Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak diimplementasikannya Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) diawal tahun 2014,


pola pembiayaan kesehatan di Indonesia mengalami perubahan. Termasuk perubahan
konsep pembayaran fee for service di Rumah Sakit menjadi sistem paket pembayaran dengan
menggunakan INA-CBG’s. Rumah sakit harus memiliki strategi dalam menghadapi
perubahan tersebut sebagai bentuk kendali mutu dan kendali biaya dalam memberikan
pelayanan kesehatan.

Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memberikan informasi yang dapat membantu


para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternative-alternatif pengobatan
yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

Salah satu evaluasi farmakoekonomi adalah study cost of illness (COI) atau analisa
biaya penyakit yang merupakan metode kajian ekonomi penyakit dan memperirakan jumlah
maksimum yang berpotensi dapat disimpan atau dihemat jika penyakit itu bias dicegah.

Banyak penelitian Cost of Illness (COI) telah dilakukan 30 tahun terakhir. Peran
penting study Cost of Illness (COI) dapat diligat dari seringnya penggunaan oleh para
pembuat kebijakan. Sebagaian besar dari study ini telah berperan dalam debat kebijakan
terkait kesehatan masyarakat karena study ini menyroti besarnya dampak dari penyakit di
masyarakat.

Oleh karena itu perlu dilaksanakan Analisa Biaya Penyakit Cost of Illness (COI).
Dari hasil analisa tersebut dapat digunakan menjadi acuan dalam menentukan kebijakan
pelayanan yang akan ditempuh dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Cost of Illness ?
2. Bagaimana contoh pelaksanaan Cost of Illness?

1.3 Tujuan
1. Memahami metode Cost of Illness
2. Memahami contoh penerapan metode Cost of Illness.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cost of Illness (COI)
Analisis Cost of Illness (COI) merupakan bentuk evaluasi ekonomi yang paling awal di
sektor pelayanan kesehatan. Tujuan utama COI adalah untuk mngevaluasi beban ekonomi dari
suatu penyakit pada masyarakat, meliputi seluruh sumber daya pelayanan kesehatan yang
dikonsumsi. Studi COI dapat menggambarkan penyakit mana yang membutuhkan peningkatan
alokasi sumber daya untuk pencegahan atau terapi, tetapi mempunyai keterbatasan dalam
menjelaskan bagaimana sumber daya dialokasikan, karena tidak dilakukan pengukuran benefit.
Selain itu, dalam studi ini dikembangkan berbagai metode, yang dapat membatasi
perbandingan dari hasil studi. Studi dapat bervariasi berdasarkan sudut pandang, sumber data
yang digunakan, kriteria biaya tidak langsung, dan kerangka waktu untuk menghitung biaya.
Studi COI yang komprehensif meliputi baik biaya langsung maupun tidak langsung. Biaya
langsung mengukur cost dari sumber daya yang digunakan untuk mengatasi penyakit tertentu,
sedangkan biaya tidak langsung mengukur nilai sumber daya yang hilang karena penyakit
tertentu. Meskipun beberapa studi juga memasukkan intangible cost dari nyeri atau sakit,
biasanya pada pengukuran kualitas hidup, kategori biaya tidak dihitung karena kesulitan
menghitung biaya secara tepat. Biaya medik langsung meliputi pengeluaran pelayanan
kesehatan untuk diagnosis, terapi, terapi pemeliharaan, dan rehabilitasi, sedangkan biaya non-
medik langsung adalah sumber daya sumber daya yang tidak terkait langsung dengan
pelayanan kesehatan, misalnya transportasi dari atau ke tempat pelayanan kesehatan,
pengeluaran untuk keluarga, dan waktu dari anggota keluarga untuk merawat pasien. Istilah
biaya tidak langsung digunakan untuk menilai produktivitas yang hilang terkait dengan
penyakit atau kematian. Istilah ini tidak sama artinya jika dilihat dari sudut pandang yang
berbeda. Dalam akuntasi, biaya tidak langsung mengacu pada aktivitas tambahan atau
pendukung yang dibutuhkan unit pengguna, oleh karena itu disarankan untuk menggunakan
istilah biaya produktivitas yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Studi COI dapat
dilakukan dari beberapa sudut pandang yang berbeda, dimana masingmasing sudut pandang
biaya yang dihitung berbeda. Berdasarkan sudut pandang (perspektif) tersebut dapat diukur
biaya masyarakat, sistem pelayanan kesehatan, pihak ketiga, pemerintah, atau pasien.

2.2 Tipe Cost of Illness


Studi cost of illness dapat dilakukan berdasarkan data epidemiologi, yaitu
pendekatan prevalensi atau insidensi, metode yang dipilih untuk menghitung biaya, yaitu
top down atau bottom up, dan hubungan antara awal penelitian dan pengumpulan data,
yaitu studi retrospektif dan prospektif.

a. Pendekatan Prevalensi vs Insidensi Studi COI dapat didasarkan pada prevalensi atau
insidensi. Studi prevalensi mengacu pada jumlah total dari kasus pada periode
tertentu (biasanya dalam satu tahun), sedangkan insidensi mengacu pada jumlah
kasus baru yang muncul dalam periode waktu tertentu. Pendekatan prevalensi
memperkirakan biaya penyakit atau kelompok penyakit pada semua kasus yang
terjadi dalam periode satu tahun, baik biaya langsung maupun produktivitas yang
hilang. Pendekatan insidensi memperkirakan biaya seumur hidup kasus baru dari
suatu keadaan atau kelompok keadaan dalam periode tertentu. Analisis COI yang
didasarkan pada prevalensi dapat bermanfaat jika tujuan studi adalah :

1. Memberikan gambaran kepada pembuat keputusan pada suatu keadaan dimana


pengeluaran tidak sesuai dengan biaya riil. Karena terdapat perbedaan numerik
antara pendekatan prevalensi dan insidensi, tujuan dari pendekatan prevalensi
lebih baik daripada insidensi.

2. Merencanakan kebiajakn cost containment, karena studi ini memberikan


gambaran kepada pembuat keputusan pengeluaran secara menyeluruh dan lebih
penting lagi komponen biaya utama.

Analisis COI yang iddasarkan insidensi khususnya bermanfaat jika tujuannya


adalah:

1. Penilaian terhadap pencegahan. Analisis ini memperkirakan penghematan yang


dapat diperoleh jika dilakukan tindakan pencegahan.

2. Menganalisa manajemen penyakit dari awal terjadinya penyakit sampai sembuh


atau meninggal.

Pendekatan insidensi menganalisis stage atau keparahan penyakit sehingga


menggambarkan bagaimana biaya didistribusikan jika penyakit berkembang. Hal ini
dapat membangkitkan, misalnya pengembangan pedoman klinik atau terapi untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi baik manajemen penyakit secara keseluruhan dan
untuk setiap tahapan dari clinical pathway.
Studi COI yang didasarkan pada prevalensi lebih sering dilakukan karena data yang
diperlukan lebih sedikit dan asumsi yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan
insidensi. Data yang diperlukan cukup data satu tahun dan tidak diperlukan asumsi
mengenai survival rate dan lama sakit. Lifetime cost dapat dihitung dari biaya per tahun,
asumsi steady state insidensi penyakit, perkembangan penyakit, survival rate, dan terapi;
tetapi perkiraannya mungkin tidak tepat seperti jika digunakan data riil dari terapi (data
longitudinal) pada penyakit tersebut karena kemungkinan dilakukan perubahan terapi.
Metode khusus untuk menghitung lifetime cost menggunakan data biaya per tahun
berbeda, pendekatan dasar untuk masing-masing metode adalah menggunakan data satu
tahun sebagai crosssection dari bagaimana biaya didistribusikan berdasarkan umur.
Asumsinya adalah biaya secara crossectional pada usia yang berbeda menggambarkan
perkembangan dari penyakit.

Metode ini dapat digunakan untuk memperkirakan perbedaan biaya karena adanya
penyakit dan tanpa penyakit berdasarkan usia. Metode ini menggambarkan tambahan per
person cost berdasarkan usia, yang dapat digabungkan dengan data jumlah pasien dengan
penyakit yang diperkirakan survive pada masingmasing usia untuk memperkirakan
lifetime cost. Metode lain untuk memperkirakan lifetime cost adalah dengan mengalikan
data biaya per unit dalam 1 tahun dengan opini ahli mengenai kurun waktu penyakit.
Metode yang ketiga adalah menggunakan data presentase biaya pada tahun pertama
untuk memperkirakan lifetime cost total.

Studi COI khususnya berguna untuk mengukur penghematan potensial dari kasus
yang bisa dicegah dari suatu penyakit. Lebih jauh lagi dapat digunakan sebagai data
untuk melakukan analisis efektivitas-biaya, analisis cost-benefit atau analisis pencegahan
penyakit. Untuk penyakit akut dimana hanya biaya dalam satu tahun yang dihitung, maka
pendekatan berdasarkan prevalensi dan insidensi akan memberikan hasil yang sama.
Untuk penyakit kronis dimana biaya bisa lebih dari satu tahun, maka studi yang
didasarkan pada insidensi memberikan informasi lebih mengenai biaya dari kasus yang
bisa dicegah. Studi berdasarkan prevalensi dapat dilakukan untuk penyakit kronis, tetapi
perlu interpretasi sebagai gambaran dari biaya dalam satu tahun, daripada biaya yang
dapat dihemat jika semua kasus penyakit dapat dicegah.

b. Pendekatan Top Down vs Bottom-up


Perbedaan lain antara kedua pendekatan di atas adalah bahwa pada
pendekatan insidensi analisis dilakukan secara bottom up, meliputi semua biaya
penyakit selama hidup. Data yang diperlukan lebih detail dibandingkan
pendekatan prevalensi. Pendekatan prevalensi dilakukan secara top down,
mengalokasikan total biaya untuk masing-masing kategori penyakit secara
umum. Pada pendekatann bottom up, perkiraan biaya dapat dibagi menjadi 2
langkah. Langkah pertama, adalah memperkirakan jumlah input yang
diperlukan dan langkan kedua adalah memperkirakan unit cost dari input yang
digunakan. Biaya diperhitungkan dengan mengalikan unit cost dengan
jumlahnya. Data yang diperlukan akan bervariasi, tergantung dari cakupan
penelitian. Pada studi yang komprehensif, biasanya dilakukan survei secara
nasional sehingga dapat disajikan data yang sesungguhnya dari sumber daya
yang digunakan. COI top down dapat menyebabkan alokasi biaya kurang tepat,
pertama disebabkan pengeluaran biaya pelayanan kesehatan nasional bisa lebih
rendah atau lebih tinggi dari biaya langsung total. Kedua, eksklusi dari kategori
biaya tidak dipertimbangkan (misalnya biaya transportasi atau pelayanan
informal), sehingga akan menyebabkan bias karena perkiraan biaya berdasarkan
kategori penyakit, kategori penyakit yang berbeda dapat menyebabkan
perbedaan biaya non medik. Ketiga, biaya total menggambarkan diagnosis
primer. Hal ini akan menyebabkan masalah jika pasien mengalami multiple
diagnosis.

c. Cost of Illness Prospektif vs Retrospektif

COI dapat dilakukan secara prosfektif dan retrospektif tergantung dari


hubungan antara waktu penelitian dilakukan dan pengumpulan data. Pada studi
COI retrospektif, saat studi dilakukan, semua kejadian yang relevan sudah
terjadi. Proses pengumpulan data mengacu pada data yang sudah ada,
sedangkan pada studi SOI prospektif kejadian yang relevan belum terjadi saat
penelitian dilakukan. Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti
pasien setiap waktu. COI berdasarkan prevalensi maupun insidensi dapat
dilakukan secara prospektif atau retrospektif. Kelebihan dari COI retrospektif
adalah lebih murah dan waktu yang diperlukan lebih pendek dibandingkan
dengan prospektif karena data yang diperlukan sudah tersedia saat penelitian
dilakukan. Desain retrospektif lebih efisien terutama untuk penelitian pada
penyakit yang durasinya panjang dan memerlukan waktu beberapa tahun untuk
mencapai end point nya. COI retrospektif bisa dilakukan jika data yang
diperlukan tersedia. Sebaliknya, pada COI prospektif, peneliti dapat merancang
sistem pengumpulan data yang diperlukan. Data penyakit dan penggunaan
sumber daya pelayanan kesehatan dapat diperoleh data yang lengkap untuk
setiap intervensi yang dilakukan. Kedua, kepada pasien dapat diberikan buku
harian untuk mendapatkan data biaya yang belum tercatat oleh organisasi
pelayanan kesehatan. Dengan cara ini dengan mudah dapat dilakukan
pengukuran biaya non medik langsung, seperti biaya transportasi. Perkiraan
waktu tidak bekerja bisa diperkirakan dengan lebih tepat. Namun demikian, jika
penyakit memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai end point
misalnya penyakit hepatitis C yang memerlukan waktu terapi 30 sampai 40
tahun maka kalau dilakukan COI prospektif akan memerlukan biaya yang mahal
dan waktu yang sangat lama. Pada kasus ini, COI retrospektif lebih efisien
untuk mengukur beban penyakit.

d. Evaluasi biaya dalam Cost of Illness

COI diperkirakan dnegan mengidentifikasi komponen biaya dan menilai


dalam unit moneter. Kategori biaya yang dihitung dalam memperkirakan biaya
total dari COI adalah biaya langsung dan produktivitas yang hilang. Metode
yang digunakan untuk menghitung biaya pelayanan adalah dengan pendekatan
micro-costing atau gross-costing. Pada metode micro-costing, biaya pelayanan
dinilai dengan menjumlahkan masing-masing komponen biaya-biaya kunjungan
ke rumah sakit, maka dilakukan identifikasi , pengukuran, dan evaluasi terhadap
sumber daya seperti misalnya personel, terapi, dan test laboratorium. Dengan
kata lain bahwa micro-costing menggunakan pendekatan bottom up yaitu
perhitungan komponen biaya produksi (input) untuk mendapatkan output.
Sebaliknya, dengan pendekatann gross-costing, biaya pelayanan (misalnya
kunjungan ke rumah sakit) dinilai secara top down, yaitu dengan cara membagi
total biaya pelayanan dengan jumlah total pelayanan yang dihasilkan dalam
periode waktu tertentu. Kedua pendekatan ini tujuannya adalah untuk
menghitung unit cost dari pelayanan, namun demikian tingkat ketepatan dari
kedua metode tersebut sedikit berbeda. Hasil dari pendekatan microcosting
menggambarkan biaya pelayanan yang aktual sedangkan pendekatan gross-
costing menghasilkan nilai rata-rata. Pendekatan micro-costing sangat akurat
dan merupakan gold standard untuk penilaian biaya, namun demikian
pendekatan ini memerlukan biaya yang mahal dan waktu lebih lama.
Pendekatan micro-costing direkomendasikan jika tujuan dari analisis adalah
untuk menegaskan perbedaan biaya dari suatu pelayanan kesehatan. Sudi COI
merupakan salah satu pendekatan yang penting dalam ekonomi kesehatan
sebagai alat untuk membuat keputusan. COI berbeda dengan evaluasi ekonomi
yang lain karena tidak membandingkan biaya dan outcome.

e. Tujuan utama dari COI adalah:

1. Untuk menilaai beban ekonomi suatu penyakit dalam masyarakat. Hasil


studi dapat digunakan sebagai informasi tentang jumlah sumber daya yang
digunakan karena penyakit dan berdasarkan data epidemiologi morbiditas
dan mortalitas dapat diketahui peringkat penyakit berdasarkan beban
ekonominya.

2. Untuk mengidentifikasi komponen biaya utama dan biaya total berdasarkan


insidensi. Hal ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk menetapkan
dan/atau membatasi:

a. Kebijakan penetapan biaya pada komponen yang memberikan porsi


terbesar dari total biaya.

b. Mengontrol implementasi nyata dari kebijakan kesehatan sebelumnya.

3. Untuk mengidentifikasi manajemen klinik dari suatu penyakit pada tingkat


nasional. Hasil evaluasi COI dapat membantu pembuat keputusan dan
manajer untuk menganalisa fungsi produksi yang digunakan untuk
menghubungkan input dan/atau pelayanan intermediate untuk mencapai
output. Pedoman klinik merupakan salah satu contoh hasil akhir pada kasus
ini, dapat digunakan untuk identifikasi manajemen penyakit terutama jika
dinilai tidak efektif atau sangat beragam.

4. Menjelaskan variasi biaya. Pada kasus ini dapat dilakukan analisis statistik
untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara variasi biaya dan
variabel penyakit ( misalnya keparahan), pasien (misalnya variabel
demografi) atau penyelenggara pelayanan kesehatan (misalnya rumah sakit
pendidikan dibandingkan rumah sakit daerah). Hasil penelitian ini akan
membantu manajer untuk membuat perencanaan dengan informasi yang
lebih akurat untuk menentukan pelayanan ke depan. Pola dari sumber daya
yang digunakan dalam pelayanan sangat penting untuk merencanakan
pelayanan kesehatan.

Studi COI mengukur beban ekonomi dari suatu penyakit dan memperkirakan nlai
maksimum yang dapat dihemat atau diperoleh jika penyakit dapat disembuhkan.
Pengetahuan COI dapat membantu pembuat kebijakan untuk memutuskan penyakit apa
yang diprioritaskan untuk ditentukan kebijakan pelayanan kesehatan dan pencegahannya.
Selain itu, studi ini dapat menjelaskan regimen terapi mana pada suatu penyakit yang
dapat menurunkan beban penyakit tersebut. Bagi pemegang kebijakan, studi COI dapat
menggambarkan pengaruh finansial dari suatu penyakit pada program kesehatan di
masyarakat. Bagi manajer, dapat diketahui penyakit apa yang mempunyai pengaruh besar
pada biaya. Studi COI menyediakan informasi yang penting untu cost-effectiveness
analysis dan cost benefit analysis, memberikan kerangka kerja untuk perkiraan biayanya.

BAB III
PEMBAHASAN

Salah satu contoh penerapan Cost of Illness (COI) adalah pada jurnal ilmiah dengan judul
“Cost of Illness Pasien stroke “ yang ditulis oleh Sandi Purbaningsih dkk. Jurnal ini
dipublikasikan pada Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Indonesia Vol.5 No.2 hlm. 95-
103 tahun 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur beban ekonomi suatu penyakit. Penelitian bertujuan
untuk melihat gambaran total biaya penyait stroke rawat jalan dan rawat inap ditinjau dari
factor usia, jenis kelamin, kelas perawatan, lama perawatan,jumlah komorbid, cara bayar dan
tipe stroke. Jneis penelitian adalah penelitian analitik dengan rancangan cross sectional
berdasarkan perspektif rumah sakit. Pengambilan data dilakukan secara retrospekif melalui
catatan medic pasien, bagian penjaminan dan dari bagian Unit Teknologi Informatika di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode bulan Januari sampai Juni 2014.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data retrospektif dari catatan medic rill
pasien, rincian biaya medic rill pasien stroke data klaim INA CBG’s pasien stroke periode
Januari - Juni 2014.

Subjek penelitian yang digunakan adalah seluruh populasi pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode bulan Januari – Juni 2014 yang memenuhi kriteri inklusi penelitian.
Criteria inklusi subjek peelitian adalah semua pasien yang mengalami stroke baik stroke
iskemik dan stroke heemoragik baik rawat inap maupun rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito;
pasien dengan data rekam medic dan pembiayan yang lengkap. Krieria ekslusi subjek
penelitian adalah pasien stroke dengan komorbid penyakit yang tidak ada hubungannya
dengan system vaskuler meliputi kangker, TBC dan HIV AIDS.

Variable bebas dalam penelitian ini adalah factor – factor yang meliputi : usia,jenis kelamin,
kelas perawatan, lama perawatan, jumlah komorbid, cara bayar dan tipe stroke.sedangkan
variable bergantung adalah biaya rill pasien rawat jalan dan biaya rill pasien rawat inap.

Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif untuk memaparkan besar biaya penyakit
stroke, komponen – komponen biaya yang menyususn total biaya penyakit stroke: analisis
biaya uji beda biaya pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito ditinjau dari faktor usia, jenis
kelamin, kelas perawatan, lama perawatan, jumlah komorbid, cara bayar dan tipe stroke
dilakukan dengan metode analaisis Mann Whitney untuk uji beda duakelompok, dan kruskal
wallis untuk uji beda lebih dari 2 kelompok pada taraf kepercayaan 95 % ( α = 5 % ).

Perhitungan CMA dilakukan dengan cara menghitung biaya total dari masing-masing
komponen dari biaya, dengan menggunakan perspektif biaya dari rumah sakit tempat
penelitian ini dilaksanakan. Pada perhitungan biaya digunakan asumsi tidak ada kenaikan
harga dan penurunan daya beli pasien, dengan formula:

Tabel 1. Hasil uji beda karakteristik pasien stroke iskemik rawat jalan terhadap jalan terhadap
biaya rill.

Tabel 1 menunjukkan bahwa usia memberikan hasil berbeda secara signifikan terhadap biaya
rill yang ditimbulkannya, dengan nilai p= 0,01 (< 0,05 ).dilihat dari nilai rata – rata biaya,
semakin lanjut usia pasien, maka biaya yang ditimbulkannya juga semakin besar. Hal ini
disebabkan semakin lanjut usia pasien fungsi dan metaboisme tubuh semakin menurun dan
seringkali pasien lanjut disertai beberapa komorbid ( penyakit penyerta ), sehingga biaya
pengobatan tidak hanya untuk mengobati penyakit stroke saja tapi juha penyakit komorbid.

Jenis kelamin juga memberikan hasil beda yang signifikan terhadap biaya rill yang
ditimbulkan dengan signifikansi p = 0,03. Hasil ini sesuai dengan penelitian Gnonlonfoun et
al. (2013) yang menyebutkan bahwa biaya stroke dipengaruhi oleh jenis kelamin. Biaya
untuk pasien laki-laki lebih besar dari pada biaya untuk pasien perempuan, karena pada laki-
laki cenderung memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena penyakit vascular, sehingga
pada laki-laki kemungkinan menderita stroke lebih besar.

Hasil analisis berdasarkan jumlah komorbid tidak menunjukkan hasil neda secara signifikan
terhadap biaya rill yang ditimbulkan (P=0,057). Hal tersebut kemungkinan karena yang lebih
berpengaruh terhadap biaya rill adalah tingkat keparahan penyakit dan jumlah komorbid tidak
cukup untuk menentukan keparahan yang diperlukan komponen lain yaitu prosedur
(tindakan) yang diperlukan untuk menangani penyakit tersebut sesuai system grouper
casemix.

Tabel II. Hail uji beda karakteristik pasien stroke hemoragi rawat jalan dengan biaya rill
Jenis Biaya Meropenem Ceftazidime Nilai p (two tailed)
Biaya Antibiotik 4.816.500 673.809 0,024 *
Biaya Penunjang 3.948.552 4.400.544 0,704*
BiayaTindakan dan 326.495 178.170 0,075*
Administrasi
Biaya Rawat Inap 2.002.600 1.830.000 0,51**
CMA 11.094.147 7.082.523 0,11*
* independent t- test
** Mann Whitney test

Dari penelitian ini diketahui bahwa dari segi ekonomi, kelompok terapi antibiotik ceftazidime
lebih murah dalam pelaksanaan terapi febrile neutropenia dibandingkan dengan antibiotik
meropenem, dengan asumsi outcomes yang sama. Tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan
(Tabel 1). Walaupun antibiotik Meropenem mempunyai harga enam kali lebih mahal dari
Ceftazidime, tetapi perbedaan harga tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap total biaya terapi Febrile Neutropenia. Hasil ini kemungkinan bisa
diekstrapolasikan ke dalam populasi yang lebih luasnya misalnya pada pasien Febrile
Neutropenia di seluruh kota Bandung mengingat harga obat yang relative sama. Keterbatasan
dalam penelitian ini tidak disampaikan.
BAB IV
KESIMPULAN

Jadi Cost Minimize Analysis atau Analisa Minimalisasi Biaya adalah teknik analisis
ekonomi untuk membandingkan dua pilihan intervensi atau lebih yang memberikan hasil
(outcomes) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang menawarkan biaya lebih
rendah.

Salah satu contoh penerapan CMA adalah Analisa Minimalisasi Biaya Penggunaan
Antibiotik Meropenem dengan Ceftazidime pada Terapi Febrile Neutropenia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rizky dkk.2016. Analisis Minimalisasi Biaya Penggunaan Antibiotik Meropenem


dengan Ceftadizime pada Terapi Febrile Neutripenia. Sumedang : Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia Vol.5 No.2 Hal.132-137.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes.2013.Pedoman Penerapan Kajian


Farmakoekonomi.Jakarta : Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia.
MIMS. Meropenem [Diunduh 21 Maret 2018]. Tersedia dari: http://
mims.com/INDONESIA/Home/Gateway Subscription/?generic=meropenem

MIMS. Ceftazidime [Diunduh 21 Maret 2018]. Tersedia dari: http://


mims.com/INDONESIA/Home/Gateway Subscription/?generic=ceftazidime.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah “Cost Minimizae
Analysis “ ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Farmakoekonomi Program Studi S1 Farmasi
Fakultas Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta. Makalah ini
membahas tentang Cost Minimize Analisis obat yang mencakup pengertian
manfaat, penerapan dan contoh penerapanya.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat, terutama dalam


peningkatan pengetahuan yang dapat diterapkan kelak dalam pada pemanfaatan
pemilihan obat dan dapat berfokus pada efisiensi. Demi menyempurnakan
makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang


dapat bekerjasama team dengan baik serta ibu dosen pembimbing yang
mengarahkan penulis. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua
kebaikkan beliau.

Jakarta, 27 Maret 2018

Penulis
TUGAS FARMAKOEKONOMI

COST MINIMIZE ANALYSIS

Dosen: Ainun Wulandari, S.Farm.M.Sc.Apt

Disusun Oleh :

I GUSTI LANANG BAGUS SUHARTANA (17330719)

WAHYUDI ANGGRIAN ( 17330724)

YUNUS ADIL ZEBUA (17330725)


PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2018

Anda mungkin juga menyukai