Anda di halaman 1dari 35

Presentasi Kasus

SEORANG PEREMPUAN 20 TAHUN DENGAN


FRAKTUR OS MAXILLA DAN HEMATOSINUS
BILATERAL

Oleh:
Rakhmadhaniar Kusuma W. - G99181051

Pembimbing
Ardana Tri Arianto, dr., M. Si. Med, Sp. An., KNA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Nn. M
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta
Suku : Jawa
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Belum menikah
Tanggal masuk : 1 Oktober 2019
Tanggal periksa : 3 Oktober 2019
B. Data dasar
Anamnesis dilakukan di bangsal Anggrek 2 RSUD dr. Moewardi
Surakarta.
Keluhan Utama
Hidung kiri terasa tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT-KL RS Dr. Moewardi dengan keluhan
hidung kiri terasa tersumbat sejak 18 hari yang lalu. Keluhan timbul setelah
bagian muka pasien terbentur dinding. Setelah terbentur, bagian pipi kiri
dekat mata terasa nyeri dan tidak nyaman, pasien juga merasa pipi kiri
lebih cekung daripada pipi kanan. Keluhan mimisan disangkal, pilek
disangkal, nyeri kepala disangkal. BAK dan BAB pasien tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat Kejang : (-)
Riwayat Mondok : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : (-)
Penyakit Jantung : (-)
Riwayat DM : (-)

Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang karyawan swasta. Pasien berobat menggunakan
fasilitas BPJS kelas III.

II. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Sedang, Composmentis E4V5M6
2. Tanda Vital
- Tensi : 110/70 mmHg
- Nadi : 88x/menit
- Frekuensi Nafas : 18x/menit
- SpO2 : 99%
- Suhu : 36,6oC
3. Status Gizi
- Berat badan : 50 kg
- Tinggi badan : 153 cm
- IMT : 21,36 kg/m2
- Kesan : Normoweight

4. Primary Survey
a. Airway : Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
b. Breathing : Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18 x/mnt
c. Circulation : Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 88x/mnt, tekanan
darah 110/70 mmHg, CRT <2 detik, saturasi oksigen 99%
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor
2mm/2mm
e. Exposure : Trauma kepala (+), trauma ekstremitas bawah kanan (-),
trauma genital (-), suhu normotermi
5. Secondary Survey
a) Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b) Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil
isokor, katarak matur (-/-)
d) Telinga : Sekret (-/-)
e) Hidung : konka nasalis lapang (+/+), discharge (-/-), Septum deviasi
(-/-)
f) Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g) Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h) Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i) Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j) Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-)
k) Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada,
Distended (+)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-),
undulasi (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
l) Genitalia : discharge (-)
m) Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin - -
- -

- -
Oedem
- -
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG Abdomen 11 April 2019

Kesan:
• Hematosinus maxilla bilateral
• Concha bulosa media bilateral
• Hipertrofi concha nasalis inferior sinistra
• Keros classification type 2
• Fraktur os nasal, rima orbita inferior et lateral sinistra, rima orbita
lateral dextra, dinding anterior et posterior sinus maksilaris sinsitra,
hingga os maksilaris sinistra (Le fort II)
2. Laboratorium 1 Oktober 2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 12,4 g/dl 12,0-15,6
Hematokrit 39 % 33-45
Leukosit 7,2 ribu/ul 4,5-11
Trombosit 314 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4,05 juta/ul 4,1-5,1
HEMOSTASIS
PT 13,1 detik 10,0-15,0
APTT 29,5 detik 20,0-40,0
INR 1,010
KIMIA KLINIK
GDS 84 mg/dl 60-140
Albumin 4,4 g/dl 3,5-5,2
Kreatinin 0,6 mg/dl 0,6-1,1
Ureum 25 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 133 mmol/L 136-145
Kalium darah 3,8 mmol/L 3,3-5,1
Chlorida Ion 100 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive

IV. ASSESMENT
Fraktur OS Maxilla Sinistra + Hematosinus bilateral
V. PLAN
A. Daftar OK IBS
B. Informed consent
C. Site marking
D. Konsul TS Anestesi
E. Pasang IV line
F. Antibiotik profilkasis : Inj. Cefazolin 2g/IV
G. Puasakan pasien 6 jam pre operasi
H. Pesan HCU

VI. DIAGNOSIS ANESTESI


Nn. M, 20 tahun, fraktur os maxilla sinistra+hematosinus bilateral, pemeriksaan
fisik kondisi umum baik, tekanan darah 110/70 mmHg, dan denyut nadi 88
kali/menit, SpO2 99%. Pada prinsipnya setuju tata laksana anestesi dengan status
fisik ASA II, plan informed consent, IV line, DC, puasa 6 jam, premedikasi di OK
5 IBS, GA-ET, analgesic post op paracetamol + fentanyl

VI. PROBLEM
1. Fraktur os maxilla sinistra+hematosinus bilateral

VII. PELAKSANAAN OPERASI


Operasi dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2019 di OK 5 IBS
Primery Survey
1. Airway
Deviasi trakea (-), gurgling (-), snoring (-), stridor (-)
2. Breathing
Pengembangan dinding dada (+), frekuensi nafas 18x/mnt
3. Circulation
Nadi karotis teraba kuat (+), Heart rate 102x/mnt, tekanan darah 118/76 mmHg,
CRT <2 detik, saturasi oksigen 100%
4. Disability
GCS E4V5M6, reflek pupil direk indirek (+/+), pupil isokor 2mm/2mm
5. Exposure
Trauma kepala (+), trauma ekstremitas bawah kanan (-), trauma genital (-), suhu
normotermi

Secondary Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-)
c. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklerik ikterik (-/-), pupil isokor,
katarak matur (-/-)
d. Telinga : Sekret (-/-)
e. Hidung : konka nasalis lapang (+/+), discharge (-/-), Septum deviasi
(-/-)
f. Mulut : buka mulut > 3 jari, mallampati 2, gigi ompong (-), gigi
palsu (-)
g. Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
Pembesaran kelenjar tiroid (-), gerak leher bebas (+)
h. Toraks : normochest, retraksi (-/-)
i. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
j. Pulmo
1. Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2. Palpasi : Fremitus raba normal
3. Perkusi : Sonor/sonor
4. Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar (-/-),
ronki basah halus (-/-)
k. Abdomen
1. Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-), undulasi
(-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
l. Genitalia : Discharge (-)
m. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin - -
- -

Oedem - -
- -

Instruksi Post op:


a) Aldrette Score ≥ 8 pindah bangsal
b) Monitor KU/kesadaran dan vital sign setiap 5-15menit selama 30
menit
c) Infus 2 jalur (1. Kabiven 1 kolf/24 jam, 2. Aminofluid : D10 : NaCl
0.9% = 1 : 1 : 1 / 24 jam
d) Oksigenasi canule 3lt/menit
e) Injeksi ampicillin sulbactam 1,5 g/8 jam
f) Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
g) Injeksi gentamicyn 80 mg/8 jam
h) Injeksi metamizole 1 g/8 jam
i) Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
j) Obat: pct 1g/8 jam IV, fentanyl 0,5mcg/kgBB/jam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. FRAKTUR MAKSILOFASIAL
a. Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur maksilofasial atau fraktur wajah adalah putusnya
kontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi. Menurut
Reksoprodjo fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak, pecah, atau
patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulang bisa
3,6
hanya retakan saja, sampai hancur berkeping-keping.
Penyebab fraktur adalah trauma, misalnya kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja dan kecelakaan atau cedera
olahraga. Namun menurut Trott et al., penyebab utama dari fraktur
adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan perkelahian, sedangkan
penyebab lainnya adalah jatuh, kecelakaan olahraga, kecelakaan kerja dan
6,7
fraktur patologis.
b. Etiologi Fraktur Maksilofasial
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur
maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga
sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah
3,4
kecelakaan lalu lintas.
c. Klasifikasi
Klasifikasi yang paling umum adalah klasifikasi yang
dikembangkan oleh Rene Le Fort (1869-1951), ahli bedah dari Lilie, dan
Martin Wassmund (1892-1956), ahli bedah mulut dan maksilofasial dari
5
Berlin.
Lokasi Jenis Fraktur

Sentral Wajah a. Fraktur infrazigomatik


(Fraktur tulang alveolar
dan kompleks
dentoalveolar)
b. Fraktur Le Fort I dan
Fraktur Guerin dengan atau
tanpa fraktur sagital
c. Fraktur Le Fort II dengan
atau tanpa fraktur sagital
d. Fraktur nasomaksila dan
kompleks nasoetmoidalis
e. Defek fraktur
Lateral Wajah a. Fraktur kompleks
zigomatikoorbital b. Fraktur
zigomatik
c. Fraktur
zigomatikomaksila
d. Fraktur arkus
zigomatikus
e. Fraktur kombinasi zigomatik
dan kompleks arkus zigomatiko
f. Fraktur orbita, termasuk Blow
Out fracture
g. Fraktur zigomatikomandibula
Kombinasi bagian sentral dan Fraktur Le Fort III
lateral wajah (sentro lateral)
Bagian anterior dan lateral basis
tengkorak a. Fraktur frontobasal

b. Fraktur tulang temporallis


dan pars petrosa os temporalis
(fraktur laterobasal)

▪ Fraktur Kompleks Nasal


Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat
mengalami fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa
fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal
3,4,5
maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut
septum hidung. Kadang-kadang tulang rawan septum
hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat
tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga
3,4,5
terkena fraktur.
Gambar 2.1 Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah
pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang hidung,
(3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid,
dan (6) tulang sphenoid
Sumber: (www.emedicine.com)

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada


arah gaya fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung
akan mengakibatkan tulang hidung dan bagian-bagian yang ada
hubungannya dengan proses frontal maksila berpindah tempat ke
satu sisi. Dalam penelitian retrospektif Sunarto Reksoprawiro
tahun 2001- 2005, insidensi fraktur komplek nasal sebesar
3,4,5
12,66%.
• Fraktur Kompleks Zigomatikum
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan
tulang maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena
tulang – tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik
mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini
3,4
disebut “fraktur kompleks zigomatik”.

Gambar 2.2 Pandangan frontal dari fraktur zigomatik


kompleks
Sumber: (www.emedicine.com)

Gambar 2.3 Pandangan submentoverteks dari fraktur


zigomatik kompleks
Sumber: (www.emedicine.com)
Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut
fraktur”tripod”, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan
empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah
arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan
penopang zigomatiko-rahang atas.
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah
darifraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi
atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan
menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa
gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau
mendapat perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek
zigoma sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian
Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan- kawan insidensi fraktur
komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang
lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma
3,4,5
sebesar 42% dan 7,9%.

• Fraktur Dentoalveolar
Trauma dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau
terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya
hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin
terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan
4,5,9
setiap bentuk fraktur lainnya.
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan
dengan terjadinya trauma wajah adalah kerusakan pada
mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa
terbukanya saluran pulpa.
Gambar 2.4 A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas
pada enamel dan dentin (fraktur mahkota sederhana), C.Fraktur
mahkota langsung melibatkan pulpa (fraktur mahkota
terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-
akar terkomplikasi, F.Fraktur akar Horizontal. Sumber:
(www.emedicine.com).
Trauma fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada
gigi insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian
dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir.
Sering kali trauma semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,
sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang
terkena trauma tersebut tertanam di dalam bibir atas.
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi
yang terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali
mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan, sehingga
sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang
setelah terjadinya trauma fasial agar selalu membuat radiograf
dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada
saat terjadinya kecelakaan.

17
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas
maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.

Gambar 2.5 Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding


tunggal dari alveolus, B. Fraktur dari prosesus alveolar
(www.emedicine.com)

Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda


persentasenya, pada beberapa penelitian, dimana masing-masing
penelitian sebelumnya menunjukkan persentase sebesar 5,4%,
dan 49.0%.
• Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah
fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis
fraktur, yakni: fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.
Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan
III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas

18
alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara
terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai
fraktur transmaksilari.
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin
secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal
biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris
dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti
pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le
Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le
Fort I.
Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera
yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari
tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya
disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intrakranial.

19
Gambar 2.6 Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III. Sumber:
(www.emedicine.com)

• Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang
ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma
kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat
kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan
trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak
di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibula
merupakan kejadian yang sering terlihat.
Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah
cedera terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan
maloklusi. Pasien dengan fraktur mandibula sering
mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal.
Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan
diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien
mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas
ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat
terjadi pada bagian anterior mandibula (simpisis dan
parasimpisis), angulus mandibula, atau di ramus atau

20
daerah kondilar mandibula.

Gambar 2.7. Fraktur Mandibula(www.emedicine.com)


d. Tatalaksana Fraktur Maksilofasial
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu
berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan
dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial.
Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang
pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan
yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif
pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah
dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka
perawatan defenitif dapat dilakukan.
• Fraktur Komplek Nasal
Pada fraktur komplek nasal, ada dua cara perawatan yang
dilakukan yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung
dapat direduksi dibawah analgesia lokal, tetapi anestesia umum
dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai lebih
diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak. Kadang-

21
kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin
setelah reduksi tidak perlu.
• Fraktur Komplek Zigoma
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan
secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui
pendekatan Gillies klasik.
• Fraktur Dento-alveolar
Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih
memiliki mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang
dan gigi tersebut masih dapat dilestarikan. Pergeseran dikurangi
dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut diperbaiki jika itu
diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut bertujuan
untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar
ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang
berdekatan dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint
komposit atau splin ortodonsi selama 4 - 6 minggu.
Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya
gigi dan tulang yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan
penjahitan pada mukosa yang berada diatas daerah tulang yang
telah rata.
• Fraktur Maksila
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan
arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi
kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan
sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan
tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa
dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah
perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga.

22
Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding
digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat
dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular,
pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada
sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.
• Fraktur Mandibula
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni
cara tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik
tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai
dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular.
Pada prosedur terbuka , bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi
secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat.
Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu
dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.

2. ANESTESI PADA OPERASI MAXILOFACIAL


Anestesia umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan pipa endotrakea
dan nafas kendali.
Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pasien dipersiapkan
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah
darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang
akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah (ASA, 2019):

23
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, tidak merokok dengan toleransi
olahraga yang baik, pasien non-obes (BMI <30)

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan. Contoh:


pasien tanpa Batasan fungsional dan penyakit yang
terkontrol dengan baik seperti hipertensi yang terobati

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang tidak


mengancam jiwa. Contoh: pasien dengan beberapa
batasan fungsional sebagai akibat dari penyakit seperti
hipertensi atau DM yang tidak terawat dengan baik,
gagal ginjal kronis, bronkospastik dengan eksaserbasi
intermitten, stable angina, pasien dengan implan
pacemaker

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang


mengancam jiwa. Contoh: pasien dengan keterbatasan
fungsional dari penyakit parah yang mengancam jiwa
seperti unstable angina, gejala CHF, infark miokard
atau stroke

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Contoh: ruptur abdominal aneurisma aorta, trauma
masif, dan perdarahan intrakranial yang luas.

24
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan) dengan tujuan untuk
mentransplantasikannya ke pasien lain.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari


kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

b. Pasang alat-alat monitor


c. Siapkan alat-alat dan obat pre medikasi dan resusitasi
Tujuan dari premedikasi antara lain (Morgan et al, 2006):

1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.
d. Siapkan mesin anestesi dengan system sirkuit dan gasnya
e. Lakukan induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Contohnya adalah propofol.

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam


air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.

25
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah post operasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah post operasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat
(kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara


cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan
infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau
anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup


berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh


distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1%
diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih
besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan
mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati.

26
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan
dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol
karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini


didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki
efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

f. Berikan obat pelumpuh otot suksinil kolin/atrakurium untuk fasilitas


intubasi
Atrakurium Basylate (25mg) merupakan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi
tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium
memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan
antara lain metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut
eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal,
tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

27
g. Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
h. Lakukan laringoskopi, pasang ETT
Intubasi Endotrakeal (ETT) adalah suatu tindakan memasukkan pipa
khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk (Morgan et al,
2006):
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
i. Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
j. Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah
obat sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena
Nitrous Oksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, berbau
manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat
melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam
darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu
pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit
sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ;
70% : 30% atau 50% : 50%.

28
Sedangkan untuk obat sedative, contohnya adalah Sevoflurane
(2vol%). Sevofluran merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun
panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfacatory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level dorsal
horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmissi rasa sakit.
k. Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau
tetes ulang terus menerus
l. Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume dan
frekuensi yag sesuai.
m. Pantau tanda vital
n. Pemantauan selama anesthesia

29
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Nn. N, 20 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi


rekonstruksi maxillofacial pada tanggal 2 Oktober 2019 dengan diagnosis fraktur
os maxilla sinsitra dan hematosinus bilateral. Persiapan operasi dilakukan pada
tanggal 1 Oktober 2019. Dari anamnesis terdapat keluhan hidung kiri terasa
tersumbat yang dirasakan sejak bagian muka pasien terbentur 28 hari yang lalu.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg; nadi
88x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,6 OC. Dari hasil laboratorium tidak
didapatkan hasil yang abnormal. Dari hasil pemeriksaan CT Scan Kepala yang
dilakukan tanggal 30 September 2019 dengan hasil tampak hematosinus bilateral,
concha bulosa media bilateral, hipertrofi concha nasalis inferior sinistra, keros
classification type 2, Fraktur os nasal, rima orbita inferior et lateral sinistra, rima
orbita lateral dextra, dinding anterior et posterior sinus maksilaris sinsitra, hingga
os maksilaris sinistra (Le fort II).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II yang berarti pasien
penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
Sebelum dilakukan operasi, awalnya pasien diberikan maintenance cairan
sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam
dari penderita adalah 100 cc/jam. Kemudian pasien dipuasakan selama 6 jam.
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan
selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini
yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8
jam ini adalah 800 cc/8jam.
Anestesi yang dilakukan pada pasien adalah anestesi umum, karena durasi
operasi yang lama dan medan operasi yang cukup luas, juga dilakukan pemasangan
pipa endotracheal dengan indikasi operasi pada daerah abdomen untuk membuat

30
pernafasan lebih tenang dan tidak ada ketegangan dari otot abdomen. Sebelum
dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre anestesi
102kali/menit, tekanan darah 118/76 mmHg, dan frekuensi pernafasan 18 x/menit.
Pada pasien ini dilakukan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotracheal tube (ET). Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan
suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian bawah. Tujuan
dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi
lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung
penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran
trakeobronkial. Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok,
suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser, glottis dan
subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia, tracheoesophagial
fistula.
Operasi rekonstruksi maxillofacial dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2019.
Pasien dikirim dari bangsal ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 5 pada pukul
10.00 WIB dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 124/82 mmHg;
Nadi 95x/menit, dan SpO2 99%. Sebelum memulai prosedur anestesi, dilakukan
premedikasi dengan midazolam 0,07-0,15mg/kg/IM dan fentanyl 1-3mcg/kg.
Pemberian midazolam bertujuan untuk mengurangi kecemasan atau memproduksi
kantuk sementara fentanyl bertujuan untuk analgetik. Penggunaan premedikasi ini
betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia
dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya
pasien diberikan fentanyl 0.5 mcg, propofol 100 mg. Bila hemodinamik telah stabil,
setelah onset tercapai dan airway terkontrol pasien diberikan atracurium 25 mg
untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevofluran) dengan ukuran 2 vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal

31
tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, baunya pun
lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET),
maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 2 L/menit, dan N2O 1 L/menit
sebagai anestesi rumatan. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan
untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan saat operasi
selesai.
Pada pukul 12.30 WIB, pembedahan selesai dilakukan dengan pemantauan
akhir TD 117/73 mmHg; Nadi 81 x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan
selama 150 menit dengan perdarahan ± 200 cc. Sebelum selesai pembedahan
dilakukan pemberian analgetik, injeksi parasetamol dan fentanyl 25 mcg
diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur pembedahan. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam
keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis.
Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 110/80 mmHg.
Kemudian pasien dirawat di bangsal.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. O’Connor, Rory C., Kaveh Shakib, and Peter A. Brennan. "Recent advances in
the management of oral and maxillofacial trauma." British Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery 53.10 (2015): 913-921.

2. Koshy, J. C., Feldman, E. M., Chike-Obi, C. J., & Bullocks, J. M. (2010,


November). Pearls of mandibular trauma management. In Seminars in plastic
surgery (Vol. 24, No. 04, pp. 357-374). © Thieme Medical Publishers.

3. Auerbach SM, Laskin DM, Kiesler DJ, et al; Psychological factors associated
with response to
maxillofacial injury and its treatment. J Oral Maxillofac Surg. 2008 Apr
;66(4):755-61.

4. Glynn SM, Shetty V, Elliot-Brown K, et al; Chronic posttraumatic stress disord


er after facial injury: a 1-yearprospective cohort study. J Trauma. 2007 Feb ;
62(2): 410-8 ; discussion 418.

5. Devauchelle B, Badet L, Lengele B, et al; First human face allograft: early repo
rt. Lancet. 2006 Jul 15;368(9531):203-9.
2014 Jul;58(3):497-521. doi: 10.1016/j.cden.2014.03.001.

6. Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al; Diagnosis and management of c


ommon maxillofacialinjuries in the emergency department. Part 1: Advanced tr
auma life support. Emerg Med J. 22006 Oct;23(10):796-7.

7. Strong EB; Frontal sinus fractures: current concepts. Craniomaxillofac Trauma


Reconstr. 2009 Oct;2(3):161-75. doi: 10.1055/s-0029-1234020.

8. Singh V, Malkunje L, Mohammad S, et al; The maxillofacial injuries: A study.


Natl J Maxillofac Surg. 2012 Jul;3(2):166-71. doi: 10.4103/0975-5950.111372.

9. Alvi A, Doherty T, Lewen G; Facial fractures and concomitant injuries in trau


ma patients. Laryngoscope. 2003 Jan;113(1):102-6.

10. Rocchi G, Fadda MT, Marianetti TM, et al; Craniofacial trauma in adolescents:
incidence, etiology, and prevention. J Trauma. 2007 Feb;62(2):404-9.

11. Brookes CN; Maxillofacial and ocular injuries in motor vehicle crashes. Ann R
Col Surg Engl. 2004 May;86(3):149-55.

12. Eggensperger NM, Danz J, Heinz Z, et al; Occupational maxillofacial fractures


: a 3-year survey in central
Switzerland. J Oral Maxillofac Surg. 2006 Feb;64(2):270-6.

33
13. Patrick DG, van Noort R, Found MS; Scale of protection and the various types
of sports mouthguard. Br J Sports Med. 2005 May;39(5):278-81.

14. Winengar BA, Murillo H, Tantiwongki; Spectrum of Critical Imaging Findings


In Complex Facial Skeletal Trauma. Trauma/ Urgency Radiology. 2013
January-February; 33:3-19.

15. Casto AL, Priolo GD, Gafuri A, et al ; Imaging Evaluation of Facial Complex
Strut Fractures. Elsevier.2012. 33:396-409.

16. Moe KS ; Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Department of


Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of Washington School of
Medicine; Clinical Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck
Surgery, University of California, San Diego. 2009 December.

17. Udeabor SE, Akinbami BO, Yarhere KS, Obiechina AE. Maxillofacial fractures:
Etiology, pattern of presentation, and treatment in university of port harcourt
teaching hospital, port harcourt, Nigeria. Jornal of Dental Surgery. 2014; 1-5.

18. Piotr M, Beata M, Jan D. (2006). Characteristics of maxillofacial injuries


resulting from road traffic accidents – a 5 year review of the case records from
Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. Head & Face
Medicine, 2:27 doi:10.1186/1746-160X-2-27

19. Chalya PL, Mchembe M, Mabula JB. (2011). Etiological spectrum, injury
characteristics and treatment outcome of maxillofacial injuries in a Tanzanian
teaching hospital. Journal of Trauma Management & Outcome.

20. Joseph JMI, Glavas P. Orbital fractures: A review. Clinical ophtalmology, 2011;
5:95-100

21. Alsuhaibani AH. Orbital Fracture: Significance of lateral wall. Saudi Journal of
Ophthalmology, 2010; 24:49–55

22. Kunz C, Audigé L, Cornelius CP, Téllez CHB, Rudderman R, Prein J. The
Comprehensive AOCMF Classification System: Orbital Fractures - Level 3
Tutorial. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2014; 7(1):S92–S102

23. Reyes JM, Vargas MFG, Rosenvasser J, Arocena MA, Medina AJ, Funes J.
Classification and epidemiology of orbital fractures diagnosed by computed
tomography. Rev. Argent. Radiol., 2013;77(2):139-145

24. Caranci F, Cicala D, Cappabianca S, Briganti F, Brunese L, Fonio P. Orbital


Fractures: Role of Imaging. Semin Ultrasound CT MRI, 2012; 33:385-391

25. Ellis E. Orbital Trauma. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am., 2012; 24:629–648

34
26. Boswell KA. Management of Facial Fractures. Emerg Med Clin N Am., 2013;
31:539–551

27. Boyette JR, Pemberton JD, Velez JB. Management of orbital fractures:
Challenges and solutions. Clinical Ophthalmology, 2015; 9:2127–2137

28. Edward PB, Charles HH. (2013). LeFort I Osteotomy. Semin Plast Surg;
27:149–154.

29. Selmi YY, Melda M, Mehmet ZA. (2014). A Diagnosis of Maxillary Sinus
Fracture with Cone-Beam CT: Case Report and Literature Review.
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction 2014;7:85–91.

30. Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New York:
McGraw-hill; 2002

31. Brunicardi, C. F. et al. 2005. Scwartz’s Principle Of Surgery, eighth edition.


USA: the McGraw Hill Companies Inc.

32. Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2013). Morgan & Mikhail's
clinical anesthesiology (Vol. 15). New York: McGraw-Hill.

33. Dennis Lee, Jay W.Marks. Pancreatic Cysts. Tersedia pada


http://www.medicine.net.com. Diunduh pada tanggal 17 Mei 2019

34. Hugues et al. Epidemiology and treatment outcome of surgically treated


mandibular condyle fractures. A five years retrospective study. Journal of
Cranio-Maxillo-Facial Surgery 42 (2014).

35. Morgan, G., Butterworth, J., Mackey, D. and Wasnick, J. (n.d.). Morgan &
Mikhail's clinical anesthesiology.

36. Pancreas Cysts. Johns Hopkins Pancreas cancer web. Tersedia pada
http://www.johnshopkinsmedicalinstitution.com. Diunduh pada tanggal 17 Mei
2019

37. Parthasarathy S, Bag S, Krishnaveni N. (2012). Assessment of airway the


MOUTH concept. Journal of Anesthesiology Clinical Pharmacology. 28(4) :
539.
38. Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.
39. Skraastad, E., Ræder, J., Dahl, V., Bjertnæs, L. and Kuklin, V. (2017).
Development and validation of the Efficacy Safety Score (ESS), a novel tool for
postoperative patient management. BMC Anesthesiology, 17(1).
40. Suyono Hadi, Yayat Ruchiyat, Warko Karnadiharja. Pankreas dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC Jakarta. 2004

35

Anda mungkin juga menyukai