Anda di halaman 1dari 23

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan
dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup
bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas
hidup itu sendiri.1)
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan
pertumbuhan yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap
lingkungan alam dan lingkungan sosial.2).
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya
alam sering kali tanpa memperdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan
memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Masalah –
masalah ini dapat di minimalisir dengan di berlakukannya Hukum Lingkungan di suatu
Negara.

B. Tujuan
Makalah ini di buat bertujuan memenuhi tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Hukum Lingkungan.
1 Page

C. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini kita lebih memahami dan mengeti
mengenai Hukum Lingkungan Nasional.

1 )
 Kementerian Lingskungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta,
2004, hal. 29
2 )
Nabil Makarim, Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 1

1
Bab II

ISI

A. Pengertian Hukum Lingkungan


Dalam literatur bahasa Inggris hukum lingkungan disebut environmental law. Orang
belanda menyebutnya milieurecht, sedangkan Jerman menyebutnya umweltrecht,
Perancis menamainya droit environment. Malaysia dengan bahasa Melayu member
nama hukum alam sekitar, suatu istilah berbau harfiah. Semua istilah pelbagai bahasa
bermaksud untuk menunjukkan bagian hukum yang bersangkutan dengan lingkungan
fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran, pengurasan dan perusakan
(verontreininging, uitputting en aantasting) lingkungan (fisik)1.

Jadi, pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak
menyangkut lingkungan social. Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan Bali
oleh turis asing yang membanjiri daerah itu
Akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala social, aeperti
pertambahan penduduk, migrasi, dan tingkah laku sosial dalam memproduksi,
mengkonsumsi dan rekreasi
Menurut munadjat danusaputro hukum lingkungan adalah hukum yang mendasari
penyelenggaran perlindungan dan tata pengelolaan dan tata peningkatan ketahanan
lingkungan.

Hukum lingkungan adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam dalam arti
seluas – luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup
pengelolaan lingkungan.2
2

1. Th. Drupsteen, Milieurecht, hlm 4


Page

2. Th. Drupsteen, Ibid., hlm. 3


3. Th. Drupsteen & C.J, Kleins Wijnobel. Handhaving van Milieu door Middel van Civiel, administratief
strafrecht. Opstellen over het milleu strafrecht, hlm 35
Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah – kaidah tentang perilaku
masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara
langsung kepada masyarakat, hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa
yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada masyarakat adalah memberikan
landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat. 3

2
Jadi jika disimpulkan hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berorientasi untuk kesejahteraan
manusia, baik bagi generasi sekarang maupun masa yang akan datang.

Masalah lingkungan semakin lama semakin besar, meluas dan serius, bila diumpamakan
seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung sebesar kelereng tetapi
setelah sampai di kaki gunung sebesar apa yang tidak diperkirakan oleh manusia.

Begitu juga persoalan lingkungan bila kita lihat secara sepintas, maka kerusakan
lingkungan mungkin tidak seberat yang apa kita pikirkan, tetapi bila kita rangkai
kerusakan lingkungan satu dengan yang lainnya akan terbentang suatu kerusakan yang
sangat merusak ekosistem , dan dampak kerusakan lingkungan tidak hanya merupakan
tanggungjawab dari suatu wilayah (regional) tetapi bisa menjadi suatu tanggung jawab
nasional, trans-nasional, dan bahkan global.
Hal ini disebabkan dampak dari kerusakan lingkungan tidak hanya berkait pada satu
atau dua segi saja, tetapi kait mengkait sesuai dengan sifat lingkungan yang memiliki
multi mata rantai relasi yang saling mempengaruhi secara subsistem.

Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbagai aspek lainnya akan
mengalami dampak atau akibat pula contoh yang mudah di lihat adalah pembakaran
hutan yang berakibat pada polusi udara dan sudah merambah ke negara tetangga.
Sekarang masalah lingkungan tidak lagi dikataka sebagai masalah yang semata-mata
bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat signifikan
secara variabel bagi peristiwa-peristiwa lingkungan, dan tidak dapat disangkal lagi
bahwa masalah-masalaha lingkungan yang lahir dan berkembang karena faktor manusia
jauh lebih besar dan rumit terutama dengan populasi manusia yang semakin besar
pertumbuhannya tidak diiringi dengan pertumbuhan lingkungan yang tidak signifikan.

Berkaitan dengan manusia sebagai faktor penyebab terjadiya masalah hukum, maka
3

perlu adanya suatu upaya hukum yang dapat menjadi landasan dalam melakukan
Page

penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan lingkungan.

B. Ruang Lingkup Hukum Lingkunganh


a. Adat

Pemberdayaan negara atas hak konstitusional masyarakat hukum adat dapat


menangkal terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat hukum adat
Indonesia dapat mencegah terjadinya kerusakan hutan seperti banjir dan tanah
longsor yang disebabkan illegal loging.

3
Ajaran kearifan tata pengelolaan tradisional yang dianut masyarakat hukum adat
membuat mereka senantiasa menjaga lingkungan hidup dan hutan karena telah
lama menyatu dengan alam. Keberadaan masyarakat hukum adat ini juga telah ada
jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, maka sudah sepantasnya
masyarakat hukum adat diperhatikan dan diakui.

Masyarakat hukum adat yang tersebar di wilayah Indonesia mencapai 20.000


kelompok. Dari jumlah tersebut yang baru terdata oleh Komnas Ham sebanyak 6300
kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1000 kelompok
di wilayah Bali.

Masyarakat hukum adat memiliki hak-hak yang dilindungi Undang-undang. Selain


hak individu yang berkaitan dengan kedudukan sebagai warga negara mereka juga
memiliki hak kolektif terutama yang berkaitan dengan tanah hak ulayat. Hak
tersebut sering terlanggar terutama oleh pihak swasta dan pemerintah yang
berkepentingan. Pelanggaran terhadap hak mereka sering dibarengi dengan
pelanggaran hak asasi manusia.

Pelanggaran juga dilakukan oleh negara dengan terbentuknya Perundang-


undangan di bidang Pertanahan. Perundangan tersebut melanggar hak tradisional
masyarakat hukum adat, terutama yang berkaitan dengan hak atas tanah ulayat
sehingga menimbulkan konflik pertanahan. Hak masyarakat hukum adat atas tanah
ulayat juga semakin terpinggirkan ketika Indonesia membuka diri pada modal asing
tanpa perhatikan masyarakat hukum adat dengan terbentuknya Undang-undang
Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967.

Pemerintah tidak melibatkan masyarakat hukum adat dalam pengambilan


keputusan terkait dengan tanah ulayat. Apabila akan ada pengelolaan sumber daya
alam dan hutan yang menjadi bagian dari tanah ulayat, masyarakat hukum adat
tidak diperhatikan dan cenderung dianggap tidak ada. Itu disebabkan adanya
kepentingan baik swasta dan pemerintah dalam pengelolaan yang dominan tanpa
memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat.
4

Padahal serangkaian jaminan hukum atas masyarakat hukum adat telah


Page

terumuskan. Secara normatif hak tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor


39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I
ayat (3) amandemen kedua UUD 1945.

UUD 1945
Pasal 18B ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adapt
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.

4
Pasal 28I ayat (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.

Sesuai pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstisusi, masyarakat hukum adat mendapat hak untuk menjadi
pemohon kepada Mahkamah Konstitusi jika hak kostitusional mereka terlanggar
oleh suatu undang-undang. Selain itu mereka juga memiliki legal standing untuk
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri.

Hukum internasional pun sejatinya memberikan legitimasi perlindungan terhadap


masyarakat hukum adat pada deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Hukum Adat
yang juga telah diterima Dewan HAM PBB pada Juni 2006 lalu. Pada peraturan
tersebut disebutkan masyarakat hukum adat perlu mendapatkan perlindungan
hukum lebih karena masuk ke dalam golongan masyarakat rentan.

Namun hak yang dimiliki masyarakat hukum adat baru dapat terlaksana bila
keberadaan mereka dilegalkan. Dalam Pasal 203 ayat (3) dan penjelasan pasal 204
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah secara implisit
disebutkan keberadaan masyarakat hukum adat diakui selama telah ditetapkan oleh
Perda. Apabila tidak ditetapkan Perda, lanjut Bahar maka mereka hanya berstatus
sebagai masyarakat hukum adat secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara
hukum.

Berdasarkan data Komnas HAM dari 20.000 jumlah masayarakat hukum adat,
hanya tiga yang telah disahkan oleh pemerintah melalui Perda sebagaimana
ditetapkan dengan Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat
masyarakat Badui di wilayah Banten, Perda Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa
Pakraman sebagai desa adat dan Perda kabupaten Kampar Riau tentang
perlindungan hak tanah ulayat. Keadaan tersebut menyulitkan masyarakat hukum
adat lain dalam memperjuangkan hak-haknya terutama dalam mencegah illegal
loging, penambangan dan pengelolaan hutan yang merusak lingkungan.
5

Untuk mengatasi masalah itu kita tidak bisa secara pasif dan menunggu
Page

disahkannya masyarakat hukum adat dalam Perda. Harus dilakukan upaya aktif
melalui berbagai cara diantaranya pengukuhan eksistensi masyarakat hukum adat
dengan dibentuknya komunitas yang mewakili kepentingan mereka.

Sementara ini telah dibentuk Sekretariat Bersama Lembaga Adat Rumpun Melayu
se-Sumatera. Rencananya juga akan dibuat komunitas secara nasional melalui
Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat.
Deklarasi bersama masyarakat hukum adat juga telah dilakukan untuk menegaskan
keberadaan dan hak-hak mereka.

5
Fasilitasi lembaga masyarakat diperlukan dalam menjembatani komunikasi antara
masyarakat hukum adat dan pemerintah untuk mempertemukan keinginan
masyarakat adat dalam melestarikan alam dan keinginan pemerintah serta swasta
untuk mengkonservasi alam. Penyadaran kepada masyarakat hukum adat juga perlu
dilakukan mengingat sebagaian besar masyarakat hukum adat saat ini masih
terbelakang dan tidak menyadari hak-haknya. Sehingga sampai saat ini belum
terdapat kasus hukum yang diajukan mereka terkait perlindungan lingkungan hidup.
Sementara menunggu disahkannya tiga rancangan undang-undang tentang
masyarakat hukum adat sebaiknya Indonesia meratifikasi konvensi ILO yang
melindungi Masyarakat Hukum adat.

b. Administrasi
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten
sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum,
dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan
hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan
penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai
tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas
(ultimum remedium).

Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana
lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah
menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan
suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan
pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran
dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah
diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan
dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang
dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun
6

upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan
Page

hukum pidana lingkungan hidup.

Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang


bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang
berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif
dan mengurangi dampak negatif.

Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah


ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan

6
ini di sebut dengan kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu
kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari
Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian
memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor
23 tahun 1997.

Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi


(kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan
hukumnya. Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu
kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang
merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang.
Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh
pemerintah.

Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat


dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam
pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang berbunyi :

Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan


terhadap penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan
mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan
oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /
atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan,
kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.

Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati /
Walikotamadya / kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat
7

yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud


Page

pada ayat (1) dan ayat (2).

Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
didahulukan dengan surat perintah dari pejabat berwenang.

Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.

7
Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran
mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap
kehidupan manusia. Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga
pemerintah harus dilaksanakan.

Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas

Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem
tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia
untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan.
Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban
pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah
salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan
pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.

Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam


penegakan hokum lingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang
(paksaan pemerintahan) diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari
pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum
administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh
para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali
keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan
kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada
suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila
keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan
menurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).
8 Page

c. Keperdataan
Dalam aspek hukum perdata, pencemar dan/atau perusak lingkungan wajib
membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu (Pasal 34 UUPLH 1997).
Pada saat melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan
tertentu itu.

Seperti telah disadari bahwa akibat terbesar dari pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan, umumnya tidaklah secara langsung dipikul oleh manusia, tetapi oleh

8
lingkungan itu sendiri. Baru kemudian nantinya mengena pada manusia sebagai
akibat ketidakmampuan lingkungan mendukung kehidupan manusia di alam.

Penyelesaian sengketa dalam aspek hukum perdata berupa ganti rugi umumnya
didasarkan atas:

(a) Tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal


1243 KUH Perdata;

b.Perbuatan melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 1365 KUH


Perdata.
Pada kasus perdata, prinsip yang digunakan pada umumnya adalah "liability based
on fault". Prinsip ini mensyaratkan proses pembuktian kesalahan dari pencemar
dibebankan pada korban pencemaran/ penggugat. Dengan demikian penggugat
baru akan memperoleh ganti rugi jika ia berhasil membuktikan adanya unsur
kesalahan dari pihak pencemar/tergugat. Kesalahan merupakan unsur yang
menentukan pertanggungjawaban, dengan demikian jika tidak terbukti bersalah,
maka tidak ada kewajiban membayar ganti kerugian.

Sedangkan bagi usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kewajibannya


menimbulkan:

(a) dampak besar dan penting terhadap lingkungan;

(b) menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/ atau

(c) menghasilkan limbah B3.

maka seluruh usaha dan kegiatan ini bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian
yang ditimbulkannya.
Selanjutnya penjelasan Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa
tanggung jawab mutlak atau strict liability berarti unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh penggugat. Tanggung jawab mutlak ini merupakan "lex specialis"
9

dari perbuatan melanggar hukum pada umumnya, yaitu liability based on fault.
Page

Dengan demikian prinsip tanggung jawab mutlak tidak diperlakukan secara umum
pada semua kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/ atau perusakan
lingkungan hidup.

Tanggung jawab mutlak tidak berlaku jika pencemaran dan/atau perusakan


lingkungan hidup terjadi disebabkan oleh:

(a) adanya bencana alam atau peperangan;

(b) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; dan

9
(c) tindakan pihak ketiga.

d. Kepidanaan

Penegakan hukum pidana lingkungan dapat berupa preventif dan represif. Penegakan
hukum pidana lingkungan yang bersifat preventif adalah penegakan hukum sebelum
terjadinya pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini erat kaitannya
dengan masalah administrasi lingkungan, yaitu : pemberian izin. Dalam pemberian izin
usaha, pemerintah hendaknya memperhatikan dampak social dan dampak lingkungan
hidup yang akan timbul dari kegiatan usaha tersebut. Sedangkan penegakan hukum
pidana lingkungan yang bersifat represif adalah penegakan hukum setelah terjadinya
pencemaran lingkungan hidup. Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum secara
preventif harus lebih diutamakan, karena penanggulangan akibat pencemaran melalui
penegakan hukum represif memerlukan biaya yang sangat besar. Di samping itu
kerugian yang akan diderita oleh lingkungan sebagai akibat dari pencemaran, tidak
mungkin dapat dipulihkan kembali dalam waktu yang cepat.Koesnadi berpendapat
bahwa upaya penegakan hukum lingkungan yang harus dilakukan lebih dahulu adalah
yang bersifat compliance, yaitu pemenuhan peraturan, atau penegakan hukum
preventifnya dengan pengawasannya
Sementara itu, penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus pencemaran lingkungan
perlu memperhatikan asas subsidaritas sebagai berikut: sebagai penunjang hukum
administrasi, berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas yaitu
hendaknya hukum pidana didayagunakan apabila sanksi dibidang hukum lain, seperti
10

sanksi administratif, dan sanksi perdata, dan alternative penyelesaian sengketa


Page

lingkungan hidup tidak efektif dan / atau tingkat kesalahan pelaku relative berat dan /
atau akibat perbuatannya lebih besar dan / atau perbuatannya menimbulkan keresahan
di masyarakat.
Ada tiga pendapat para pakar hukum pidana jika korporasi menjadi subjek hokum :
1. Tidak pernah memikirkan adanya eksistensi badan hukum atau korporasi.
Perbuatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi harus dipandang

10
sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi, jadi penguruslah yang
bertanggung jawab. Pendapat ini mengacu pada asas umum dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu bahwa sebuah perbuatan pidana hanya dapat
dilakukan oleh manusia ( naturlijke person ). Hal ini dapat dilihat dalam rumusan pasal
59 KUHP yang berbunyi : jika ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus,
anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas
anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan
karena kesalahannya.
2. Mengakui korporasi sebagai pembuat namun yang harus bertanggung jawab
adalah pengurusnya.
3. Mengakui bahwa korporasi dapat menjadi pembuat dan yang bertanggung
jawab. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling maju yang menganggap korporasi
sebagai subjek hukum sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Latar
belakang dari pemikiran ini, sehingga korporasi dapat dijatuhi hukuman pidana antara
lain karena ada anggapan bahwa keuntungan materi yang diperoleh oleh korporasi dari
hasil usahanya amatlah besar, maka pidana yang dijatuhkan kepada pengurus dirasa
tidak seimbang dan tidak menjamin korporasi untuk tidak mengulangi perbuatan pidana
tersebut.

Perbuatan tercela dan kejahatan terhadap lingkungan tidak hanya manusia sebagai
badan pribadi yang dapat melakukannya, akan tetapi korporasi sebagai suatu badan
hukum dapat pula melakukan perbuatan itu yang dapat menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, baik individu atau masyarakat. Ketentuan pidana dalam pasal 22 UU No. 4
11

Tahun 1982 diawali dengan kata-kata barang siapa yang menunjuk pada pengertian
Page

orang. Menurut pasal 5 ayat 2 bahwa, “ setiap orang berkewajiban memelihara


lingkungan hidup dan mencegah kerusakan dan pencemarannya”. Selanjutnya di dalam
penjelasan pasal 5 dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan pengertian orang
adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa individu maupun badan hukum dapat menjadi subjek perbuatan
pidana dalam lingkungan hidup.Pelaksanaan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

11
bertanggung jawab dalam delik lingkungan tetap harus melihat unsur kesalahan dalam
perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pembuat suatu perbuatan pidana
hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana
tersebut.
Dalam ilmu hukum hal ini kita kenal dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan ( geen
straf zoonder schuld )”. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang
yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah atau ia tidak memiliki unsur
kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya sebagai pertanggung jawaban. Untuk
menentukan adanya kesalahan pada seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab si Pembuat
2. Hubungan batin antara si Pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alas an pemaaf.
International Amnesty (2003) dan Human Rights Watch (2004) melaporkan
berbagai bisnis internasional terlibat luas dalam pelanggaran HAM di daerah
operasi mereka di seluruh dunia mulai penyiksaan pekerja, penggusuran,
penyingkiran paksa, menghambat buruh berserikat, melanggar hak-hak dasar
pekerja perempuan, mempekerjakan buruh anak, hingga mengobrak-abrik hak-
hak masyarakat adat, serta merusak lingkungan hidup.

e. Internasional
Hukum lingkungan inetrnasional adalah prinsip-prinsip yang mengatur perlindungan
12

dan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas batas negara. Sedangakan
hukum lingkungan itu sendiri adalah sekumpulan ketentuan dan prinsip-prinsip
Page

hukum yang diberlakukan untuk melindungi kepentingan pengelolaan hukum.


Dilihat dari dimensi perkembangan umat manusia, gagasan hukum lingkungan
sebenarnya bersifat korektif terhadap berbagai kesalahan yang telah dilakukan
akibat tidak ketatnya pengendalian dampak modernisasi yang antara lain, diwarnai
oleh proses industrialisasi dan perdagangan(1).

12
Tetapi persoalan lingkungan hidup ini juga dapat menekan dan mendesak negara-
negara untuk terlibat dalam kerjasama internsaional yang lebih besar. Alasan atau
latar belakangnya adalah karena degradasi (penurunan kondisi) lingkungan hidup
dapat dikatakan merupakan ancaman khusus yang bukan saja dialami oleh suatu
negara saja, tetapi merupakan ancaman bagi umat manusia secara menyeluruh.
Ancaman ini menyangkut common heritage milik bersama umat manusia yaitu
lautan, samudera, udara, lapisan ozon dan sistem iklim ynag merupakan sistem
pendukung kehidupan bagi seluruh umat manusia. Konsekuensinya adalah bahwa
pemerintah negara-negara melihat kebutuhantentang perlunya kerjasama global
dalam tatanan untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman kerusakan
lingkungan hidup yang merupakan “milik bersama” tersebut.(2)
Porter dan brown menyatakan masalah-masalah lingkungan hidup pada kenyataan
tela mendorong lebih banyak kerja sama internasional pada tahun-tahun
belakangan. Rezim Internsaional telah diterapkan pada aea tertwbtu untuk
mengatasi sejumlah isu lingkungan hidup termsauk hujan asam, penipisan ozon,
perdagangan limbah, linkungan Antartika, pemanasan global serta punahnya
keanekaragaman hayati.(3)

(1) Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009 (2)
T, May Rudy. “Ekonomi Politik Internasional; Peran Domsetik Hingga Ancaman Globalisasi”, Nuansa,
Bandung , 2007. Dalam Robert jackson dan Goerge Soerensen, Introduction to International Relations.
13

York: oxford university press, 1999


Page

(3)Ibid

Ada dua batasan ruang lingkup konflik yang relevan dengan rezim (baca: Norma atau
kaidah yang diatur dan disepakati bersama) serta perjanjian-perjanjian Internasional
(convention, treaty, declaration, action program, agreement, dan sebagainya) yang
berkaitan atau langsung mengatur mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:

13
1. Pengaturan Prioritas dan distribusi beban biaya
Persoalan distribusi biaya tanggunagn masing-masing negara untuk kegiatan
pengaturan dan pengelolaan lingkungan serta penetapan prioritas maslaha
lingkungan yang perlu segera diatasi, tergantung pada karakter isu dan
strukturkepentingan negara. Ada tiga aspek kritis dari persolan ini: Pertama, ada
kesenjangan yang tajam antara utara dan selatan dalam konsumsi sumberdaya alam
dan dalam berperan, yang secara relatif menyebabkan perusakan lingkungan hidup
pada skala global seperti pada penipisan ozon dan perubahan iklim. Kedua,
lingkungan hidup global diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan
pembangunan di masa depan bagi negara-negara Selatan (negara berkembang),
tetapi eksploitasi alam yang dilakukan negara–neagra Utara (maju) terus
berlangsung dengan tanpa pertimbangan dan aturan. Ketiga, kegagalan dalam
mempromosikan pembangunan ekonomi berkelanjutan di kawasan Selatan,
mungkin akan mengalahkan berbagai upaya pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak
Utara(4)
2. Masalah Kedaulatan
Berkaitan dengan yurisdiksi kedaultan teritorial (kedaulatan atas wilayah secara
politik, ekonomi, sosial, dan budaya) kemudian meuncul tiga isu penting. Isu
pertama adalah adanya persolaan yang menyangkut lingkungan hidup yang
berhubungan dengan masalah kedaulatan masing-masing negara (antara lain
mengenai batas laut teritorial), dan hak eksploitasi kekayaan laut (Zona Ekonomi
Eksklusif).
14

(4)T, May Rudy, “Ekonomi Politik Internasional; Peran Domestik Hingga Ancaman Globalisasi”,
Nuansa, Bandung , 2007. Dalam Andrew Hurrell dan Bendict Kingsbury, The international Politics of 
Page

The Environment: Actors, Interest, and Institution.

Muncul pertentangan dan perbedaan sikap antara mereka yang menginginkan


adanya otoritas besar yang ditetapkan oleh rezim lingkungan hidup Internasional
dengan mereka yang tidak menginginkanya. Isu kedua adalah menyangkut otoritas
pembuatan keputusan, antara lain mengenai siapa atau lembaga mana yang

14
berwenang membuat keputuasan, dan tentang prosedur pemungutan suara atau
strukur pengambilan keputusan yang paling baik seperti apa untuk mendapatkan
keputusan yang adil dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup global. Isu ketiga
adalah mengenai prinsip non-interference dalam pengelolaan lingkungan hidup oleh
masing-masing negara.
Negara-negara berkembang selama ini dituding sebagai kawasan yang menempati
garis terlemah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup global, karena
ketidakmampuannya dalam mengimplementasikan kebijakan lingkungan yang
efektif.(5) Namun ironisnya, jarang untuk dipersoalkan tentang masih banyaknya
kegiatan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan pencemaran udara oleh
negara-negara maju yang jelas-jelas telah merusak lingkungan hidup.
Sumber-Sumber Hukum Lingkungan Internasional Yang Terdiri Atas(6):
1. International Treaty, perjanjian internasional yang dihasilkan melalui konfernsi-
konferensi internsaional di bidang lingkungan hidup, baik yang bersifat legally
binding maupun nonlegally binding telah menjadi landasan pemberlakuan
ketentuan perlindunag nlingkunah di tingkat global. Perjanjian-perjanjian
internasional antara lain, dihasilkan di dalam Konferensi Stockholm 1972,
Konferensi Bumi 1992, konferensi bumi untuk pembangunan berkelanjutan
2002, dan lain-lain. Perjanjian internasioal di bidang lingkungan hidup lebih
penting, baik bagi sebagai sumber utama hukum lingkungan internasional
maupun nasional
15

(5) Ibid.
(6) Adji Samekto, Op.Cit. hal 118
Page

2. General Principles of Law, prinsip-prinsip hukum umum merupakan prinsip-prinsip


hukum yang didasarkan pada prinsip hukum dari Eropa Barat pada abad ke-19 yang
didasarkan pada pinsip-prinsip hukum romawi. Prinsip hukum (umum) tersebut,
antara lain, asas bertetangga baik (good neighbourliness) dan prinsip
pertanggungjawaban negara (state responsibility).

15
3. Judgements and the Teachings of highly Qualified Writers, keputusan-keputusan
hakim dalam kasus-kasus hukum internasional (Yurisprudensi) juga menjadi sumber
hukum internasional walaupun kedudukannya merupakan sumber hukum
tambahan. Contoh kasus lingkungan the trail smelter. Dari keputusan kasus tersebut
yang diputus pada tahun 1934. Dari keputusan kasus tersebut lahirlah prinsip dalam
hukum lingkungan, yaitu suatu negara di dalam wilayahnya tidak boleh melakukan
tindakan sedemikian rupa sehingga merugikan negara lain. Prinsip hukum tersebut
kemudian diadopsi sebagai salah satu prinsip dalam deklarasi stockholm 1972. Selain
itu pendapat (ajaran) penulis-penulis terkemuka di dalam hukum (lingkungan)
Internasional juga bisa menjadi sumber hukum tambahan.
4. Soft Law, hasil-hasil kesepakatan Internasional yang tidak bersifat Legally Binding.
Kesepakatan yang dimaksud, misalnya deklarasi-deklarasi yang dihasilkan dalam
konferensi internasional yang membahas perlindungan lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini bisa dicontohkan, Deklarasi Stockholm
1972, Dekalaasi Rio 1992, Forest Principles 1992, dan Agenda 21. Ketentuan
tersebut walau secara formal disebut bersifat Nonlegally Binding, di dalam faktanya
sangat diperhatikan untuk dijadikan landasan ketentuan hukum nasional.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional untuk Perlindungan Lingkungan adalah Sebagai
Berikut(7):
16Page

(7) Adji Samekto, Op.Cit hal 119

1. General Prohibition to Pollute Principle, prinsip ini menentukan bahwa pada


prinsipnya suatu negara dilarang untuk melakukan tindakan di dalam negerinya
sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan di
tingkat global.

16
2. The Good Neighbourliness Principle, prinsip ini menentukan bahwa suatu negaradi
dalamnya tidak boleh melakukan tindakan di dalam negerinya sedemikian rupa
sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan pada negara lain.
3. The Prohibition of Abuse of Rights, prinsip ini menentukan bahwa negara tidak
boelh menyalahgunakan haknya utnuk melakukan tindakan yang pada akhirnya
dapat menjelaskan terjadinya kerusakan lingkungan secara global.
4. The Duty to Prevent Pinciple, prinsip ini menentukan bahwa setiap negara
berkewajiban untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh
melakukan peniaan terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal dari kejadian
di dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
5. The Duty to Inform Principle, prinsip ini menentukan bahwa setiap negara harus
melakukan kerja sama Internasional dalam mengatasi kerusakan lingkungan global
melalui kerjasama internasional dengan saling memberikan informasi tentang
penyebab kerusakan dan cara menanggulangi kerusakan lingkungan global.
6. The Duty to Negotiate and Cooperate Principle, prinsip ini menentukan bahwa
negara harus bekerja sama dan melakukan negoisasi untuk menyelesaikan kasus
lingkungan yang menyangkut dua negara atau lebih. Prinsip ini merupakan
penjabaran penyelesaian sengketa secara damai dalam hukum Internasional.
7. Intergenerational Equity Principle, prinsip ini diterjemahkan sebagai prinsip
keadilan antar generasi. Prinsip ini menentukan bahwa generasi sekarang tidak
boleh melakukan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam sedemikian ruapa
sehingga generasi mendatang tidak memperoleh kesempatan yang sama.
17Page

C. Peraturan Undang – Undang Sebelum UULH


a. Hinder Ordonantie
Dewasa ini jenis perizinan yang erat hubungannya dengan pencemaran lingkungan
hidup adalah izin usaha yang diatur dalm Ordonasi Ganggunan (Hinder Ordonantie
Stb. 1926 No. 226 yang diubah atau ditambah , terakhir ditambah dengan Stb. 1940
No.450). sebelum berlakunya undang – undang No. 4 tahun1982 tentang Ketentuan

17
– ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), ordonansi Gangguan ini
dapat dianggap sebagai salah satu peraturan yang berhubungan langsung dengan
masalah pencemaran lingkungan di Indonesia. Maslahnya adalah setelah berlakunya
UULH pada tahun 1982 dan beebagai peraturan pelaksanaannya, apakah HO masih
relevan?
HO hanya dilaksanakan terbatas oleh Daerah Tingkat II Kota Madya atau Kabupaten.
Padahal dengan kemajuan teknologi akhir – akhir ini, variasi dan intensitas
pencemaran lingkungan juga meningkat. Pencemaran lingkungan, baik dalam bentuk
cair, padat, maupun udara dapat menyebar kemana – mana. Dengan kata lain
pencemaran tidak lagi mengenal batas wilayah.
Disamping itu, Daerah Tingkat II tidak memiliki cukup tenaga ahli yang mampu
menilai secara teknis instalasi yang bersifat rumit. Sebagai mana diketahui dalam
dewasa ini teknologi canggih yang digunakan dalam pembangunan sekarang ini,
dibutuhkan para ahli yang memiliki kemampuan menilai dampak suatu instalasi yang
canggih terhadap lingkungan.
HO hanya ditujukan kepada bahaya, kerusakan atau gangguan yang timbul dari
tempat usaha. Jadi sember pencemaran selain pabrik tidak terjangkau oleh HO,
misalnya kendaraan bermotor, alat pemanas ruangan dan lain – lain. Kelemahan lain
adalah HO merupakan ordonansi yang bersifat individual, artinya ditujukan kepada
gangguan yang ditimbulkan oleh perusahaan secara mandiri dan tidak terhadap
beban derita yang dibuat oleh pencemar secara kolektif. Akibatnya dalam
pemberian ijin tidak dipetimbangkan antara pencemar yang dihasilkan oleh satu
perushaan dengan perusahaan lainnya.
Penutupan perusahaan sebagai sanksi HO tidak fakultatif yang berarti harus juga
diterapkan pad penyimpangan – penyimpangan kecil. Oleh kerana itu tidak ada
hubungan yang layak antara sarana paksa dan beratnya perbuatan yang dilakukan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa HO sudah tidak sesuai lagi dalam era
pembangunan dewasa ini karena adanya beberapa kelemahan, sehingga untuk itu
perlu adanya penyempurnaan atau bahkan pencabutan.
18

Saat ini kedudukan HO telah di gantikan oleh UU No. 23 Tahun 1997 dan PP No. 27
Page

tahun 1999 tntang analisis dampak lingkungan.


Tujuan utama diterbitkannya undang – undang No. 23 Tahun 1997 adalah agat
tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan
lingkungnnya, terjaminnya kepentingan generasi sekarang dan yang akan dating,
tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, terkendalinya pemanfaatan sumber
daya secara bijaksana, terlindunginya NKRI terhadap dampak usaha.

b. Gevaarlijk Stoffen Ordonantie

18
Gevaarlijk stiffen ordonantie adalah ordonantie bahan berbahaya. Latar belakang
yang mendasari dikeluarkannya peraturan mengenai limbah B3 adalah bahwa proses
pelaksanaan pembangunan di Indonesia dilakukan melalui rencana pembangunan
jangka panjang yyang bertumpu di bidang industry. Pembangunan industry di satu
bidang menghasilkan produk yang bermanfaat tetapi juga menghasilkan bahan
buangan (limbah) yang berbahaya bagi lingkungan sekitar. Oleh karena itu pelu
adanya peraturan tentang pengolahan limbah B3.
Pengertian pengolahan limbah B3 adalah meliputi proses penyimpanan,
pengangkutan, pengolahan limbah B3 serta penimbunan hasil pengolahan tersebut.
Peraturan yang mengatur tentang pengolahan limbah B3 anttara lain

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG


PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 18 Tahun 2009 tentang tata cara perizinan
pengelolaan limbah berbahaya dan beracun.

D. Undang – Undang Lingkungan Hidup


a. Sejarah UULH
Sebelum dikeluarkannya UULH, sebenarnya telah banyak peraturan yang mengatur
tentang lingkungan hidup, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah colonial Hindia
Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia. Produk hukum pemerintah
colonial ini masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal II aturan Peralihan Undang –
undang Dasar 1945. Berbagai peraturan tentang lingkungan hidup tersebut masih
bersifat sektoral, menyebar dan tidak lengkap, serta banyak yang tidak dapat
dijalankan lagi karena sudah tidak sesuai dengan prinsip – prinsip lingkungan hidup
yang dikembangkan saat ini.
Paraturan perundang – undangan yang mengatur pokok – pokok kebijaksanan di
bidang lingkungan secara menyeluruh dan peraturan perundang – undangan
19

sektoral yang dilengkapi peraturan pelaksanaan serta tata cara pelembagaannya


perlu dikembangkan lebih cepat, agar kesimpang siuran wewenang dan tanggung
Page

jawab dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup dapat di kurangi.
Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan
pengembangan pertanian, dimana produsen selaku perusak lingkungan potensial
dan di kalangan konsumen selaku penderita kerusakan potensial. Untuk itu perlu
dikembangkanperaturan perundangan sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan
kesadaran lingkungan.
Upaya untuk menyusun Rancangan Undang – undang lingkunganhudup telah
dirintis oleh Panitia Perumus Kebijakan sejak tahun 1976.
19
Usaha kea rah penyusunan RUULH semakin intensif dengan dibentuknya Kelompok
Kerja Pembinaan Hukum dan aparatur dalam Pengelolaan sumber alam dan
lingkungan hidup pada bulan Maret 1979.
Pada bulan april 1979 kelompok kerja telah menyusun suatu konsep awal RUU
tentang Pengelolaan Lingkungaan Hidup. Kemudian dalam rangka memantapkan
dan menyempurnakan konsep awal telah diadakan berbagai pertemuan dengan
berbagai kalangan untuk mendapatkan masukan.
Pada tanggal 16 – 18 maret 1981 di puncak Bogor diadakan rapat antar Departemen
untuk membahas naskah RUU yang telah di siapkan oleh kelompok kerja.
Berdasarkan hasil pembicaraan telah diadakan perombakan naskah RUU tersebut.
Pada tanggal 21 Maret menteri Negara PPLH mengirimkan konsep RUU hasil
pembahasan kepada para menteri yang di wakili dalam rapat antar departemen
untuk meminta persetujuan.
Berdasarkan saran para menteri, konsep RUU tersebut diperbaiki dan disampaikan
kepada menteri sekretaris Negara pada tanggal 3 Juli 1981.
Pada tanggal 14 Nopember 1981, kepala Biro Hukum dan perundang – undangan
sekretaris Kabinet mengirimkan naskah konsep RUU yang telah diperbaiki kepada
beberapa menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut.
Hasil perbaikan akhir kemudian diajukan kepda Presiden dan dengan surat presiden
tertanggal 12 Januari 1982 RUU diserahkan kepada DPR.
Badan musyawarah DPR memutuskan untuk membentuk PANSUS guna menangani
RUU Lingkungan Hidup tersebut.
Pada tanggal 23 Januari 1982 menteri Negara PPLH menyampaikan keterangan
pemerintah tebtang RUU Lingkungan Hidup. Kemudia pada tanggal 2 Februari 1982
dilakukan pemandangan umum oleh fraksi – fraksi di DPRsedangkan jawaban
pemerintah tentang pemandangan umum disampaikan pada tanggal 15 Februari
1982. Selanjutnya rapat – rapat Pansus diadakan tanggal 17 sampai dengan 20
Februari 1982 secara terus menerus dn pada tanggal 22 Februari 1982 Pansus
menyetujui hasil perumusan Tim Perumus yang dibentuk oleh Pansus.
20

Dalam siding paripurna pada tanggal 25 Februari 1982, secara aklamasi RUU LH hasil
Page

Pansus di setujui. Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1982, telah disahkan undang –
undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan – ketetuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan penendatanganan Bapak Presiden Indonesia dan
diundangkan pada hari yang sama dengan penempatannya dalam lembaran Negara
Republik Indoneia Tahun 1982 Nomor 12.
Denikian sejarah yang melatar belakangi terbentuknya UU No. 4 Thun 1982 Tentang
Ketentuan – ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup atau yang lebih dikenal
dengan Undang – Undang Lingkungan Hidup (UULH).

20
b. Fungsi UULH
UULH hanya memuat asas – asas dan prinsip – prinsip pokok bagi pengelolaan
lingkungan hidup, maka ia berfungsi sebagai paying, yaitu payung bagi penyusunan
peraturan perundang – undangan yang akan dibentuk. Selain daripada itu, ia juga
berfungsi sebagai paying untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan
perundang – undangan yang memuat segi – segi lingkungan hidup yang kini telah
berlaku.
Dengan demikian UULH harus mampu menjadi dasar dan landasan bagi
pembentukan peraturan perundang – undangan tentang lingkungan
hidup,disamping secara khusus memberikan arah serta ciri – cirinya terhadap
semua jenis tata pengaturan lingkungan hidup. Dengan demikian peraturan
perundang – undangan itu dapat terangkum semua di dalam suatu system hukum
lingkungan Indonesia.

c. Asas – asas dan pengertian dasar

Dalam undang – undang Lingkungan hidup terdapat tiga asas terpenting, yaitu :
1). Asas prevensi (prevention principle)
2). Asas pencemar membayar (polluters pay principle)
3). Asas kerja sama (cooperation principle)
Ketiga asas tesebut secara tersirat dan tersurat terdapat dalam UULH. Asa prevensi
dan kerja sama tercantum di dalam pasal 5 yang rinciannya sebagai berikut:
Ayat (1) : Semua orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
Ayat (2) : semua orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (3) ; semua orang mempunyai hak berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
21

Pasal 14 mengenai pelestarian fungsi lingkungan hidup yang pada ayat 1


Page

mengatakan : untuk menjamin fungsi lingkungan hidup setiap usaha dan /atau
kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan criteria baku mutu dan criteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Asas pencemar membayar, atau barang siapa yang melakukan pencemaran,
perusakan dan pengurasan lingkungan berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memperbaiki, membayar ganti kerugian atau biaya pemulihan lingkungan, yang
tercantum dalam Pasal 34 UULH.

21
Adapun asas kerjasama tercantum dalam pasal 18 ayat (1) pasal itu berbunyi :
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu
oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin oleh seorang menteri dan di atur oleh
perundang – undangan.
Asas kerjasama dengan seluruh masyarakat diatur dalam pasl 6 ayat (1) yang
mengatakan : setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Selain ketiga asas itu, dikenal pula :
1). Asas pembangunan berwawasan lingkungan atau biasa disebut pembangunan
berkesinambungan (sustainable development). Asas ini berarti dalam pembangunan
harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Pembangunan berwawasan
lingkungan tercantum dalam pasal 4 yang terdiri dari butir a sampai dengan butir f.
butir c mengatakan : terjaminnya generasi masa kini dan generasi masa depan. Juga
dalam penafsiran autentik yang tercantum dalam pasal 1, yang pada butir 3
dikatakan: pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber
daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan , kesejahteraan
dan mutu generasi masa kini dan generasi masa depan.
2). Asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
(Pasal 3)
22Page

Bab III

Penutup

A. Kesimpulan

22
Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang berorientasi untuk kesejahteraan manusia, baik bagi
generasi sekarang maupun masa yang akan datang.
Hukum lingkungan memiliki lingkup yang sangat luas, yaitu termasuk dalam hukum
adat, hukumpidana, hukum perdata dan hukum internasionl
Hukum lingkungan terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
teknologi. Hukum lingkungan terbagi menjadi dua yaitu hukum lingkungan modern dan
hukum lingkungan klasik.
Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna
mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari
kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat
secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-
generasi mendatang.
Hukum Lingkungan Klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan
terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya
lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal
mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

B. Saran
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk
melaksanakannya. Penetpan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih
diuji dengan pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai
pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan,
Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak
lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
23Page

23

Anda mungkin juga menyukai