Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok dari suatu

kehidupan, semua mahluk hidup membutuhkan tanah. Sehingg

kepemilikan tanah menjadi suatu kegiatan yang wajib dilakukan

agar mendapatkan hak atas tanah. Untuk mendapatkan hak atas

tanah tersebut dilakukan dengan melakukan pendaftaran tanah

ke negara.
Menurut Douglas J. Whalan The Torrens, pedaftaran tanah

mempunyai 4 keuntungan yaitu;1


1. Security dan certainty of title, sehinga kebenaran dan

kepastian dari hak tersebut baik dari rangkaian peralihan

haknya, dan kedua jaminan bagi yang memperolehnya untuk

adanya suatu klaim seseorang yang lain.


2. Perniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang

berlebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tersebut

tidak perlu kita selalu harus mengulangi dari awal setiap

adanya peralihan hak, apakah dia berhak atau tidak dan

bagaimana rangkaian dari peralihan hak tersebut.


3. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan

demikian peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses

akan dapat dipermudahkan.


4. Ketelitian. Dengan adanya pendaftaran, maka ketelitian

sudah tidak diragukan lagi.

1
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1994),
halaman 6-7
2

Keuntungan-keuntungan tersebut, membuat rakyat

mengikuti dan melakukan pendaftaran atas tanah milik mereka

ke negara. Negara melaksanakan dan melakukan proses

pendaftaran tersebut telah diamatkan dalam pasal 33 ayat 3

berbunyi “ Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.
Pengaturan negara mengatur tentang pendaftaran tanah

dipergunakan agar hubungan antara rakyat dan rakyat serta

rakyat dan negara dapat harmonis, sehingga kebebasan rakyat

dalam kempemilikan tanah tidak menjadi kebebasan yang

sebebasnya yang akan menyebabkan ketersinggungan dan

pecah belahnya hubungan antara rakyat dan rakyat serta rakyat

dan negara, sehingga kemakmuran yang dicita-citakan tidak

akan terwujud.
Pengaturan negara dalam pendaftaran tanah salah satunya

dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UU Pokok

Agraria (UUPA)) dan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961

yang teleh diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

Tentang Pendafataran Tanah pada pasal 3, tujuan dari

pendaftaran tanah adalah yaitu;


3

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,

satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar, agar

dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan

perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dengan ketiga tujuan tersebut, tanah yang telah menjadi

hak dari rakyat telah dapat dipergunakan dengan baik untuk

kemakmuran rakyat yaitu untuk kegiatan, sewa-menyewa, jual

beli, hibah, kewarisan dan juga menjadi jaminan di lembaga

keuangan perbankan dan non perbankan.

Bukti bahwa pendafataran tanah tersebut telah dilakukan

berupa terbitnya sertifikat, baik berupa Sertifikat Hak Milik (SHM),

Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), sertifikat Hak Guna Usaha

(SHGU), Sertifikat Satuan Rumah Susun (SSRS) dan Sertifikat

Hak Pakai (SHP). Sertifikat inilah yang menjadi dasar segala

perbuatan hukum terhadap tanah, termasuk untuk melakukan

pemasangan Hak Tanggungan atas sebidang atau beberapa

bidang tanah guna menjamin suatu pinjaman dana pada

lembaga keuangan perbankan dan non perbankan.


4

Untuk itu, maka penulis tertarik untuk membuat makalah

mengenai sejarah dari pendaftaran tanah di Indonesia dan

bagaimana dari historikal kepemilikan tanah tersebut yang dapat

menjadi jaminan pada lembaga keuangan perbankan dan non

perbankan, sehingga aman untuk dilakukan pemasangan Hak

Tanggungan, dan mengenal lebih baik tentang penjaminan

dengan Hak Tangungan. Oleh karena itu penulis memberi judul

makalah ini dengan Sejarah Perkembangan Pendaftaran

Tanah di Indonesia Kaitanya Terhadap Penjaminan dengan

Hak Tanggungan.

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub

masalah sesuai dengan latar belakang diatas yakni sebagai

berikut :

1. Bagaimana Perkembangan Pendaftaran Tanah di Indonesia

beserta Problematikanya ?
2. Bagamaimana hubungan antara sejarah pendaftaran tanah

dengan pemasangan Hak Tanggungan dan permasalahan

yang sering dihadapi terkait pendaftaran tanah ?

C. TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk :


5

1. Mengetahui Perkembangan Pendaftaran Tanah di Indonesia

beserta Problematikanya.
2. Hubungan dan masalah yang sering muncul antara sejarah

pendaftaran tanah dengan pemasangan Hak Tanggungan

terkait pendaftaran tanah.

D. Metode Penelitian
Jenis penelitan ini mengunakan metode penelitian

perpustakaan (Library Research) yaitu meneliti berbagai buku,

artikel, makalah dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada

hubungan dengan judul yang akan dibahas dalam makalah ini.

E. Kerangka Teori
a. Teori Kesejahteraan

Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, baik kita

suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam

kehidupan kita berkaitan dengan orang lain (Jones, 2009).

Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah

kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi

terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut

Midgley (2000: xi) mendefinisiskan kesejahteraan sosial

sebagai “..a condition or state of human well-being ” Kondisi

sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan

bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,

pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi;

serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari

resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya


6

Tujuan dari pendaftaran tanah untuk mewujudkan

kesehateraan bersama, sehingga dengan memiliki sertifikat

hak atas tanah dapat dipergunakan bukan saja untuk bukti

kepemilikan tetapi dapat mendukung ekonomi dengan

menjadi jaminan untuk meminjam dana (kredit) pada suatu

lembaga perbankan atau non perbankan dengan pemasangan

Hak Tanggungan.

b. Teori Keadilan
Berdasarkan teori keadilan aristotels, keadilan yang

ideal adalah ketika semua unsur dalam masyarakat

mendapatkan bagian yang sama dari semua benda yang ada

di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan

mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang

(materi). 2
Keadilan merupakan dasar untuk mewujudkan

kemakmuran, dengan perlakukan dan pengaturan yang sama

pada semua rakyat Indonesia tentang pendaftaran tanah,

sehingga dapat menjadi hak rakyat untuk mempergunakan

tanah mereka salah satunya untuk menjadi jaminan dengan

pemasangan Hak Tanggungan.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan penalaran deduktif,

yaitu cara penalaran berdasarkan pangkal pikir yang bersifat

umum, kemudian diturunkan kesimpulan yang bersifat khusus.

2
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gajahmada Universuty Press,
Cet. Ke-3, 2016), halaman 48
7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Pendaftaran Tanah di Indonesia


8

Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (bahasan

Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk record (rekaman),

menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain

alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari

bahasa Latin “Capitastrum” yang berarti suatu register atau

capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi

(Capotatio Terrens). Dalam artian yang tegas Cadastre adalah

record (rekaman dari pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan

pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan). 3

Dengan demikian Cadastre merupakan alat yang tepat

yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan

juga sebagai continuous recording (rekaman yang

berkesinambungan) dari pada hak atas tanah.4

Sejarah pendaftaran tanah dibagi mejadi beberapa masa

yaitu;

1. Pada masa sebelum kemerdekaan

a. Masa Prakolonial.

Pada masa ini pola pembagian wilayah yang

menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan di Jawa adalah

berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan

atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat-

pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di

istana (Piageaud, 1960:525; Moertono, 1968: 94). Pada

masa itu konsep pemilikan menurut konsep barat (Property,


3
A.P Parlindungan, Op.Cit., halaman 18-19
4
Ibid.
9

Eigendom) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi

penguasa. Karena itu, tanah-tanah tersebut bukanya

dimiliki oleh pejabat-pejabat atau penguasa. Para penguasa

itu, dalam artian politik, mempunyai hak jurisdisti atas

tanah-tanah dalam wilayah yang dengan kekuasaan dan

pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara

teoritis juga mempunyai hak buminya sesuai dengan adat

yang berlaku.5

b. Masa Kolonial

Pada masa ini, menurut C. G. Van Huls sebagaimana

yang dikutip oleh Irawan Soerodjo, dalam bukunya Tjidscrift

Voor Het Kadaster Nederlandsch-Indie yang diterbitkan

tahun 1973, C. G. Van Huls membagi sejarah kadaster di

Indonesia menjadi 3 (tiga) periode yaitu;6

I. Periode kacau balau (De Chaotische periode), yaitu

sebelum tahun 1837.

Sejak kedatangan Belanda ke Indonesia yang

kemudian mendirikan VOC(Vernigde Oost Indische

Compagnie di tahun 1602. Berdasarkan kekuasaan yang

diberikan pemerintah Belanda VOC menganggap dirinya

yang berhak atas tanah-tanah yang terletak dalam

wilayah kekuasaannya. Dari sini lah VOC mengeluarkan

Plakat atau maklumat yang merupakan peletakan dasar

5
Fifik Wiryani, Hukum Agraria “Konsep dan Sejarah Hukum Agraria Era Kolonial hingga
kemerdekaan”, (Malang:Setara Press:2018), halaman 18
6
Lihat Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika:2006), halaman 47
10

pertama bagi pelaksanaan kadaster dan

penyelenggaraan pendaftaran hak di Hindia Belanda.

Pada tanggal 18 Agustus 1620, VOC mengeluarkan

suatu plakat atau maklumat yang merupakan peletakan

dasar pertama bagi pelaksanaan kadaster dan

penyelenggaraan pendaftaran hak di Hindia Belanda.

Pada tanggal 23 Juli 1680, VOC mengeluarkan plakat

yang mengatur mengenai susunan dan tugas Dewan

Heemraden,yaitu suatu lembaga pemerintah yang

memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta. Pasal 16

plakat tersebut menetapkan bahwa Dewan

Heemraden harus dengan segera membuat suatu peta

umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah

kerjanya yang pada setiap petanya dicatat luas dari tiap-

tiap tanah serta nama pemiliknya.

Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal

16 tersebut, ada 3 hal yang perlu dicatat sehubungan

dengan perkembangan kadaster, yaitu:7

a. Penyelenggarakan kadaster oleh Dewan

Heemraden harus dilakukan berdasarkan peta-peta

tanah sehingga hal ini berarti Dewan

Heemraden harus menyelenggarakan suatu kadaster

dalam arti yang modern.

7
Ibid, halaman 153-154
11

b. Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk

tujuan pemungutan pajak tanah dan memberikan

jaminan kepastian hukum mengenai batas-batas

tanah.

c. Dewan Heemraden di samping menyelenggarakan

kadaster bertugas pula untuk menyelenggarakan

perkara-perkara yang berkaitan dengan batas-batas

tanah serta pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-

jembatan, saluran-saluran air, tanggul-tanggul dan

bendungan-bendungan.

II. Periode ahli ukur pemerintah (De Periode van den

Gouvernement Landmeter), yaitu antara tahun 1837

hingga tahun 1837

Pada periode ini, Gubernur Jenderal dalam

keputusannya tanggal 18 Januari 1837 Nomor 3

mengintstruksikan kepada para ahli ukur di Jakarta,

Semarang, dan Surabaya untuk menyelenggarakan

Kadaster secara terperinci sesuai dengan pokok-pokok

penyelenggaraan suatu Kadaster dalam arti yang

modern. Ahli ukur tanah Pemerintah bertugas untuk;8

i. Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang

telah ada atau peta-petatanah yang dibuat oleh para

ahli ukur tanah sebelum berlakunya instruksi tersebut

8
Supriadi, op.,cit, halaman 155-156
12

dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang

tanah yang belum diukur dan dipeta;

ii. Menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:

a. Daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidnag

tanah didaftar menurut nomor atau huruf yang

diberikan pada bidang-bidang tanah yang diperlukan;

b. Daftar dari semua peta ini seperti peta kasar dan

peta-peta lain;

c. Daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-

penaksiran

iii. Memberikan Landmeterskennis

III. Periode jawatan pendaftaran tanah (De Periode van den

Kadastralan Diensnst Landmeter), yaitu sesudah 1875

Sesuai dengan usul Motke dan J.B Hiddink tersebut,

segera dimulai pengukuran dan pemetaan dari

Jakarta (Afdeling Batavia dat Landerman Batavia) yang

oleh residen Jakarta diinstruksikan dengan surat

keputusan tertanggal 12 Agustus 1874. Surat keputusan

ini selanjutnya diubah dengan Staatsblad 1875 No. 183

yang berlaku untuk seluruh Indonesia. Dalam Staatsblad

1875 No. 183 diatur secara rinci mengenai

penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pada Pasal

Staatsblad 1875 No. 183 tersebut dinyatakan bahwa


13

bidang-bidang tanah yang harus diukur dan di peta

adalah:9

i. Bidang tanah yang dipunyai oleh orang atau badan

hukum dengan sesuatu hak.

ii. Bagian-bagian dari bidan tanah hak jika bagian-bagian

dari bidang tanah itu terpisah oleh batas alam atau

jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman

yang berbeda-beda.

iii. Memelihara Kadaster.

iv. Mengeluarkan surat-surat

keterangan (Landmeterskennis), surat-surat ukur,

memberikan kutipan dari peta-peta dan

memperbolehkan orang-orang melihat peta-peta

kadaster dan daftar-daftar serta memberi keterangan

lisan isi dari peta-peta dan daftar-daftar itu.

2. Pada setelah masa Kemerdekaan

Setelah periode kadaster tersebut, pada masa setelah

kemerdekaan pendaftaran untuk hak-hak tanah yang tunduk

pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat.

Sungguppun juga orang ada orang-orang bumiputera yang

mempunyai hak-hak atas tanah yang berstatus hak-hak

Barat, selain dari golongan Eropah, dan Golongan Timur Asing

termasuk golongan Cina.10

9
Ibid, halaman 156-157
10
A.P.Parlindungan, Op.Cit., halaman 3
14

Pada masa ini banyak tanah-tanah rakyat

pendaftarannya dapat dilakukan dengan dicacat dengan

disahkan oleh kepala desa, Camat atau dengan akta Camat

Kemudian setelah terbitnya UUPA No. 5 Tahun 1960

dilanjutkan dengan membentuk PP No. 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran tanah, maka pendaftaran tanah wajib

dilakukan dengan proses yang diatur dalam PP No. 10 Tahun

1961 tersebut.

Keberlakukan UUPA dan PP tersebut, terjadi status quo

artinya tidak memungkinkan lagi diterbitkan surat-surat

keterangan tentang hak-hak seseorang kecuali menerangkan

bahwa tanah tertentu memang hak-hak adat. Pendaftaran

tanah berdasarkan PP tersebut wajib dilakukan oleh PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah). Disini terlihat bahwa PP

tersebut tidak dapat mengakomodir dari surat-surat yang

telah dibuat oleh camat atau kepala desa tersebut.

Problematika tersebut sampai dengan saat sekarang

masih ditemui bahwa surat-surat yang disahkan dengan

kepala desa atau Camat masih banyak beredar di rakyat,

karena kepemilikannya hanya berdasarkan surat kepala desa

dan atau camat, bahkan hanya dengan keterangan-

keterangan saksi-saksi. Sehingga untuk mengakomodir hal

tersebut pemerintah memnyempurkan PP No. 10 Tahun 1961

dengan PP No. 24 Tahun 1997. Dengan dikeluarkan PP No. 24

Tahun 1997 tersebut, maka surat-surat yang dikeluarkan atau


15

mengesahkan peralihan oleh kepala desa dan lurah dapat

dialakukan pendaftaran ke negara seperti halnya dengan akta

yang di buat oleh PPAT.

Dengan demikian PP No. 24 Tahun 1997 telah dapat

mengakomodir hak-hak yang dibuat oleh para Kepala Desa,

Camat, pernyataan-pernyataan saksi-saksi dan lain-lain

pernyataan/peristiwa hukum, sehingga akan mengakhiri atau

setidak-tidaknya akan mengurangi ketidakpastian sesuatu

hak atas tanah.11

B. Hubungan Sejarah Perkembangan Pendaftaran Tanah di

Indonesia dan Hak Tanggungan.

a. Hubungan Pendaftaran Tanah dan Hak Tanggungan

Menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan

oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan

penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam

bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah, dan

satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian Surat Tanda

Bukti bagi tanah-tanah yang sudah ada haknya dan hak milik

satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebani.

Maksud hak tertentu yang membebani dalam pengertian

tersebut adalah Hak Tanggungan (HT), hal ini sesuai dengan

11
Ibid.
16

ketentuan Pasal 9 angka (1) huruf e PP No. 24 Tahun 1997, yaitu

objek pendaftaran tanah meliputi;

a. Bidang – bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

b. Tanah Hak Pengelolaan

c. Tanah Wakaf, yaitu tanah hak milik yang sudah diwakafkan.

d. Hak Milik atas Tanah Satuan Rumah Susun

e. Hak Tanggungan

f. Tanah Negara

Pembebanan hak diatas hak atas tanah dengan Hak

Tanggungan merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan

pendaftaran tanah. Berdasarkan pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997

yaitu ;

(1) Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :

a. pengumpulan dan pengolahan data fisik;

b. pembuktian hak dan pembukuannya;

c. penerbitan sertipikat;

d. penyajian data fisik dan data yuridis;

e. penyimpanan daftar umum dan dokumen.

(2) Kegiatan pemelihaan data pendaftaran tanah meliputi :

a. pendaftaran

peralihan dan

pembebanan hak;

b. pendaftaran

perubahan data
17

pendaftaran

tanah lain-nya.

Dari kedua pasal tersebut, jelas bahwa HT merupakan objek

dari pendaftaran tanah dan dalam pendaftaran tanah termasuk

dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

b. Hak Tanggungan

Hak Tanggungan merupakan lembaga

pembebanan/jaminan khusus atas tanah dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah. Hak tanggungan adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Menurut

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, pada

intinya, HT merupakan suatu bentuk jaminan pelunasan utang,

dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-

Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA).12

Pengaturan khusus mengenai HT terdapat pada Undang-

Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Pada

bagian “menimbang” UUHT, dapat disimpulkan bahwa UUHT


12
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), halaman 13
18

merupakan amanat dari UUPA sebagai bagian dari unifikasi

Hukum Tanah Nasional. HT hadir sebagai lembaga jaminan yang

kuat guna kepastian hukum di era pembangunan yang semakin

pesat, mengingat ketentuan hypotheek dan credietverband yang

sudah tidak sesuai lagi serta adanya perkembangan untuk

memberikan jaminan atas tanah hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan, dan hak pakai atas tanah

tertentu. Adapun sebelum UUHT diundangkan dan berlaku,

lembaga pembebanan hak tanggungan (jaminan atas tanah dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah)

adalah hypotheek (diatur pada Buku II KUHPerdata

dan credietverband (diatur pada S.1908: 542 jo S.1909:586 yang

telah diubah dengan S.1937-190 jo S.1937-191) berdasarkan

pasal 57 UUPA. Namun demikian, sejak UUHT diundangkan dan

berlaku pada 9 April 1996,

ketentuan hypotheekdan credietverband sepanjang mengenai

pembebanan hak tanggungan tanah dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah (sebagai bagian kesatuan tanah) tidak

berlaku lagi sesuai dengan pasal 29 UUHT. HT sebagaimana

diatur UUHT merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas

tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.13

Kelahiran UUHT menyebabkan lembaga jaminan atas tanah

dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang telah terjadi

dengan hypotheek, credietverband dan Pasal 57 UUPA tetap


13
Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, ed.rev.cet.12, (Jakarta: Djambatan, 2008), halaman 416
19

diakui, namun kelanjutan pelaksanaannya hsrus didasarkan pada

UUHT. Sehingga wajib dilakukan penyesuaian terhadap Buku

Tanah dan Sertifikat Tanah pada lembaga jaminan tersebut guna

khususnya eksekusi dan pencoretan HT nya. Adapun apabila

pada saat UUHT diundangkan terdapat Surat Kuasa

Membebankan Hipotik (SKMH), SKMH tersebut dapat

digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT) dalam waktu 6 bulan terhitung sejak UUHT berlaku,

dengan mengingat pula ketentuan pasal 24 UUHT. Selanjutnya

sebagaimana diatur Pasal 25 UUHT, maka peraturan perundang-

undangan mengenai pembebanan HT sepanjang tidak

bertentangan dengan UUHT, tetap berlaku hingga ada peraturan

pelaksana UUHT dan pelaksanaannya disesuaikan dengan UUHT.

Adapun dalam hal eksekusi, tata cara eksekusi HT sepanjang

belum diatur khusus dalam suatu peraturan perundang-

undangan maka berlaku

ketentuan eksekusi hypotheeksebagaimana diatur pada HIR/RBg.

Kelahiran UUHT juga menyebabkan UUHT berlaku

pada pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun (HJRS) dan

Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) sesuai dengan pasal 27

UUHT.

Hukum positif yang mengatur mengenai HT terdapat pada

antara lain : 1) Pasal 25,33,39 dan 51 UUPA; 2) UUHT; 3) PP No.

24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 4) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN (PermenAgra/KBPN) No.3 tahun 1997


20

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 1997; dan 5) PermenAgra/KBPN No.4 tahun 1996

mengenai Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk

Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

Hak tangguungan terjadi dikarenakan adanya perjanjian

pokok antara yang berhutang dan yang mengutangi. Dalam

lembaga perbankan, hubungan biasa disebut sebagai kreditur

dan debitur. Perjanjian ini yang akan melahirkan perjanjian

pembebanan Hak Tanggungan. Perjanjian Pembebanan Hak

Tanggungan ini dilakukan dengan :

1. Kreditur dan Debitur telah menandatangani Perjanjian

pinjam meminjam (Kredit)

2. Debitur memberikan jaminan berupa benda tidak bergerak

berupa tanah dapat berupa jaminan milik debitur maupun

jaminan milik pihak ke-3.

3. Debitur menandantangani Akta Pembebanan Hak

Tanggungan (APHT) untuk agunan milik Debitur, sedangkan

apabila milik pihak ke-3, maka pihak ke-3 yang

menadatangani APHT. APHT untuk tanah yang sudah

bersertifikat, sedangkan untuk tanah yang belum

bersertifkat terlebih dahulu mendatangani SMHT untuk

dapat memberikan kesempatakan terhadap proses

penyertifikatan tanah tersebut, karena jangka waktu

keberlakukan SHMHT lebih panjang dari APHT, dan dalam


21

ketentuan hukum di Indonesia SKMHT merupakan jembatan

untuk mengakmodir APHT yang singakat jangka waktunya.

4. APHT dibuat oleh dan dihadapan PPAT

5. Setelah dilakukan pendaftaran ke Badan Pertanahan

Nasioanal (BPN), maka dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah

buku tanah dicatat, maka terbitlah sertifikat HT.

Dalam proses dan perjalannya, pemasangan HT terkait

dengan kepemilikan hak milik, masih terdapat kendala

dilapangan seperti ;

1. Petugas notaris ataupun PPAT yang masih belum mengerti

proses dan persyaratan untuk dapat diakukan pembebanan

HT, sehingga peraturan yang mewajibakan jangka waktu

proses terlewati yang berdampak cacat hukum proses

pembebanan tersebut, seperti kewajiban pengecekan

sebelum dilakukan pembebanan HT.

2. Kemudian proses pendaftaran oleh Petugas BPN yang

terjadi kelalaian, seperti tidak mendokumentasikan dengan

benar, sehingga berdampak cacat hukum proses

pembebanan tersebut karena telah terlewatinya jangka

waktu keharusan penerbitan sertifikat HT

3. Lamanya proses pensertifikatakan atau keluarnya bukti

kepemilikan tanah, sehingga sertifikat HT belum dapat

diterbitkan, karena belum selesainya sertifikat kepemilikan

tanah.
22

Untuk itu diharapkan agar kerjasama yang baik antara,

notaris, PPAT, petugas BPN maupun Kreditur dan Debitur dalam

mematuhi hukum terkait pembebanan HT ini, sehingga

diharapkan kerugian salah pihak tidak terjadi dan kemakmuran

yang dicita-citakan untuk seluruh pihak dapat tercipta, untuk

mensejahterankan seluruh rakyat dengan kepastian hukum dan

perlindungan hukum untuk segala pihak.

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Sejarah pendafataran tanah di Indonesia diawali dengan

Kadaster, dalam bukunya Tijdscrift Voor Het Kadaster

in Nederlandsch-Indie yang diterbitkan tahun 1937, C. G. van Huls

membagi sejarahKadaster di Indonesia dalam 3 (tiga) periode,

yaitu;

a. Periode kacan balau (De chaotische periode), yaitu sebelum tahun

1837;
23

b. Periode ahli ukur Pemerintah (De Periode van den

Gouvernements Landmeter) ,yaitu antara tahun 1837 hingga

tahun 1837;

c. Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den

Kadastralan Diesnst),yaitu sesudah 1875

Kemudian terbitlah,. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1961 disempurnakan dengan Peraturan

pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana

dalam PP tersebut lebih memberikan kepastian Hukum terhadap

tanah-tanah yang dibuat dan atau disahkan kepemilikan dan

peralihannya oleh kepala Desa dan Camat, sehingga dapat diakui

dan dilakukan pendaftaran hak kepada Negara, sehingga dapat

memberikan rasa keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan

bersama sesuai dengan pasal 3 UUD 1945.

Hubungan antara pendaftaran tanah dan Hak Tanggungan

adalah Hak Tanggungan merupakan salah satu kegiatan data

pemeliharaan atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah, karena

Hak tanggungan dalam PP . 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah merupakan salah satu Objek pendaftaran tanah. Pengaturan

khusus mengenai HT terdapat pada Undang-Undang No.4 tahun

1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT).

B. Saran

Untuk proses pendaftaran tanah pada Negara agar tidak

berbelit-belit, dan cepat secara prosedur, tidak ada tumpang tindih


24

aturan di lapangan, untuk itu disarankan prosedurnya dengan satu

pintu satu dan melalui online, sehingga masyarakat untuk

mendapatkan sertifikat hak atas tanah dan sertifikat Hak

Tanggungan dapat diperoleh dengan mudah.

Begitupun untuk biaya yang pajak pendaftaran tanah

tersebut yang saat ini masih dirasa sangat tinggi, agar dapat di

tinjau kembali oleh Pemerintah, sehingga tanah-tanah yang ada di

Indonesia tidak ada lagi yang masih surat-surat lama, telah

diproses menjadi sertifikat sesuai standar pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

1. A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung :

Mandar Maju, 1994).

2. Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gajahmada

Universuty Press, Cet. Ke-3, 2016)


25

3. Fifik Wiryani, Hukum Agraria “Konsep dan Sejarah Hukum Agraria

Era Kolonial hingga kemerdekaan”, (Malang:Setara Press:2018)

4. Lihat Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika:2006)

5. Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2005)

6. Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, ed.rev.cet.12, (Jakarta:

Djambatan, 2008)

Anda mungkin juga menyukai