Oleh:
Rakhmadhaniar Kusuma W. - G99181051
Pembimbing
Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Nn. M
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
Suku : Jawa
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Belum menikah
Tanggal masuk : 1 Oktober 2019
Tanggal periksa : 3 Oktober 2019
B. Data dasar
Anamnesis dilakukan di bangsal Anggrek 2 RSUD dr. Moewardi
Surakarta.
Keluhan Utama
Hidung kiri terasa tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT-KL RS Dr. Moewardi dengan keluhan
hidung kiri terasa tersumbat sejak 18 hari yang lalu. Keluhan timbul setelah
bagian muka pasien terbentur dinding. Setelah terbentur, bagian pipi kiri
dekat mata terasa nyeri dan tidak nyaman, pasien juga merasa pipi kiri
lebih cekung daripada pipi kanan. Keluhan mimisan disangkal, pilek
disangkal, nyeri kepala disangkal. BAK dan BAB pasien tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah
4. Primary Survey
a. Airway : Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
b. Breathing : Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18 x/mnt
c. Circulation : Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 88x/mnt, tekanan
darah 110/70 mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 99%
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor
2mm/2mm
e. Exposure : Trauma kepala (+), trauma ekstremitas bawah kanan (-),
trauma genital (-), suhu normotermi
5. Secondary Survey
a) Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b) Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d) Telinga : Sekret (-/-)
e) Hidung : konka nasalis lapang (+/+), discharge (-/-), Septum deviasi
(-/-)
f) Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g) Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h) Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i) Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j) Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k) Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada,
Distended (+)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
l) Genitalia : discharge (-)
m) Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin - -
- -
- -
Oedem
- -
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG Abdomen 11 April 2019
Kesan:
• Hematosinus maxilla bilateral
• Concha bulosa media bilateral
• Hipertrofi concha nasalis inferior sinistra
• Keros classification type 2
• Fraktur os nasal, rima orbita inferior et lateral sinistra, rima orbita
lateral dextra, dinding anterior et posterior sinus maksilaris sinsitra,
hingga os maksilaris sinistra (Le fort II)
2. Laboratorium 1 Oktober 2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 12,4 g/dl 12,0-15,6
Hematokrit 39 % 33-45
Leukosit 7,2 ribu/ul 4,5-11
Trombosit 314 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4,05 juta/ul 4,1-5,1
HEMOSTASIS
PT 13,1 detik 10,0-15,0
APTT 29,5 detik 20,0-40,0
INR 1,010
KIMIA KLINIK
GDS 84 mg/dl 60-140
Albumin 4,4 g/dl 3,5-5,2
Kreatinin 0,6 mg/dl 0,6-1,1
Ureum 25 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 133 mmol/L 136-145
Kalium darah 3,8 mmol/L 3,3-5,1
Chlorida Ion 100 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive
IV. ASSESMENT
Fraktur OS Maxilla Sinistra + Hematosinus bilateral
V. PLAN
A. Daftar OK IBS
B. Informed consent
C. Site marking
D. Konsul TS Anestesi
E. Pasang IV line
F. Antibiotik profilkasis : Inj. Cefazolin 2g/IV
G. Puasakan pasien 6 jam pre operasi
H. Pesan HCU
VI. PROBLEM
1. Fraktur os maxilla sinistra+hematosinus bilateral
Secondary Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil isokor,
katarak matur (-/-)
d. Telinga : Sekret (-/-)
e. Hidung : konka nasalis lapang (+/+), discharge (-/-), Septum deviasi
(-/-)
f. Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h. Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j. Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (-/-),
ronki basah halus (-/-)
k. Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-), undulasi
(-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
l. Genitalia : Discharge (-)
m. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin - -
- -
Oedem - -
- -
TINJAUAN PUSTAKA
1. FRAKTUR MAKSILOFASIAL
a. Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur maksilofasial atau fraktur wajah adalah putusnya
kontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi. Menurut
Reksoprodjo fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau
patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa
3,6
hanya retakan saja, sampai hancur berkeping-keping.
Penyebab fraktur adalah trauma, misalnya kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja dan kecelakaan atau cedera
olahraga. Namun menurut Trott et al., penyebab utama dari fraktur
adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan perkelahian, sedangkan
penyebab lainnya adalah jatuh, kecelakaan olahraga, kecelakaan kerja dan
6,7
fraktur patologis.
b. Etiologi Fraktur Maksilofasial
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur
maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga
sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah
3,4
kecelakaan lalu lintas.
c. Klasifikasi
Klasifikasi yang paling umum adalah klasifikasi yang
dikembangkan oleh Rene Le Fort (1869-1951), ahli bedah dari Lilie, dan
Martin Wassmund (1892-1956), ahli bedah mulut dan maksilofasial dari
5
Berlin.
Lokasi Jenis Fraktur
• Fraktur Dentoalveolar
Trauma dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau
terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya
hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin
terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan
4,5,9
setiap bentuk fraktur lainnya.
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan
dengan terjadinya trauma wajah adalah kerusakan pada
mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa
terbukanya saluran pulpa.
Gambar 2.4 A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas
pada enamel dan dentin (fraktur mahkota sederhana), C.Fraktur
mahkota langsung melibatkan pulpa (fraktur mahkota
terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-
akar terkomplikasi, F.Fraktur akar Horizontal. Sumber:
(www.emedicine.com).
Trauma fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada
gigi insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian
dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir.
Sering kali trauma semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,
sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang
terkena trauma tersebut tertanam di dalam bibir atas.
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi
yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali
mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga
sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang
setelah terjadinya trauma fasial agar selalu membuat radiograf
dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada
saat terjadinya kecelakaan.
17
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas
maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.
18
alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara
terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai
fraktur transmaksilari.
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin
secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal
biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris
dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti
pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le
Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le
Fort I.
Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera
yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari
tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya
disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intrakranial.
19
Gambar 2.6 Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III. Sumber:
(www.emedicine.com)
• Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang
ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma
kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat
kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan
trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak
di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibula
merupakan kejadian yang sering terlihat.
Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah
cedera terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan
maloklusi. Pasien dengan fraktur mandibula sering
mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal.
Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan
diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien
mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas
ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat
terjadi pada bagian anterior mandibula (simpisis dan
parasimpisis), angulus mandibula, atau di ramus atau
20
daerah kondilar mandibula.
21
kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin
setelah reduksi tidak perlu.
• Fraktur Komplek Zigoma
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan
secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui
pendekatan Gillies klasik.
• Fraktur Dento-alveolar
Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih
memiliki mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang
dan gigi tersebut masih dapat dilestarikan. Pergeseran dikurangi
dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki jika itu
diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan
untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar
ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang
berdekatan dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint
komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.
Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya
gigi dan tulang yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan
penjahitan pada mukosa yang berada diatas daerah tulang yang
telah rata.
• Fraktur Maksila
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan
arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi
kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan
sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan
tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa
dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah
perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga.
22
Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding
digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat
dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular,
pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada
sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.
• Fraktur Mandibula
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni
cara tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik
tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai
dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular.
Pada prosedur terbuka , bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi
secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat.
Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu
dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.
23
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, tidak merokok dengan toleransi
olahraga yang baik, pasien non-obes (BMI <30)
24
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan) dengan tujuan untuk
mentransplantasikannya ke pasien lain.
25
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah post operasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah post operasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat
(kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
26
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan
dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol
karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
27
g. Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
h. Lakukan laringoskopi, pasang ETT
Intubasi Endotrakeal (ETT) adalah suatu tindakan memasukkan pipa
khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk (Morgan et al,
2006):
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
i. Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
j. Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah
obat sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena
Nitrous Oksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, berbau
manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat
melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam
darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu
pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit
sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ;
70% : 30% atau 50% : 50%.
28
Sedangkan untuk obat sedative, contohnya adalah Sevoflurane
(2vol%). Sevofluran merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun
panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal
horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.
k. Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau
tetes ulang terus menerus
l. Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume dan
frekuensi yag sesuai.
m. Pantau tanda vital
n. Pemantauan selama anesthesia
29
BAB III
PEMBAHASAN
30
pernafasan lebih tenang dan tidak ada ketegangan dari otot abdomen. Sebelum
dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre anestesi
102kali/menit, tekanan darah 118/76 mmHg, dan frekuensi pernafasan 18 x/menit.
Pada pasien ini dilakukan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotracheal tube (ET). Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan
suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian bawah. Tujuan
dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi
lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung
penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran
trakeobronkial. Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok,
suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser, glottis dan
subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia, tracheoesophagial
fistula.
Operasi rekonstruksi maxillofacial dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2019.
Pasien dikirim dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 5 pada pukul
10.00 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 124/82 mmHg;
Nadi 95x/menit, dan SpO2 99%. Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan
premedikasi dengan midazolam 0,07-0,15mg/kg/IM dan fentanyl 1-3mcg/kg.
Pemberian midazolam bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau memproduksi
kantuk sementara fentanyl bertujuan untuk analgetik. Penggunaan premedikasi ini
betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia
dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya
pasien diberikan fentanyl 0.5 mcg, propofol 100 mg. Bila hemodinamik telah stabil,
setelah onset tercapai dan airway terkontrol pasien diberikan atracurium 25 mg
untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevofluran) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal
31
tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, baunya pun
lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 1 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Pada pukul 12.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan dengan pemantauan
akhir TD 117/73 mmHg; Nadi 81 x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan
selama 150 menit dengan perdarahan ± 200 cc. Sebelum selesai pembedahan
dilakukan pemberian analgetik, injeksi parasetamol dan fentanyl 25 mcg
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 110/80 mmHg.
Kemudian pasien dirawat di bangsal.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. O’Connor, Rory C., Kaveh Shakib, and Peter A. Brennan. "Recent advances in
the management of oral and maxillofacial trauma." British Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery 53.10 (2015): 913-921.
3. Auerbach SM, Laskin DM, Kiesler DJ, et al; Psychological factors associated
with response to
maxillofacial injury and its treatment. J Oral Maxillofac Surg. 2008 Apr
;66(4):755-61.
5. Devauchelle B, Badet L, Lengele B, et al; First human face allograft: early repo
rt. Lancet. 2006 Jul 15;368(9531):203-9.
2014 Jul;58(3):497-521. doi: 10.1016/j.cden.2014.03.001.
10. Rocchi G, Fadda MT, Marianetti TM, et al; Craniofacial trauma in adolescents:
incidence, etiology, and prevention. J Trauma. 2007 Feb;62(2):404-9.
11. Brookes CN; Maxillofacial and ocular injuries in motor vehicle crashes. Ann R
Col Surg Engl. 2004 May;86(3):149-55.
33
13. Patrick DG, van Noort R, Found MS; Scale of protection and the various types
of sports mouthguard. Br J Sports Med. 2005 May;39(5):278-81.
15. Casto AL, Priolo GD, Gafuri A, et al ; Imaging Evaluation of Facial Complex
Strut Fractures. Elsevier.2012. 33:396-409.
17. Udeabor SE, Akinbami BO, Yarhere KS, Obiechina AE. Maxillofacial fractures:
Etiology, pattern of presentation, and treatment in university of port harcourt
teaching hospital, port harcourt, Nigeria. Jornal of Dental Surgery. 2014; 1-5.
19. Chalya PL, Mchembe M, Mabula JB. (2011). Etiological spectrum, injury
characteristics and treatment outcome of maxillofacial injuries in a Tanzanian
teaching hospital. Journal of Trauma Management & Outcome.
20. Joseph JMI, Glavas P. Orbital fractures: A review. Clinical ophtalmology, 2011;
5:95-100
21. Alsuhaibani AH. Orbital Fracture: Significance of lateral wall. Saudi Journal of
Ophthalmology, 2010; 24:49–55
22. Kunz C, Audigé L, Cornelius CP, Téllez CHB, Rudderman R, Prein J. The
Comprehensive AOCMF Classification System: Orbital Fractures - Level 3
Tutorial. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2014; 7(1):S92–S102
23. Reyes JM, Vargas MFG, Rosenvasser J, Arocena MA, Medina AJ, Funes J.
Classification and epidemiology of orbital fractures diagnosed by computed
tomography. Rev. Argent. Radiol., 2013;77(2):139-145
25. Ellis E. Orbital Trauma. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am., 2012; 24:629–648
34
26. Boswell KA. Management of Facial Fractures. Emerg Med Clin N Am., 2013;
31:539–551
27. Boyette JR, Pemberton JD, Velez JB. Management of orbital fractures:
Challenges and solutions. Clinical Ophthalmology, 2015; 9:2127–2137
28. Edward PB, Charles HH. (2013). LeFort I Osteotomy. Semin Plast Surg;
27:149–154.
29. Selmi YY, Melda M, Mehmet ZA. (2014). A Diagnosis of Maxillary Sinus
Fracture with Cone-Beam CT: Case Report and Literature Review.
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction 2014;7:85–91.
30. Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York:
McGraw-hill; 2002
32. Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2013). Morgan & Mikhail's
clinical anesthesiology (Vol. 15). New York: McGraw-Hill.
35. Morgan, G., Butterworth, J., Mackey, D. and Wasnick, J. (n.d.). Morgan &
Mikhail's clinical anesthesiology.
36. Pancreas Cysts. Johns Hopkins Pancreas cancer web. Tersedia pada
http://www.johnshopkinsmedicalinstitution.com. Diunduh pada tanggal 17 Mei
2019
35