Anda di halaman 1dari 15

Nama : Sarah Nadhila Rahma

NIM : 101611133040
Kelas : Lintas Minat

UTS SEKS GENDER DAN SEKSUALITAS

Kasus I : Depresi Pasca Melahirkan

Sumber: Lestari, S. 2018. Depresi Pasca Melahirkan Membuat Saya Ingin Bunuh Diri
Bersama Anak. Jakarta: BBC. Diakses tanggal 28 September 2019 di
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43355369

1. Uraian Problematika Depresi Pasca Melahirkan


Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas dari
pengembangan kesehatan di beberapa negara berkembang dan belum
berkembang, khususnya di Indonesia. Pengembangan tersebut diarahkan kepada
peningkatan kesehatan fisik dan mental ibu. Salah satu masalah ibu pasca
melahirkan adalah masalah psikologis yaitu depresi postpartum. Kasus tersebut
menjadi problematika di Indonesia karena depresi pasca melahirkan merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan ibu dan banyak sekali
faktor yang menyebabkan kasus tersebut semakin banyak dan parah.
Depresi pasca melahirkan (postpartum depression) adalah isu yang cukup
penting yang mempengaruhi kesejahteraan wanita yang baru saja melahirkan.
Menurut Nevid dan Rathus (2005), depresi pasca melahirkan adalah kondisi ibu
yang baru saja melahirkan yang mengalami perubahan mood yang parah dan
persisten selama beberapa bulan bahkan lebih dari setahun. Ketika seorang ibu
mengalami depresi maka yang dirasakan ibu tersebut adalah rasa cemas, tidak
senang, kurang tertarik dengan bayinya, halusinasi atau gejala aneh dan gejala
mental postpartum hingga adanya pikiran untuk membunuh dan menganiaya
bayinya (Lin Ho, dkk., 2013).
Seperti yang dialami oleh Nur Yanayirah yang mengalami depresi pasca
melahirkan anak keduanya. Dia mengatakan bahwa saat itu pikirannya kosong
dan ingin bunuh diri bersama anaknya di danau. Namun untungnya ada seseorang
yang berhasil menghentikan rencana bunuh dirinya. Tidak hanya itu, setelah
upaya bunuh diri itu, Yana lalu menawarkan bayinya melalui media sosial
(Lestari, 2018).
Berdasarkan data Kemenkes RI (2015), angka Ibu hamil di Indonesia
masih tergolong tinggi yakni mencapai 89%. Sebanyak 10%-20% ibu baru
mengalami depresi pasca melahirkan. Dan sekitar 50%-80% ibu mengalami
perubahan emosial dalam 2-3 hari setelah melahirkan. Adanya perubahan
hormonal dan emosional menyebabkan ibu mengalami baby blues syndrome.
Apabila tidak segera ditangani maka akan menyebabkan seorang ibu mengalami
postpartum depression. Jika kondisi ini juga tidak ditangani dengan baik, maka
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih parah yaitu psikosis postpartum.
Namun sayangnya, sampai saat ini perhatian tentang masalah depresi
pasca melahirkan masih sedikit sekali. Sebagian besar depresi pasca melahirkan
ini tidak disadari oleh orang terdekat, keluarga, dan tenaga medis. Ibu yang
menderita depresi pasca melahirkan cenderung lebih diam dan tidak menceritakan
apa yang dia rasakan kepada suami, keluarga maupun tenaga medis. Hal tersebut
apabila dibiarkan akan berdampak fatal pada keselamatan diri ibu sendiri dan
bayinya. Karena ibu yang mengalami depresi tega mencelakai dirinya sendiri dan
bayinya.
Problematika pada masalah ini bertambah kompleks pada kondisi tertentu,
diantaranya depresi pasca melahirkan yang terjadi pada ibu yang melahirkan
pertama kali. Menjalani kehamilan pertama sangat berbeda rasanya dengan wanita
yang sudah menjalani proses kehamilan dan persalinan lebih dari satu kali.
Menurut Bobak (2005), pada persalinan pertama kali, nyeri kontraksi uterus dapat
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, rasa khawatir, tegang, takut dan
stress. Beberapa hal tersebut terjadi akibat adanya kadar hormon progesteron
menurun sehingga otot tidak bisa relaksasi. Faktor hormonal ini diduga menjadi
pemicu keadaan emosional ibu pasca melahirkan.
Faktor lain yang menyebabkan masalah ini kompleks adalah faktor
ekonomi. Sebagian orang tua mungkin akan bahagia ketika seorang bayi yang
ditunggu selama 9 bulan telah lahir, namun pada sebagian orang tua lainnya
peristiwa kehamilan akan menjadi peristiwa tidak diinginkan dan dapat
menimbulkan keputus-asaan akibat membayangkan masalah ekonomi sosial yang
harus ditanggung nantinya. Seorang ibu akan mengalami depresi akibat
kekhawatirannya tidak dapat memberikan kualitas hidup yang baik untuk anaknya
karena kesulitan keuangan.
Proses kehamilan dan persalinan merupakan suatu proses yang melibatkan
banyak orang, tidak hanya pasangan suami istri, tetapi seluruh anggota keluarga
baik dari pihak istri maupun suami. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan
dan dicintai oleh keluarganya tentu tidak merasa dirinya kurang berharga.
Sebaliknya, wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial mudah merasa
bahwa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh keluarganya. Sehingga
dapat mengakibatkan ibu lebih sensitif dan cenderung mengalami depresi
(Machmudah, 2010).
Di Indonesia masih rendah sekali perhatian tentang kesehatan psikologis
terutama untuk ibu. Banyak di antara ibu yang belum paham apa itu depresi dan
bagaimana gejalanya, sehingga beberapa dari mereka tidak menyadari bahwa
sebenarnya mereka mengalami depresi atau tidak. Berbagai faktor dari segala
aspek kehidupan dapat menyebabkan seorang ibu mengalami depresi pasca
melahirkan. Namun, upaya pencegahan dan pengendalian belum begitu terlihat
jelas dikarenakan adanya rasa malu atau tertutup baik dari seorang ibu dan
keluarganya untuk mengungkapkan bahwa dia mengalami depresi.

2. Faktor yang berpotensi menjadi penyebab kasus


a. Faktor psikologis
Keadaan hamil membuat seorang ibu merasa bahwa dalam dirinya
terdapat dua jiwa, demikian juga pasca melahirkan. Ibu yang baru saja
melahirkan berpikir bahwa dia tidak hanya mengurus dirinya saja, tetapi harus
mengurus suami dan anaknya. Peralihan yang dirasakan Ibu cukup cepat ini
membuatnya merasa tertekan setelah melahirkan. Pikiran negatif sering sekali
membuat Ibu menangis dan tidak ercaya bahwa ia mampu menjadi Ibu yang
baik.
b. Faktor sosial budaya
Lingkungan tempat tinggal yang kurang memadai bagi ibu dapat
menimbulkan terjadinya depresi pasca melahirkan. Misal ketika ibu tinggal di
rumah keluarga besar suami yang selalu mengatur cara merawat anak dapat
menyebabkan ibu merasa tertekan hingga sering menangis. Ia tidak terbiasa
dengan adat dan masukan yang dibeikan orang-orang di lingkungan barunya.
c. Faktor Biologis
Kelelahan fisik yang dialami setelah melahirkan seperti kurang tidur dan
seluruh badan terasa sakit. Kelelahan ini berlanjut ketika ibu pulang dari
rumah sakit dan harus merawat bayinya, ibu harus memberikan ASI dan
bangun di tengah malam. Hal tersebut membuat Ibu tidak bisa tidur nyenyak
sehingga selalu memikirkan halnegatif tentang merawat anaknya, sehigga ibu
mengalami kelelahan berlebihan.
d. Faktor ekonomi dalam keluarga.
Salah satu yang menjadi persoalan yang dipikiran ibu secara terus menerus
adalah masalah keuangan. Ekonomi yang rendah membuat ibu tidak bisa
melunasi biaya melahirkan, ditambah lagi harus membeli peralatan bayi,
pembelian susu, biaya perawatan dan tanggunan biaya lainnya.
Menurut Endang, dkk. (2006), sebagian besar ibu yang mengalami depresi
postpartum berpenghasilan rendah. Kemungkinan berhubungan langsung
dengan kebutuhan dan perawatan bayi yang membutuhkan banyak biaya.
Maka keadaan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan dengan kelahiran
bayi, bisa menimbulkan tekanan karena perubahan baru dalam hidup seorang
perempuan.
e. Perubahan hormonal dan emosional yang menyebabkan wanita merasa lebih
sensitive.
f. Kurangnya dukungan suami, keluarga atau orang terdekat saat melahirkan dan
merawat
g. Rasa khawatir atau cemas tidak bisa merawat bayi dengan baik
Karena faktor ibu yang memiliki konsep yang negative tentang dirinya,
sehingga ibu merasa mejadi tidak percaya diri akan kemampuan merawat
anaknya dengan baik. Kecemasan tersebut akan bertambah apabila persalinan
anak pertama dikarenakan kurangnya pengalaman merawat bayi. Seorang ibu
baru cenderung memerlukan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dalam
memiliki bayi. Contohnya ketika bayi menangis, ibu tidak mengetahui
penyebab bayinya menangis, sehingga hal tersebut membuat ibu tertekan dan
ingin membuang bayinya.
h. Ibu yang masih berusia remaja
Saat yang tepat untuk melahirkan adalah usia 20-30 tahun. Faktor usia
sering dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan untuk menjadi ibu.
Perempuan yang melahirkan di usia muda cenderung belum siap merawat dan
membesarkan anak.
i. Rendahnya tingkat pendidikan
Seorang ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung susah dalam
menerima informasi baik dari orang lain maupun media massa. Semakin
sedikit informasi yang diterima maka semakin sedikit pengetahuan, termasuk
pengetahuan tentang kesehatan sehingga risiko terjadinya depresi postpartum
semakin tinggi.
j. Ibu yang memiliki tanggungjawab pekerjaan
Ibu yang meninggalkan pekerjaan karena hamil atau melahirkan lebih rentan
terkena depresi postpartum karena memicu konflik batin pada ibu. Jika ibu
meninggalkan pekerjaannya maka pendapatan keluarga menurun sedangkan
kebutuhan semakin bertambah dengan kelahiran anak.
k. Riwayat depresi
l. Gangguan kesehatan pasca melahirkan seperti nyeri pada bekas jahitan atau
gangguan buang air kecil.
m. Bayi mengalami gangguan kesehatan atau fisik atau lahir premature.
n. Kehamilan tidak diinginkan.
o. Trauma akibat pengalaman masa lalu misal menjadi korban pelecehan
seksual.
p. Ibu yang tidak memiliki suami

3. Hal yang berpotensi menjadi penyelesaian kasus


a. Selalu berpikiran positif terhadap kemampuan diri
Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi ibu yang sempurna seperti
harapan orang lain, karena pemikiran tersebut hanya akan menambah diri
menjadi cemas terhadap perkembangan bayi.
b. Saling terbuka kepada suami atau orang terdekat
Selaku orang terdekat, suami berhak tahu apa yang sedang dirasakan istrinya
pasca melahirkan baik itu mengenai ketidaknyamanan secara fisik maupun
psikologis. Sebagai pasangan seharusnya antara suami dan istri saling terbuka,
saling curhat tentang apa yang dirasakan agar dapat mencari jalan keluar
bersama.
c. Dukungan suami ketika hamil hingga setelah melahirkan
1. Dukungan emosional berupa perhatian dan kasih sayang sangat
berpengaruh terhadap psikologis ibu. Suami yang selalu ada dan menjadi
tempat berkeluh kesah membuat beban dan kecemasan ibu pasca
melahirkan akan berkurang.
2. Dukungan penghargaan juga bisa diberikan suami kepada istri berupa
ungkapan pujian yang diberikan suami mulai saat hamil hingga
melahirkan. Suami merasa senang dengan adanya peningkatan berat badan
yang dialami istrinya.
3. Dukungan instrumental yaitu suami membantu istri dalam merawat anak
misal menggendong, mengganti popok, memandikan, menyuapi makan
dan sebagainya.
d. Dukungan sosial dari orang di sekeliling ibu
Dukungan dapat berupa perhatian dan ucapan selamat setelah melahirkan
bayi, menanyakan kabar Ibu dan bayinya, memberikan ungkapan senang dan
sebagainya.
e. Sosialisasi oleh tenaga kesehatan terkait depression postpasrtum. Pemberian
informasi mengenai depresi pasca melahirkan sangat penting diberikan baik
bagi ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan. Informasi dilengkapi
dengan penjelasan gejala, dampak, cara pencegahan dan pengendalian
depresi.
f. Upaya pemantauan dari pihak rumah sakit atau tenaga kesehatan terhadap ibu
yang memiliki gejala depresi pasca melahirkan.
g. Mendirikan dan mengembangkan komunitas Mother Hope Indonesia atau
semacamnya.
Komunitas Mother Hope merupakan salah satu dari beberapa komunitas
yang peduli terhadap keadaan fisik dan psikis ibu yang memiliki anak atau
baru saja melahirkan. Tujuan dari komunitas ini adalah sebagai wadah ibu-ibu
untuk sharing pengalaman dan keluhan yang dirasakan saat hamil,
melahirkan, dan merawat anak. Beberapa anggota juga merupakan dari ahli
psikologi yang selalu memberikan masukan dan himbauan dalam
menyelesaikan masalah terkait keluhan ibu. Adanya komunitas ini dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan menghilangkan kekhawatiran bagi ibu
khususnya ibu yang baru memiliki anak pertama dalam merawat anaknya.
h. Adanya lembaga khusus yang melakukan penelitian untuk mengetahui angka
kejadian depresi postpartum di Indonesia, mengingat konsekuensi dari
terjadinya depresi postpartum sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan
bayinya.
Kasus II : Pengguna Kontrasepsi Masih Didominasi Perempuan

Sumber: Ambara. 2017. Vasektomi, Saat KB Tidak Melulu Jadi Urusan


Perempuan. Kompasiana. Diakses tanggal 28 September 2019 di
https://www.kompasiana.com/ime8011/58a1b2e4309773430a31a484/vas
ektomi-saat-kb-tidak-melulu-jadi-urusan-perempuan

1. Uraian Problematika Kasus Pengguna Kontrasepsi Masih Didominasi


Perempuan
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penyumbang terbanyak
jumlah penduduk. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 238,52
juta jiwa dan pada tahun 2025 diprediksikan jumlah tersebut akan meningkat
menjadi 284,83 juta jiwa. Pertambahan penduduk yang hampir mencapai lima
puluh juta jiwa ini harus dikendalikan salah satunya dengan mengendalikan total
fertility rate (TFR). TFR adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh
perempuan dalam usia reproduksi. Menurut Fitriani (2016), tingginya angka
kelahiran dalam masyarakat yang tidak diimbangi dengan ketersediaan kebutuhan
hidup dapat menyebabkan kurangnya ketersediaan bahan makanan, fasilitas
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sempitnya lapangan pekerjaan. Salah satu
cara untuk mengendalikan yaitu dengan mengatur jumlah kelahiran agar tidak
terjadi ledakan penduduk.
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Alat
kontrasepsi menjadi salah satu cara yang digunakan dalam keberhasilan program
keluarga berencana. Tujuan KB adalah untuk mengatur jumlah anak dan jarak
kehamilan meliputi usaha untuk menunda kehamilan, menjarangkan jarak
kelahiran, dan menghentikan kehamilan. Kontrasepsi ada 2 macam yaitu
kontrasepsi alamiah dan kontrasepsi modern (menggunakan alat). Ada 4 faktor
yang mempengaruhi seseorang menggunakan kontrasepsi atau tidak yaitu
pengetahuan, sikap, diskusi dan persetujuan yang dimiliki oleh pasangan baik
suami dan istri.
Penggunaan kontrasepsi saat ini menjadi salah satu masalah yang
kompleks di Indonesia dikarenakan penggunaan alat kontrasepsi masih
ditumpuhkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab perempuan (istri). Walaupun
kemampuan reproduksi dan memilih kontrasepsi juga dimiliki laki-laki, namun
beban perempuan lebih dominan dalam hal menetukan kontrasepsi. Perempuan
yang bertanggung jawab menentukan metode kontrasepsi yang digunakan,
perempuan yang merasakan ketidaknyamanan, dan perempuan pula yang
merasakan dampak atau efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut.
Padahal yang kita tahu, ketika melakukan hubungan, kedua pihak sama-sama
menikmati dan paham risiko hubungan seksual berpotensi mengundang
kehamilan. Namun, mengapa dalam penentuan pencegahan kehamilan hanya
perempuan yang bertanggung jawab. Sehingga perlu diakui bahwa sampai saat
ini, masih ada ketimpangan yang mencolok antara peran perempuan dengan laki-
laki dalam penggunaan kontrasepsi.
Peran perempuan dalam menentukan penggunaan kontrasepsi bukanlah
hal yang mudah. Peran perempuan dalam keluarga sangat berat, perempuan harus
bisa membagi waktunya dengan baik, agar semua tugasnya dapat dikerjakan
dengan baik mulai dari membereskan rumah, memasak, mencuci, mengurus anak
dan sebagainya. Karena beratnya tugas dalam rumah tangga, hal tersebut dapat
mempengaruhi keputusan perempuan untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Selain untuk mengatur pertumbuhan penduduk, penggunaan kontrasepsi
juga bertujuan untuk menekan angka kematian ibu akibat jarak kelahiran yang
terlalu dekat dan seringnya melahirkan. Pasangan suami istri seharusnya
memahami bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan anggota keluarganya,
salah satunya dalam hal reproduksi. Reproduksi menjadi tanggung jawab
pasangan suami istri, namun reproduksi hanya dipahami sebagai kewajiban dan
kodrat yang harus dijalani perempuan (Asriani, 2010). Sehingga kenyataan yang
terjadi pada masyarakat dari generasi ke generasi adalah perempuan yang
memegang peranan penting dan bertanggung jawab atas keputusan dalam
penggunaan alat kontrasepsi. Seharusnya penggunaan kontrasepsi bisa
dilakukan kedua belah pihak yakni suami dan istri, tidak melulu urusan
perempuan.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Fitriani (2016), dinyatakan
bahwa di salah satu daerah di Lamongan yang menjadi lokasi penelitiannya,
sebagian besar masyarakat menganggap bahwa fungsi reproduksi menjadi
tanggung jawab perempuan, hal tersebut tercemin melalui sikap laki-laki yang
kurang terlibat pada sistem reproduksi. Kebanyakan pasangan (suami) tak acuh
dan tidak mau tahu dengan penggunaan kontrasepsi pasangannya (istri). Suami
beranggapan penggunaan kontrasepsi menjadi urusan perempuan bukan laki-laki.
Peran perempuan yang dominan dalam penggunaan kontrasepsi menjadi
masalah yang semakin kompleks, dikarenakan sampai saat ini sebagian besar jenis
dan jumlah alat serta obat kontrasepsi yang ada hanya diperuntukkan untuk
perempuan. Pemerintah menciptakan alat kontrasepsi bagi perempuan lebih
banyak jenisnya mulai dari pil KB, suntik KB, IUD, tubektomi, dan lainnya,
sehingga secara tidak langsung perempuan yang harus menggunakan alat
kontrasepsi. Apapun risiko penggunaan alat kontrasepsi, perempuan yang harus
menanggungnya.
Berdasarkan data BKKBN di tahun 2007 akseptor KB pria hanya sebesar
1,3%, kemudian di tahun 2012 meningkat menjadi 4,7%. Hal tersebut sangat sulit
untuk ditingkatkan dikarenakan kebanyakan kaum laki-laki egois dan pilihan
kontrasepsi pria sangat terbatas yakni kondom dan vasektomi. Pernyataan di atas
hampir sama dengan pendapat Dreman dan Robey (1998), yang menyebutkan
alasan rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi adalah
adanya pandangan dalam program KB bahwa wanita merupakan klien utama
karena wanita yang menjadi hamil, sehingga banyak metode kontrasepsi yang
didesain untuk wanita, sedangkan metode kontrasepsi bagi pria sangat terbatas
pengembangannya.
Di samping itu, ada banyak risiko dan dampak yang diakibatkan dari
penggunaan kontrasepsi pada perempuan diantaranya perubahaan akibat
pengaruh hormone, hipertensi, menurunnya gairah seksual, berat badan
bertambah, pendarahan, rahim kering dan lainnya. Deretan konsekuensi yang
mesti siap ditanggung perempuan ini menunjukkan bahwa dalam hal
pengendalian kehamilan, kerap kali mereka mengemban beban lebih berat.
Ketimpangan adalah hal yang jarang sekali disoroti dari wacana pengendalian
kehamilan. Orang-orang lebih melumrahkan efek samping yang diterima
perempuan dibanding laki-laki dan ini terus berlangsung hingga sekarang seolah
tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Akibatnya apabila peran perempuan lebih dominan dalam penggunaan
kontrasepsi adalah terjadinya ketimpangan yang mencolok antara beban
perempuan dengan laki-laki dalam penentuan kontrasepsi dan perencanaan
kehamilan. Beban perempuan semakin berat, selain dikodratkan untuk hamil,
melahirkan, menyusui, dan nifas, perempuan juga harus menanggung kesakitan
dan ketidaknyamanan penggunaan alat kontrasepsi. Perempuan harus
menanggung efek samping dari penggunaan kontrasepsi yang tidak jarang juga
berdampak buruk bagi kesehatannya.
Seharusnya dengan semakin bertambahnya alternatif alat kontrasepsi bagi
kaum pria, sesungguhnya mereka bisa berbagi tugas dengan kaum perempuan.
Bila perempuan mengeluh alat kontrasepsi yang dia pakai memberi efek samping
yang mengganggu, mengapa pria tidak menawarkan diri menjadi pihak yang
mencegah pasangan hamil? Mengapa pria tak mengambil alih peran pencegahan
kehamilan dengan menggunakan kondom?

2. Faktor yang berpotensi menjadi penyebab kasus


a. Rendahnya Pengetahuan
Pengetahuan yang baik tentang metode kontrasepsi akan menyebabkan
sikap positif terhadap metode dan niat untuk menggunakannya. Pemahaman
tentang kontrasepsi tidak hanya dimiliki oleh istri tetapi suami juga.
Perencanaan tentang kehamilan perlu dilakukan oleh keduanya, sehingga baik
suami atau istri perlu mendapatkan dan memiliki pengetahuan tentang tujuan
KB, metode KB, tempat layanan KB, biaya dan lainnya.
Rendahnya pengetahuan dan informasi terkait hal di atas,
menyebabkan pasangan tidak dapat merencanakan jumlah anak dan jarak
kelahiran dengan tepat. Selain itu, seorang suami juga tidak akan mengerti
bahwa sebenarnya ada kontrasepsi untuk laki-laki. Peran tenaga kesehatan
dalam memberikan informasi tentang alat kontrasepsi sangat penting. Apabila
masing-masing memiliki pengetahuan yang cukup, maka sebuah pasangan
dapat melakukan perecanaan kehanilan yang tepat dan suami dapat membantu
dan meringankan beban istri dalam hal tersebut.
b. Kurangnya Diskusi
Penggunaan alat kontrasepsi menjadi tanggung jawab pasangan suami dan
istri, dengan kata lain harus dibicarakan bersama. Namun karena kurangnya
diskusi antara suami dan istri, banyak dintaranya yang beranggapan bahwa
penggunaan kontrasepsi menjadi urusan perempuan yang dapat hamil dan
melahirkan bukan laki-laki sehingga seolah-olah perempuan memiliki
kewajiban untuk menggunakan alat kontrasepsi.
c. Adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB.
Program KB juga memiliki 2 nalar yaitu nalar kependudukan dan nalar
kesehatan reproduksi. Nalar kependudukan menempatkan program KB
sebagai metode pengendalian jumlah penduduk sedangkan nalar kesehatan
reproduksi menempatkan program KB sebagai sarana untuk meningkatkan
kualitas kesehatan manusia dengan cara mencegah angka morbiditas dan
mortalitas ibu dan anak yang dilahirkan.
Namun sayangnya, sampai saat ini, pelaksanaan program KB masih
didominasi oleh nalar kependudukan. Nalar kependudukan ini sayangnya juga
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek kebijakan pengendalian
penduduk.
d. Budaya Patriarki
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganut sistem patriarki, di
mana laki-laki (suami) berperan sebagai kepala rumah tangga yang
bertanggung jawab atas semua keperluan keluarganya. Tanpa disadari
masyarakat, sistem patriarki yang berkembang dapat menjadikan perempuan
sebagai pihak yang dirugikan dan harus bertanggung jawab atas sistem
reproduksinya yang seharusnya menjadi tanggung jawab suami dan istri.
Perempuan-perempuan harus dapat mengatur jumlah anak dan jarak setiap
anak.
e. Pro Kontra Vasektomi dari Sisi Agama
Ketidakpopuleran vasektomi diduga karena metode ini masih
kontroversial dari sisi agama (Islam). Mengingat vasektomi memang
dikategorikan sebagai metode kontrasepsi tetapi tetap sering dinilai sebagai
proses memandulkan, maka MUI mengeluarkan fatwa bahwa vasektomi ini
haram. Sehingga banyak masyarakat yang enggan untuk melakukan metode
ini.
f. Keterbatasan alat kontrasepsi pria
Dalam masalah sistem reproduksi, perempuan yang lebih mendominasi
daripada laki-laki karena alat kontrasepsi yang tersedia lebih banyak ditujukan
pada perempuan daripada laki-laki. IUD (spiral), pil dan suntikan KB,
spermicidal gel, vaginal ring, kondom perempuan, dan sterilisasi adalah
bentuk kontrasepsi yang bisa digunakan perempuan, sementara bagi laki-laki,
pilihan yang ada ialah kondom laki-laki dan vasektomi.
Alasan yang sering dilontarkan kaum pria tidak berpartisipasi dalam
penggunaan kontrasepsi adalah minimnya pilihan alat kontrasepsi bagi
mereka. Di satu sisi memang benar, namun kaum pria seharusnya banyak
bersyukur untuk urusan metode kontrasepsi yang tersedia bagi mereka.
Pasalnya, alat kontrasepsi yang jamak bagi pria termasuk jenis yang sangat
aman bagi tubuh. Kondom misalnya, tak menimbulkan efek samping yang
berarti, kecuali kalau si pemakai memiliki reaksi alergi
g. Faktor ekonomi
Salah satu faktor yang berpotensi menjadi penyebab perempuan yang
menggunakan alat kontrasepsi adalah karena faktor ekonomi. Hal tersebut
berhubungan dengan jenis kontrasepsi yang diperuntukkan untuk pria.
Kebanyakan alat kontrasepsi bagi perempuan seperti pil KB atau suntik KB
memiliki biaya yang lebih murah daripada kontrasepsi pria seperti vasektomi.
Karena pada hitungannya vasektomi memerlukan tindakan operasi yang
membutuhkan biaya mahal, sehingga masyarakat kalangan menengah ke
bawah lebih memilih kontrasepsi yang terjangkau saja.
h. Keterbatasan sosialisasi dan promosi KB pria.
i. Kualitas pelayanan KB pria belum memadai

3. Hal yang berpotensi menjadi penyelesaian kasus


a. Pemberian KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) kepada masyarakat terkait
penggunaan kontrasepsi bukan hanya tanggung jawab perempuan, namun
merupakan tanggung jawab bersama antara Pasangan Usia Subur. KIE dapat
dilakukan dengan melibatkan kader KB.
b. Sosialiasi dan promosi KB Pria secara intensif di berbagai daerah
Sosialisasi dan promosi KB pria bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran kaum pria terkait kontrasepsi. Perlu dijelaskan
bahwa tanggung jawab pengendalian penduduk yang selama ini dibebankan
kepada perempuan, sudah seharusnya juga ikut menjadi tanggung jawab laki-
laki.
Laki-laki bisa turut beperan serta dalam program KB karena sudah banyak
bukti bahwa alat kontrasepsi tidak selamanya aman bagi perempuan. Beberapa
alat kontrasepsi memiliki efek samping seperti hipertensi dan memicu
obesitas. Oleh karena itu, sebagai laki-laki yang peduli terhadap kesehatan
perempuan dan keluarga, sudah semestinya laki-laki juga ikut serta dalam
program KB.
c. Menyediakan unit vasektomi keliling di seluruh Indonesia
d. Penyediaan kondom secara gratis yang bisa diakses di Puskesmas, Polindes,
serta fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BKKBN.
e. Penemuan variasi kontrasepsi untuk pria
DAFTAR PUSTAKA

Ambara. 2017. Vasektomi, Saat KB Tidak Melulu Jadi Urusan Perempuan.


Kompasiana. Diakses tanggal 28 September 2019 di
https://www.kompasiana.com/ime8011/58a1b2e4309773430a31a484/vas
ektomi-saat-kb-tidak-melulu-jadi-urusan-perempuan

Asriani, D. 2010. Kesehatan Reproduksi dalam Bingkai Tradisi Jawa: Pengalaman


Perempuan Petani Gunung Kidul. PKBI DIY.

Bobak, L.J. 2005. Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.

Endang W.G, Glen, D.E, Naotaka, S, Gittelman, M, Haniman, F, Wibisono, S,


Yamamoto,S, Naoko, T, Paula, R. 2006. Postnatal Depression in Surabaya,
Indonesia. International Journal of Mental Health, 35 (1), 62–74.

Fitriani, A. 2016. Peran Perempuan dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi.


Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Vol. 29, No. 3

Lestari, S. 2018. Depresi Pasca Melahirkan Membuat Saya Ingin Bunuh Diri
Bersama Anak. Jakarta: BBC. Diakses tanggal 28 September 2019 di
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43355369

Lin Ho, C., dkk. 2013. The Relationship between Postpartum Adaption and
Postpartum Depression Symptoms of First Pregnancy Mothers in Taiwan.
Baywood Publishing Co., Inc.

Machmudah. 2010. Pengaruh Persalinan dengan Komplikasi terhadap


Kemungkinan Terjadinya Pospartum Blues di Kota Semarang. Tesis.
Jakarta: Keperawatan Universitas Indonesia.

Nevid, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai