Anda di halaman 1dari 7

Prinsip dasar GNSS

Pada dasarnya, konsep penentuan posisi GNSS yaitu dengan metode pemotongan ke belakang
menggunakan jarak terhadap satelit. Pada pengamatan posisi suatu titik dengan GNSS ada 4
parameter yang harus ditentukan yaitu 3 parameter koordinat (x,y,z) dan 1 parameter kesalahan
waktu (disebabkan oleh tidak sesuainya antara jam di satelit dengan jam di receiver GNSS). Oleh
karena itu, diperlukan minimal pengamatan jarak ke 4 satelit.

Bagian GNSS

Gambar II.3. Segmen GNSS (Abidin, H.Z., 2007)

GNSS terdiri atas 3 segmen (Abidin, H.Z., 1995) yaitu :


II.1.2.1. Segmen angkasa/segmen satelit/space segment. Segmen ini memiliki kegunaan
untuk memberikan kemampuan secara kontirnyu penentuan posisi global. Hal ini memicu
diperlukannya perkembangan konstelasi jumlah satelit masing - masing GNSS untuk memastikan
bahwa setidaknya terdapat 4 satelit secara simultan terlihat pada setiap lokasi di permukaan bumi.
Earth

Gambar II.4. Konstelasi GPS (Paul dan Charles, 2012)

Selain itu satelit GNSS telah dilengkapi dengan platform untuk jam atom, radio transceiver,
pengontrol tingkah laku satelit, serta berbagai peralatan pembantu yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem satelit. Segmen ini terdiri dari 24 satelit yang beroperasi di 6 orbit yang
jarak intervalnya berkisar 60° di sekitar khatulistiwa. Konfigurasi ini menyediakan 24 jaringan
satelit di antara lintang 80° N dan 80° S, satelit tersebut melintasi orbit yang memiliki ketinggian
rata – rata 20.200 km diatas permukaan bumi (Paul dan Charles, 2012).
II.1.2.2. Segmen sistem kontrol/control system segment. Segmen ini memiliki fungsi untuk
mengontrol dan memantau operasional sistem satelit dari waktu ke waktu (Paul dan Charles,
2012). Fungsi ini mencakup beberapa tugas diantaranya: Pemeliharaan kesehatan dari semua sub
sistem satelit, menjaga satelit agar berada di posisi orbit seharusnya, memantau level daya baterai,
menjaga waktu pada sistem satelit.
II.1.2.3. Segmen pengguna/user segment. Segmen ini merupakan pengguna satelit. pada
segmen ini dibutuhkan sebuah alat untuk mendapatkan informasi dari satelit, kemudian informasi
tersebut digunakan untuk menentukan suatu posisi di permukaan bumi.
Kesalahan dan Bias GNSS
Beberapa kondisi dapat mengurangi ketelitian dari receiver GNSS. Dari lingkup angkasa
hingga daratan kemungkinan terjadinya kesalahan dan bias itu sangat tinggi. Kesalahan dan bias
dapat didefinisikan sebagai terjadinya perbedaan yang mana informasi yang didapat tidak sesuai
dengan data representasi terhadap kondisi sebenarnya secara sistematik. Kesalahan dan bias
meliputi kesalahan satelit, medium propagasi, receiver GNSS, data pengamatan, dan faktor
lingkungan sekitar receiver GNSS (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.1. Kesalahan Satelit dan Receiver GNSS
II.2.1.1. Kesalahan orbit (ephemeris). Kesalahan ini merupakan kesalahan orbit dimana orbit
satelit yang dilaporkan oleh ephemeris satelit tidak sesuai dengan orbit satelit yang sebenarnya
sehingga mempengaruhi ketelitian koordinat titik yang akan ditentukan (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.1.2. Kesalahan jam. Kesalahan ini dapat terjadi pada satelit maupun receiver. Kesalahan
ini berupa offset waktu bahkan offset frekuensi yang mempengaruhi ukuran jarak, baik
pseudorange maupun jarak fase (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.2. Medium propagasi
II.2.2.1. Bias Ionosfer. Lapisan ionosfer terdapat pada 43-50 mil di atas permukaan bumi.
Sinyal satelit yang melintasi lapisan ionosfer melambat karena plasma (gas dengan kerapatan
rendah). Dalam hal ini, ionosfer akan mempengaruhi sinyal yang dipancarkan oleh satelit
(McNamara, 2008). Lapisan ionosfer akan memperlambat kecepatan sinyal (ukuran jarak menjadi
lebih panjang) dan mempercepat fase (ukuran jarak menjadi lebih pendek), dengan bias jarak
(dalam unit panjang) yang sama besarnya. Jadi, jarak yang dihasilkan dari sinyal yang diterima
oleh receiver menjadi kurang teliti yang akan berakibat pada penentuan posisi terhadap titik – titik
yang ditentukan (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.2.2. Bias Troposfer. Lapisan troposfer merupakan lapisan terendah di atmosfer bumi
dan jarak dari permukaan bumi sekitar 11 mil. Variasi temperatur, tekanan dan kelembapan udara
akan mengakibatkan kecepatan rambat gelombang radio yang memperlambat data waktu dan data
fase (McNamara, 2008).
II.2.3. Data pengamatan
II.2.3.1. Ambiguitas fase (cycle ambiguity). Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal
GNSS merupakan jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GNSS (Abidin, H.Z,
2007).
II.2.3.2. Cycle slips. Cycle slips merupakan ketidak-kontinuan dalam jumlah gelombang
penuh dari fase gelombang yang diamati. Hal ini dikarenakan sinyal ke receiver terputus pada saat
pengamatan sinyal (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.4. Faktor lingkungan
II.2.4.1. Imaging. Imaging merupakan suatu fenomena yang melibatkan suatu benda
konduktif (konduktor) yang berada dekat dengan antena GNSS, seperti reflektor berukuran besar.
Imaging ini akan memunculkan antena bayangan yang mengakibatkan perubahan titik pusat fase
antena sehingga terjadinya kesalahan pengukuran jarak (Abidin, H.Z, 2007).
II.2.4.2. Multipath. Multipath terjadi ketika sinyal terpantul oleh benda di sekitar receiver
seperti bangunan. Hal ini mengakibatkan sinyal tertunda dan sinyal tiba di antena melalui 2 atau
lebih lintasan yang berbeda. Jadi jarak yang dihasilkan menjadi tidak akurat (McNamara, 2008).

II.3. Metode penentuan posisi dengan GNSS


Dalam penentuan posisi menggunakan GNSS, umumnya terdapat 2 metode penentuan posisi
dalam klasifikasi survei, diantaranya metode penentuan posisi secara absolut dan relatif. Metode
penentuan posisi secara absolut juga dikenal dengan point positioning dan biasanya menggunakan
data pseudorange (data kode). Hal ini menunjukkan bahwa metode ini tidak dimaksudkan untuk
pengaplikasian dengan ketelitian posisi yang tinggi. Metode ini ditujukan untuk keperluan
penentuan posisi navigasi. Berbeda jika dibandingkan dengan metode penentuan posisi secara
relatif, metode ini dapat meningkatkan ketelitian penentuan posisi. Penentuan posisi metode ini
ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya sehingga dalam
pengamatan metode ini dibutuhkan 2 receiver atau lebih (Abidin, H.Z., 1994). Satu receiver
diletakkan di titik yang memiliki koordinat sedangkan receiver lain diletakkan di titik yang akan
ditentukan posisinya. Pada metode ini, dapat mereduksi beberapa jenis kesalahan dan bias seperti
kesalahan jam receiver dan satelit, kesalahan ionosfer, kesalahan troposfer, serta kesalahan
ephemeris satelit. Kesalahan lokal seperti multipath tidak dapat dieliminir maupun direduksi.
Berikut merupakan beberapa metode penentuan posisi dengan GNSS.

Tabel II.1. Metode penentuan GNSS (Abidin, H.Z., 1994)


Absolute Differensial
Metode (menggunakan (menggunakan Titik Receiver
1 receiver) 2 receiver)
Static √ √ Diam Diam
Kinematic √ √ Bergerak Bergerak
Rapid Static √ Diam Diam (singkat)
Pseudo √ Diam Diam dan bergerak
Kinematic
Stop-And-Go √ Diam Diam dan bergerak

II.4. Pengolahan data GNSS


Hasil data pengamatan GNSS berupa data raw dengan format sesuai receiver nya. Data raw
GNSS hasil pengamatan harus diubah terlebih dahulu menjadi format RINEX jika diolah
menggunakan perangkat lunak open source seperti GeoGenius. Jika data GNSS diolah
menggunakan perangkat lunak komersial receiver yang digunakan, maka raw data dapat diolah
secara langsung. Dalam pengolahan data GNSS terdapat beberapa tahapan yang diperlukan agar
didapatkan koordinat dari titik yang akan ditentukan.

II.4.1. Pengolahan baseline

Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan menghitung vector baseline (dX, dY, dZ)
menggunakan data fase sinyal GNSS yang dikumpulkan pada dua titik ujung dari baseline yang
bersangkutan. Berikut merupakan ilustrasinya.

Gambar II.5. Hubungan antara data fase dengan vector baseline (Abidin, H.Z, 2007)

Pengolahan baseline pada umumnya dapat dilakukan secara beranting tiap baseline ke
baseline lainnnya (single baseline), dimulai dari titik base yang telah diketahui koordinatnya
hingga membentuk suatu jaringan yang tertutup. Selain itu pengolahan baseline dapat dilakukan
secara setiap sesi pengamatan dengan satu sesi terdiri dari beberapa baseline (single session, multi
baseline).
II.4.2. Perataan jaringan
Perataan jaringan bebas dan terikat terhadap data pengamatan akan digunakan perangkat
lunak pengolah data GNSS. Menurut Abidin, H.Z (1994), Perangkat lunak untuk perataan jaringan
sebaiknya dapat memberikan informasi sebagai berikut.
a. Hasil analisa statistic (chi-square atau variance ratio) terhadap parameter hasil perataan
(confidence level 95%),
b. Daftar koordinat hasil perataan,
c. Daftar baseline hasil perataan, koreksi dari baseline hasil pengamatan,
d. Analisis statistik mengenai residual baseline termasuk jika ditemukan koreksi yang besar
pada convidence interval yang digunakan,
e. Ellips kesalahan untuk setiap titik,
f. Ellips kesalahan garis.

II.5. Real Time Kinematic (RTK) GNSS


Penentuan posisi secara RTK merupakan metode yang sedang berkembang saat ini dan
mempunyai kemampuan penentuan posisi secara real time dengan ketelitian hingga fraksi (cm).
Metode ini menggunakan konsep pengamatan relatif dengan menggunakan data fase yang
posisinya diperoleh secara diferensial saat pengamatan secara real time yang dikirimkan dari base
ke rover. RTK merupakan metode yang akurat untuk penentuan posisi secara real time dengan
menggunakan diferensial data kode dan data fase. Ada 3 komponen penting dalam pengukuran
menggunakan metode RTK.
II.5.1. Stasiun referensi
Stasiun ini terdiri dari receiver dan antenna base station yang berfungsi untuk mengirimkan
koreksi data fase ke rover. Stasiun ini berlaku pada pengukuran RTK menggunakan metode radio
Ultra Height Frequency (UHF) maupun NTRIP.
II.5.2. Stasiun rover
Stasiun ini memiliki fungsi untuk mengidentifikasi satelit – satelit pada daerah yang sedang
dilakukan pengukuran dan menerima koreksi diferensial data fase dari stasiun referensi (base).
II.5.3. Data link diferensial
Komponen ini berfungsi mengirimkan data diferensial dan koreksi data fase dari stasiun
referensi ke stasiun rover melalui radio modem. Kecepatan radio modem dan band frekuensi pada
stasiun referensi dan stasiun rover harus sama agar proses pengiriman data tidak ada kendala.
Berikut merupakan jenis spektrum frekuensi radio komunikasi (Wibawa, 2015) yang
dimanfaatkan dalam survei GNSS-RTK.
II.5.3.1. Ultra Height Frequency (UHF). Bekerja pada frekuensi antara 300 Mhz sampai 3
Ghz dengan panjang gelombang antara 10 cm sampai dengan 1 m.
II.5.3.2. Very Height Frequency (VHF). Bekerja pada frekuensi antara 30 Mhz dengan
panjang gelombang antara 1 m sampai dengan 10 m.
II.5.3.3. Height Frequency (HF). Bekerja pada frekuensi antara 3 Mhz sampai 30 Mhz
dengan panjang gelombang anatara 10 m sampai dengan 100 m.

Anda mungkin juga menyukai