Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM PERUSAHAAN

MATERI GO PRIVATE PERUSAHAAN

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H. , SU

Ni Putu Purwanti, S.H., M.H

Nama : Dewa Gede Indra Jaya

NIM : 1704551014

Kelas : A / Reguler Pagi

Matkul : Hukum Perusahaan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
A. Definisi Go Private Perusahaan

Terkait dengan definisi go private, Black’s Law Dictionary menterjemahkan go


private is the process of changing a public corporation by terminating the corporation’s
status with securities exchange commission as a publicly held corporation and by having its
outstanding publicly held shares acquiered by a single shareholder or a small group. Dengan
demikian, sesungguhnya go private itu sendiri adalah aksi korporasi yang merupakan
“kebalikan” dari tindakan go public. Artinya, perusahaan terbuka berubah menjadi
perusahaan tertutup. Dalam go public suatu perusahaan menjual sahamnya kepada publik,
sehingga menjadi perusahaan terbuka. Sebaliknya, tindakan go private adalah perusahaan
terbuka statusnya menjadi perusahaan tertutup. Untuk itu, maka perusahaan terbuka itu harus
melakukan pembelian kembali sahamnya yang telah beredar di Bursa Efek Indonesia.
Sehingga dengan demikian, maka pemegang sahamnya yang semula perusahaan publik
adalah tiga ratus menjadi berubah pemegang sahamnya minimal dua pemegang saham sesuai
dengan ketentuan Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Foley & Lardner LLP, alasan suatu
perusahaan terbuka melakukan go private adalah karena merasa terbebani oleh biaya-biaya
yang harus dikeluarkan dan kewajiban-kewajiban sebagai perusahaan terbuka. Adapun biaya
dan kewajiban tersebut antara lain adalah tingginya biaya konsultan hukum dan akuntansi,
biaya penyelenggaraan RUPS, kewajiban memenuhi peraturan pasar modal, kesibukan
melayani analis surat berharga, dan keterbatasan untuk melakukan transaksi dengan pihak
afiliasi. Beberapa dari alasan tersebut tentunya mengundang perdebatan karena justru hal-hal
itulah yang merupakan penunjang pelaksanaan prinsip good corporate governance.

B. Latar Belakang Perusahaan Melakukan Go Private

Terdapat dua alasan umum yang melatarbelakangi sebuah perusahaan melakukan


proses go private. Pertama, karena force delisting (penghapusan paksa). Perusahaan yang
beralih status menjadi perusahaan tertutup bisa dikarenakan force delisiting oleh BEI.
Biasanya, perusahaan2 yang terkena force delisting adalah perusahaan2 yang memiliki
catatan kinerja keuangan yang sangat buruk, kemampuan menghasilkan profit rendah,
ancaman terkena likuidasi, perusahaan terkena suspen berkepanjangan dan masalah keuangan
yang berkepanjangan. Manajemen perusahaan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah-
masalah keuangannya, sehingga reputasi perusahaan menjadi buruk di mata investor. Atas
alasan kinerja keuangan yang buruk dan ketidakmampuan manajemen inilah, perusahaan
diharuskan keluar dari anggota bursa oleh BEI.

Kedua, voluntary delisting (keluar secara sukarela). Alasan kedua perusahaan go


privat adalah karena atas dasar keinginan perusahaan. Perusahaan yang ingin go privat secara
sukarela ini alasannya ada macam-macam.

Pada umumnya, perusahaan yang memilih go privat adalah perusahaan yang sangat
sehat, likuid, dan mampu menghasilkan kenaikan profit yang berkesinambungan. Karena
perusahaan sudah dalam kondisi yang mapan, perusahaan memilih untuk go privat, karena
dengan menjadi perusahaan tertutup perusahaan tidak perlu melaporkan kewajiban-kewajiban
dan pengungkapan kepada publik. Selain itu, perusahaan juga tidak diwajibkan untuk
membayar dividen pada pemegang saham.

Sebaliknya, perusahaan memilih go privat bisa juga dikarenakan kondisi kinerjanya


yang terus memburuk. Dengan kondisi kinerjanya yang buruk otomatis perusahaan tidak bisa
memuaskan kepentingan pemegang saham. Ketika kinerja buruk dan perusahaan masih
berstatus Tbk, perusahaan tetap harus mengungkapkan kewajiban2nya (seperti penyampaian
laporan keuangan tepat waktu) kepada publik. Sehingga, hal ini justru akan membebani
manajemen perusahaan.

Sehingga, dengan go privat, kewajiban perusahaan berkurang, serta tidak perlu


mengeluarkan biaya2 terkait pengungkapan. Dengan go privat perusahaan juga lebih leluasa
untuk recovery bisninya, tanpa ada "beban" tuntutan dari investor. Alasan lain perusahaan
memilih go privat adalah untuk menghindari pengambilalihan secara paksa oleh pihak lain.

Selain dua faktor utama di atas, terdapat faktor-faktor lain yang melatarbelakangi
sebuah perusahaan untuk melakukan go privat. Adapun faktor lain tersebut antara lain;
Pertama, menjadi perusahaan terbuka tidaklah mudah di dalam menjalankan seluruh
ketentuan Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia. Kedua, selain itu juga banyaknya
laporan-laporan yang harus dipenuhi oleh emiten atau perusahaan publik, Khususnya laporan
keuangan, yaitu empat kali dalam tahun, termasuk harus melakukan keterbukaan informasi
setiap peristiwa yang material kepada publik dalam jangka dua hari kerja.

Untuk itu, maka keinginan emiten atau perusahaan publik untuk kembali menjadi
perusahaan tertutup (go private) adalah sebagai salah satu strategi emiten atau perusahaan
publik mencari jalan keluar terhadap kedua masalah tersebut. Di Indonesia, go private
pertama kali dilakukan pada tahun 1996, yaitu pada tindakan go private PT Praxair Indonesia
Tbk. Setelah PT Praxair Indonesia, Tbk, beberapa perusahaan terbuka lain yang melakukan
go private antara lain adalah PT Pfizer Indonesia, Tbk. (2002), PT Miwon Indonesia, Tbk.
(2002), PT Indocopper Investama Tbk. (2002), PT Bayer Indonesia, Tbk. (2003), PT Central
Proteinaprima Tbk. (2004), PT Surya Hidup Satwa, Tbk. (2004), PT Indosiar Visual Mandiri
Tbk. (2004), PT Multi Agro Persada, Tbk. (2005), dan PT Komatsu Indonesia, Tbk. (2005).

C. Dasar Hukum Go Private

Hingga saat ini belum ada pengaturan khusus go private. Namun demikian, di terdapat
beberapa ketentuan yang dapat dijadikan landasan hukum melakukan go private, di antaranya
adalah :

a. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas [UUPT]. Pasal 21 ayat (2) huruf g
menentukan bahwa status perseroan yang tertutup dapat menjadi perseroan terbuka atau
sebaliknya. Untuk itu, maka perseroan harus mendapatkan persetujuan dari RUPS dan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman RI [Pasal 19 ayat (1) juncto Pasal 21 ayat (1)
UUPT]. UU PT melalui pasal 37 ayat (1) UUPT juga mengatur ketentuan tentang
larangan modal dan kekayaan perseroan yang digunakan go private akan menjadi lebih
kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah
disisihkan. Masalah perlindungan terhadap para pemegang saham yang merasa dirugikan
dengan adanya go private telah juga diatur dalam pasal 61 dan pasal 62 UUPT sebagai
dasar pijakan hukumnya. Dengan adanya ketentuan ini semuanya telah menunjukkan
bahwa memang secara normatif kemungkinan mengubah badan hukum dari terbuka
menjadi tertutup dan impilikasinya telah diakomodasi dengan baik oleh UUPT.

b. Beberapa peraturan Bapepam-LK. Ketentuan yang berlaku dalam go private adalah


Pertama, Peraturan IX.E.1. tentang Benturan Kepentingan dan Kedua, Peraturan IX.F.1.
tentang Tender Offer Sukarela. Pertama, go private yang terdapat mengandung benturan
kepentingan, maka ketentuan Bapepam-LK mewajibkan emiten atau perusahaan publik
untuk mengacu kepada peraturan tersebut. Untuk itu, maka dengan ketentuan itu, meski
tidak memiliki mayoritas, pemegang saham independen yang tidak setuju dengan proses
go private dapat menghalanginya. Peraturan ini diperlukan di dalam rangka untuk
perlindungan terhadap pemegang saham independen. Menurut Peraturan No. IX.E.1
mensyaratkan bahwa go private hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS
pemegang saham independen yang dihadiri 50% saham yang dimiliki pemegang yang
dimiliki pemegang saham independen dan disetujui oleh 50% saham yang dimiliki oleh
pemegang saham independen. Kedua, dalam hal go private telah disetujui oleh para
pemegang saham independen, maka harus dilakukan penawaran tender oleh pemegang
saham perusahaan untuk membeli saham yang dimiliki pemegang saham publik. Tata
cara dan prosedur Penawaran Tender diatur dalam Peraturan No. IX.F.1. Peraturan No.
IX.F.1 mensyaratkan harga penawaran tender dalam rangka go private harus lebih tinggi
dari dua harga berikut: (a). Harga penawaran tender tertinggi yang diajukan sebelumnya
oleh pihak yang sama dalam jangka waktu 180 hari sebelum pengumuman dan b). Harga
pasar tertinggi atas efek dalam jangka waktu 90 hari terakhir sebelum pengumuman

c. Peraturan Bursa Efek Indonesia. Sebagai emiten atau perusahaan publik yang telah
tercatat di Bursa Efek Indonesia, maka dalam hal terjadi go private berlaku juga ketentuan
yang diatur dalam peraturan Bursa Efek Indonesia. Ketentuan yang berlaku dalam go
private adalah delisting. Peraturan I-I tentang Penghapusan Pencatatn [Delisting] dan
Pencatatan Kembali [Relisting] Saham di Bursa. Delisting adalah penghapusan
pencatatan dari daftar saham di bursa dikarenakan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan
di bursa tersebut. Pada saat perusahaan melakukan go private akan diikuti dengan
tindakan delisting oleh Bursa Efek Indonesia. Pada saat perusahaan yang berstatus
terbuka mengubah statusnya menjadi perusahaan terutup, maka saham perusahaan yang
tadinya tercatat di bursa dihapuskan dari daftar saham yang dapat diperdagangkan.
Delisting itu sendiri adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh bursa efek untuk
mengeluarkan emiten dari bursa. Untuk itulah, maka harus ada permohonan dari
perusahaan tercatat kepada Bursa Efek Indonesia. Bursa Efek Indonesia dapat dilakukan
dengan syarat-syarat: (1). Delisting dapat dilakukan jika telah tercatat di Bursa setelah
tercatat sekurang-kurangnya 5 tahun; (2). Rencana delisting tersebut telah memperoleh
persetujuan RUPS perusahaan tercatat; dan (3). Perusahaan tercatat atau pihak lain yang
ditunjuk, wajib membeli saham yang tidak menyetujui keputusan RUPS.

Di samping wajib untuk memperhatikan ketiga ketentuan tersebut di atas, maka


Emiten atau Perusahaan Publik juga wajib menyampaikan agenda RUPS kepada Bapepam-
LK dan Bursa Efek Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bapepam
IX.I.1 sebagai pedoman pelaksanaan RUPS. Dalam RUPS yang berhak menentukan
persetujuan go private untuk menyetujui atau menolak rencana go private tersebut adalah
pemegang saham independen. Pemegang saham independen adalah pemegang saham publik
yang tidak terafiliasi atau tidak termasuk di dalam group usaha atau pemegang saham utama
dari emiten atau perusahaan publik.

Syarat ini adalah wajar ada, karena waktu pertama kali emiten atau perusahaan publik
berubah menjadi perusahaan terbuka yang membeli dan menjadikannya adalah juga pihak
pemegang saham independen, maka sama halnya dalam hal tertutup, maka yang berhak untuk
menentukan go private adalah juga seharusnya pemegang saham independen. Sebuah
keadilan keputusan RUPS yang berusaha ditegakkan oleh regulator Bapepam-LK yang di
dalamnya terkandung kesetaraan perlakuan melalui RUPS yang berpihak kepada penentu
awal dan pengadil akhir berubahnya bentuk badan hukum tersebut yaitu pemegang saham
independen.

D. Prosedur Go Private

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, maka secara umum prosedur yang


harus dilalui dalam proses go private adalah sebagai berikut :

a. Memperoleh persetujuan RUPS pemegang saham independen.

Pertama- tama, perusahaan yang hendak go private wajib menyampaikan agenda


RUPS Independen mengenai rencana go private beserta draft Surat Edaran bagi Pemegang
Saham kepada Bapepam, selambat-lambatnya 7 hari sebelum pemberitahuan. Agenda RUPS
biasanya mencakup rencana delisting, perubahan status perusahaan dari terbuka menjadi
tertutup serta perubahan anggaran dasar terkait, yang secara satu kesatuan biasanya disebut
sebagai rencana go private. Salah satu agenda penting yang juga harus diperhatikan adalah
agenda penunjukkan Penilai Independen oleh Pemegang Saham Independen untuk
melakukan penilaian atas Efek/ saham Perseroan. Mengingat bahwa go private dilakukan
melalui penawaran tender atas saham perusahaan, maka informasi mengenai rencana go
private sangat mempengaruhi harga saham Perseroan. Untuk menghindari fluktuasi harga,
Perseroan dapat mengajukan permohonan suspend perdagangan saham kepada bursa efek
dimana perusahaan dicatat.
Pemberitahuan akan adanya RUPS Independen dan Surat Edaran kepada para
pemegang saham (Pengumuman) harus diumumkan dalam surat kabar selambatlambatnya 28
hari sebelum RUPS. Surat Edaran antara lain mencakup alasan dan latar belakang rencana go
private, penilaian pihak independen atas saham Perseroan, pihak yang akan melakukan
penawaran tender, harga penawaran yang direncanakan serta ketentuan-ketentuan RUPS
dalam rangka go private. Panggilan untuk menghadiri RUPS juga harus diumumkan melalui
surat kabar dan dilakukan selambat-lambatnya 14 hari sebelum RUPS. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, sebelum bulan September 2005, persetujuan dari pemegang saham
independen dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bapepam No. IX.E.1 tentang
Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Pada proses go private PT Komatsu Indonesia
Tbk. bulan September 2005 ketentuan persetujuan pemegang saham independen ini mengacu
pada Surat Bapepam No. S-2432/PM/ 2005 perihal Rencana Go Private PT Komatsu
Indonesia Tbk. Dalam surat tersebut Bapepam menyatakan bahwa dalam rangka persetujuan
go private, RUPS Independen harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 75% Pemegang Saham
Independen, dan harus disetujui oleh lebih dari 50% total Pemegang Saham Independen
Perseroan.

b. Melakukan Penawaran Tender

Setelah memperoleh persetujuan dari pemegang saham independen, maka


pelaksanaan go private wajib dilakukan melalui penawaran tender. Prosedur dan tata cara
penawaran tender diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender.
Adapun harga yang digunakan, disamping mengacu pada Peraturan Bapepam No. IX.F.1 juga
harus mengacu pada Surat Bapepam No. S-2432/PM/2005 tanggal 5 September 2005, dan
Peraturan BEJ No. I-1. Sebagaimana diungkapkan di atas, peraturan- peraturan tersebut
memberikan patokan mengenai harga-harga minimum yang harus dijadikan acuan dalam
menentukan harga realisasi penawaran tender. Karenanya, acuan-acuan harga tersebut tidak
bertentangan namun bersifat saling melengkapi.

c. Paska Penawaran Tender

Apabila setelah penawaran tender masih terdapat pemegang saham yang tidak setuju
dengan proses go private perusahaan, maka sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang
No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pasal 55 angka 1, Perusahaan wajib
mengusahakan untuk membeli saham yang dimiliki pemegang saham tersebut. Pembelian
tersebut dapat dilakukan oleh pemegang saham utama dan dapat pula oleh perusahaan
sendiri. Apabila perusahaan memilih untuk membeli sendiri saham tersebut maka wajib
mengikuti peraturan yang terkait dengan pembelian kembali saham. Demikianlah gambaran
singkat mengenai peraturan yang terkait dengan proses go private.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses go private adalah bagaimana
menentukan batasan bahwa suatu perusahaan sudah menjadi perusahaan tertutup. Undang-
Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal memberikan definisi mengenai emiten dan
perusahaan publik, namun Undang-Undang tersebut belum memberikan definisi yang jelas
mengenai perusahaan tertutup ataupun perusahaan terbuka. Batasan mengenai perusahaan
tertutup atau perusahaan terbuka sangat diperlukan untuk menentukan kapan kewajiban dari
suatu perusahaan sebagai perusahaan terbuka akan berakhir.
Daftar Pustaka

Surat Edaran Sehubungan dengan Rencana Delisting dan Perubahan Status PT Komatsu
Indonesia Tbk dari Perusahaan Terbuka menjadi Perusahaan Tertutup

Ary Suta, I Putu Gede, 2002, Menuju Pasar Modal Modern, Yayasan Sad Satria Bakti,
Jakarta

Foley & Lardner LLP, Why and How to Go Private

Laporan Tahunan Bapepam tahun 2002, 2003 dan 2004.

Prospektus IPO PT Komatsu Indonesia

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Anda mungkin juga menyukai