subkorteks akan menyebabkan disfungsi
neuronal yang diffuse dengan cetusan gelombang delta intermitten, bisa unilateral atau
bilateral. Lesi pada thalamus akan menimbulkan gelombang EEG patologis (koma alfa,
koma spindle, koma theta). Lesi infark kecil di capsula interna dapat menyebabkan
aktivitas theta minimal (Schneider, 2005).

15
Lesi Vaskuler Akut dan korelasi gambaran EEG
No Lokasi Lesi Tipe Lesi Pola EEG
1 Kortikal Iskemik / perdarahan Aktivitas alfa / delta fokal
kontinyus
2 Kortikal-subkortikal Iskemik / perdarahan -aktivitas alfa / delta fokal
kontinyus
-aktivitas delta intermitten
diffuse ipsilateral
-aktivitas delta fokal
intermiten diffuse bilateral
Stroke massive Attenuasi fokal
Stroke thalamic Anodyne
TIA Theta fokal
3 Brainstem Stroke mesencephalon Aktivitas delta bilateral
diffuse
-koma theta
Infark basis pontine -anodyne (locked in
syndrome)
-kurangnya reaktivasi alfa
(<50%)
Stroke bulbar -aktivitas voltase rendah
-koma alfa
4 Cerebellum Stroke perdarahan -aktivitas delta kontralateral

Lesi supratentorial berkaitan dengan penurunan jumlah fase NREM dan total
waktu tidur, dan menurunnya efikasi tidur..
Pada pasien dengan klinis hemiplegi, didapatkan pula penurunan sleep spindle
unilateral maupun bilateral, namun tidak selalu terjadi. Adanya stroke di area
paramedian thalamus berkaitan dnegan penekanan sebagian dari sleep spindle, K
complex, dan slow wave dengan peningkatan stadium N1, hal ini mengindikasikan pada
kondisi ketidakmampuan untuk bangun.
Penurunan temporer fase tidur REM telah ditemukan selama hari pertama
setelah serangan stroke supratentorial, hal ini bisa jadi menetap jika didapatkan stroke
dengan prognosa yang buruk.
Stroke di region occipital yang memiliki gejala klinis buta kortikal juga dapat
menyebabkan penurunan jumlah fase tidur REM. Beberapa studi menyebutkan bahwa
kejadian stroke di sisi kanan menyebabkan penurunan jumlah fase tidur Rem

16
sedangkan kejadian stroke di kiri menyebabkan penurunan jumlah fase tidur NREM
(Ferre dkk, 2013).
Stroke di bagian infratentorial sering dikaitkan dnegan kejadian penurunan
jumlah fase tidur NREM dan REM, lesi di dekat tegmentum postine menyebabkan
munculnya sindroma licked in dan lesi unilateral pada area ini tidak menyebabkan
gangguan arsitektur tidur. Stroke pada area ponto-mesencephalic junction dan raphe
nucleus juga menurunkan jumlah fase tidur REM. Stroke di paramedian thalamus dan
pons bagian bawah berkaitan dengan menurunnya fase slow wave dan munculnya
REM di awal fase tidur. Stroke di tegmentum mesencephalon dan pontomedulary
junction meningkatkan jumlah fase tidur REM, sedangkan infark mesencephalon
menyebabkan kenaikan fase tidur REM dan NREM. Stroke infratentorial merubah
arsitektur tidur NREM dengan menghilangkan sleep spindle, Kompleks K, dan spike
vertex.
Bebrapa prognosa tidur pada pasien dengan stroke berkaitan dengan efisiensi
tidur, peningkatan wakefulness intrasleep, penurunan durasi N2, penurunan sleep
spindle dan Kompleks K, kenaikan slow dan depp sleep (Ferre dkk, 2013).

17
Perubakan Makrostruktur dan Mikrostruktur berdasarkan Lokasi Lesi Stroke.
No Lokasi Lesi Perubahan Makrostruktur Perubahan mikrostruktur
1 Supratentorial <NOREM, REM, SWS, TST, <ipsilateral atau bilateral sleep
dan efikasi spindle
2 Infratentorial Bilateral paramedian pontine <<REM dan <NREM K kompleks, sleep spindle,
tegmentum sleep vertex spike mungkin
hilang
Ventral pontine tegmentum <<REM dan <NREM
Pontine tegmentum (sindrom Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
locked in)
Pontomesencephalic junction <<NREM, dan REM preserved
Nucleus raphei <<NREM, dan REM preserved
Infark paramedical thalamus Tidak ada SWS, REM
preserved, SOREM
Lower pons Tidak ada SWS, REM
preserved, SOREM preserved
<REM
Tegmentum mesencephalic >REM
Pontomedullary junction >REM
Mesencephalic >>NREM dan REM

NREM : Non REM


SOREM : tidur REM pada onset tidur
SWS : Slow wave sleep
TST : Total sleep time
> more < less

18
Hipersomnia adalah meningkatnya perasaan mengantuk di siang hari atau
meningkatnya kebutuhan tidur dalam sehari. Prevalensi hypersomnia pada pasien
stroke sebesar 1.1-27%. Sering ditemukan pada lokasi stroke infark paramedian
thalamus, dnegan gejala pasien mendadak mengantuk saat sedang beraktivitas dan
berespon secara normal. Pada pemeriksaan PSG akan menunjukkan adanya
hypersomnia pada pasien dnegan infark di lokasi thalamus, hypothalamus,
mesencephalic, dan pontine.
Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan untuk mengawali atau
mempertahankan tidur atau terbangun terlalu awal, hal ini dapat menimbulkan
kelelahan, gangguan konsentrsi dan iritabilitas. Insomnia sering dikeluhkan oleh pasien
penderita stroke dengan angka kejadian sebesr 20-56%. Lokasi stroke yang
menimbulkan gejala insomnia berada di thalamus dan brainstem (thalamo-
mesencephalic, pontomesencephalic, dan tegmentum pontine) dengan gejala
perubahan siklus bangun tidur, gelisah di malam hari, dan hypersomnia di siang hari.
Tatalaksana pasien dnegan insomnia adalah menciptakan lingkungan yang nyaman
untuk tidur, dan pemberian obat-obatan seperti benzodiazepine, zolpidem, atau
antidepresan sedative namun efeks samping obat sedasi ini dikatakan dapat
memperburuk gejala neurologis pasien.
Parasomnia didefinisikan sebagai aktivitas motoric dan sensorik yang terjadi
selama tidur, baik pada fase REM maupun NREM. Stroke infark di area tegmental
pontine dapat menyebabkan behavioral disorder selama REM (RBD). Lesi pada
tegmentum pontine, mesencephalon, atau paramedian thalamus dapat memicu
terjadinya halusinasi visual terutama nightfall atau saat onset tidur. Stroke pada lokasi
thalamus, temporal, parietal, dan occipital dapat memicu terjadinya peningkatan mimpi
dan mimpi buruk dan syndrome kebingungan mimpi-kenyataan. RBD biasanya diterapi
dengan klonazepam 0.5-2 mg 1 jam sebelum pasien tidur (Ferre dkk, 2013).
Stroke dapat meicu terjadinya Sleep Disorder Breathing baik itu karena lokasi
lesi ataupun karena perjalanna penyakitnya. Pada lokasi lesi brainstem sering terjadi
pola nafas pada fase awal stroke, namun lokasi lesi di hemisfer juga dapat memicu
SDB jika mengenai area yang mengatur otot-otot pernafasan. Stroke pada lobus frontal,
basal ganglia, dan capsula interna dapat memicu terjadinya apraksia respirasi.

19
Sedangkan stroke di area brainstem dapat menyebabkan berubahya pola pernafasan
seperti neurogenic hyperventilation (mesensefalon dan pons), respirasi tipe apneustik
(pons area inferior medial posterior), ataksik, sentral apnea (lesi di medulla oblongata).

20
DAFTAR PUSTAKA

Bonita R. Epidemiology of stroke. Lancet. 1992;339:342—4.


Daroff, Robert. Jankovic, Joseph. Mazziota, John. Pomeroy, Scott., 2011.
Bradley’s Neurology in Clinical Practice Seventh Edition Chapter 102. Sleep and Its
Disorder. USA ; Elsevier.
Ferre, A. Ribo, M. Rodriguez-Luna, D. Romero, O. Sampol, G. Molina, CA.
Alvarez-Sabin, J. 2013. Strokes and Their Relationship with Sleep and Sleep Disorder.
Neurologia 2013; 28 (2): 103-118
Hankey GJ, Jamrozik K, Broadhurst RJ, Forbes S, Burvill PW, Anderson CS, et al.
Five-year survival after first-ever stroke and related prognostic factors in the Perth
Community Stroke Study. Stroke. 2000;31:2080—6.
Islamiyah, Wardah Rahmatul. 2018. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur.
Kelompok Studi Gangguan Tidur Perdossi. Indonesia: Sagung Seto.
Jordan KG. Emergency EEG and continuous EEG monitoring in acute ischemic
stroke. J Clin Neurophysiol. 2004;21:341—52.
Layanto, A , 2014 , Beberapa Faktor Resiko Pasien Yang Berpengaruh Terhadap
In Hospital Mortality Pasien Stroke. Program Pascasarjana Magister Epidemiologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Martono, H., Kuswardani R.A.T., 2009. Stroke dan Penatalaksanaannya oleh
internis. In: Sudoyo,A.W., Setiyohadi,B., Alwi,I., Simadibrata K.M., Setiat,S., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 5 , Jakarta :
Interna Publishing.
McPhee, Stephen J., Ganong,W.F.,2006.Pathophysiology of Disease: An
Introduction to Clinical Medicine, 5th Edition. San Francisco, California.
Mohsenin, Vahid dan Valor, Raul. 1995. Sleep Apnea in Patient With Hemispheric
Stroke. American Congress of Rehabilitation Medicine and the American Academy
Medicine and Rehabilitation Vol 76.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Available Form :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

21
Ropper, Allan. Samuels, Martin. Klein, Joshua. 2014. Adam’s and Victor’s
Principle of Neurology Tenth Edition. USA : Mc. Graw Hill.
Schneider AL, Jordan KG. Regional attenuation without delta (RAWOD): a
distinctive EEG pattern that can aid in the diagnosis and management of severe acute
ischemic stroke. Am J Electroneurodiagnostic Technol. 2005;45:102—17.
Saryono ,S.K.P., 2002.Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Medical Book.
p.21-4 ,
Sidharta,P., M. D., Ph. D., 2004 ,Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta :
Dian Rakyat.
Wallace, Douglas. Ramos, Aberto. Rundek, Tatjana. 2012. Sleep Disorder and
Stroke. International Journal Stroke April 2012 ; 7 (3) 231-234. National Institutes of
Health Public Access.
World Health Organization, 2014 , Global Status Report On Noncommunicable
diseases. Availabel from: http://www.who.int/nmh/publication/ncd-status-report-
2014/en/. (diakses 7 April 2015)

22

Anda mungkin juga menyukai