Anda di halaman 1dari 47

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Low Back Pain Non Spesifik

LBP adalah nyeri yang dirasakan pada daerah punggung bawah, dapat

berupa nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa di antara

sudut iga bagian bawah sampai lipatan bokong bawah yaitu daerah lumbal dan

lumbosacral (Kasjono, 2017).

LBP non spesifik adalah nyeri punggung bawah yang disebabkan oleh

gangguan atau kelainan pada unsur muskuloskeletal tanpa disertai dengan

gangguan neurologis antara vertebra thorakal 12 sampai dengan bagian bawah

pinggul atau anus yang mana dapat timbul akibat adanya potensi kerusakan jaringan

pada dermis, pembuluh darah, fasia, muskulus, tendon, kartilago, tulang, ligamen,

meniscus, dan bursa (Paliyama, 2003).

2.1.1 Anatomi Fungsional Kolumna Vertebra Lumbalis

2.1.1.1 Columna Vertebralis

Struktur columna vertebralis terdiri dari 33 tulang belakang yang dibagi

menjadi 7 tulang servikal, 12 tulang torakal, 5 tulang lumbal 5 tulang sacrum yang

menyatu, dan 3 atau 4 koksigeal yang masing-masing memiliki diskus

intervertebralis. Tulang belakang membentuk persendian dengan 12 pasang kosta

di daerah torakal, cranium pada bagian atas tulang belakang disendi

atlantooksipitalis, dan pelvis pada sendi sakroiliaka (Kisner, 2014).

12
13

Vertebra lumbal terletak di region punggung bawah antara region thoracal

dan sacrum. Vertebra lumbal berjumlah lima, di atas bersendi dengan thoracal ke

12 dan di bawah bersendi dengan tulang sacrum. Vertebra lumbal dibentuk oleh

corpus yang berfungsi sebagai penyangga berat badan. Korpus vertebra dipisahkan

oleh discus intervertebralis dan ditahan serta dihubungkan satu dengan yang lain

oleh ligamentum. Processus spinosus merupakan bagian dari vertebra bagian

posterior yang bila diraba terasa seperti tonjolan, terutama berfungsi sebagai tempat

melekatnya otot-otot panggul, dimana processus spinosus berbentuk tipis, lebar,

dan tumpul dengan pinggir atas mengarah kearah bawah dan kearah dorsal.

Processus tranversus terletak pada kedua sisi corpus vertebra dan sedikit kearah

atas dan bawah dari processus spinosus, yang berbentuk datar dan seperti sayap

pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal

dan bulat puntung. Foramina vertebralis lumbalis berbentuk segitiga, ukurannya

sedikit lebih besar dari milik vertebra thorakalis tapi lebih kecil dari vertebra

servikalis (Magee, 2006).

Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan

dengan pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior dan

processus articularis inferior. Processus articularis superior bersendi dengan

processus articularis inferior vertebra atas membentuk facet joint, dan processus

articularis inferior bersendi dengan processus articularis superior vertebra bawah

membentuk facet joint. Bentuk permukaan facet joint akan mencegah atau
14

membatasi gerakan yang berlawanan arah dengan permukaan facet joint (Magee,

2006).

7 Tulang
Cervical

12 Tulang
Torakal

5 Tulang
Lumbal

5 Tulang
Sakrum
5 Tulang
koksigeal

Gambar 2.1
Kolumna Vertebralis, Tampak Depan, Belakang dan Samping
(Putz and Pabst, 2001)

2.1.1.2 Diskus intervertebralis

Diskus intervertebralis, terdiri dari annulus fibrosus dan nucleus pulposus,

adalah salah satu komponen dari tiga kompleks sendi diantara dua vertebra yang

berdekatan. Struktur diskus menentukan fungsi dari diskus. Pada diskus

intervertebralis, cincin anular menutupi nucleus pulposus, yang memberikan

mekanisme untuk menghilangkan gaya kompresi. Sedangkan orientasi lapisan-

lapisan annulus memberikan tahanan tarikan pada diskus saat bergerak keberbagai

arah (Kisner, 2014).


15

Anulus fibrosus merupakan bagian luar diskus terbentuk dari lapisan tebal

serabut kolagen dan fibrokartilago. Struktur ini membantu menahan gerakan spinal

seperti ligament yang kompleks. Annulus menempel dengan kuat ke vertebra yang

ada didekatnya, dan lapisannya saling menempel dengan kuat satu sama lain.

Anulus fibrosus ditopang oleh ligament longitudinal anterior dan posterior (Kisner,

2014).

Nucleus pulposus merupakan bagian tengah diskus normalnya berisi

massa gelatinosa, tetapi serabutnya yang tersusun longgar menyatu dengan lapisan

annulus fibrosus yang terdalam. Nucleus pulposus pada vertebra lumbal letaknya

lebih kebatas posterior dari pada kebatas anterior annulus. Kumpulan proteoglikan,

normalnya memiliki konsentrasi yang tinggi pada nucleus yang sehat, memiliki

daya tarik air yang tinggi. Kerja cairan yang diikat oleh nucleus berfungsi untuk

menyebarkan tekanan secara merata diseluruh diskus dan dari satu korpus vertebra

ke korpus berikutnya dalam kondisi mendapat pembebanan (Kisner, 2014).

Gambar 2.2
Diskus Intervertebralis (Kisner, 2014)
16

2.1.1.3 Ligamen vertebra lumbal

Stabilisasi vertebra lumbal terutama terdiri dari bentuk tulang vertebra dan

ligament sebagai stabilisasi pasif serta otot sebagai stabilisasi aktif. Pada gerak

fleksi dibatasin oleh ligament interspinosus, dan supraspinosus, ligament kapsular,

ligament flavum, dan ligament longitudinal posterior. Pada gerak extensi dibatasi

oleh ligament longitudinal anterior. Pada gerak lateral fleksi dibatasi oleh ligament

intertransversus kontralateral, ligament flavum, dan ligament kapsular. Sedangkan

pada gerak rotasi dibatasi oleh ligament kapsular (Kisner, 2014).

Gambar 2.3
Ligament Vertebra Lumbal (Ishak, 2015)

2.1.1.4 Otot vertebra lumbal

Otot pada tulang belakang tidak hanya bertindak sebagai penggerak utama

atau sebagai antagonis terhadap gerakan yang disebabkan oleh gravitasi selama

aktivitas dinamis tetapi juga sebagai stabilisator penting bagi tulang belakang.

Tanpa aktivasi stabilitas dinamis dari otot trunk, tulang belakang akan jatuh ke

posisi tegak. Stabilisasi otot yang mengontrol tulang belakang adalah otot

superficial (global) dan otot profunda (segmental) (Kisner, 2014).


17

1. Otot superficial (global)

Otot global atau superfisial, letaknya lebih jauh dari aksis gerak, melintasi

beberapa segmen vertebra. Otot global berfungsi untuk menghasilkan gerakan dan

memberikan fungsi guy wire yang lebar, pembebanan komprehensif pada kontraksi

yang kuat. Otot global pada daerah lumbal adalah rektus abdominis, oblikus

eksternus dan internus, quadratus lumborum (bagian lateral), erector spine,

iliopsoas (Kisner, 2014).

M. Obliquss
Externus M. Rectus Abdominis
Abdominis
M. Obliquss M. Transversus
Intenus Abdominis
Abdominis

Gambar 2.4
Otot superficial (Global) (Schunke, 2002)

2. Otot profunda (segmental)

Otot profunda berada lebih dekat ke aksis gerak, dan melakat pada setiap

segmen vertebra. Otot profunda berfungsi mengontrol gerakan segmental dan

persentase yang lebih besar pada serabut otot tipe I untuk daya tahan otot. Otot
18

profunda pada daerah lumbal adalah tranversus abdominis, multifidus, quadratus

lumborum (bagian profunda), rotator profunda (Kisner, 2014).

M. Rotatores
Thoracis Longi
M. Spinalis M. Rotatores
Thoracis Brevis

M. Transversus
M. Quadratus
Abdominis
Lumborum
M. Multifidus

Gambar 2.5
Otot profunda (segmental) (Schunke, 2002)

2.1.1.5 Biomekanik segmen gerak lumbal

1. Fleksi

Gerak fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis dan m. psoas. Pada saat

fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak ke arah posterior. Pada saat yang

sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser ke arah

superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari

vertebra bagian bawah (Magee, 2006).

2. Ekstensi

Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut

annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen


19

longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal

posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian

bawah dan atas menjadi saling terkunci, sehingga processus spinosus dapat saling

bersentuhan satu sama lain (Magee, 2006).

3. Lateral Fleksi

Gerak lateral fleksi dilakukan oleh m. quadratus lumborum dan otot-otot

pada anterolateral abdomen. Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian

atas akan bergerak ke arah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami

ketegangan karena nukleus bergeser ke arah kontralateral. Ligamen intertransversal

sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat

yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus

articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara

sisi kontralateral akan bergerak turun (Magee, 2006).

4. Rotasi

Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas akan berotasi terhadap

vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi

antara processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis

tidak berperan dalam gerakan axial rotasi (Magee, 2006).

2.1.2 Epidemiologi Low Back Pain Non Spesifik

LBP merupakan masalah kesehatan yang penting, di negara maju

maupun di negara berkembang. LBP menghasilkan kerugian sosial ekonomi,


20

masalah kesehatan klinis, yang menyebabkan hambatan untuk melakukan suatu

pekerjaan. Dalam kasus LBP epidemiologi mempunyai beberapa peran penting

dalam menyelidiki berbagai faktor resiko pada LBP, dampak dari tindakan

pencegahan dan intervensi pada LBP, serta mengidentifikasi bagian-bagian

populasi yang memiliki resiko terbesar dari sebab-sebab kesehatan agar tindakan

yang ditujukan dapat diarahkan dengan tepat. Oleh karena itu, perlu diperhatikan

masalah metodologis dalam studi epidemiologi LBP.

Penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri Perhimpunan

Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI) pada 14 rumah sakit pendidikan di Indonesia,

pada bulan Mei tahun 2002 menunjukan bahwa jumlah penderita nyeri sebanyak

4.456 orang (25% dari total kunjungan), dimana 1.589 orang (35,86%) penderita

nyeri punggung bawah (Alviani, 2016).

Dilihat dari data yang dikumpulkan dari penelitian Pusat Riset dan

Pengembangan Pusat Ekologi Kesehatan, Departemen Kesehatan yang melibatkan

800 orang dari 8 sektor informal di Indonesia menunjukkan keluhan LBP dialami

oleh 31,6% petani kelapa sawit di Riau, 21% perajin wayang kulit di Yogyakarta,

18% perajin onix di Jawa Barat, 16% penambang emas di Kalimantan Barat, 14,9%

perajin sepatu di Bogor dan 8% perajin kuningan di Jawa Tengah. Selain itu, perajin

batu bata di Lampung dan nelayan di DKI Jakarta menderita keluhan LBP masing-

masing 76,7% dan 41,6% (Alviani, 2016).

Hasil studi Laboratorium Pusat studi Kesehatan dan Ergonomi ITB pada

tahun 2006 – 2007 diperoleh data bahwa sebanyak 40-80% pekerja melaporkan
21

keluhan LBP sesudah melakukan aktivitas seperti mengangkat, menurunkan,

mendorong, menarik, menahan, mambawa atau memindahkan beban dengan satu

tangan atau kedua tangan dan atau dengan pengerahan seluruh badan (Alviani,

2016).

Salah satu pekerjaan yang memiliki resiko tinggi terjadinya LBP adalah

petani. Data BPS hingga tahun 2010 tercatat tenaga kerja petani di Indonesia

mencapai 107,4 juta orang. Berdasarkan survey awal yang dilakukan, didapatkan

data 30% petani mengeluh menderita nyeri punggung bawah. Didapatkan 90%

kasus nyeri punggung bawah bukan disebabkan oleh kelainan organik, melainkan

oleh kesalahan posisi tubuh dalam bekerja. Prevalensi penyakit musculoskeletal

tertinggi berdasarkan pekerjaan adalah pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2

% (Riskesdas, 2013).

Hasil penelitian di Kawangkoan Utara, Sulawesi Utara menunjukkan

bahwa petani yang melakukan posisi kerja dengan tingkat resiko sedang berjumlah

17 orang (81,0%), dan tingkat resiko tinggi berjumah 4 orang (19,0%) dan petani

yang mengalami keluhan musculoskeletal dengan tingkat resiko rendah berjumlah

3 orang (14,3%), tingkat resiko sedang berjumlah 17 orang (81,0%), dan tingkat

resiko tinggi berjumah 1 orang (4,7%) (Malonda, 2016).

2.1.3 Klasifikasi Low Back Pain

Menurut Silvia (2015) LBP disebabkan oleh berbagai kelainan atau

perubahan patologik yang mengenai berbagai macam organ atau jaringan tubuh.
22

Oleh karena itu beberapa ahli membuat klasifikasi yang berbeda atas dasar

kelainannya atau jaringan yang mengalami kelainan tersebut. Klasifikasi LBP

sebagai berikut:

1. Viserogenik: LBP yang bersifat viserogenik disebabkan oleh adanya proses

patologik di ginjal atau visera di daerah pelvis, serta tumor retroperitoneal.

2. Neurogenik: LBP yang bersifat neurogenik disebabkan oleh keadaan patologik

pada saraf yang dapat menyebabkan LBP.

3. Vaskulogenik: Aneurisma atau penyakit vaskular perifer dapat menimbulkan

LBP atau nyeri yang menyerupai iskemi

4. Psikogenik: LBP psikogenik pada umumnya disebabkan oleh ketegangan jiwa

atau kecemasan, dan depresi, atau campuran antara kecemasan dan depresi.

5. Spondilogenik: LBP spondilogenik ini ialah suatu nyeri yang disebabkan oleh

berbagai proses patologik di kolumna vertebralis yang terdiri dari unsur tulang

(osteogenik), diskus intervertebralis (diskogenik), dan miofasial (miogenik),

dan proses patologik di artikulasio sakroiliaka.

6. Kongenital, misalnya faset tropismus (asimetris), kelainan vertebra misalnya

sakralisasi, lumbalisasi, dan skoliosis serta sindrom ligamen transforamina

yang menyempitkan ruang untuk jalannya nervus spinalis hingga dapat

menyebabkan LBP.

7. Trauma dan gangguan mekanik: Trauma dan gangguan mekanik merupakan

penyebab utama LBP. Orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau

sudah lama tidak melakukannya dapat menderita LBP akut, atau melakukan
23

pekerjaan dengan sikap yang salah dalam waktu lama akan menyebabkan LBP

kronik. Hal yang sama juga bisa didapatkan pada wanita hamil, orang gemuk,

memakai sepatu dengan tumit terlalu tinggi. Trauma dapat berbentuk lumbal

strain (akut atau kronik), fraktur (korpus vertebra, prosesus tranversus),

subluksasi sendi faset (sindroma faset), atau spondilolisis dan spondilolistesis.

8. Radang (inflamasi), misalnya artritis rematoid dan spondilitis ankilopoetika

(penyakit Marie-Strumpell)

9. Tumor (neoplasma): Tumor menyebabkan LBP yang lebih dirasakan pada

waktu berbaring atau pada waktu malam. Dapat disebabkan oleh tumor jinak

seperti osteoma, penyakit paget, osteoblastoma, hemangioma, neurinoma,

meningioma. Atau tumor ganas, baik primer (mieloma multipel) maupun

sekunder: (metastasis karsinoma payudara, prostat, paru tiroid ginjal dan lain-

lain). Metastasis tumor ganas sangat sering ke korpus vertebra karena banyak

mengandung pembuluh darah vena. Tumor-tumor ini merangsang ujung-ujung

saraf sensibel dalam tulang dan menimbulkan rasa nyeri lokal atau menjalar ke

sekitarnya, dan dapat terjadi fraktur patologik.

10. Gangguan metabolik: Osteoporosis dapat disebabkan oleh kurangnya

aktivitas/imobilisasi lama, pasca menopouse, malabsorbsi/intake rendah

kalsium yang lama, hipopituitarisme, akromegali, penyakit Cushing,

hipertiroidisme/tirotoksikosis, osteogenesis imperfekta, gangguan nutrisi

misalnya kekurangan protein, defisiensi asam askorbat, idiopatik, dan lain-lain.

Gangguan metabolik dapat menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps korpus


24

vertebra hanya karena trauma ringan. Penderita menjadi bongkok dan pendek

dengan nyeri difus di daerah pinggang.

11. Degenerasi, misalnya pada penyakit spondylosis (spondyloarthrosis

deforman), osteoartritis, hernia nukleus pulposus (HNP), dan stenosis spinal.

12. Kelainan pada alat-alat visera dan retroperitoneum, pada umumnya penyakit

dalam ruang panggul dirasakan di daerah sakrum, penyakit diabdomen bagian

bawah dirasakan didaerah lumbal.

13. Infeksi: Infeksi dapat dibagi ke dalam akut dan kronik. LBP yang disebabkan

infeksi akut misalnya: disebabkan oleh kuman pyogenik (stafilokokus,

streptokokus, salmonella). LBP yang disebabkan infeksi kronik misalnya

spondilitis TB (penyakit Pott), jamur, osteomielitis kronik.

14. Problem psikoneurotik: LBP karena problem psikoneuretik misalnya

disebabkan oleh histeria, depresi, atau kecemasan. LBP karena masalah

psikoneurotik adalah LBP yang tidak mempunyai dasar organik dan tidak

sesuai dengan kerusakan jaringan atau batas-batas anatomis, bila ada kaitan

LBP dengan patologi organik maka nyeri yang dirasakan tidak sesuai dengan

penemuan gangguan fisiknya.

2.1.4 Etiologi Low Back Pain

Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terjadi

pada tulang belakang, otot, diskus intervertebralis, sendi, maupun struktur lain yang
25

menyokong tulang belakang. Menurut Fauci AS et al tahun 2008, Kelainan tersebut

antara lain:

1. Kelainan kongenital/kelainan perkembangan: spondilosis dan spondilolistesis,

kiposkoliosis, spina bifida, gangguan korda spinalis.

2. Trauma minor: regangan, cedera whiplash.

3. Fraktur: traumatik-jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atraumatik-

osteoporosis, infiltrasi neoplastik, steroid eksogen.

4. Herniasi diskus intervertebral.

5. Degeneratif: kompleks diskus-osteofit, gangguan diskus internal, stenosis

spinalis dengan klaudikasio neurogenik, gangguan sendi vertebral, gangguan

sendi atlantoaksial (misalnya arthritis reumatoid).

6. Arthritis: spondilosis, artropati facet atau sakroiliaka, autoimun (misalnya

ankylosing spondilitis, sindrom reiter).

7. Neoplasma – metastasis, hematologic, tumor tulang primer.

8. Infeksi/inflamasi: osteomyelitis vertebral, abses epidural, sepsis diskus,

meningitis, arachnoiditis lumbalis.

9. Metabolik: osteoporosis-hiperparatiroid, imobilitas, osteosklerosis (misalnya

penyakit paget).

10. Vaskular: aneurisma aorta abdominal, diseksi arteri vertebral.

11. Lainnya: nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, pura-pura

sakit, sindrom nyeri kronik.


26

12. Miofacial Pain

Nyeri myofascial adalah gangguan nyeri otot yang dimana intensitas

nyeri dapat berubah dari hari ke hari dan biasanya diperburuk oleh postur tubuh

yang statis, gerakan berulang, stres, kurang tidur, dan ketidakseimbangan gizi, dan

pasien mengeluhkan nyeri dan keterbatasan gerak pada daerah lumbal (Kisner,

2014).

Nyeri myofascial pada punggung bawah sering dikenal dengan LBP

Miogenik. Penyebab terjadinya LBP miogenik, dikarenakan penggunaan otot yang

berlebihan terjadi pada saat mempertahankan tubuh dalam posisi statik atau posisi

yang salah dalam jangka waktu yang cukup lama dimana otot-otot di daerah

punggung akan berkontraksi untuk mempertahankan postur tubuh yang normal atau

pada saat aktivitas yang dapat menimbulkan beban mekanik yang berlebihan pada

otot-otot punggung bawah, misalnya mengangkat beban yang berat dengan posisi

yang salah atau tubuh membungkuk dengan lutut lurus dan jarak beban jauh dari

tubuh (McGill, 2002).

Kelainan LBP miogenik dapat disebabkan karena beberapa faktor

sebagai berikut:

a. Ketegangan otot

Ketegangan otot dapat timbul disebabkan oleh sikap tegang yang konstan

atau berulang-ulang pada posisi yang sama sehingga akan memendekan otot-otot

yang akhirnya menimbulkan nyeri. Nyeri juga dapat timbul karena regangan yang
27

berlebihan pada perlengketan otot terhadap perlengketan otot terhadap tulang

(McGill, 2002).

b. Spasme

Spasme otot disebabkan oleh gerakkan yang tiba-tiba dimana jaringan

otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang/kaku/kurang pemanasan. Spasme otot

ini memberi gejala yang khas dengan adanya kontraksi otot akan disertai rasa nyeri

yang hebat. Setiap gerakkan akan memperberat rasa nyeri sekaligus menambah

kontraksi (McGill, 2002).

c. Defisiensi Otot

Defisiensi otot dapat disebabkan oleh kuranganya latihan sebagai akibat

dari tirah baring yang lama maupun immobilisasi (Caitow, 2010).

d. Otot yang Hipersensitif

Otot yang hipersensitif akan menciptakan satu daerah kecil (trigger

point) yang apabila dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri ke daerah tertentu.

Titik trigger point ini bila ditekan akan menimbulkan rasa nyeri (Caitow, 2010).

2.1.5 Faktor Resiko Low Back Pain Non Spesifik

Menurut Dagenais et al (2012), faktor risiko terjadinya LBP adalah

faktor sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status

perkawinan semuanya telah diidentifikasi sebagai faktor risiko timbulnya LBP.

Demikian pula, faktor pekerjaan seperti bekerja berlebihan, bekerja sendiri, empati

pengawas, aktivitas monoton atau repetitif, dan kontak yang terlalu lama terhadap
28

aktivitas fisik berat termasuk mengangkat, membawa, dan melakukan pekerjaan

secara manual, juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk LBP.

Faktor kesehatan umum termasuk tingkat aktivitas fisik, dan timbulnya

penyakit sistemik, fisik, atau psikologis juga berperan penting dalam timbulnya

LBP. Faktor sosial ekonomi termasuk tingkat pendapatan, keterlibatan dalam

kompensasi pekerja, cedera pribadi, atau proses lainnya, dan kondisi kecacatan

tambahan juga dianggap berdampak pada tingkat keparahan atau durasi LBP.

Faktor genetik juga telah diidentifikasi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

penyakit diskus lumbar degeneratif, yang dapat menyebabkan LBP.

2.1.6 Tanda dan Gejala Low Back Pain Non Spesifik

Menurut Ratini (2015), tanda dan gejala dari LBP antara lain yakni:

1. Nyeri sepanjang tulang belakang, dari pangkal leher sampai tulang ekor.

2. Nyeri tajam terlokalisasi di leher, punggung atas atau punggung bawah

terutama setelah mengangkat benda berat atau terlibat dalam aktivitas berat

lainnya.

3. Sakit kronis dibagian punggung tengah atau punggung bawah, terutama setelah

duduk atau berdiri dalam waktu yang lama.

4. Nyeri punggung menjalar sampai ke pantat, dibagian belakang paha, ke betis

dan kaki.

5. Ketidakmampuan untuk berdiri tegak tanpa rasa sakit atau kejang otot di

punggung bawah.
29

Tanda dan gejala nyeri punggung bawah adalah onset/waktu timbulnya

bertahap, nyeri difus (setempat) sepanjang punggung bawah, tenderness pada otot-

otot punggung bawah, LGS terbatas, tanda-tanda gangguan neurologis tidak ada.

2.1.7 Patofisiologi Low Back Pain Non Spesifik

Dari berbagai klasifikasi dan penyebab LBP yang sudah dipaparkan

sebelumnya maka rata-rata diawali dengan mechanical back. Nyeri akibat

mechanical back merupakan bentuk dari nyeri punggung akut, yang penyebabnya

akibat strain/sprain, cidera diskus dan ligamen longitudinal posterior, akibat injury

atau trauma dan sekitar 80% tanpa diketahui penyebabnya biasanya karena adanya

proses degenerasi (Murtagh, 2008).

Pada umumnya, faktor resiko dari LBP berawal dari aktivitas pekerjaan

mengangkat yang bisa terjadi di rumah, dan ditempat kerja. Aktivitas pekerjaan

mengangkat mempunyai resiko tinggi teradinya LBP. Kesalahan posisi biomekanik

dan gerakan tiba-tiba dalam aktivitas pekerjaan mengangkat merupakan faktor

resiko terbesar terjadinya injury pada diskus intervertebralis, ligament dan otot.

Pada umumnya injury pada diskus intervetebralis berawal dari adanya beban stress

atau kompresi yang besar pada diskus intervetebralis saat mengangkat barang dan

terjadi berulang kali terutama serabut annulus fibrous bagian dorsal dan ligament

longitudinal posterior karena diskus intervetebralis L5-S1 menerima regangan

paling besar pada saat membungkuk (Alemo & Sayadipour, 2008).


30

Faktor penuaan atau faktor degeneratif juga memberikan kontribusi

terjadinya injury dimana diskus semakin lemah karena adanya proses degenerasi,

dimana dirasakan nyeri hebat terutama saat gerakan membungkuk. Nyeri tersebut

akan menstimulasi otot-otot disekitanya sehingga terjadi refleks spasm pada otot-

otot erectos spine sebagai proteksi terhadap gerakan. Dengan demikian, adanya

spasme atau tightness dari otot-otot erector spine akan menghambat terjadinya

gerakan dengan kata lain LGS dari vertebra lumbalis menjadi tidak normal (Alemo

& Sayadipour, 2008).

Sebagian besar timbulnya nyeri punggung bawah dapat disembuhkan,

dan bisa kembali ke aktivitas normal. Pasien yang mengalami ketakutan untuk

bergerak sebagai respons terhadap adanya nyeri akut yang cenderung akan

berkembang menjadi LBP kronis. Dalam patofisiologis, perkembangan menjadi

LBP kronis terlebih dahulu melibatkan perubahan dalam jumlah dan pola gerakan

yang mengarah ke remodeling jaringan ikat dan kekakuan jaringan lokal meningkat.

Sensitisasi sistem saraf perifer dan pusat kemudian akan berkontribusi pada

peradangan jaringan, tekanan emosional, rasa sakit yang berhubungan dengan rasa

takut dan penurunan gerakan. Faktor psikososial tambahan seperti disfungsi

keluarga, penghasilan menengah, ketidakpuasan kerja dan seterusnya, itu dapat

menyebabkan penurunan aktivitas fisik dan lingkaran setan yang diilustrasikan

pada gambar 2.6 (Langevin, 2007).

Di kedua jaringan ikat dan sistem saraf, respons plastisitas ditandai oleh

perubahan dari waktu ke waktu dan potensi reversibilitas. Mekanisme nyeri


31

punggung bawah yang kompleks termasuk variabilitas temporal (yaitu

memudarnya gejala dan kecacatan pada nyeri punggung bawah yang berulang dan

potensi gejala eksaserbasi akut yaitu meningkatnya kondisi akut). Rasa sakit pada

nyeri akut dapat dipicu oleh situasi yang menyebabkan peningkatan inflamasi lokal

sitokin, penurunan pH jaringan atau kandungan oksigen. Pada jaringan ikat fibrosa

dan otot, darah dan aliran limfatik dapat membahayakan secara kronis oleh struktur

jaringan yang tidak teratur dan rentan terhadap aktivitas otot yang tidak biasa

(misalnya memulai aktivitas kerja atau baru memulai olahraga), atau pada kondisi

yang menyebabkan penurunan perfusi lebih lanjut seperti duduk lama. Setelah

aktivasi nociceptors lokal dimulai, mekanisme sensitisasi sistem perifer dan sentral

memperkuat radang jaringan (melalui pelepasan neurotransmiter inflamasi seperti

substansi P) dan rasa sakit yang dirasakan, yang menyebabkan tertekan, rasa takut

untuk bergerakan. Setiap eksaserbasi rasa sakit berpotensi menyebabkan

peningkatan keterbatasan gerak dan fibrosis, membuat pasien mengalami rasa nyeri

yang lebih besar (Langevin, 2007).

Gambar 2.6
Therapeutic Intervention pada kondisi LBP (Langevin, 2007)
32

Seperti yang tampak pada gambar 2.6 di atas, dapat dijelaskan bahwa

terdapat hubungan mekanisme patogen pada LBP yang dapat dianjurkan terhadap

masalah yang timbul seperti nyeri, kesulitan dan takut untuk bergerak, plastisitas

jaringan ikat, neuroplasticity, yaitu dengan menggunakan Therapeutic Intervention

non-farmakologis yang ada pada gambar (Langevin, 2007).

2.2 Analisis Gerak Petani

Petani merupakan salah satu pekerjaan yang ditekuni oleh beberapa

masyarakat di Indonesia. Petani menghabiskan waktunya diladang untuk

mencangkul, menanam dan memanen hasil tanaman. Petani di Indonesia pada

umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam melakukan pekerjaannya,

dengan kata lain petani di Indonesia masih menggunakan tenaga fisik untuk

melakukan pekerjaanya.

Pada petani ada beberapa gerakan yang dilakukan yang dapat menimbulkan

keluhan pada musculoskeletal. Gerakan atau sikap kerja yang biasanya dilakukan

oleh petani adalah berdiri, duduk, membungkuk, mengangkat dan membawa

barang.

1. Sikap kerja berdiri

Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan

ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu

ataupun kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban berat tubuh

mengalir pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya
33

gravitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua

kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan

menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota

bagian atas dengan anggota bagian bawah (Rahmaniyah, 2007).

2. Sikap kerja membungkuk

Salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam

pekerjaan adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika

bekerja. Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah

(low back pain) bila dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama. Sikap

kerja membungkuk dapat menyebabkan “slipped disks”, bila dibarengi dengan

pengangkatan beban berlebih. Prosesnya sama dengan sikap kerja membungkuk,

tetapi akibat tekanan yang berlebih menyebabkan ligament pada sisi belakang

lumbar rusak dan penekanan pembuluh saraf. Kerusakan ini disebabkan oleh

keluarnya material pada intervertebral diskus akibat desakan tulang belakang

bagian lumbar (Rahmaniyah, 2007).

3. Sikap kerja mengangkat beban

Kegiatan ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja

pada bagian punggung. Pengangkatan beban yang melebihi kadar dari kekuatan

manusia menyebabkan penggunaan tenaga yang lebih besar pula atau over exertion.

Adapun pengangkatan beban akan berpengaruh pada tulang belakang bagian

lumbar. Pada wilayah ini terjadi penekanan pada bagian L5/SI (lempeng antara

lumbar ke-5 dan sacral ke-1). Penekanan pada daerah ini mempunyai batas tertentu
34

untuk menahan tekanan. Intervertebral diskus pada bagian L5/S1 lebih banyak

menahan tekanan daripada tulang belakang. Bila pengangkatan yang dilakukan

melebihi kemampuan tubuh manusia, maka akan terjadi disc herniation akibat

lapisan pembungkus pada intervertebral diskus pada bagian L5/S1 pecah

(Rahmaniyah, 2007).

4. Sikap kerja membawa beban

Terdapat perbedaan dalam menentukan beban normal yang dibawa oleh

manusia. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dari pekerjaan yang dilakukan. Faktor

yang paling berpengaruh dari kegiatan membawa beban adalah jarak. Jarak yang

ditempuh semakin jauh akan menurunkan batasan beban yang dibawa

(Rahmaniyah, 2007).

Pada petani, posisi berdiri yang tidak ergonomi dapat memepengaruhi

terjadinya kelainan muskuloskeletal karena saat berdiri lama, otot cenderung

bekerja statis, dan menyebabkan elastisitas jaringan berkurang dan tekanan otot

meningkat sehingga timbul rasa nyeri dipunggung. Sikap duduk yang tidak

ergonomi dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada diskus, semakin

ergonomis sikap kerja duduk, kemungkinan gangguan yang akan dialami organ

viseral dan tulang punggung semakin kecil sehingga risiko terpapar nyeri punggung

menjadi rendah. Duduk yang lama menyebabkan beban yang berlebihan dan

kerusakan jaringan pada vertebra lumbal. Pada posisi duduk kerja otot lebih ringan

bila duduk membungkuk, dan dengan duduk membungkuk tekanan pada bantalan

saraf lebih besar Marras dan Krawowski (2006) dalam Kantana (2010), yang
35

menyebutkan bahwa posisi membungkuk menyebabkan otot lebih tegang. Oleh

karena orang yang bekerja dengan posisi membungkuk membutuhkan ketahanan

otot yang besar, hal ini menyebabkan pembebanan pada tulang belakang menjadi

lebih besar dan meningkatkan risiko LBP. Pekerja yang bekerja mengangkat dan

membawa beban berat setiap hari, maka tulang belakangnya akan terus mengalami

penekanan sehingga lama kelamaan sikap tubuhnya akan berubah. Perubahan ini

terjadi sebagai akibat dari kebiasaan mereka bertumpu saat membawa beban, cara

bekerja didalam waktu lama dengan sikap yang salah, dapat menyebabkan nyeri

punggung yang kronis (Silviani, 2013). Saat terjadi nyeri, ada kecenderungan untuk

takut untuk memulai suatu gerakan. Pengaruh inaktivitas dan imobilisasi pada

petani inilah yang menyebabkan penurunan fleksibilitas, kondisi ini juga dapat

berakibat langsung pada penurunan aktivitas fungsional. Penurunan aktivitas

fungsional disebabkan oleh gangguan yang berhubungan dengan patologi aktif dan

di tandai dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas atau

komponen tugas motorik secara efisien atau normal. Keterbatasan LGS inilah yang

bisa menjadi penyebab terjadinya penurunan aktivitas fungsional.

2.3 Kondisi Kerja Petani di Kota Tomohon

Petani di Kota Tomohon, terutama di Kelurahan Tara-tara 3 lebih banyak

menghabiskan waktunya setiap hari di sawah (± 5-8 jam/hari). Para petani di

Kelurahan ini masih menggunakan cara yang tradisional dalam melakukan

pekerjaannya, dengan kata lain petani lebih banyak menggunakan tanaga fisik di
36

bandingkan dengan menggunakan alat-alat yang lebih modern. Contohnya seperti,

menggunakan sabit untuk memanen padi, dan cangkul untuk menggarap sawah.

Kegiatan pertanian yang biasanya dilakukan seperti mengawasi sawah,

mananam padi, mencangkul, dan memanen padi. Menanam padi merupakan salah

satu kegiatan yang berpengaruh pada posisi kerja dari petani. Saat menanam padi,

petani lebih banyak melakukan pekerjaanya dengan posisi membungkuk, sehingga

otot-otot daerah punggung petani, dipakai sebagai penopang utama saat bekerja.

Pekerjaan petani yang seperti ini bersifat monoton dan berulang. Posisi kerja ini

sangat tidak ergonomis, jika dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan

terjadinya keluhan nyeri pada otot.

2.4 Core Stability Exercise

Kualitas core muscle sangat penting terutama dalam melakukan aktivitas

fungsional karena berperan sebagai penghubung anggota gerak bawah dan anggota

gerak atas. Core muscle yang terlatih akan mampu menghasilkan stabilitas dan

mobilitas yang baik. Pada mayoritas penderita nyeri kronik pada NPB, otot-otot ini

akan mengalami disfungsi. Untuk menangani masalah tersebut, diperlukan latihan

untuk penguatan core muscle. Salah satunya adalah core stability exercise

(Sadhono, 2017). Menurut Balakrishnan et al tahun 2016, core adalah bagian utama

dan seringkali mendasar pada umumnya berbeda perananya dengan suatu

perbedaan dalam sifat dasar. Stabilitas adalah merupakan sifat tubuh jika terjadi
37

gangguan pada kondisi keseimbangan untuk meningkatkan kekuatan atau

mengembalikan ke posisi awal.

Core stability merupakan deskripsi umum untuk latihan pada daerah

abdominal dan lumbopelvik. Untuk menjelaskan core stability, digunakan

kombinasi sistem global dan lokal. Global, sistem kestabilan yang mengacu pada

otot superfisial yang lebih besar disekitar daerah abdomen dan lumbalis, seperti

rektus abdominis, para spinal, dan oblique eksternal. Otot-otot tersebut merupakan

alat penggerak utama dari gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi trunk. Lokal stability

mengacu pada otot intrinsic pada dinding abdominal, seperti tranversus abdominus,

dan multifidus. Otot ini terkait dengan stabilitas segmental tulang belakang lumbal

selama pergerakan seluruh tubuh yang besar dan dimana dibutuhkan penyesuaian

postural. Keduanya memiliki hubungan yang sinergis untuk memperoleh efek

latihan yang efektif (Balakrishnan, 2016).

Langkah pertama dalam core stability exercise adalah re-aktifasi dan re-

edukasi otot tranversus abdominis dan multifidus dengan 3 teknik dasar yaitu

abdominal hollowing, abdominal bracing dan pelvic tilt exercise (Kisner, 2014).

Apabila teknik dasar ini telah dikuasai maka latihan dapat ditingkatkan dengan

melibatkan otot-otot disekitarnya, peningkatan beban dan repetisi untuk

meningkatkan strength dan endurance serta aplikasi dalam latihan fungsional

(Sadhono, 2017).

Core stability exercise bertujuan untuk, (1) mengaktifasi dan membentuk

kontrol neuromuskular otot segmental profunda dan otot stabilitas tulang belakang
38

global untuk menopang tulang belakang melawan beban eksternal, (2) membentuk

daya tahan dan kekuatan pada otot rangka aksial untuk aktivitas fungsional, (3)

membentuk kontrol keseimbangan dalam situasi stabil dan tidak stabil (Kisner,

2014).

2.4.1 Prinsip dan peningkatan Core Stability Exercise

Menurut Kisner dan Colby tahun 2014, Penting untuk memahami dan

menggunakan prinsip serta peningkatan core stability exercise untuk instruksi yang

efektif:

1. Mulai latihan dengan kesadaran tulang belakang yang aman dan posisi

tulang belakang yang netral atau bias.

2. Minta pasien untuk mengaktifkan otot stabilisator profunda saat berada

dalam posisi netral.

3. Tambahan gerakan ekstremitas untuk membebani otot global superfisial

sambil mempertahankan posisi tulang belakang netral yang stabil

(stabilisasi dinamis).

4. Tingkat repetisi untuk meningkatkan kapasitas tahanan (daya tahan) pada

otot stabilisasi. Tingkat pembebanan (ganti lengan pengungkit atau

tambahkan tahanan) untuk meningkatkan kekuatan sambil mempertahankan

posisi tulang belakang netral yang stabil.


39

5. Gunakan teknik kontraksi isometrik dan teknik stabilisasi ritmis secara

bergantian untuk meningkatkan stabilisasi dan keseimbangan dengan beban

yang berubah-ubah.

6. Tingkatkan ke gerakan dari satu posisi ke posisi lain disertai dengan gerakan

ekstremitas sambil mempertahankan tulang belakang netral yang stabil.

7. Gunakan permukaan yang tidak stabil untuk meningkatkan respon

stabilisasi dan meningkatkan keseimbangan.

2.4.2 Metode Core Stability Exercise

Metode yang akan digunakan untuk core stability exercise adalah curl-up,

bridging, prone hands, front plank. Di bawah ini, prosedur pelaksanaan latihan :

1. curl-up

Gambar 2.7
Gerakan curl-up (Balakrishnan, 2016)
40

Posisa awal: subjek tidur terlentang, dengan kedua tangan berada di

kepala. Prosedur: perlahan angkat punggung ke atas, biarkan shoulder dan upper

back mengikuti gerakan ke atas. Perlahan kembali ke posisi awal.

2. Bridging

Gambar 2.8
Gerakan Bridging (Balakrishnan, 2016)

Posisa awal: subjek tidur terlentang, dengan kedua tangan berada di

samping tubuh dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Prosedur: perlahan

angkat pinggul dari lantai sehingga hanya forearm dan tumit yang menyentuh

lantai. Instruksi: berat didukung diseluruh daerah bahu, hindari menekan tulang

belakang bagian servikal ke lantai. Pertahankan posisi netral pada tulang lumbal

dan servikal.
41

3. Prone hands

Gambar 2.9
Gerakan prone hands (Andersen, 2014)

Posisa awal: subjek berlutut di lantai dengan tangan langsung di bawah

bahu. Prosedur: angkat lutut sampai menopang berat badan hanya pada jari kaki

dan tangan anda. Letakkan bahu di atas tangan dan tumit di atas jari kaki.

Pertahankan tubuh Anda dalam garis lurus dari atas kepala sampai ke tumit Anda.

Instruksi: keseimbangan lengan bawah bahu dan kaki dalam menjaga tubuh sejajar

dengan garis lurus.

4. Front Plank

Gambar 2.10
Gerakan front plank (Balakrishnan, 2016)

Posisa awal: subjek mengasumsikan posisi front plank dengan siku berada

di bawah bahu dan lengan atas tegak lurus menghadap lantai. Prosedur: perlahan
42

angkat bahu dan panggul dari lantai, titik tumpuh berada pada siku dan kaki.

Instruksi: keseimbangan lengan bawah bahu dan pertahankan tulang belakang

dalam posisi netral dan gambar diperut bagian bawah.

2.4.3 Mekanisme peningkatan LGS dan aktivitas fungsional pada Core

Stability Exercise

Core stability exercise bertujuan untuk mengaktivasi dan membentuk

kontrol neuromuskular otot segmental profunda dan otot stabilitas tulang belakang

global untuk menopang tulang belakang melawan beban eksternal (Kisner, 2014).

Efek latihan core stability akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic muscular

corset, dengan terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan bersamaan (co-

contraction) dari otot-otot tersebut akan memberikan rigiditas untuk menopang

trunk, trunk akan menjadi stabil, sehingga postur tegak dapat dipertahankan

melawan berbagai gaya yang mengganggu keseimbangan dan memberikan dasar

yang stabil, kondisi ini akan mengurangi beban kerja dari otot lumbal, sehingga

jaringan tidak mudah cidera, ketegangan otot lumbal yang abnormal berkurang,

dengan begitu otot extremitas dapat melakukan fungsinya secara efisien dan tanpa

tekanan yang tidak seharusnya pada struktur tulang belakang (Kisner, 2014).

Core stability exercise mempunyai kaitan antara core stability dengan hip,

knee, dan ankle. Hal ini karena semua bagian pada tubuh terhubung satu sama lain,

baik secara langsung ataupun tidak langsung. Selain itu juga sesuai dengan teori

iradiasi, yaitu bila terdapat stimulus yang kuat pada satu stimulus tertentu, maka
43

stimulus tersebut akan disebarkan ke regio lain (terutama regio yang berdekatan

dengan regio yang terstimulus tersebut). Jika core kuat, maka otot-otot pada hip,

knee, dan ankle juga akan menjadi kuat. Peningkatan kekuatan otot tersebut juga

akan meningkatkan fleksibilitas. Hal ini terjadi karena jika pada saat suatu otot

berkontraksi, maka terjadi penguluran atau stretch pada otot-otot antagonisnya.

Secara otomatis, jika ada peningkatan kekuatan otot maka fleksibilitas akan

meningkat (Rubenstein, 2005).

Pada seseorang dengan kondisi LBP non spesifik akibatnya adanya spasme

otot, kelemahan otot abdominal dan otot mutifidus dengan pemberian core stability

exercise akan mengaktivasinya otot core yang berfungsi sebagai otot stabilisator

tulang belakang akan membuat otot global muscle yang tadinya spasme menjadi

rileks, dengan demikian didapatkan pula stabilitas tulang belakang yang baik dan

posisi tulang belakang dalam keadaan stabil. Peningkatan aktivitas fungsional

terintegrasi pada aktifasi otot stabilisator tulang belakang segmen profunda dan

multi segmental (global) (Kisner, 2014).

2.5 Penambahan Swiss ball pada Core Stability Exercise

Swiss ball diciptakan pada tahun 1965 di Swiss, di mana sekelompok

fisioterapis menggunakan ball exercise ini untuk melatih anak-anak dengan kondisi

cerebral palsy. Bola ini biasa disebut dengan gymnast ball, ball stability, dan physio

ball. Swiss ball banyak digunakan untuk latihan rekreasi untuk menjadi alat

pelatihan untuk core stability exercise. Swiss ball merupakan pilihan pengobatan
44

koservatif untuk penderita nyeri punggung dan dirancang untuk mencegah

timbulnya LBP lebih lanjut sebagai bagian dari program rehabilitas (Balakrishnan,

2016).

Penggunaan Swiss ball pada core stability exercise bertujuan untuk

meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan tubuh, menurunkan berat badan dan

berat badan pasca melahirkan, memperbaiki postur tubuh, meningkatkan

keseimbangan, mengurangi resiko osteoporosis, mengurangi nyeri punggung

bawah, meningkatkan fleksibilitas, dan meningkatkan rasa percaya diri. Tubuh

merespon secara alami dan otomatis terhadap ketidakstabilan ini agar tetap pada

posisi yang seimbang pada ball stability. Seiring waktu, otot yang digunakan untuk

menjaga keseimbangan pada Swiss ball menjadi lebih kuat. Umumnya individu

membangun kekuatan otot punggung yang penting dan otot abdominal tanpa di

ketahui (Balakrishnan, 2016).

2.5.1 Metode penambahan Swiss Ball pada Core Stability Exercise

Metode yang akan digunakan untuk penambahan Swiss ball pada core

stability exercise adalah curl-up, bridging, prone hands, front plank pada Swiss

ball. Di bawah ini merupakan prosedur pelaksanaan latihan:


45

1. Curl-up pada Swiss ball

Gambar 2.11
Gerakan Curl-up pada Swiss ball (Balakrishnan, 2016)

Posisi awal: mulai pada posisi terlentang dengan punggung bawah

disanggah pada bola. Tangan digenggam dibelakang kepala. Kaki dibuka selebar

bahu. Gambar otot perut bagian bawah ke arah tulang belakang. Prosedur: perlahan

kencangakan tulang belakang sambil otot perut masuk, kemudian kembali ke posisi

awal. Instruksi: pertahankan agar servikal tetap stabil, dengan menjaga posisi dagu.

2. Bridging pada Swiss ball

Gambar 2.12
Gerakan Bridging pada Swiss ball (Balakrishnan, 2016)
46

Posisi awal: mulai dengan posisi terlentang dengan lengan berada di

samping tubuh. Letakkan kaki di atas bola, dengan jari-jari kaki menghadap ke atas.

Akan terlihat gambaran otot perut dibagian tulang belakang. Prosedur: kontakkan

tulang belakang dan gluteus dan angkat pinggul dari lantai. Instruksi: hindari

memutar jari kaki ke luar.

3. Prone hands pada Swiss ball

Gambar 2.13
Gerakan prone hands pada Swiss ball (OAK Health, 2004)

Instruksi: berlutut di depan bola, letakkan tangan di atas bola dan naikkan

pinggul sampai posisi tengkurap (Prone position) dan lengan diluruskan. Catatan:

jaga tangan langsung di bawah bahu. Tujuan: perkuat shoulder, abdomen dan

aktifkan otot disekitar tulang belakang dan pelvis.


47

4. Front plank pada swiss ball

Gambar 2.14
Gerakan Front plank pada Swiss ball (Balakrishnan, 2016)

Posisi awal: subjek mengasumsikan posisi front plank pada Swiss ball

dengan siku berada di bawah bahu dan lengan atas tegak lurus ke lantai. Prosedur:

perlahan angkat bahu dan panggul dari bola, titik tumpuh berada pada siku dan kaki.

Instruksi: keseimbangan lengan bawah bahu dan pertahankan tulang belakang tetap

netral dan akan terlihat gambar di perut bagian bawah.

2.5.2 Mekanisme peningkatan LGS dan Aktivitas fungsional dari

penambahan Swiss Ball pada Core Stability Exercise

Penambahan Swiss ball pada core stability exercise bertujuan untuk

meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan tubuh. Tubuh merespon secara alami

dan otomatis terhadap ketidakstabilan ini agar tetap pada posisi yang seimbang pada

ball stability. Dengan pemberian Swiss ball, berlatih melawan gaya yang

menimbulkan ketidakstabilan, dapat membentuk respon neuromuscular untuk

meningkatkan keseimbangan (Kisner, 2014). Stabilitas dapat didefinisikan sebagai:

kemampuan untuk bergerak secara bebas dan penuh sementara tubuh tetap dalam
48

keadaan sejajar. Untuk selalu dalam keadaan stabil, tubuh harus terlebih dahulu

mengendalikan dan menstabilkan persendiannya sebelum secara efektif

memindahkan kekuatan gerakan ke dalam lengan dan kaki. Gerakan manusia yang

optimal bergantung pada stabilisasi sendi yang optimal dibeberapa bidang (sagital,

frontal, transverse) pergerakan dan dalam kondisi lingkungan yang bervariasi,

seperti saat berada pada permukaan yang tidak stabil.

Tiga sistem yang berkontribusi terhadap stabilitas bersama telah

diidentifikasi, dan ketiganya harus bekerja sama untuk mencapai tujuan mereka.

Sistemnya adalah sistem pasif: tulang, persendian dan ligament, sistem aktif: otot,

sistem kontrol: sistem saraf pusat dan perifer. Pelatihan pada permukaan yang tidak

stabil seperti bola stabilitas meningkatkan fungsi ketiga sistem ini dengan

meningkatkan kebutuhan akan stabilisasi sendi yang efektif, ini termasuk columna

tulang belakang yang distabilkan oleh otot abdomen. Karena sifat pelatihan

permukaan yang tidak dapat diprediksi dan sering tiga dimensi, defisit stabilisasi

dari salah satu dari ketiga sistem akan segera menjadi jelas. Pelatihan akan

memperbaiki komunikasi antar sistem, kelemahan akan diperbaiki, sehingga

memungkinkan pergerakan yang lebih efektif terjadi. Kondisi ini juga akan

membawa langsung gerakan memperbaiki aktivitas fungsional sehari-hari

(Hussain, 2017).

Manfaat dari penambahan Swiss ball pada core stability exercise dan core

stability exercise, dapat dilihat dari tabel di bawah ini:


49

Tabel 2.1
Kelebihan penembahan Swiss ball pada core stability exercise dan core stability
exercise
Penembahan Swiss ball pada core Core stability exercise
stability exercise
Memperbaiki postur, keseimbangan Perbaikan postur, keseimbangan dan
mobilitas periferal
Meningkatkan daya tahan otot dan Peningkatan daya tahan, kekuatan dan
kekuatan otot kelincahan
Mengurangi terjadinya cidera Mengurangi terjadinya cidera
Mengurangi LBP Menurunkan atau mencegah LBP
Mengurangi resiko osteophorosis Meningkatkan performance
Menurunkan berat badan (pada wanita Memungkinkan untuk melakukan
pasca melahirkan) gerakan yang lebih efektif
Meningkatkan fleksibilitas Meningkatkan fleksibilitas
Tubuh merespon secara alami dan
otomotis pada ketidakstabilan,
sehingga menciptakan keseimbangan
dan kekuatan pada otot punggung dan
abdomen.
Sumber: Balakrishnan, 2016

2.6 Pemeriksaan LGS dengan modified-modified Schober test

2.2.1 Lingkup Gerak Sendi

Menurut Kisner dan Colby tahun 2014, fleksibilitas merupakan istilah

yang digunakan untuk menggambarkan LGS. Fleksibilitas adalah kemampuan

untuk menggerakan sendi tunggal atau rangkaian sendi secara halus dan mudah

melalui LGS bebas nyeri yang tidak terbatas. Panjang otot dan integritas sendi serta

ekstensibilitas jaringan lunak pariarticular menentukan fleksibilitas. Fleksibilitas

berhubungan dengan ekstensibilitas unit musculotendinosa yang melintasi sendi,

berdasarkan kemampuan untuk relaksasi atau menghilangkan dan menghasilkan

gaya regangan. Artrokinematika sendi yang bergerak serta kemampuan jaringan


50

ikat periartikular untuk menghilangkan gaya untuk mempengaruhi LGS sendi dan

keseluruhan fleksibilitas individu.

Fleksibilitas dibagi menjadi dua, fleksibilitas statik dan dinamis.

Fleksibilitas statik juga disebut mobilisasi pasif atau LGS Pasif, merupakan

kelentukan yang sedikit sekali terlibat dalam suatu gerakan, seolah-olah gerakan

kelentukan statik ini berfungsi untuk menahan posisi tubuh yang tidak bergerak

(kontraksi isometrik). Sedangkan fleksibilitas dinamis yang disebut juga mobilisasi

aktif atau LGS aktif merupakan kelentukan yang banyak terlibat dalam gerakan,

kelentukan ini menunjukkan LGS yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh

secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan

indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi

untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup atau

tidak membatasi LGS yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL),

kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen

fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain (Nala, 2015).

Fleksibilitas tubuh pada manusia umumnya digambarkan sebagai suatu

rentang pergerakan di sekitar sendi atau sekelompok sendi tertentu. Fleksibilitas

dapat diukur untuk menentukan seberapa fleksibel seorang individu. Pengukuran

fleksibilitas ini meliputi gerakan fleksi dan ekstensi. Ada beberapa cara yang

digunakan untuk pengukuran fleksibilitas khususnya fleksibilitas lumbal,

diantaranya dengan menggunakan goniometri, metode sit and reach test, leighton

flexometer, dan metode Schober test (modified Schober test, modified-modified


51

Schober test). Kurangnya fleksibilitas akan membatasi aktivitas gerak misalnya

untuk membungkuk ataupun melihat kebelakang bahu. Tanpa fleksibilitas yang

memadai, akan lebih sulit melakukan kegiatan sehari-hari. Seiring berjalannya

waktu, gerakan dan sikap tubuh dapat menyebabkan penurunan mobilitas sendi dan

gangguan posisi tubuh (Pratiwi, 2015).

2.2.2 Modified-modified Schober Test

Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode modified-modified Schober

test untuk mengukur fleksibilitas lumbal. Pada penelitian Tousignant (2009),

modified-modified Schober test memiliki validitas sedang (r = 0,67), serta reabilitas

intra dan inter yang sangat baik (ICC 40,91). Adapun prosedur pelaksanaan teknik

modified-modified Schober test sebagai berikut:

1. Posisi subjek yang dianjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal,

lumbal dalam posisi 0o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio

pelvis untuk mencegah adanya anterior tilting.

2. Cara pengukuran modified-modified Schober test menurut Komal Malik et al

tahun 2016 :

a. Pengukuran lumbal flexion

Subjek diminta untuk melepaskan alas kaki dan melepaskan pakaian,

sehingga tampak daerah punggung dari lipatan gluteus sampai ke vertebra mid

toraks dengan SIPS kiri dan kanan yang tebuka sepenuhnya. Subjek diminta untuk

bediri tegak, dengan pandangan ke depan, kedua lengan ada disisi tubuh dan posisi
52

kaki diletakkan di atas kertas yang terpasang di lantai (dengan jarak antara tumit

15cm). Posisi ini membantu subjek untuk mengstabilkan panggul, menjaga

keseimbangan dan menjaga konsistensi pengukuran.

Kemudian fisioterapis menunjukan prosedur yang tepat membungkuk

kedepan dengan lengan menggantung di depan dan lutut lurus. Setelah melakukan

prosedur yang tepat fisioterapis memastikan bahwa para subjek melakukan dengan

benar.

Posisi fisioterapis berlutut di belakang subjek dan mengenali kedua SIPS

dengan ibu jari. Margin inferior SIPS subjek ditandai dengan ke dua ibu jari dan

penggaris digunakan untuk menemukan dan menandai titik tengah pada sakrum

(tanda inferior). Kemudian tanda akhir (tanda superior) ditandai pada vertebra

lumbalis 15 cm dari garis tengah sacrum (tanda inferior). Fisioterapis meletakan

pita ukur pada kedua tanda dengan nol pada tanda inferior dan 15cm pada tanda

superior. Subjek diminta untuk membungkuk ke depan dengan instruksi

“membungkuk sejauh yang anda bisa sambil menjaga lutut tetap lurus”. Kemudian

ukur jarak dari kedua tanda tersebut, hasil pengukuran ditulis dan minta subjek

untuk kembali ke posisi berdiri yang nyaman.


53

(a) (b)
Gambar 2.15
Pengukuran Lumbal Fleksi (a) Posisi berdiri normal, (b) Pengukuran modified
modified schober test flexi (Komal Malik, 2016)

b. Pengukuran lumbal extension

Prosedur yang sama diterapkan pada teknik fleksi, digunakan juga untuk

mengukur lumbal extension. Dengan subjek dalam posisi bediri tegak, dengan

pandangan kedepan, kedua lengan ada disisi tubuh dan posisi kaki diletakkan di

atas kertas, fisioterapis meletakan pita ukur pada tanda inferior dan superior.

Kemudian minta subjek telapak tangannya pada daerah bokong dan mengarahkan

tubuh ke belakang sejauh mungkin. Kemudian jarak antara kedua tanda inferior dan

superior diukur dengan menggunakan pita, perubahan jarak antara tanda digunakan

untuk menunjukan jumlah LGS extensi lumbal, hasil dicatat. Setelah pengukuran
54

selesai, minta subjek untuk kembali ke posisi yang nyaman. Pada akhir

pengumpulan data, semua tanda dihilangkan.

Rata-rata dari tiga pengukuran berturut-turut yang digunakan dalam analisis

akhir untuk menentukan LGS lumbal. Subjek diizinkan beristirahat 1 menit di

Antara 3 set pengukuran pada posisi yang nyaman. Interpretasi dari pengukuran ini

adalah jika pengukuran pada saat fleksi lumbal kurang dari 5cm dan ekstensi kurang

dari 3cm maka diindikasikan ada keterbatasan lingkup gerak sendi lumbosakral

(Norkin & White, 2009).

Gambar 2.16
Pengukuran Lumbal Ekstensi (Komal Malik, 2016)

2.7 Pemeriksaan Aktivitas Fungsional dengan Modified Oswestry Disability

Index

Fungsional adalah integritas fungsi dan struktur tubuh serta kemampuan

untuk beradaptasi dalam aktivitas kehidupan. Aktivitas fungsional dasar mencakup


55

latihan biomekanik dasar berupa beguiling, terlentang ke duduk, duduk ke berdiri

(dan sebaliknya), serta berjalan. Adapun beberapa aktivitas fungsional lainya

seperti, membungkuk, mengangkat, memutarkan badan, jongkok, dll.

Pada LBP, sering kali terjadi gangguan aktivitas fungsional, yang

disebabkan oleh kesalahan posisi saat melakukan suatu pekerjaan, yang dilakukan

secara berulang. Pengulangan aktivitas yang salah ini dapat menimbulkan nyeri,

dan pasien akan mengalami ketakutan untuk bergerak sehingga terjadi penurunan

fleksibilitas dan aktivitas fungsional.

Pengukuran aktivitas fungsional yang digunakan adalah Modified

Oswestry Disability Index (Modified ODI). Modified ODI pertama kali

dikembangkan oleh Fairbanks dan kawan-kawan pada tahun 1980 dan telah

dimodifikasi beberapa kali. Modifikasi pertama mengganti item tentang

penggunaan obat pengurang nyeri dengan item intensitas nyeri. Dalam

perkembangan selanjutnya pada versi asli, dilaporkan hamper 20% responden

tidak mengisi item tentang kehidupan seks mereka terkait NPB khususnya di

negara-negara timur. Karena itu, versi terakhir mengganti item tentang kehidupan

seks dengan pekerjaan/aktifitas di rumah, selain itu modified ODI juga disarankan

digunakan pada kondisi disabilitas berat. Modified ODI terdiri dari 10 item dengan

pernyataan terkait dengan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-

hari, saat mengalami rasa nyeri. Item tersebut meliputi, intensitas nyeri, perawatan

diri, mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur, kehidupan sosial, bepergian, dan

pekerjaan rumah (Wahyuddin, 2016).


56

Cara penggunaanya, pasien diminta untuk melengkapi modified ODI dan

menjawab berdasarkan pernyataan yang sesuai dengan kondisinya. Secara teknis

pasien diinstruksikan untuk menjawab dengan memberi tanda centang atau tanda

silang pada salah satu kotak tiap bagian yang paling sesuai dengan keadaan dan

yang dirasakannya pada saat itu. Selanjutnya, dilakukan perhitungan skor yang

diperoleh dan dicatat untuk mengetahui kemajuan intervensi selanjutnya. Prosedur

pengukuran modified ODI sebagai berikut:

a. Membuat lembar pengukuran modified ODI yang dimodifikasi, dengan

berbagai macam kondisi yang dapat mengintepretasikan tingkat disabilitas

pasien. Terdapat 10 pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner. Dari setiap

pertanyaan terdapat 5 pilihan jawaban yang menggambarkan disabilitas pasien.

Masing-masing jawaban memiliki nilai yang berbeda, dimulai dengan nilai 0

untuk menyatakan tidak ada disabilitas, nilai 1 untuk disabilitas yang sangat

ringan, sampai dengan nilai 5 untuk disabilitas yang paling berat.

b. Validitas dan Reabilitas Kuesioner, Dari hasil penelitian Wahyuddin (2016),

pengujian validitas yang menunjukkan hasil semua butir kuesioner valid,

dengan standar validitas 0.304 (r tabel) untuk tingkat signifikansi 5%

df=n-2=42. Selanjutnya dilakukan pengujian reliabilitas kuesioner dengan

analisis Cronbach alpha. Hasil perhitungan uji reliabilitas didapatkan nilai

.890. Dengan demikian modifikasi kuesioner ODI versi Indonesia reliabel

untuk digunakan pada pasien NPB.

c. Cara penghitungan menggunakan modified ODI :


57

1. Dalam modified ODI, tercantum 10 pertanyaan yang menggambarkan

kondisi disabilitas pada pasien pasien NPB. Masing-masing kondisi

memiliki nilai 0 sampai nilai 5, sehingga jumlah nilai maksimal

secara keseluruhan adalah 50 poin.

2. Jika 10 kondisi dapat diisi, maka cukup langsung menjumlah seluruh skor.

3. Jika suatu kondisi dihilangkan, maka penghitungannya adalah skor

poin total dibagi dengan jumlah kondisi yang terisi, lalu dikalikan 5.

Skor = Skor point total…………. X 100 = ……..

Jumlah kondisi yang terisi x 5

Berikut ini adalah rentang penilaian modified ODI serta klasifikasi tingkat

disabilitas yang dialami pasien:

a) Disabilitas minimal, merupakan ketidakmapuan pada tingkat minimal

yaitu dengan angka 0%-20%. Pasien dapat melakukan sebagian besar

aktifitas hidupnya. Biasanya tidak ada indikasi untuk pengobatan terlepas

dari nasihat untuk mengangkat dan duduk dengan cara yang benar agar

tidak bertambah parahnya tingkat disabilitas pasien.

b) Disabilitas sedang, merupakan ketidakmampuan pada tingkat sedang yaitu

dengan angka 21%-40%. Pasien merasa lebih sakit dan mengalami

kesulitan dalam melakukan aktifitas duduk, mengangkat, dan berdiri.

Untuk berpergian dan kehidupan sosial akan lebih dihindari. Sedangkan

untuk perawatan pribadi dan tidur tidak terlalu terpengaruh.


58

c) Disabilitas parah, merupakan ketidakmampuan pada tingkat yang parah,

yaitu dengan angka 41%-60%. Rasa sakit dan nyeri tetap menjadi

masalah utamanya sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari.

d) Disabilitas sangat parah, merupakan ketidakmampuan yang sangat-parah

dengan angka 61%-80%, sehingga sangat mengganggu seluruh aspek

kehidupan pasien.

e) Angka tertinggi untuk tingkat keparahan disabilitas adalah 81%-100%,

dimana pasien tidak dapat melakukan aktifitas sama sekali dan hanya

tergolek ditempat tidur (Wahyuddin, 2016).

Anda mungkin juga menyukai